Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kebencian Semu

Hebat. Sungguh hebat. Menjelang usia 29 tahun, aku telah meraih beberapa pencapaian baik dalam aspek pekerjaan, asmara, hingga berbagai aspek lainnya. Sulit rasanya memercayai dialog yang baru saja terjadi di ruangan Si Kepala Telur siang tadi.

"Bapak ... memecat saya?"

Pria berkepala telur itu merapatkan bibir dan mengangguk satu kali. "Saya tidak memiliki pilihan lain, Raka. Kinerjamu bagus, tapi sayangnya kurang cocok dengan ritme kantor ini."

Nah. Silakan kalian simpulkan sendiri apakah kata 'hebat' yang kusebutkan memiliki majas ironi atau tidak. Silakan pula berasumsi bahwa keputusan Si Kepala Telur itu tak dapat diganggu gugat sehingga mau tak mau aku harus hengkang dari kantor sekaligus pekerjaan ini. Pengalamanku bekerja selama tiga tahun seolah tak berarti.

Raka yang hebat, apalagi yang bisa kauperbuat? Kau tentu kelimpungan karena selain kau harus melamar kerja di tempat yang baru, masih ada sisa tenor kredit motor hingga dua bulan ke depan. Kalau kau tak kunjung melunasinya, ingatkah kau akan kemungkinan terburuk yang ada?

Duh. Menurut buku yang kubaca, self talk atau berbicara pada diri sendiri cukup dianjurkan. Hanya saja, aku tak tahu apakah aku terlalu sering self talk? Pokoknya begitulah. Aku sampai beberapa kali nyaris menabrak kendaraan lain di jalanan—maki-maki saja diriku sepuasnya, pengguna jalanan! Rasanya lucu juga dicaci maki oleh orang-orang yang tidak mengetahui namaku.

"Kalau kau bisa mengkredit motor, seharusnya kau bisa mengkredit mobil juga," ujar seseorang pekan lalu.

Kalau itu lain lagi. Meski bukan makian, tetap saja bagiku itu bentuk penghinaan. Apesnya, kalimat tersebut terlontar dari mulut Salma, gadis yang kukira akan menjadi support system utama dalam hidupku.

Ah, persetan support system. Persetan juga dengan sistem patriarki. Seandainya aku ditanya pencapaian apa yang telah kuperoleh di usia menjelang kepala tiga ini, aku akan menjawab dengan santai, "mencapai keterpurukan."

Ha. Ha. Ha.

Masih segar di ingatanku, bayangan diriku sendiri di usia kepala tiga. Cicilan motor lunas, ijab kabul serta resepsi pernikahan di depan mata, serta patungan membayar cicilan Kredit Pemilikan Rumah dengan pasangan berjalan lancar. Wah, manis sekali. Namanya juga ilusi. Hanya saja, aku sama sekali tak menyangka realita akan bertolak belakang begini. Boro-boro setengah ilusi, mendapat satu persennya pun tidak.

Jadi, buat apa merayakan ulang tahunku esok hari? Ini hari yang amat bagus (sekali lagi, dalam majas ironi) untuk merayakan kegagalan. Keterpurukan. Terserah dong, mau merayakan hal jelek sekalipun, toh ini hidupku. Seandainya ini adegan film, si tokoh yang tengah merasa nestapa mungkin menghabiskan malam dalam dunia gemerlap dilengkapi gelas sloki berisi minuman berwarna. Versiku sih sederhana saja. Satu bungkus rokok, kopi saset, earphone, serta musik eskapisme ... eh, maksudku aliran soft rock.

Embusan pertama. Uh, leganya. Tak pernah aku memperhatikan liukan asap dari batang berwarna putih beraksen cokelat ini sebelumnya. Lekukannya mengingatkanku pada tubuh Salma ... oh, sial. Tidak, bukan dia. Huruf S? Argh, bukan! Sebenarnya lebih mirip ... celurit? Tanda tanya?

Belum resmi aku menyimpulkan, asap itu telah hilang dan melebur dengan udara. Sekian detik berikutnya, asap lain lolos dari bibirku—kali ini berbentuk huruf O, tentunya kubentuk secara sengaja.

O mengingatkanku pada ... dunia. Dunia yang serba membingungkan dengan jurang kepiluan pada tiap depa. Dunia berupa asap, yang kubayangkan di dalamnya berisi manusia-manusia seperti Salma dan juga Si Kepala Telur. Dunia yang kubenci. Kali ini, sebelum dunia tersebut menghilang terbawa angin malam di luar jendela, kutepis seraya berkata melalui sela-sela gigi. "Enyahlah!"

●●●

Baiklah. Setidaknya pagi ini aku bisa bangun lebih siang. Cukup banyak waktu untuk berleha-leha, menunda sarapan dalam rangka akhir bulan (sekaligus pemecatan), serta membereskan dan membuang benda-benda konyol pemberian Salma. Ck. Dasar Raka bucin, bisa-bisanya menerima boneka anjing?

Eh, tunggu. Di mana boneka itu?

Maklum, namanya juga kosan murah. Hanya ada kipas angin alih-alih AC. Galon dan pompa alih-alih dispenser, serta meja lipat yang juga kubeli dengan harga murmer.

Argh, gerahnya!

Pencarian boneka anjing terpaksa kutunda barang sebentar. Kubuka jendela dan mendapati sinar mentari membuat kedua kelopak mataku sontak kembali menutup. Mungkin kalian bertanya, kenapa aku tak terlalu memusingkan biaya indekos di sini? Jawabannya adalah karena minggu lalu aku baru saja membenarkan laptop Pa Rusli, sang pemilik indekos ini. Aku toh tak memasang tarif, tapi coba tebak, apa imbalannya? Aku dibebaskan biaya sewa selama dua bulan lamanya. Lumayan.

Sebagai penghuni bangunan yang terletak di lokasi strategis, suara-suara seperti sapu lidi menyapu dedaunan kering di teras rumah, orang-orang saling sapa, atau senda gurau merupakan hal yang lumrah. Pagi ini lain. Aku sama sekali tak melihat keberadaan manusia.

"Yono? Maul? Haris" Aku memanggil teman-teman di unit lain. Tidak ada jawaban. Mereka mahasiswa yang sejauh kutahu memiliki jadwal lebih longgar. Ada apa ini?

Tanpa pikir panjang, aku menghambur ke lantai bawah dan kembali mendapati dedaunan kering masih berserahakan di teras rumah berpagar cokelat. Heran. Bukankah biasanya seorang wanita paruh baya menyapu di sana setiap pukul enam pagi? Ini bahkan sudah hampir pukul sembilan.

"Halo? Halooo?" Aku memanggil siapa pun yang sudi membalas sapaanku. Adakah suatu peristiwa penting yang kulewatkan? Ke mana orang-orang?

Tidak. Tidak ada satu orang pun. Bahkan beberapa gerobak jualan tampak tak bertuan.

Tenang, Raka. Tenang! Ini pasti mimpi. Di mimpi ini, aku seorang diri.

Iya, kan?

Seolah tak setuju, jantungku memompa dua kali lebih cepat. Napasku memburu. Kutampar kedua pipiku. Aw! Sakitnya terasa nyata.

Baiklah. Kesimpulan pertama, ini bukan mimpi. Atau mimpi yang terlampau nyata?

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Ini semua terlalu membingungkan. Ini semua serba memusingkan bagi otakku yang kapasitasnya—

"Selamat ulang tahun, Raka."

Perlahan, aku berhasil menjaga keseimbangan tubuh. Pandanganku tak lagi kabur. Irama napasku mulai teratur.

Perlu beberapa sekon lamanya hingga aku dapat mencerna. Eh, iya. Ini hari ulang tahunku, ya?

"Te-terima kasih banyak." Aku lantas menegakkan tubuh dan menolehkan kepala. Aku benar-benar tak tahu diri kalau seandainya tak sungguh-sungguh menghargai ucapannya. Bukankah sangat spesial bila seseorang—

"Anjing?" Aku terperanjat.

Bukan, itu bukan makian. Kukira aku akan berhadapan dengan seseorang, tapi nyatanya hanya ada seekor anjing pudel berwarna cokelat dalam jarak pandangku. Berarti, yang baru saja mengucapkan selamat ulang tahun ....

"Ya, aku yang bicara padamu, Raka. Maaf sudah mengejutkanmu, eh."

Oke. Sekarang, bagian tubuh mana yang perlu kucubit?

Aku baru hendak membuka mulut ketika menyadari ukuran tubuh serta warna anjing ini—

"Oh, Tuhan."

Baiklah. Kuakui aku mengingat Tuhan hanya di saat-saat genting. Merasa hampir kembali kehilangan keseimbangan, aku menempatkan bokong pada tepian trotoar.

"Ada apa, Raka? Kau butuh bantuan?" Kedua mata lawan bicaraku membulat. Telinganya sedikit menegak—mengisyaratkan kekhawatiran yang menghangatkan perasaanku barang sejenak.

"Aku butuh ... jawaban."

Seakan menunggu, anjing itu tetap menatapku di manik mata.

"Kau boneka anjing yang kucari, kan?"

Seakan merasa lega, ia kembali menggoyangkan ekornya. Telinga hewan itu tampak lebih luwes dibanding sebelumnya. "Aku tidak tahu kau mencariku. Kupikir kau mulai membenciku."

Aku mengangkat bahu. "Aku tidak membencimu. Aku hanya ... pokoknya aku dan Salma putus. Kau mau kembali padanya atau tidak?" tanyaku mengingat ia merupakan hadiah ulang tahun dari Salma di hari ultahku tahun lalu.

"Kurasa tidak perlu, eh. Bukan itu alasan aku ada di sini."

"Lalu, apa?" tanyaku penuh harap.

"Lho, kupikir kau tahu. Semalam, seingatku kau berkata 'enyahlah' dan sejak saat itu aku merasa diriku benar-benar hidup. Aku bisa menggerakkan tubuhku, eh." Ia mengibaskan ekornya lagi.

Hah? Enyah? Semalam?

Kedua mataku membulat. Sial, aku semalam meminta agar seluruh manusia dilenyapkan!

"Sial. Sial. Sial!" Aku mencengkeram rambut lepekku. Permintaanku malam tadi sungguh terkabul!

Tunggu. Kalau memang tidak ada manusia lain, berarti ... tidak ada aturan! Tidak ada hukum! Aku boleh mengebut di jalanan dan makan makanan di gerai mana pun!

Kudapati diriku melompat-lompat penuh kegirangan. Aku bebas! Aku terlepas dari belenggu!

Tanpa pikir panjang, aku meninggalkan hewan itu dan bersiap untuk melajukan kuda besiku ke sebuah toko—baiklah, sebenarnya ke beberapa toko. Tidak ada penjagaan, tidak ada pengawasan. Kuambil sebanyak makanan yang kubisa, berusaha memutuskan menu sarapan terenak. Mi? Sereal? Bubur instan?

Sekira tiga jam kemudian, aku mengenakan pakaian baru selepas mandi di hotel terdekat. Sungguh tiada manusia lain! Aku benar-benar seperti terlahir bak manusia baru. Tiada lagi kaus oblong, sandal jepit, serta celana belel. Parfumku setara konglomerat, gayaku ala aristokrat. Wah, surga dunia!

"Sudah puas?" tanya si pudel.

Aku kembali terperanjat. Mungkinkah dia menyusulku sejauh itu? Kuyakin posisiku enam kilometer jauhnya dari kawasan indekos.

"Ada yang harus kita lakukan? Sebuah misi?" Aku bertanya seraya menyisir rambut di depan kaca toko sebuah mal. Kubentuk sebelah tanganku seperti pistol. "Psiuuu. Psiuuu!" Sejenak aku menirukan adegan dalam film aksi, tapi si pudel menatapku hambar.

Lagipula sebenarnya Raka-versi-bucin dan Salma telah menyepakati sebuah nama untuk anjing satu ini, tapi kini aku memutuskan untuk tidak menggunakannya.

"Ikut aku, eh," ajaknya.

Aku mengembuskan napas sebelum melangkah dengan gontai. Apa sih, yang ia inginkan?

"Pertanyaan yang tepat bukan apa-yang-kuinginkan, tapi apa yang perlu kau lihat."

Oke. Si pudel bisa membaca pikiranku juga, nih?

Kami berdua pun duduk di kursi yang menghadap sebuah akuarium besar, bak seaworld ukuran mini versi air tawar. Aku baru saja memperhatikan ikan-ikan koi saat akuarium itu sontak menggelap dan muncul garis-garis aneh; lebih mirip seperti glitch dalam sebuah video. Berikutnya, pemandangan di sana seakan dipantulkan oleh proyektor.

"Maaf, Ka. Aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita. Khamu ... terlaluh baikh hbuat akhu. Huhuhu."

Ck. Dasar wanita (bukan maksudku menggeneralisasi, tapi ini kutujukan untuk Salma). Kenapa harus pakai acara menangis segala, sih? Saat itu aku turut sedih dan kecewa. Sebisa mungkin aku menahannya pergi. Astaga, Raka versi bucin sangat menyebalkan. Baru kali ini aku membenci diriku sendiri.

Selanjutnya, tayangan saat aku dipecat kemarin. Kalian tahu fakta bahwa Salma memutuskanku satu hari sebelum aku dipecat? Dan beberapa jam setelah hubungan kami berakhir, ia mengunggah foto dirinya dengan kekasih baru di medsos? Nah. Sekarang kalian tahu.

Aku menggelengkan kepala. Nyatanya tayangan berubah lagi, kali ini ke tempat yang jauh lebih familier.

"Lihat tuh, kakak kamu. Walau perempuan, dia bisa mandiri dan dapat beasiswa ke luar negeri, jadi konten kreator pula. Jangankan motor, mobil pun dia bisa beli tunai." Itu ucapan ibu.

"Dasar anak cengeng! Mainan rusak begitu saja nangis. Nanti kamu kumpulkan uang THR-mu itu, beli baru sana. Laki-laki kok nangis, sih? Lemah kamu." Itu ucapan bapak.

Aku tertawa getir. Kenapa orang-orang kerap berbicara tanpa kendali? Kendati aku laki-laki, aku juga punya perasaan dan kelenjar air mata. Hm. Beginilah dunia manusia tanpa kemanusiaan.

What a mad, mad, mad world.

Tanpa sadar aku menitikkan air mata, tak peduli dengan reaksi si pudel.

"Kau bisa menangis sepuas yang kau mau, eh. Aku takkan menghakimi."

Sepanjang usiaku, inilah hal terindah yang pernah terjadi. Meluapkan perasaan tanpa perlu dihakimi.

"Bo-boleh aku memelukmu?"

Tak kusangka si pudel tersenyum lebar. "Tentu saja!"

Tanpa ragu aku pun mendekapnya. Ah, ternyata selembut ini bulunya. Sehangat ini pelukannya. Aku tak peduli ini nyata atau tidak, yang jelas bagiku semua ini nyata dan ini sudah lebih dari cukup untuk perayaan ulang tahunku. Astaga. Aku bahkan terharu dengan pemikiranku itu.

Kali ini aku membawa serta si pudel berkendara keliling kota. Karena ia memilih untuk bertengger di bahuku, mau tak mau aku mengemudikan motor dengan kecepatan standar. Tak masalah, sih. Aku mungkin akan kelimpungan bila tak ada teman sama sekali. Ketika aku bertanya apakah ia lapar, ia menjawab tidak. Kurasa aku juga tak butuh makan siang. Aneh, tapi beginilah adanya.

"Apa lagi yang kau inginkan di hari ultahmu, Raka?"

Aku mengembuskan napas panjang. "Entahlah. Sebagian dari diriku merasa takut untuk berekspektasi, bahkan di dunia ajaib ini sekalipun."

Tunggu. Kalimat itu keluar dari mulut seorang Raka Fauzan? Wah, wah. Sunggguh sesuatu di luar dugaan. Tapi memang benar, aku merasa ke mana pun aku membawa ekspektasi, kekecewaan senantiasa mengikuti.

"Mari berandai-andai sedikit, eh. Dunia seperti apa yang kau inginkan ketika semua hal kembali normal?"

Itu bahkan pertanyaan yang tak bisa langsung kujawab. Perlu beberapa menit hingga aku kembali berucap. "Dunia di mana orang-orang tidak memedulikanku. Kau tahu, lebih baik diabaikan daripada diganggu."

"Masuk akal. Kuharap kau cukup peduli dengan dirimu sendiri."

"Ha. Bagaimana caranya?"

"Menurutku, dengan mengenali serta menyadari pikiran serta perasaan diri sendiri. Kau tahu, beberapa pikiran begitu semu. Perasaan pun bisa saja semu. Kebahagiaan semu. Ketakutan semu. Kebencian semu."

"Contohnya?"

"Misalnya kau membenci seseorang bukan karena perilaku orang tersebut, melainkan karena bentuk kekecewaanmu terhadap diri sendiri. Kekecewaan itu lahir karena ekspektasi orang lain terhadapmu, atau standar sosial yang juga sayangnya semu."

Aku menelan ludah bersamaan dengan kedua roda motorku yang berdecit akibat rem yang cukup mendadak. Seakan dapat memprediksi, si pudel membungkuk dan perlahan kembali menegakkan tubuh.

Kebencianku pada orang-orang di sekitarku ... semu? Kebencianku pada dunia juga semu?

Aku menolehkan kepala dengan cepat. "Renata ... kaukah itu?"

"Siapa Renata, eh?" tanya si pudel.

"Maaf. Lupakan saja." Aku lantas berdeham. "Pudel, kau tahu bagaimana cara kita kembali ke dunia normal?"

"Lho, kau memohon saja lagi, sepertinya bisa."

Aku menarik napas panjang dan memejamkan mata rapat-rapat. "Tuhan, aku ingin semuanya segera kembali normal."

Masih sepi. Aku bahkan bisa mendengar suara napasku sendiri.

Pudel lantas memberi saran. "Sebaiknya kau tidak menggunakan kata 'segera'. Memohonlah sepenuh hati tanpa menuntut, Raka."

Benar juga. Seperti halnya semalam. Kembali aku memejamkan mata.

"Tuhan, aku ingin semuanya kembali normal. Kumohon. Aku akui, kebencianku pada dunia sangatlah semu. Kebencianku selama ini pada kakak perempuanku—Renata—pun semu. Kumohon berilah aku kesempatan untuk berterima kasih padanya. Biarkan aku berterima kasih pada orang-orang yang—"

Diiit. Diiit. Diiit.

"Hei, maju!"

"Kau mau mati, hah?"

"Duh, kok malah bengong?"

Makian! Tak pernah aku merasa sesenang ini karena telah dicaci maki. Senang di sini bukan dalam konteks ironi, tapi aku memang senang. Ini artinya, SEMUA TELAH KEMBALI NORMAL!

Kupacu kuda besiku menuju bangunan yang selama beberapa tahun terakhir aku huni. Dedaunan kering telah disapu. Lalu lintas kembali agak padat. Setelan pakaian baruku masih kukenakan walau bagiku warnanya sedikit pudar. Aku tidak peduli. Yang penting aku dapat segera meraih ponselku.

"Pudel? Pudel?"

Aku menggigit bibir. Sesuatu terkulai lemas di bahuku dan itu memang si pudel. Versi boneka.

Kudekap boneka itu dengan tekad akan mempertahankan alih-alih membuangnya. Kuoperasikan ponsel dan cepat-cepat kubuka pesan yang masuk beberapa jam lalu.

"Selamat ulang tahun ya, Raka. Semoga kamu senantiasa sehat dan sukses! Aku sedih kamu belum balas pesan suara sejak beberapa bulan lalu, eh. Santai aja. Kakak tetap nungguin, kok. See ya!"

Kudengarkan pula beberapa pesan suara lainnya ....

"Raka! Kamu apa kabar, eh? Aku dengar ada gempa di dekat sana. Kakak cemas nih sama kamu. Tolong segera kabari kakak, ya?"

Kusadari air mataku mulai menetes. Raka bodoh. Raka tolol! Kenapa aku tidak sedikit pun menghargai kepedulian serta ketulusannya selama ini?

Pikiran semu. Perasaan semu. Kebencian semu. Kenapa aku baru menyadari semua itu sekarang?

Setelah memastikan irama napasku kembali stabil, kutekan tombol pesan suara.

"Maafkan aku, Kak. Tanpa sadar selama ini aku membenci kakak karena aku belum bisa menjadi sosok yang berhasil seperti kakak. Aku dibutakan kebencian dan begitu pengecut sampai-sampai aku sengaja menghindar. Aku benar-benar menyesal, Kak. Aku tahu salahku mungkin nggak termaafkan, tapi seenggaknya kakak tahu aku mengakui semua ini dan sudah seharusnya aku berterima kasih. Kakak mau balas pesanku dengan ngedumel juga nggak masalah, kali ini aku pasti sungguh mendengarkan dan secepat mungkin kubalas. Terima kasih banyak, Kak. See ya."

Astaga. Alangkah leganya. Ini memang bukan hari ulang tahun terindah, tapi bagiku ini adalah hari ulang tahun terbaik. Pudel benar. Setidaknya aku peduli pada diriku sendiri. Aku hebat. Raka Fauzan hebat; kali ini kalimatku sama sekali tidak bermajas ironi. Aku hebat dengan apa pun yang telah kulalui. Aku hebat karena telah menjadi diri sendiri.

TAMAT

Juni, 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro