Tujuh
Morning!
Happy reading. 💜
***
Malam ini Kiki sengaja membawa masuk televisi berukuran 14 inci ke kamarnya. Karena Ajeng mengatakan jika ia sudah mendaftarkan mereka ke acara Grab Me! Kiki penasaran juga seperti apa acara tersebut. Informasi dari Ajeng, sih, acara itu tayang setiap hari Kamis. Seminggu sekali gitu biar bikin greget yang nonton karena nungguin.
“Malam Jumat? Itu acara nyari jodoh apa nyari setan? Uji nyali aja sekalian,” cerocos Kiki. Ia tidak habis pikir, kenapa ajang mencari pasangan malah tayang setiap Kamis malam. Kayak acara uji nyali saja.
“Yee, mana gue tahu. Coba lo tanya sama orang di sana nanti.”
“Emang seseram itu, ya, jadi jomlo sampe disamaain dengan acara berbau mistis?”
“Kata siapa?” tanya Ajeng.
“Ya, kata gue lah. Kata siapa lagi coba? Realistis ajalah. Malam Jumat kan identik sama tayangan yang berbau mistis, lah ini, di Halo TV malah nayangin acara nyari jodoh. Jomlo disamain kayak setan dong.”
Ajeng manggut-manggut, meski kurang setuju dengan argumen Kiki, gadis itu merasa ucapan temannya yang satu itu ada benarnya juga.
“Apa kita bisa ngusulin buat ganti hari aja, ya?” ucap Kiki lagi.
“Bisa, kok. Bisa. Tenang aja.”
Mata Kiki langsung berbinar. “Caranya?”
“Lo nikah sama pemilik Halo TV, terus lo suruh laki lo ngubah jam tayang Grab Me! selesai, deh, perkara hari tayangnya.”
“Kayak yakin banget yang punya Halo TV itu punya anak cowok,” cibir Kiki.
“Harus yakin dong. Lo lupa tujuan kita ikutan Grab Me! itu apa?”
“Nyari pasangan CEO,” jawab Kiki sambil manyun.
“Nah!” seru Ajeng seraya menjentikkan jarinya. “Entah CEO perusahaan apa, kita harus yakin kalau kita bakalan nikah sama CEO. Kalau kita udah yakin dan berusaha, Tuhan bakal ngabulin doa kita dengan takdir-Nya yang indah.”
Berbekal itu semua, Kiki sampai rela nyari-nyari tahu tentang Halo TV. Ternyata selain punya stasiun televisi, Yusrizal juga membangun rumah sakit di Surabaya. Rumah sakit itu sekarang dipegang anak pertamanya, Herna Yusrizal. Si Herna ini sudah nikah sama dokter spesialis bedah. Jadi wajarlah kalau si Herna-Herna ini yang megang rumah sakit di Surabaya sana.
Nah, kalau Halo TV, Kiki cuma dapat info kalau anak keduanya yang pegang. Hampir satu jam lebih ngubek-ngubek informasi di dunia maya, akhirnya Kiki dapet juga nama anak kedua Yusrizal.
“Hafsya Yusrizal,” ucap Kiki. “Cewek dong, bukan cowok. Ngapain gue mesti nguber CEO Halo TV kalau ternyata dia cewek? Sesat, nih, si Ajeng.”
Mengabaikan informasi mengenai Hafsya dan Halo TV, Kiki kembali membuka media sosial untuk melihat foto pernikahan Herna dan suaminya, lima belas tahun silam. Meski kala itu sosial media tidak seramai sekarang, akun gosip tetap aja dapet foto-foto pernikahan itu.
“Anjir! Cantik banget, dah. Kalah gue. Ibaratnya gue ini pantat panci, muka nih orang pantat bayi. Astaga dragon!”
Kiki menggeleng sambil berdecak berulang kali. Herna Yusrizal benar-benar cantik dan kinclong. Kulitnya yang kuning langsat tampak begitu bersinar.
“Orang kaya memang beda, ya. Pasti skincare-nya mahal. Eh, zaman dulu udah pake skincare, kan?” gumam Kiki. “Skincare gue aja yang biasa ada di minimarket. Hemat cuy.”
Kiki senyam-senyum sendiri mengingat ia yang begitu getol stalking Yusrizal's family. Sayang, anak kedua sekaligus terakhir Yusrizal adalah perempuan, coba kalau laki-laki seperti yang ia dan Ajeng harapkan.
“Dah, bukan rejeki.” Kiki menutup kisah dan kembali fokus pada layar televisi.
Intro pembuka Grab Me! mulai terdengar. Kiki langsung menegakkan punggungnya dengan bantal di pangkuan. Mata gadis itu bahkan nyaris tidak berkedip melihat jalannya acara.
“Welcome to Grab Me!!”
Suara tepuk tangan langsung membahana saat seorang lelaki memasuki panggung acara. Kamera kemudian berubah, menyorot para penonton yang tengah duduk rapi di kursi masing-masing.
“Seminggu sudah berlalu sejak pertemuan terakhir kita. Di minggu yang lalu, ada dua jomlowati kita yang menemukan jodohnya. Bagaimana dengan malam ini? Ladies and gentleman, mari kita sambut jomlowati kita malam ini!” ucap Roy Silam, sang pembawa acara.
Tak berselang lama, diiringi tepuk tangan penonton dan lagu barat—yang Kiki tidak tahu apa judulnya—para wanita-wanita jomlo mulai memasuki panggung. Mulut Kiki ternganga lebar saat melihat rupa dan style fashion para wanita itu.
“Buset dah! Kena banting muka gue sama Ajeng ntar. Kinclong-kinclong banget. Bajunya juga bagus-bagus.”
Kiki berdecak, menggelengkan kepala. Gadis itu kembali terkejut saat matanya menatap seorang gadis berambut ikal yang bajunya menampakkan bagian tubuhnya yang menonjol. Mengeluarkan kesan seksi pada gadis yang memang rupawan itu.
“Astaghfirullah! Itu dada ayam apa dada manusia? Dijual murah banget.”
Sampai sekarang, Kiki tidak habis pikir ada wanita yang mengobral asetnya secara cuma-cuma seperti itu. Memang, sih, hal seperti itu sudah biasa terlihat, tapi sebagai sesama wanita, Kiki risi juga. Alasan mereka yang sering pamer dada dan paha, sih, karena percaya diri. Seksi sama dengan percaya diri.
Ah, entah, deh. Kiki nggak mau terlalu ambil pusing. Ribet banget ngurusin orang. Toh yang punya badan aja nggak keberatan. Dosa kan ditanggung sendiri, bukan Kiki yang tanggung.
Setelah perkenalan singkat para jomlowati yang telah menempati bilik kaca masing-masing, tayangan Grab Me! kini telah berganti menjadi iklan salah satu pewangi pakaian. Bosan karena harus menunggu, Kiki pun mengambil ponselnya dan menghubungi Ajeng.
Entah memang tengah stand by di dekat ponsel atau terlalu jomlo hingga gesit saat ponselnya berdering, panggilan Kiki langsung Ajeng jawab tanpa perlu banyak menunggu.
“Kenapa, Ki?”
“Gue lagi nonton Grab Me!, nih,” lapor Kiki tanpa diminta.
“Sama. Gue juga lagi nonton.” Ajeng menjawab dengan kalem. “Gimana? Gimana? Tertarik, kan, lo buat ikutan?”
“Ya, nggak yang tertarik banget, sih, tapi lumayanlah. Siapa tahu emang dapet jodoh beneran dari sana. Kan kita nggak tahu dari jalan apa jodoh bakalan dateng, sama kayak maut.”
“Duh, malem Jumat malah bahas-bahas maut. Merinding gue.”
“Lah, kan bener? Maut, rejeki, jodoh, kita nggak ada yang tahu.”
“Iya, udah, udah. Bahas Grab Me! lagi aja.”
“Iya, iya.” Kiki mengalah. “Eh, Jeng, beneran, nih, kita ikut acara ginian?”
“Lah? Kenapa emang? Jangan bilang lo mau mundur, ya. Gue udah daftarin kita bedua. Susah tahu daftar nih acara. Mesti berperang melawan sinyal yang super duper lelet. Apalagi pas hujan. Lagian, bukan kita aja yang daftar lewat online, hampir seluruh Indonesia, Ki. Bayangin! SELURUH INDONESIA!”
Kiki menjauhkan ponselnya dari telinga, mendengar suara Ajeng yang berapi-api. Bahkan gadis itu sengaja menekankan suaranya di kalimat terakhir.
“Iya, iya, nggak usah ngegas gitu, bisa kali.”
“Habisnya lo ngeselin. Kayak pup ayam. Anget-anget pup ayam.”
“Mulut lo minta dilakban beneran, deh, Jeng. Nggak berfaedah banget.”
“Bodoh amat. Daripada gue manis-manis di depan, tahunya pedes di belakang. Mendingan gini."
Benar juga, pikir Kiki.
“So, kenapa lo jadi ragu gini? Kemarin semangat juga, terus ragu, udah yakin, sekarang ragu lagi? Kenapa zheyeng?”
“Gue takut kebanting,” ujar Kiki jujur.
“Kebanting? Emang lo ikut kejuaraan karate? Ini ajang nyari jodoh, Say. Bukan kejuaraan bela diri. Ngapain lo takut kebanting?”
“Udah salah, nyolot pula!” dumel Kiki. “Bukan kebanting itu yang gue maksud, Juleha! Kebanting yang gue maksud itu, muka yang ikut Grab Me! kinclong-kinclong semua. Lah, kita? Nggak ada jerawat aja udah sujud syukur.”
“Astaghfirullah, Esmeralda!” pekik Ajeng di seberang sana. Kembali Kiki menjauhkan ponselnya dari telinga. Bisa tuli mendadak, nih, si Kiki kalau kelamaan denger suara Ajeng.
“Selow aja napa, sih? Lo kepengen apa gue jadi budeg gara-gara suara cempreng lo?”
“Nih, dengerin gue, ya. Kaca udah segede gaban tuh di kamar lo, dipake buat ngaca, bukan pajangan doang.”
“Apa hubungannya?”
“Lo itu cantik, gue juga, sih.” Ajeng tentu tidak mau kalah. “Lo nggak usah takut kebanting sama mereka yang udah ikutan Grab Me! duluan. Kita udah cantik, sejajar sama mereka.”
“Oh gitu.”
“Gini aja respons lo? Kecewa gue, Ki.”
“Lah? Emang lo maunya yang kayak gimana? Gue mesti salto, gitu?”
“Ah, serah lo, deh. Males gue. Ya udah, gue mau lanjut nonton lagi. Udah habis nih iklannya.”
“Sama. Gue juga mau nonton.”
Kali ini, Kiki yang memutuskan sambungan telepon. Wajah Roy Silam kembali menyapa matanya. Lelaki ganteng itu cukup memanjakan mata Kiki yang tidak pernah lagi menatap lelaki lain untuk cuci mata. Gimana mau ketemu orang, kalau kerjaan Kiki cuma di rumah aja. Keluar rumah pun kalau disuruh ke warung beli bumbu instan.
“Ganteng, sih, tapi sayang udah nikah. Masa gue mau pepet cowok yang udah punya istri? Nggak banget, deh. Kayak nggak ada cowok lain aja di dunia ini,” monolog Kiki setelah mengagumi wajah Roy Silam di layar kaca.
Sibuk menatap wajah Roy Silam, Kiki bahkan tidak sadar jika ada seorang lelaki yang tengah berdiri di sebelah sang pembawa acara. Lelaki yang tidak kalah rupawan dari Roy Silam.
“Nah, para ladies, malam ini kita kedatangan seorang jomlowan yang tengah mencari pasangan. Kalian kah pasangan yang ia cari? Jangan matikan lampu kalian sebelum melihat profil mengenai jomlowan di sebelah saya ini.”
Kemudian layar berganti. Menampilkan video singkat mengenai keseharian sang jomlowan yang bernama Ridho.
“Hai, para jomlowati, kenalin, gue Ridho,” sapa Ridho di video tersebut. Sedangkan Ridho versi asli, tengah mengembangkan senyumnya yang cukup menawan.
Kiki terlalu fokus melihat video singkat mengenai Ridho. Singkat cerita, ternyata si Ridho ini punya jabatan yang cukup tinggi di salah satu bank swasta. Usianya akhir dua puluhan, sudah memiliki rumah sendiri, walaupun di komplek perumahan KPR. Menurut pengakuan si Ridho, sih, dia beli tu rumah secara lunas. Jadi nggak perlu takut sama cicilan. Ridho juga bilang, dia nggak suka ngutang. Kecuali kalau kepepet banget.
“Idaman gue banget, nih. Gue juga nggak suka ngutang.” Kiki terkekeh sendiri.
Setelah video singkat tersebut selesai diputar, Roy Silam pun mempersilakan para jomlowati untuk mematikan lampunya jika menolak Ridho. Kiki tercengang saat satu per satu lampu mulai padam hingga menyisakan setengah dari populasi para jomlowati itu.
“Gila, lo ditolak, man,” ucap Kiki, prihatin.
Kemudian Roy Silam mendekati salah satu jomlowati yang memadamkan lampunya. Kiki nyaris tersedak ludahnya sendiri saat menyadari jika jomlowati yang didekati Roy Silam adalah wanita yang ia sayangkan, karena memamerkan dada dan pahanya secara gratis.
“Oh, namanya Clara.” Kiki manggut-manggut setelah mengetahui nama si gadis, dari tulisan di layar.
“So, Clara, kenapa kamu memadamkan lampumu?" tanya Roy Silam.
Clara memasang wajah jutek, tangannya yang ia silangkan di bawah dada, seolah ingin menampakkan dadanya yang berukuran cukup besar. Kiki sampai membandingkan dadanya dengan dada si Clara itu.
“Dia terlalu kere buat gue,” jawab Clara.
Kiki nyaris terjungkal ke belakang setelah mendengar jawaban Clara.
“Buset, dah. Matre amat nih orang.” Kiki tidak habis pikir dengan jalan pikiran si Clara. Kalau Kiki yang dapet cowok modelan si Ridho, dia bakal bersyukur banget. Secara, saat ini nggak ada cowok yang deketin dia. Kan miris banget.
Setelah berbagai tahap yang mesti dilewati untuk mendapatkan sang pujaan hati, akhirnya pilihan Ridho jatuh pada Rika. Cewek yang kelihatan kalem dan baik hati dan tidak sombong, jika dibandingkan dengan Clara yang songong itu.
Asyik menonton Grab Me! membuat Kiki tidak sadar jika malam sudah larut. Acara yang ditayangkan selama satu setengah jam itu—termasuk iklan yang lamanya kebangetan—harus berakhir dengan tiga dari lima jomlowan yang akhirnya menemukan pasangan.
Mematikan televisinya, Kiki yang memang sudah mengantuk pun langsung terlelap.
***
Masih setia, kan, nungguin update cerita 'Kebelet Nikah dengan CEO'? Tentunya masih dong! Iya, kan?
Daripada bengong di rumah, mending baca Kebelet Nikah dengan CEO dong. Hihi.
Xoxo
Winda Zizty
20 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro