Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga Puluh Tiga

Happy reading. 💜

***

Saat masih jadi pengangguran, Kiki selalu berdoa agar ia bisa bekerja. Setiap kali melihat blazer di gantungan lemari, ada sedih dalam dada yang tidak bisa ia suarakan. Sekarang, saat keinginan itu terkabul dan ia sudah bisa mengenakan blazer-blazer yang ia cicil di lemari saat menganggur, Kiki merindukan masa menganggurnya. Terlebih kini Hansya tidak segan mengajaknya lembur. Mengingat pergantian tahun akan segera datang.

“Pulang aja, biar gue yang nge-handle,” ujar Andre saat mendapati Kiki berulang kali menguap.

“Ah, nggak usah, Kak,” tolak Kiki cepat, “bentar lagi juga kelar.”

Akhir-akhir ini tugasnya semakin menumpuk, begitu pula Andre. Namun sebisa mungkin Kiki menyelesaikan tugasnya, tanpa bantuan Andre.

“Ki, gue pulang duluan,” sahut Andre, saat Kiki berada di pantry. Gadis itu tengah membuat kopi untuk Hansya yang masih berada di ruang kerjanya.

“Ah, iya, duluan aja nggak pa-pa, Kak.”

Andre mengangguk. Lelaki itu hendak berlalu dari pintu pantry, tetapi seolah teringat sesuatu, ia kembali memutar tubuh menghadap Kiki.

“Ki, gue titip Hansya, ya. Dia kayaknya nggak enak badan.”

“Ah, iya.”

Sepeninggal Andre, Kiki gegas menuntaskan kegiatannya. Menuju ruangan Hansya dengan secangkir kopi di tangan. Sang CEO tampak tengah terlelap di atas meja dengan kepala menunduk. Berbantalkan lengan yang ditekuk.

“Pasti pas bangun badannya jadi pegel,” gumam Kiki, sembari meletakkan cangkir kopi, tidak jauh dari lengan Hansya.

Kiki sudah hendak meninggalkan Hansya, memberi ruang untuk sang bos beristirahat. Namun sesuatu menarik perhatian Kiki. Sebuah kotak beludru yang ia yakini sebagai kotak cincin yang terletak di salah satu sisi meja. Kiki hendak abai, tetapi rasa penasarannya membuat gadis itu kembali mendekat.

Melirik Hansya dan kotak cincin itu berulang kali, Kiki mengembuskan napas panjang. Ia tahu tindakannya ini sudah melewati batas, tetapi ia sangat penasaran. Diraihnya kotak cincin tersebut dan seketika terkesima melihat isinya yang begitu cantik.

Meletakkan kembali kotak cincin itu ke posisi semula, Kiki pun merapal maaf dalam hati atas kelancarannya menyentuh barang milik Hansya tanpa izin. Namun saat Kiki hendak menarik tangannya, tanpa ia duga Hansya menahan jemarinya. Suhu tubuh Hansya yang lebih hangat dari miliknya membuat Kiki terkinjat.

“Kamu bisa bawa mobil?”

Suara serak Hansya membuat jantung Kiki jumpalitan. Satu sisi ia takut Hansya memarahinya karena telah lancang, sisi yang lain ia khawatir karena seperti yang Andre katakan, sang bos memang tengah tidak dalam kondisi yang prima. Hansya diserang demam.

“Ah, bisa,” jawab Kiki.

“Tolong antarkan saya pulang.”

Kiki tercengang untuk beberapa saat. Bodohnya lagi, ia menyanggupi Hansya untuk mengantarkan lelaki itu pulang.  Gadis itu dilanda kebingungan untuk beberapa detik sebelum logika kembali mengambil alih.

Gegas ia keluar dari ruangan Hansya demi memanggil satpam. Membantunya menuntun Hansya menuju mobil di parkiran.

Begitu sudah di dalam mobil, Kiki kembali merutuki kebodohannya yang lain. Diliriknya Hansya yang tidak berdaya di kursi penumpang di sampingnya. Mata lelaki itu terpejam dengan keringat yang membasahi dahi.

“Ehm, Pak,” panggil Kiki pelan. “Saya ... saya lupa nggak bisa nyetir mobil.”

Mata Hansya yang terpejam, perlahan terbuka. Meski di bawah keremangan cahaya malam, Kiki tahu, ada percikan amarah di mata Hansya. Alih-alih memarahi Kiki, Hansya malah mengulurkan ponselnya kepada gadis itu.

“Telepon sopir saya. Suruh dia datang dan antarkan saya ke apartemen,” titah Hansya yang tidak mungkin Kiki tolak.

“Baik, Pak.”


***


Harusnya Kiki pulang dan beristirahat di rumahnya. Merebahkan diri di atas kasur yang seolah sudah seabad ia tinggalkan. Namun menilik keadaan Hansya dan dilandasi rasa kemanusiaannya, Kiki memilih menetap di apartemen lelaki itu. Merawat Hansya yang kini tengah terlelap setelah sedikit terpaksa meminum obat.

Kiki sudah menghubungi Lira jika ia tidak bisa pulang ke rumah hari ini. Berbohong dengan mengatakan akan menginap di rumah Ajeng. Tentu saja ia sudah menghubungi Ajeng terlebih dahulu. Tidak lupa petuah Ajeng yang mengatakan bahwa tidak seharusnya Kiki memilih menginap di apartemen Hansya. Bagaimanapun kondisi lelaki itu.

“Aku bisa jaga diri, nggak usah khawatir.” Hanya itu yang bisa Kiki katakan sebelum menutup sambungan telepon dengan Ajeng. Ia tahu pasti, begitu bertemu muka dengan Ajeng, gadis itu kembali akan merapatkan kalimatnya pada Kiki. Setidaknya untuk saat ini, Kiki menunda semua kalimat yang akan Ajeng lontarkan.

Kiki duduk di pinggir ranjang, memeriksa kain di dahi Hansya yang ia gunakan untuk mengompres. Saat dirasanya kain tersebut sedikit mengering, kembali ia merendamnya ke air perasan jeruk nipis. Kiki begitu telaten merawat Hansya sepanjang malam itu hingga mengganggu jam tidurnya.

Entah di pukul berapa Kiki jatuh tertidur, hingga ia tidak menyadari sepasang mata yang menatap wajahnya tanpa berkedip.


***


Kiki tersentak bangun dari tidurnya saat suara bel menyapa gendang telinga. Sontak ia berdiri melirik sekilas pada Hansya yang masih tertidur sebelum menuju pintu depan. Netra Kiki membola maksimal mendapati seorang gadis tengah menatapnya dengan ekspresi yang sama.

Melirik name tag di snelli yang tersampir di lengan gadis di hadapannya, Kiki tahu gadis itu bernama Imelda.

“Hansya ada?” tanya Imelda setelah kedua gadis itu selesai saling menilai satu sama lain.

“Ah, iya, ada.”

“Aku boleh masuk?” tanya Imelda lagi, karena tubuh Kiki masih menutupi daun pintu. “Kamu sekretaris Hansya yang baru, kan?”

“Ah, iya, benar.”

Tanpa Kiki duga, Imelda tersenyum dan mengulurkan tangan.

“Perkenalkan, aku Imelda, teman Hansya. Aku mendengar Hansya semalam sakit dari Pak Yusrizal, jadi beliau menyuruhku ke mari untuk mengecek kondisi Hansya.”

“Ah, begitu. Aku Kiki.” Menjabat uluran tangan Imelda, Kiki pun sedikit menggeser tubuh. Memberi celah agar Imelda bisa masuk. “Pak Hansya masih tidur.”

“Terima kasih,” ucap Imelda, masih dengan senyum di wajah.

Seolah sudah terbiasa dengan apartemen Hansya, Imelda langsung menuju kamar lelaki itu tanpa perlu Kiki beritahu. Begitu daun pintu kamar Hansya terbuka, baik Kiki maupun Imelda sama-sama terkejut mendapati lelaki itu telah terjaga. Bersandarkan bantal di kepala ranjang, Hansya menatap keduanya.

“Ah, Pak Hansya, ini ada Bu Imelda. Beliau ke sini untuk mengecek kondisi Pak Hansya,” jelas Kiki.

“Panggil Imelda saja,” koreksi Imelda.

“Ah, baik.”

“Aku baik-baik saja,” ucap Hansya saat Imelda sudah berdiri di sisi ranjang.

“Papamu khawatir begitu tahu kamu demam semalam. Makanya tadi subuh Om Yusrizal menelepon dan memintaku untuk ke sini,” jelas Imelda tanpa diminta.

“Aku baik-baik saja,” ulang Hansya. “Lagi pula, semalam ada Kiki yang sudah merawatku. Demamku sudah turun dan kamu boleh pulang.”

Imelda tersentak. Meski sudah terbiasa dengan penolakan Hansya, tetapi fakta lain yang ia dengar membuat sesuatu di dadanya bergemuruh. Susah payah ia menarik kedua sudut bibir dan melirik Kiki.

“Ah, syukurlah. Kamu beruntung punya sekretaris seperti Kiki.”

“Kamu tidak perlu repot-repot ke sini,” kata Hansya.

Imelda mengangguk singkat. Pelupuk matanya memanas tanpa bisa ia cegah. Sekuat tenaga ia mencoba agar air matanya tidak jatuh. Tidak saat ada Kiki yang notabene orang asing dan baru ia temui hari ini.

“Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu. Kiki, terima kasih sudah merawat Hansya semalam.”

Setelah mengatakannya, Imelda berlalu dari kamar Hansya. Kiki yang tidak mengerti dengan situasi apa yang tengah terjadi, hanya bisa menatap keduanya dengan bingung. Melihat punggung Imelda yang makin menjauh, Kiki pun berinisiatif mengantar gadis itu hingga ke pintu depan.

“Hati-hati di jalan,” ucap Kiki tulus.
Berbalik, Imelda menggaris senyum tipis.

“Ya, terima kasih.”

Entah mengapa, melihat langkah Imelda yang menjauh, sedikit menyubit hati Kiki. Merasa ada sesuatu yang seolah menyakiti gadis itu sebelum akhirnya memilih pergi dari apartemen Hansya. Meski tidak tahu dengan jelas apa, tetapi sebagai wanita, melihat ekspresi Imelda tadi, Kiki seolah turut merasakan terluka.

“Lagian, Pak Hansya kelewatan banget, orang mau jenguk, malah responsnya dingin banget,” gerutu Kiki, tidak suka.

Setelah tidak lagi menangkap sosok Imelda, barulah Kiki menutup kembali pintu. Melangkahkan kaki menuju kamar Hansya. Seperti halnya Imelda, Kiki juga berniat untuk pamit pulang. Seingatnya, Hansya berkata ia sudah baik-baik saja. Berarti tugas Kiki pun sudah selesai.

“Pak, saya ....”

Kiki tidak jadi melanjutkan kata-katanya saat mendapati Hansya menatap kosong pada pemandangan di luar jendela. Berdiri di sana dengan bermandikan cahaya matahari pagi. Kiki tercenang, pun gemuruh dalam dada yang seketika muncul tanpa bisa ia cegah.

***

Siapa yang masih nungguin Hansya-Kiki?

Jangan kabur, karena Hansya-Kiki masih belum selesai.

Terima kasih sudah menunggu cerita ini.

Xoxo

Winda Zizty
18 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro