Tiga Puluh Sembilan
Happy reading.
***
Sebenarnya, Kiki juga tidak tahu apa yang ada di hati dan pikirannya. Keduanya sama sekali bertolak belakang, hingga titik temu itu tidak ia temukan. Seharian ini ia habiskan berdiam di kamar. Memandangi layar laptop yang berisikan lembaran Microsoft Word.
“Gue mesti gimana?” monolog Kiki.
Mendesah panjang, gadis itu lantas menunduk. Masuk ke lipatan tangan di atas meja. Ia benar-benar dilanda frustrasi. Akhir pekan yang seharusnya ia gunakan sebagai waktu untuk bersantai, malah ia gunakan untuk berpikir yang tidak-tidak.
Membulatkan tekad, Kiki mengangkat kembali wajah yang sempat tertunduk itu. Kembali meletakkan jemari di atas keyboard dan menumpahkan apa yang seharusnya ia ketik di sana.
Surat pengunduran diri.
Tiga kata itu menjadi judul dari lembar kerja yang kini tengah ia hadapi. Bukan tanpa sebab Kiki menulisnya, ia hanya tidak mau berada dalam lingkungan kerja yang membuatnya tidak nyaman. Dalam hal ini tentu saja keberadaan Hansya membuatnya semakin tidak nyaman bekerja.
Jika membahas gaji dan fasilitas yang ia dapatkan, tentu Kiki amat sangat bersyukur. Sebab di masa sekarang, mendapatkan pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Hanya saja, batinnya selalu menolak tiap kali ia bangun pagi untuk berangkat kerja.
Ini sudah keputusan final dan Kiki berharap ke depannya ia tidak akan menyesal dengan apa yang telah dipilih. Meski sekarang belum ada lowongan yang ia lamar, Kiki hanya harus menenangkan dan menjaga hatinya.
Tekanan terakhir telah Kiki daratkan di keyboard. Membaca sekali agi surat pengunduran diri yang ia buat, Kiki pun langsung menekan ctrl+s. Lembaran kerja telah tersimpan dan Kiki hanya perlu mencetak dan membawanya ke kantor besok.
Mungkin terkesan mendadak, tetapi ia benar-benar sudah memikirkannya berulang kali. Keputusan ini adalah yang terbaik untuk mereka, terkhusus dirinya.
Degupan jantung Kiki meliar. Suara detakan jam seolah saling berlomba dengan detak jantungnya hingga Kiki merasa bisa mendengarnya. Mesin printer tengah memuntahkan kertas bertuliskan surat pengunduran dirinya dan Kiki menatapnya tanpa berkedip.
Dokumen sudah sepenuhnya tercetak. Entah kenapa saat membaca kembali surat pengunduran dirinya, Kiki rasanya ingin menangis.
***
Kiki datang lebih awal. Membersihkan meja Hansya dan menyusun dokumen-dokumen yang akan dibaca lelaki itu nanti. Kantor perlahan-lahan mulai ramai, tetapi Hansya belum datang.
Berdiri di tengah ruangan Hansya, pandangan Kiki menyapu sekeliling. Senyum teramat tipis tergaris di wajah gadis itu. Berbanding terbalik dengan sorot sendu yang terpancar di matanya.
Entah kapan Hansya akan mengabulkan permintaannya untuk mengundurkan diri, Kiki hanya tahu, ia mungkin akan merindukan berada di ruangan ini. Merindukan masa-masa bekerja di kantor dan menerima gaji bulanan secara rutin di tanggal yang sama.
Setelah puas memandang sekeliling, Kiki mundur selangkah sebelum berbalik. Kaki yang hendak melangkah itu seketika terhenti, tatkala netra Kiki menangkap sosok Hansya yang berdiri di depan pintu.
Terlalu fokus dalam lamunan atau memang langkah Hansya yang terlampau pelan, hingga Kiki sama sekali tidak mendengar suara langkah sang CEO yang berbulan-bulan ini Kiki dengar. Memasang senyum terbaik, Kiki menunduk pelan menyambut kedatangan Hansya.
“Pagi, Pak,” sapa Kiki.
“Ya, pagi.”
Hansya berjalan melewati Kiki menuju meja kerjanya. Mengambil tablet yang ia letakkan di meja khusus untuk menyambut tamu, Kiki pun mendekati Hansya yang sudah duduk di kursi kebesarannya.
“Pak. Ini jadwal Anda hari ini.”
Kiki memberikan tablet pada Hansya yang langsung diterima lelaki itu. Gaya khas Hansya yang menggulir layar tablet tidak luput dari pandangan Kiki. Mungkin Kiki juga akan merindukan pemandangan ini. Wajah dingin sang pemimpin saat membaca jadwal kegiatannya, juga kerutan kecil di dahinya saat mendapati hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginannya.
“Kiki, bisa mundurkan jadwal saya siang nanti?” tanya Hansya sembari mengembalikan tablet pada Kiki.
“Kenapa, Pak?”
“Saya ada urusan di luar.”
“Ah, baik, Pak,” jawab Kiki patuh.
“Kamu ikut saya nanti siang.”
“Ah?” Kiki langsung mengalihkan pandangannya dari layar tablet ke Hansya.
“Temani saya ke sana,” ucap Hansya.
“Ah, baik, Pak.”
Tidak ada bantahan. Setelah mengatur ulang jadwal Hansya dan disetujui lelaki itu, barulah Kiki keluar dari sana. Duduk kembali di meja kerjanya, netra Kiki teralihkan pada sebuah amplop coklat di atas meja. Menatap amplop itu dan pintu ruangan Hansya secara bergantian, desahan napas Kiki terdengar begitu berat.
***
Kiki tidak tahu ke mana Hansya akan membawanya. Lelaki itu hanya fokus mengendarai mobil dan Kiki tidak ada niat untuk bertanya apalagi mengganggu Hansya. Kawasan pinggiran kota kini mereka lewati dan Kiki tahu mereka tidak akan kembali lagi ke kantor setelah ini.
Menatap jalanan di luar sana, Kiki merasa familiar. Menggali ingatannya, Kiki membelalakkan mata saat tahu ke mana arah tujuan mereka. Rumah yang tempo hari ia datangi bersama Hansya. Kenapa Hansya membawanya kembali ke rumah itu?
Namun pertanyaan Kiki tidak terjawab karena gadis itu tidak menyuarakannya. Benar seperti apa yang Kiki duga, Hansya menghentikan mobil tepat di depan rumah. Melepaskan sabuk pengaman, Hansya melirik Kiki sekilas sebelum turun. Mau tidak mau Kiki mengikuti Hansya yang sudah lebih dulu masuk.
Kali ini, suasana rumah lebih nyaman dari sebelumnya. Nampaknya Hansya menyuruh seseorang untuk membersihkan rumah hingga kini terasa lebih terang dan layak huni.
Langkah kaki Hansya membawa mereka kembali ke ruangan berisikan foto Hansya dan Haru. Perasaan tidak nyaman itu kembali hadir saat melihat Hansya begitu lekat memandangi potret Haru yang sudah tidak bisa ia lihat lagi di dunia nyata.
“Kamu pasti bertanya-tanya kenapa saya membawa kamu ke sini. Baik itu beberapa hari yang lalu atau sekarang.”
Kiki cukup terkejut saat mendengar Hansya bersuara. Membuka percakapan sekaligus menyuarakan isi hati Kiki.
“Jujur saja, saya juga tidak tahu kenapa saya membawa kamu ke sini.”
Kiki tidak bersuara. Menyimak ucapan Hansya tanpa sedetik pun melepas pandangan dari wajah Hansya yang ia lihat dari samping. Ia tidak ingin menyela ucapan Hansya, karena Kiki juga tidak tahu kalimat apa yang pantas ia ucapkan dari bibirnya.
“Saya begitu mencintai Haru,” ucap Hansya. “Namun Tuhan lebih menyayangi Haru hingga mengambilnya kembali tepat di hari pernikahan kami.”
Mata Kiki melebar. Informasi ini benar-benar mengejutkannya. Kiki hanya mengira Haru meninggal, tanpa tahu jika gadis itu pergi di hari yang begitu ia tunggu-tunggu. Kiki tidak menyangka jika Hansya kehilangan Haru di hari pernikahan mereka.
“Pak, saya—”
“Kamu tidak perlu mengasihani saya,” potong Hansya. “Saya baik-baik saja. Setidaknya itu yang saya pikirkan selama tujuh tahun ini. Namun ternyata, saya tidak baik-baik saja setelah kepergian Haru.”
Tanpa Kiki sadari, mata Hansya sudah memerah. Tidak sedikit pun ia melepaskan pandangan dari wajah Haru. Wajah yang ia rindukan. Senyum yang menyejukkan hatinya di kala amarah datang.
“Saya begitu terpukul. Saat itu Haru hendak menyeberang jalan, menuju gedung pernikahan kami. Namun siapa sangka, sosoknya yang saya lihat di pinggir jalan akan menjadi saat terakhir saya melihat senyuman itu di wajahnya secara langsung. Haru tertabrak dan meninggal di tempat. Dunia saya seketika runtuh dan merasa tidak ada yang akan bisa menggantikan Haru di hati saya.”
Suasana yang berubah sendu ini sama sekali tidak diharapkan Kiki. Ia ke sini dengan hati yang bimbang karena ingin mengundurkan diri, tetapi Hansya malah menambah sesak di dadanya. Potongan kejadian itu kini seolah tergambar jelas di depan mata Kiki.
Haru yang telah didandani begitu cantiknya dengan gaun pengantin, harus mengembuskan napas terakhirnya di hari bahagianya. Bahkan janji suci itu belum sempat terucap. Kiki tidak bisa membayangkan jika dirinya yang ada di posisi Haru maupun posisi Hansya.
“Orang tua saya sudah mencoba segala cara agar saya bisa melupakan Haru, tapi tetap saja saya tidak bisa. Haru sudah terlalu melekat di otak dan hati saya hingga tidak dapat tergantikan.”
Kiki tersentak kaget saat Hansya berbalik dan menatapnya. Namun yang membuat Kiki terkejut adalah mata Hansya yang memerah menahan tangis. Jika saja Hansya adalah kakak atau adik kandungnya, tentu Kiki tidak akan segan memeluknya. Namun sayang, Hansya bukan keluarganya. Kiki tidak ingin Hansya berpikiran lain jika ia tiba-tiba memeluknya dan hubungan mereka akan kian canggung.
“Saya tahu kamu mendengar percakapan saya dan Papa di Surabaya dan saya meminta maaf untuk itu. Saya tidak ingin membebani kamu dan saya juga tidak akan memaksa kamu untuk mencintai saya. Mungkin alasan saya membawa kamu ke sini agar kamu bisa tahu kenapa saya masih melajang hingga detik ini.”
Kejutan lain yang Kiki terima. Ia sama sekali tidak menyangka jika Hansya tahu fakta satu itu. Kiki kira baik Hansya maupun Yusrizal tidak mengetahui keberadaan Kiki yang mencuri dengar percakapan mereka. Ternyata dugaannya salah.
“Papa sengaja merekrut kamu dengan harapan agar kita bisa jatuh cinta dan menikah. Namun rencananya tidak berhasil, bahkan kamu sudah mengajukan surat pengunduran diri.”
Hansya merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan sebuah amplop. Kiki benar-benar tidak menyangka jika surat pengunduran dirinya pun bisa Hansya ketahui. Lebih parahnya lagi surat pengunduran dirinya sudah berada di tangan Hansya.
“Kenapa suratnya bisa ada di tangan Bapak?” tanya Kiki heran.
“Saya sudah membacanya dan saya sudah menghubungi pihak HRD. Saya sudah menyetujui pengunduran dirimu. Minggu depan kamu sudah tidak perlu lagi datang ke kantor. Kamu hanya perlu mengatur jadwal saya maksimal sampai bulan depan.”
Kiki benar-benar tercengang.
“Terima kasih sudah menjadi sekretaris saya. Maaf jika selama kamu bekerja dengan saya, justru menambah beban di hidupmu.”
Hansya memasukkan kembali amplopnya ke saku jas. Tersenyum samar, lelaki itu menepuk bahu Kiki dan berlalu. Sepeninggal Hansya, Kiki masih bergeming. Sentuhan Hansya tadi entah kenapa membuat dadanya sesak.
Seolah kesedihan yang terlihat di mata Hansya berpindah tempat hanya melalui sentuhan seringan bulu. Tanpa bisa dicegah, Kiki menangis dalam diam.
***
Astaga, ikutan nangis nulis bab ini.
Oh iya, cerita ini tinggal satu episode lagi. Mungkin dalam waktu dekat endingnya bakal aku update.
Sekalian mau ganti judul juga. Ada rekomendasi judul dari kalian?
Terima kasih banget untuk kalian yang udah nungguin cerita ini setelah satu tahun aku tulis. Membaca dan mungkin juga merekomendasikan cerita ini pada teman kalian. Aku sangat menghargainya.
Setelah cerita ini tamat, aku akan nulis cerita yang lain. Tungguin aja, ya.
Xoxo
Winda Zizty
Palembang, 26 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro