Tiga Puluh Dua
Happy reading. 💜
***
Kiki sudah meminta izin dengan Lira jika hari ini ia pulang sedikit malam dari biasanya. Namun ia tidak mengatakan jika sang bos memboyong gadis itu ke rumahnya untuk bertemu Yusrizal dan Alda—orang tua sang bos. Karena jika Lira tahu, bisa-bisa rentetan pertanyaan akan Kiki terima sekembalinya ia dari rumah Yusrizal.
Makan malam sudah tersaji di atas meja. Meski datang sebagai tamu dan tanpa persiapan, Kiki membantu Alda di dapur sekadarnya. Mengingat dia sendiri tidak terlalu ahli di dapur. Namun dengan senang hati Alda menerima bantuan Kiki yang dominan hal-hal kecil, seperti mencuci sayuran.
Hening yang hanya diisi suara peralatan makan yang beradu. Bahkan suara berdecap ataupun kunyahan nyaris tidak terdengar sama sekali. Ketiga orang di dekatnya makan begitu elegan, membuat Kiki berusaha agar cara makannya tidak mengganggu yang lain.
Orang kaya mah beda, batin Kiki sembari melirik tiga orang di dekatnya. Kiki jadi membandingkan dirinya dan Ajeng yang seringnya makan sambil mengobrol. Berbeda jauh dengan keluarga Yusrizal.
Ah, Kiki jadi kangen Ajeng. Apa kabar makhluk satu itu, ya? Beberapa hari tidak bertemu, rasanya seperti seabad. Sejujurnya, Kiki kangen curhat sambil maraton nonton Drakor bareng Ajeng.
“Kiki kenapa? Makanannya nggak enak?”
Sebuah tanya tertuju pada Kiki yang memang menatap tidak minat pada makanan di piringnya. Sontak Kiki mengangkat wajah dan mendapati wajah Alda yang menatapnya khawatir.
“Ah, nggak kok, Ma. Makanannya enak banget malah,” balas Kiki. Masakan Alda memang lezat, Kiki tidak berbohong demi mendapatkan penilaian plus di mata wanita itu.
“Kirain masakan Mama nggak enak. Soalnya kamu kayak lesu gitu.”
Kiki tersenyum tidak enak. Apalagi setelah ia menyadari bahwa hanya dirinya yang belum menghabiskan makan malam. Padahal tinggal beberapa suap lagi makanannya habis. Tidak ingin Alda menganggap jika masakannya tidak enak, Kiki lekas menghabiskan makan malamnya.
Kiki cukup mengacungi jempol untuk Alda yang mengerjakan semua tugas rumah tangga sendirian, tanpa mempekerjakan asisten rumah tangga. Padahal kalau dipikir-pikir, uang mereka tidak akan habis begitu saja jika mempekerjakan asisten rumah tangga.
“Mama ingin aja. Padahal Papa sering menyuruh buat nyari asisten rumah tangga,” jelas Alda, tanpa perlu Kiki bertanya.
“Emang nggak capek, Ma? Ehm, soalnya rumahnya gede gini.”
Alda tersenyum. Wanita yang tengah mengeluarkan puding dari kulkas itu menjawab, “Capek, tentu saja. Tapi Mama nggak sendiri, ada Papa yang juga turut mengerjakan pekerjaan rumah. Karena ini rumah kami, bukan rumah Mama ataupun rumah Papa.”
Kiki mengekori Alda yang membawa puding tersebut ke ruang tengah. Di mana Hansya dan Yusrizal tengah mengobrol. Membahas perkembangan Halo TV. Duduk di salah satu sisi sofa—tidak jauh dari Hansya—Kiki mendengar perihal Andre yang akan segera ke Surabaya.
“Nanti, setelah peresmian,” tutur Hansya setelah ditanyai Yusrizal. Mata lelaki itu kini terarrah pada puding di atas meja.
“Puding kesukaan kamu itu,” ucap Alda, seolah tahu arti tatapan Hansya.
Senyum kecil terbit di wajah Hansya. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama karena lelaki itu kembali memasang wajah datar. Memasukkan potongan puding ke mulutnya, Kiki melihat sorot kesedihan di wajah Hansya. Apa segitu sukanya Hansya dengan puding blueberry hingga lelaki itu terlihat ingin menangis? Atau ada hal lain di balik puding bluberi itu? Kiki bertanya-tanya, tetapi tidak mau menyuarakan.
Pukul setengah sebelas malam, akhirnya Kiki diantar pulang ke rumahnya. Kembali berdua bersama Hansya di dalam mobil dalam keheningan. Terlebih, lelaki itu lebih dingin dari sebelumnya. Kiki menjadi semakin yakin, ada sesuatu di antara Hansya dan puding blueberry yang menjadi makanan pencuci mulut mereka tadi.
Namun siapa Kiki yang berhak tahu urusan Hansya? Karena itulah, Kiki hanya bisa mengunci mulutnya rapat-rapat.
“Rumahmu di mana?” tanya Hansya saat lampu merah menghentikan laju kendaraan.
Meski heran kenapa Hansya baru bertanya sekarang, Kiki pun menyebutkan daerah tempat tinggalnya. Setelahnya, hening kembali menemani. Kiki tentu tidak tahan dengan kebisuan di antara mereka. Apalagi mengingat posisi Hansya yang merupakan atasannya. Gadis itu semakin merasa tidak enak hati.
“Mama saya cerita apa aja ke kamu?” tanya Hansya kembali. Namun netra lelaki itu masih menatap lurus jalanan di depan mereka.
“Ah, itu, Pak, ya ... nggak banyak juga, sih. Paling cerita kenapa nggak ada asisten rumah tangga, juga tentang Pak Yusrizal dan Bu Alda yang saling membantu mengerjakan pekerjaan rumah,” tutur Kiki yang mendapat respons Hansya dengan anggukan pelan.
“Itu saja?”
“Ah, iya, Pak. Itu saja.” Memangnya mau apa lagi? tambah Kiki dalam hati.
“Mama saya tidak membahas Grab Me!, kan dengan kamu?”
“Nggak kok, Pak.”
“Ya, baguslah kalau begitu.”
“Emang kenapa, Pak?” kejar Kiki, heran.
“Tidak. Tidak kenapa-napa.”
Jawaban singkat dari Hansya dan tidak ingin memperpanjang percakapan membuat Kiki tidak meminta penjelasan lebih jauh. Bahkan gadis itu tidak menyadari jika mereka sudah memasuki wilayah tempat tinggal Kiki. Jika bukan karena Hansya bertanya jalan mana lagi yang harus mereka lalui.
“Sudah sampai, Pak. Terima kasih,” ucap Kiki. Melepas seat belt, gadis itu pun lekas keluar.
Hansya menjawab dengan gumaman. Setelahnya, lelaki itu pun berlalu dari hadapan Kiki. Ketika mobil yang dikendarai Hansya tidak lagi tertangkap netranya, barulah Kiki masuk ke rumahnya. Sedikit terkejut ternyata Lira dan Wisnu masih menunggu gadis itu pulang.
“Istirahat sebentar, baru mandi,” pesan Lira yang diamini Kiki.
Setelah berbincang singkat, Kiki pun masuk ke kamar. Mengikuti saran Lira untuk beristirahat sejenak sebelum membersihkan diri. Dalam jeda itu, Kiki kembali mengingat kejadian di rumah Yusrizal. Keluarga itu begitu menerima Kiki yang baru bekerja menjadi sekretaris Hansya. Tak heran jika seringnya Kiki melihat keakraban Andre dan Hansya di kantor.
“Hansya itu jarang ke rumah sejak punya apartemen sendiri.”
Entah kenapa, kata-kata Alda tadi kembali terngiang. Sebenarnya cukup banyak yang Alda ceritakan tentang Hansya. Namun Kiki tidak mungkin menjawab pertanyaan Hansya di mobil tadi dengan membeberkan apa-apa saja yang diceritakan Alda. Bahkan ia sendiri pun heran kenapa Alda segitu terbukanya dengan Kiki yang notabene orang baru di Halo TV.
Bahkan saat mengambil puding yang sesungguhnya ada bermacam-macam rasa itu, Alda lebih memilih puding blueberry. Rasa puding favorit Hansya.
“Ah, udahlah, nggak usah dipikirin banget,” putus Kiki. “Mending gue mandi.”
**
Jalanan malam ini cukup lenggang. Melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, Hansya berkendara menuju apartemen. Meski tadi Alda mengirim isyarat agar lelaki itu menginap di rumah, Hansya dengan halus menolak. Terlebih dengan adanya puding blueberry yang menjadi hidangan pencuci mulut malam ini.
Hansya tidak tahu, apa yang sebenarnya Alda dan Yusrizal rencanakan. Permintaan agar membawa Kiki ke kediaman mereka dan berakhir dengan puding blueberry yang dihidangkan. Hansya sangat yakin jika kedua orang tuanya tahu bahwa puding blueberry merupakan makanan kecil yang selalu dibuat Haru, khusus untuk lelaki itu.
Hansya berusaha abai dengan kesedihan yang muncul dalam dadanya. Ia ingin tetap fokus mengemudi hingga selamat sampai apartemen. Meski kenangan itu mengulitinya tanpa ampun.
Harapan Hansya terkabul saat mobilnya berhasil terparkir di basemen. Melangkah dengan langkah panjang, lelaki itu menuju unitnya di lantai sembilan. Sembari menunggu lift, lelaki itu mengecek ponsel untuk melihat kabar terbaru. Namun saat tengah membaca salah satu artikel di dunia maya, sebuah notifikasi muncul di layar ponsel.
Mata lelaki itu membola saat membaca notifikasi tersebut. Menyimpan ponsel kembali ke saku jas, Hansya berusaha melupakan apa yang baru saja ia lihat. Padahal Hansya sudah berusaha untuk tidak mengingat lagi tanggal di mana ia dan Haru gagal menyatukan hati mereka di hadapan Tuhan. Namun, notifikasi yang barusan muncul, meluluhlantakkan semua pertahanan Hansya.
Beruntung, lift yang Hansya tunggu terbuka tidak lama kemudian. Gegas lelaki itu masuk dan menekan tombol menuju lantai, tempat unitnya berada. Ada dua orang paruh baya di dalam lift, yang merupakan sepasang suami-istri. Memegangi dadanya yang semakin sesak, Hansya hanya berharap lift ini cepat menuju lantai tujuannya.
Harapan Hansya terkabul. Begitu lift berhenti di lantai unitnya, Hansya gegas keluar. Ia membutuhkan kasur ataupun sofa untuk beristirahat. Tidak hanya tubuhnya yang lelah, tetapi pikirannya juga.
Tanpa menghidupkan lampu, Hansya merebahkan diri di sofa. Tubuhnya serasa tidak bertulang, napas lelaki itu pun putus-putus, seolah habis berlari kencang. Hansya tidak menyangka jika efek puding blueberry yang ia konsumsi tadi akan sedahsyat ini.
“Apa aku masih belum bisa merelakan kamu?” gumam Hansya, lirih.
Mata lelaki itu terpejam, dengan satu tangan yang menutupi dahi. Berusaha mengusir jauh kenangan yang ia lalui bersama Haru. Namun tidak bisa terulang kembali.
***
Update lagi buat kalian!!!
Kalau misal aku nggak update CEO, berarti aku update ceritaku yang lain, ya. Apalagi RIAK aku ikutkan lomba di salah satu penerbit dan DL-nya sebulan lagi. Harus aku kejar banget.
Selain itu emang aku sekarang magernya kebangetan. Padahal udah kalian tagih terus dan emang udah ngumpulin niat buat nulis. Eh, malah mager.
Semoga chapter depan lebih cepat tayangnya, ya.
Xoxo
Winda Zizty
10 Juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro