Tiga Puluh Delapan
Happy reading.
***
Kembali ke kenyataan, di mana perhatian Hansya tidaklah setulus yang diharapkan, Kiki berusaha bersikap senatural mungkin. Semua percakapan Hansya dan Yusrizal yang ia curi dengar di Surabaya, hingga perkataan Ajeng, membentuk sebuah puzzle yang sebelumnya tercerai-berai. Hansya tidak mencintai Kiki, seperti yang Ajeng harapkan.
Nampaknya memang benar. CEO yang jatuh cinta setengah mati pada sekretarisnya hanya ada di cerita daring. Ajeng terlalu membesar-besarkan kisah itu dan mengaitkannya dengan kisah pribadi Kiki. Namun realita tidak seindah imajinasi penulis yang memang sengaja dibuat untuk menuntaskan dahaga pembaca.
Kiki mendesah pelan. Setumpuk pekerjaan yang harus dia selesaikan, cukup membuat pikirannya terdistraksi. Dia tidak ingin terlalu memikirkan Hansya maupun ucapan Ajeng mengenai lelaki itu.
“Jangan mimpi, Ki. Emangnya dia siapa sampe ngebuat kamu ngerasa nggak dicintai kayak gini?”
Kiki berusaha menumbuhkan semangat diri yang sempat turun—nyaris lenyap. Ia mencintai dirinya. Karena itu, Kiki tidak mau orang lain membuatnya merasa rendah diri. Termasuk Hansya, CEO tempat ia bekerja.
Sebuah ketukan pena di mejanya membuat Kiki sontak mendongak. Gadis itu sedikit terkejut begitu mendapati sosok Hansya berdiri menjulang di hadapannya. Ia dengan sigap berdiri setelah sebelumnya menyimpan lembar kerja di Microsoft Word.
“Ada apa, Pak?” tanya Kiki.
“Pukul dua nanti ikut saya,” ucap Hansya.
“Ke mana, Pak?”
“Meeting.”
Kiki membuka mulut, hendak membalas. Namun Hansya sudah berlalu dari hadapannya. Masuk ke ruang kerjanya dan Kiki tahu jika sang CEO tidak akan keluar dari sana sebelum waktu meeting tiba.
Kembali duduk di kursinya, Kiki mendesah panjang. Melirik jam di sudut bawah layar laptop, desahan Kiki terdengar makin berat. Sekarang pukul setengah dua belas lebih sedikit. Ia masih mempunyai sisa waktu sekitar dua jam untuk pergi bersama Hansya.
Entah kenapa, Kiki sedikit sungkan pergi berdua saja bersama Hansya. Apalagi sekarang Andre sudah benar-benar pindah ke Surabaya. Ingin menjadikan Andre sebagai kambing hitam, sudah tidak bisa Kiki lakukan lagi.
Demi membunuh waktu, Kiki menyibukkan diri dengan kerjaan yang sempat tertunda. Ia bahkan menyusun jadwal Hansya untuk tiga hari ke depan. Mengecek kalender berulang kali dan mencocokkannya dengan jadwal kerja Hansya yang ia catat di buku catatan kecil.
“Kiki.”
Suara Hansya membuat jemari Kiki berhenti mengetik di atas keyboard. Tanpa perlu disuruh, Kiki menutup lembar kerja Microsoft Word dan mematikan laptop. Mengambil tasnya dan membawa perintilan lain yang dirasa perlu, Kiki menyusul Hansya yang sudah berdiri di depan lift.
Begitu pintu lift terbuka, Kiki membiarkan Hansya masuk terlebih dahulu. Memilih berdiri di belakang Hansya, Kiki mengerutkan dahi, teringat akan sesuatu. Segera ia mengambil ponsel di saku blazer, membuka aplikasi catatan dan dahi Kiki makin berkerut.
“Nggak ada jadwal meeting siang ini,” bisik Kiki
.
Menyimpan kembali ponselnya. Kiki menatap bingung Hansya yang memunggunginya.
Sebenarnya, Pak Hansya mau ke mana?
Kiki bertanya-tanya. Namun tidak jua menyuarakannya pada sang CEO.
Begitu tiba di tempat parkir, tiba-tiba Hansya menghentikan langkah. Lelaki itu berbalik dan melemparkan sesuatu dari saku celana. Dengan sigap Kiki menangkap sesuatu yang dilemparkan Hansya. Tatapan tak percaya Kiki layangkan begitu melihat kunci mobil kini berada di tangkupan tangannya.
“Kamu sudah bisa bawa mobil, ‘kan?” tanya Hansya.
“Ah, lumayan, Pak.”
“Nah. Ya udah. Ayo.”
Hansya meneruskan langkah. Meninggalkan Kiki yang masih bergeming.
“Kenapa masih bengong?”’
Suara Hansya membawa Kiki kembali ke realita. Setengah berlari ia menyusul Hansya setelah sebelumnya membuka kunci mobil. Hansya sudah duduk di bangku pengemudi di belakang saat Kiki tiba. Melihat hal itu, tanpa membuang waktu Kiki masuk dan menyalakan mesin mobil.
“Kita mau ke mana, Pak?” tanya Kiki.
Alih-alih menjawab, Hansya malah bertanya, “Mana ponsel kamu?”
“Buat apa, Pak?”
Hansya tidak membalas. Ia menyodorkan tangannya. Isyarat agar Kiki segera memberikan ponselnya. Tidak ingin menciptakan pertengkaran, Kiki mau tidak mau menyerahkan ponselnya pada Hansya. Tidak sampai semenit, Hansya mengembalikan ponsel Kiki.
“Kita ke sana,” ucap Hansya dan fokus pada ponselnya.
Melirik ponselnya, Kiki tercengang saat tahu Hansya meminjam ponselnya untuk membuka aplikasi Maps. Meletakkan ponsel di smartphone holder, Kiki pun mengendarai mobil sesuai arah yang ditunjuk aplikasi.
Tidak ada yang bersuara. Kiki fokus dengan jalanan, Hansya fokus dengan pikirannya sendiri. Menopang dagu, pandangan Hansya tidak fokus pada jalanan di luar. Lamunan Hansya melayang jauh seiring dengan waktu yang terus bergulir.
Jalanan yang sesak oleh kendaraan mulai menjauh. Kiki mengemudikan mobil ke arah daerah yang berada di pinggiran ibu kota. Gedung-gedung bertingkat kini tergantikan pepohonan dan rumah sederhana milik warga. Jalanan cukup lenggang, membuat Kiki sedikit menaikkan kecepatan. Melirik ponselnya, mereka punya waktu lima menit untuk tiba di lokasi tujuan.
Sebuah rumah bertingkat satu berada di ujung jalan yang dilalui Kiki. Melihat ke sekeliling, hanya pepohonan yang menyapa netranya. Mengecek ponsel sekali lagi, Kiki memang sudah berada di akhir perjalanan. Mobil berhenti, Kiki lantas menoleh ke belakang.
“Pak, kita sudah sampai.”
Hansya masih tak bergeming. Tatapannya lurus ke luar jendela sana. Namun Kiki merasa Hansya tidak berada di sini. Hanya sosoknya saja yang duduk di bangku penumpang, tetapi jiwanya entah berkelana ke mana.
“Pak Hansya?” panggil Kiki. Namun Hansya tetap tidak merespons. “Pak.”
Kali ini Kiki nekat menyentuh lengan Hansya. Meski sedikit kesulitan, tetapi hal itu sukses membuat Hansya tersadar.
“Ah?” Hansya menatapnya, bingung.
“Kita sudah sampai,” ulang Kiki. “Benar di sini, ‘kan, tujuannya?”
Hansya menatap sekeliling, kemudian mengangguk. “Iya, benar.”
Mengenakan kembali jas yang sempat ia tanggalkan, Hansya pun keluar dari mobil. Setelah mematikan mesin mobil dan menguncinya, Kiki pun menyusul langkah Hansya. Namun tidak seperti Hansya yang biasa ia lihat di kantor, Kiki melihat jelas tatapan penuh luka di mata lelaki itu.
Langkah yang sedikit gontai, jemari yang seolah tak bertulang saat menyentuh pagar. Kiki merasa ada sesuatu di dalam diri Hansya saat ini. Namun Kiki tidak punya hak untuk bertanya. Setidaknya, itu yang Kiki pikir.
Kecurigaan Kiki makin menjadi saat Hansya ternyata memiliki kunci rumah yang seperti sudah bertahun-tahun tidak berpenghuni. Kiki masih berdiri di halaman, meski Hansya sudah berada di dalam rumah.
Menatap sekeliling, Kiki harus berkata jujur jika suasana di rumah ini sangat menenangkan. Terlepas dari kondisi rumah dan berbagai tanaman yang tidak diurus.
“Kalau dihuni, pasti seger banget tinggal di sini.”
Kiki segera mengusir pemikiran tersebut. Lantas ia pun menyusul Hansya masuk ke rumah yang entah milik siapa. Seperti yang sudah bisa ditebak, debu yang berterbangan menyambut kedatangan Kiki. Berbagai perabotan tertutup kain putih.
Terus melangkah menyusuri ruangan demi ruangan, Kiki tak lupa mencari sosok Hansya. Langkah kaki Kiki seketika terhenti tatkala sosok Hansya yang ia cari tengah berdiri di ruangan yang Kiki tebak sebagai ruang keluarga. Jendela kaca berukuran sedang menampakkan pemandangan halaman belakang yang dipenuhi tanaman hias.
Hansya berdiri di sana. Tak bergeming menatap potret dua insan yang tergantung di salah satu sisi dinding. Mata Kiki terbeliak menatap potret tersebut. Hansya terlihat begitu bahagia bersama seorang wanita yang begitu cantik.
Senyuman hangat dan wajah bahagia itu berbeda jauh dengan apa yang Hansya tampilkan selama ini. Sosok dingin dan seolah irit bicara itu terlihat lebih manusiawi dalam potret yang abadi.
“Namanya Haru. Tunangan saya,” ucap Hansya tanpa menoleh.
Perlahan Kiki mendekat. Hingga kini ia berdiri sejajar dengan Hansya dan bisa lebih jelas memandangi potret tersebut dari jarak dekat. Meski ada seribu tanya di benak Kiki, ia tidak sampai hati untuk mengeluarkannya.
Seolah bisa membaca isi pikiran Kiki, Hansya kembali bersuara, “Kami berencana menikah ... tujuh tahun yang lalu.”
Jantung Kiki berdetak cepat. Ditatapnya Hansya dan potret tersebut, bergantian.
“Lalu ... di mana dia sekarang?” tanya Kiki akhirnya. Tidak bisa berlama-lama menahan tanya yang mendesak disuarakan. Kiki begitu penasaran dengan apa yang ia lihat. Juga alasan Hansya mengajaknya ke mari.
Hansya menoleh, tersenyum tipis. Kiki terkejut, menyadari sorot terluka di mata Hansya. Seolah beban hidup yang begitu berat kini bertumpuk di pundaknya. Kiki menyesali pertanyaannya, entah kenapa. Namun kata yang sudah terucap itu, tidak bisa ia tarik kembali.
“Dia sudah bahagia,” balas Hansya. “Di sisi Tuhan.”
Kiki kehabisan kata-katanya. Kali ini ia benar-benar merasa bersalah. Secara tidak langsung ia ikut mengorek luka di hati Hansya.
Hansya mendesah, mengusap wajahnya. Matanya memanas hanya karena kata-kata yang ia ucapkan. Hansya tahu Haru pasti sudah bahagia bersama Tuhan. Namun Hansya tidak bisa menyangkal sakit di hatinya begitu kenyataan menamparnya telak.
“Pak, maaf. Saya—”
“Tidak perlu minta maaf,” potong Hansya. “Kamu tidak salah apa-apa. Saya yang membawa kamu ke sini. Jadi wajar kalau pertanyaan itu akan muncul.”
“Tapi saya—”
“Tidak apa-apa. Saya sungguh-sungguh mengatakannya.”
Kaki Hansya melangkah. Meninggalkan Kiki yang masih menatap foto dirinya bersama Haru.
“Semoga kamu bahagia di sana. Aamiin,” harap Kiki. Memandangi foto Hansya dan Haru sekali lagi, Kiki menyeret langkah menyusul Hansya.
Kiki tidak menyangka jika Hansya kembali ke mobil. Ia kira Hansya masih akan berlama-lama di rumah itu. Namun ternyata Kiki salah.
Mesin mobil sudah dihidupkan dan Kiki sudah bersiap hendak tancap gas. Namun Hansya mengurungkan niat gadis itu.
“Tolong kunci rumahnya. Saya tadi lupa kalau rumahnya belum dikunci.”
“Baik, Pak.”
Sesuai perintah Hansya, Kiki kembali demi mengunci rumah. Setelah mengecek kembali, barulah Kiki kembali ke mobil. Tidak lupa ia kembalikan kunci itu pada Hansya yang tampak lelah.
“Ke mana lagi setelah ini, Pak?” tanya Kiki.
“Balik ke kantor saja. Setelah itu kamu boleh pulang ke rumah.”
“Baik, Pak.”
Mobil melaju, meninggalkan rumah penuh kenangan itu di belakang. Hansya memejamkan mata. Kepalanya berat dan membuatnya pusing. Ia sedikit menyesali pilihannya yang kembali mengunjungi rumah itu setelah sekian lama.
Penyesalan lain kembali mendatangi Hansya karena mengajak Kiki turut serta ke sana. Hansya sendiri tidak mengerti kenapa ia membawa Kiki ke rumah yang akan ia tempati bersama Haru.
Hansya membuka mata, memandangi Kiki yang fokus menyetir. Cukup lama Hansya melakukannya, tanpa Kiki ketahui.
***
Hola!
Apa kabar?
Maaf menggantung cerita ini terlalu lama. Tapi aku menepati janjiku untuk mengupdate cerita ini setelah lebaran.
Kiki dan Hansya kembali hadir setelah sekian lama?
Siapa yang kangen sama mereka?
Juga selamat datang untuk pembaca baru. Aku senang masih ada yang membaca dan menunggu cerita ini.
Aku usahakan akan tetap konsisten menulis kisah Kiki-Hansya sampai selesai. Tetep tungguin aja pokoknya.
Jangan tinggalin Kiki-Hansya, ya. Kisahnya belum tamat soalnya.
XOXO
Winda Zizty
04 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro