Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga Belas

Selamat malam.
Happy reading. 💜

***

Udara panas dari teriknya matahari di luar sana membuat Kiki dehidrasi. Karenanya, begitu masuk ke rumah, ia segera mengambil botol air mineral dari kulkas. Menumpahkan isinya langsung ke kerongkongannya yang kering. Setelah dahaga gadis itu sirna, ia membawa botol tersebut bersama tubuhnya ke dalam kamar.

“Baru pulang?” tanya Lira yang baru muncul dari arah depan. Sepertinya wanita itu habis bertandang ke tetangga sebelah.

“Iya, Ma,” jawab Kiki. Tidak lupa ia mencium punggung tangan Lira.

“Udah cuci kaki sama tangan belum?” tanya Lira lagi. Melihat gelagat Kiki, Lira tahu apa jawabannya.

“Hehe, belum, Ma.” Kiki cengengesan.

“Astaga, kamu ini, ya. Masa harus dibilangin lagi? Kalau dari luar, harus cuci kaki sama tangan,” omel Lira sambil geleng-geleng kepala.

“Aku cuci tangan dulu, Ma,” pamit Kiki, kemudian masuk ke kamar mandi. Sebelumnya, ia meletakkan botol minum beserta tas dan belanjaannya ke atas meja.

Setelah mencuci tangan dan kaki, Kiki kembali mengambil barang-barangnya dan hendak ke kamar. Namun langkahnya terhenti saat suara Lira kembali menyapa.

“Jangan boros, Ki. Belanjaannya banyak banget.”

“Cuma sepatu sama baju kok, Ma.” Kiki melirik kantung belanjaannya.

“Iya, tapi Mama tahu itu harganya mahal.” Lira mendesah, kemudian melanjutkan, “Ya udah, besok-besok nggak usah belanja barang mahal lagi. Inget papa kamu udah pensiun.”

Kiki mengangguk. Kemudian pamit ke kamarnya. Mendengar ucapan Lira, hati Kiki sedikit tercubit. Seperti yang Lira katakan, Wisnu—papanya—memang sudah pensiun saat ia baru masuk kuliah. Sejak saat itu, keluarganya menghemat semua biaya pengeluaran. Walaupun sebelum Wisnu pensiun pun, mereka sudah hidup sederhana, padahal keluarga mereka masuk ke dalam kategori mampu.

Membanting tubuhnya ke atas kasur, Kiki menatap kantung belanjaannya. Meski ia memang harus merogoh kocek yang cukup dalam demi sepotong gaun semi formal dan stiletto, Kiki tidak menyesal sama sekali. Naluri wanitanya yang menyukai keindahan menganggap apa yang ia beli hari ini adalah hal wajar.

“Nggak pa-pa, deh, sekali-sekali. Anggap aja sebagai hadiah karena gue masih bisa hidup dengan baik hingga detik ini,” gumam Kiki, lantas tersenyum.

Gadis itu pun bangkit, memosisikan dirinya bersandarkan bantal di kepala ranjang. Kemudian dengan kaki kiri, ia menarik dua kantung belanjaannya hingga mendekat. Sepotong gaun berwarna hitam langsung ia keluarkan dari salah satu kantung. Harganya memang cukup membuat Kiki sakit kepala. Namun mengingat jika ia ingin tampil sebaik mungkin di acara Grab Me! nanti, Kiki merasa nominal yang ia keluarkan cukup pantas.

Sebenarnya gaun ini bukan pilihannya, tetapi pilihan Ajeng. Bahkan Kiki masih ingat betapa keras ia menolak gaun pilihan Ajeng ini, karena ukurannya yang cukup pendek.

“Gue nggak mau! Pendek banget gaunnya,” tolak Kiki begitu ia keluar dari kamar pas.

Ajeng yang berdiri di depannya tampak tidak setuju dengan ucapan Kiki. Ia malah mendorong tubuh Kiki hingga mereka berdua masuk ke kamar ganti. Pantulan tubuh mereka kini tergambar di cermin besar itu.

Look! Ini nggak pendek banget, Ki. Malah bikin lo kelihatan seksi tanpa berlebihan. Ini masih longgar,” sahut Ajeng seraya menarik gaun tersebut yang memang masih ada sedikit ruang di bagian pinggang.

“Tapi gue nggak enak lihatnya,” kata Kiki. Kakinya kini bergerak gelisah.

“Ki, lo tahu apa kekurangan lo?” tanya Ajeng. Tatapan gadis itu mengunci Kiki di dalam pantulan cermin.

“Emang apa?”

“Lo itu kurang percaya diri. Lo itu cantik, tapi lo malah minder karena ngerasa nggak sekece cewek-cewek yang udah ikutan Grab Me! sebelumnya. Padahal, lo itu cantik dengan daya tarik lo sendiri.”

Ajeng kini menarik tubuh Kiki agar lebih mendekat ke arah kaca. Dengan gerakan mata, Ajeng menyuruh Kiki agar menghadap ke arah cermin. Meski enggan, Kiki menuruti juga.

Look! Di depan lo sekarang ada cewek berambut hitam sepunggung dengan alis mata yang udah tebel dari sononya. Lo nggak perlu ngegambar atau nyulam alis biar bisa dapetin bentuk alis yang udah sempurna gini.” Ajeng memegang pindah Kiki, kemudian melanjutkan, “Dengan gaun ini, lo bukan seksi yang mengumbar aurat, tetapi aura seksi karena elo itu indah.”

Kiki menatap bayangan dirinya sekali lagi. Seperti yang Ajeng katakan, ia tampak cantik. Bukan karena gaun tersebut, tetapi karena kecantikan alami yang keluar dari tubuhnya. Rambut hitam sepunggung yang berkilau, alis tebal yang melengkung sempurna, bibir yang tebal di bagian bawah.

Bahkan, meski Kiki tengah mengenakan gincu bernuansa nude, hal itu tidak membuatnya terlihat pucat. Bibir Kiki yang aslinya memang sudah berwarna merah muda, membuat ia terlihat segar. Ia sudah memesona meski dengan riasan tipis.

“Ingat satu hal, lo itu cantik dengan apa adanya diri Lo,” pesan Ajeng sebelum keluar dari kamar ganti. Meninggalkan Kiki yang terpaku menatap pantulan dirinya di cermin.

Tak berselang lama, Kiki keluar dari kamar ganti. Ia sudah mengganti pakaiannya. Menyodorkan gaun tersebut ke arah Ajeng, yang dibalas gadis itu dengan senyum tipis.

So?” ucap Ajeng. “Lo jadi beli nih gaun, kan?”

Tanpa ragu Kiki mengangguk. Membuat senyum Ajeng merekah sempurna.

“Iya, walaupun tetap aja, nih gaun kependekan.”

“Yang penting, kan, nggak di atas lutut.”

“Terserah deh.” Kiki mengalah.
Tidak mau berdebat lebih jauh, ia lantas melangkah menuju kasir, diikuti Ajeng di belakang. Setelah membayar gaun tersebut, Ajeng kembali membawa Kiki ke toko sepatu.

“Mau ngapain?” tanya Kiki saat menyadari mereka tengah berada di outlet sepatu yang cukup bermerek. Uangnya saja hampir terkuras hanya karena sepotong gaun, kini Ajeng malah menariknya masuk ke outlet sepatu.

“Mau nyari cogannya!” dengkus Ajeng. “Ya beli sepatu dong, Ki. Emang mau nyari cabe?”

“Tapi, kan, lo tahu sendiri harga sepatu di sini berapaan.”

“Ada diskon kok. Tenang aja,” ujar Ajeng santai. Ia lantas melenggang ke salah satu rak stiletto.

“Lagi?” desah Kiki. “Beli stiletto di toko tadi aja, deh. Di sini mahal.”

“Bentar, Ki,” cegah Ajeng, saat dilihatnya Kiki berbalik, hendak pergi. “Ada buy one get one free. Lumayan dong. Kita bisa bagi dua buat beli. Gimana?”

Kiki mendesah, hendak menolak. Namun ekspresi Ajeng seolah enggan menerima penolakan.

“Gue kemarin ada utang ceker sambal jeletot sama lo. Mumpung gue lagi ada rejeki, gimana kalau gue bayar utang aja sekalian?”

“Astaga, Jeng. Harga ceker berapaan, sih? Nggak selevel sama nih sepatu.”

“Ya udah, gantian lo yang ngutang!” putus Ajeng.

“Harus banget, ya, beli sepatu? Stiletto pula. Lo tahu sendiri kita jarang keluar. Eh, gue, sih. Elo mah doyan jalan-jalan.”

“Kiki yang cantik nan manis,” rayu Ajeng. “Cewek nggak mungkin cuma punya satu jenis sepatu aja. Walaupun sekarang lo nggak pernah jalan keluar sekalipun, lo tetep butuh stiletto. Entah buat kondangan atau kerja. Trust me, lo nggak bakalan nyesel beli nih stiletto.”

“Tapi, Jeng, uang cash gue tinggal seratus ribu.”

“Lo bawa kartu ATM, kan?”

“Ya, bawa, sih. Tapi uangnya, kan, buat ditabung. Gue nggak mau ganggu gugat rekening gue yang ini.”

“Sesekali nggak pa-pa, Ki. Jangan terlalu pelit sama diri lo sendiri. Nggak apa pelit ke orang lain, asal jangan pelit sama diri sendiri,” petuah Ajeng.

“Tapi, sayang duitnya, Jeng. Gue, kan, belum kerja. Belum punya penghasilan sendiri. Masih nadah sama orang tua.”

“Gue beliin! Pokoknya lo kudu punya stiletto. Kita ini cewek, Ki, nggak mungkin, kan, ke mana-mana cuma pake flatshoes doang?”

Kiki terdiam. Tanpa sadar ia melirik flatshoes hitam yang ia kenakan. Flatshoes yang sudah ia kenakan semenjak zaman kuliah. Kiki bahkan lupa kapan ia membeli flatshoes ini. Mungkin saat ia semester lima. Kiki tidak mengingat pasti.

“Ya udah deh,” kata Kiki akhirnya. Ia cukup lama mengambil keputusan yang cukup berat. “Lo bener, kayaknya gue butuh stiletto.”

“Nah! Gitu dong. Gue inget, lo pernah cerita kalau lo pake wedges pas yudisium dan wisuda. Ah, jangan lupa pantofel pas lo sidang.”

Setelah cukup lama memilih stiletto yang pas di kaki dan modelnya mereka sukai, kedua gadis itu lantas membayarnya langsung. Kiki langsung mencari mesin ATM, setelah mereka keluar dari outlet sepatu tersebut.

“Nih, utang gue. Lunas, ya."

Ajeng menerima uang yang disodorkan Kiki sambil tersenyum tipis. “Bayar nanti-nanti, kan, bisa, Ki.”

“Gue nggak mau ngutang. Rasanya ada yang ganjel gitu di hati gue dan gue nggak suka.”

“Iya, deh, iya.”

Kini, di kamarnya, Kiki telah berdiri di depan cermin. Kembali mencoba gaun dan stiletto yang telah ia beli. Gadis itu memutar tubuhnya dan mencoba berjalan. Langkahnya yang mantap dan suara hak stiletto yang bersapa dengan ubin membuat gadis itu sedikit percaya diri.


Menghentikan langkah, Kiki menatap lekat wajahnya. Mencoba menarik senyum hingga kedua matanya melengkung, membentuk bulan sabit.

“Tanamkan diri lo, kalau lo cantik dan berhak bahagia.”

Kata-kata Ajeng yang penuh semangat, kembali terdengar di telinga Kiki. Bak sebuah suntikan vitamin ke dalam tubuhnya yang sudah melemah.

“Gue cantik dan gue berhak bahagia,” ucap Kiki berulang kali. Bak tengah merapal mantra sihir.

Senyum lebar kembali merekah. Perlahan, jemari Kiki menyentuh bibir bawahnya yang membuat gadis itu minder karena lebih tebal dari bibir atasnya.

“Bibir lo seksi. Kakak sepupu gue yang pernah lihat elo aja ngomong kayak gitu. Lo tahu sendiri, kan, kakak sepupu gue karena lo juga pernah lihat aslinya dia gimana?”

Kala itu mereka tengah berada di salah satu food court. Lelah mengelilingi mal, membuat perut keduanya meronta minta diisi.

“Iya, gue tahu. Yang nggak sengaja ketemu kita pas lagi ke Bebek Sangar, kan?” Kiki menyebutkan salah satu warung makan yang menjadi favoritnya.

“Iya. Dia cowok tulen, seratus persen dan dia bilang gitu. Terlepas dari apa pun, intinya gue mau lo lebih percaya diri lagi. Semua wanita itu cantik, asal mereka percaya diri dengan semua kelebihan dan kekurangan dia. Percuma fisiknya cantik, tapi dia minderan.”

Lagi, Kiki tersenyum. Meski tidak pernah mengatakannya, Kiki tidak tahu dari mana Ajeng tahu jika ia memang kurang percaya diri dengan penampilannya.

“Pokoknya, mulai detik ini gue harus lebih percaya diri lagi!” tekad Kiki, bulat.

***

Aku hampir menyerah dan berencana untuk tidak update bab ini karena tengah terdistraksi hal lain. Namun sebisa mungkin aku menulis dan akhirnya terciptalah bab ini. Jangan lupa like dan bagikan kutipan yang kalian suka dari semua bab cerita ini.

Xoxo

Winda Zizty
25 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro