Tiga
Selamat pagi menjelang siang semua! 💜
Mari kita kembali berhalu ria.
***
Kiki berulang kali mengecek email melalui ponsel pintarnya. Menyegarkan halaman, tetapi surat elektronik yang ia mau tidak juga masuk ke kotak masuknya. Mendesah pelan, Kiki lantas mengunci layar ponselnya, pun mematikan data seluler untuk menghemat kuota. Menjadi pengangguran, membuat Kiki harus menekan semua pengeluarannya, termasuk penggunaan kuota.
Merebahkan tubuhnya, gadis itu lantas menatap lurus langit-langit kamar. Mengingat kembali rencana-rencananya yang tidak atau mungkin belum dikabulkan Tuhan.
“Kenapa gue belum kerja juga, ya, sampai sekarang? Udah lama banget gue nganggur,” lirihnya sedih.
Meraih guling di dekat kakinya, gadis itu lantas memeluk guling tersebut dengan erat. Kembali ia mendesah. Kali ini lebih berat dan panjang.
“Apa gue nggak ditakdirin buat kerja, ya? Terus gue dapet duit dari mana? Emang, sih, rezeki udah diatur sama Tuhan, tapi, kan, gue pengin punya penghasilan sendiri setiap bulan.” Gadis itu bermonolog.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua saat Kiki melirik ponselnya. Merasa lelah hati dan pikiran, gadis itu lantas mencoba memejamkan mata. Namun, belum semenit ia mencoba masuk ke alam mimpi yang ia harap indah, ponselnya berdering nyaring. Nada panggilan yang menandakan ada panggilan masuk membuat gadis itu sontak membuka mata.
Nama Ajeng kini terpampang jelas di layar ponselnya. Mengerutkan dahi karena tidak biasanya Ajeng menelepon, Kiki pun menerima panggilan tersebut.
“Halo?”
“Eh, upil kuda! Kenapa WA lo centang satu?” pekik Ajeng di seberang sana.
“Biasa,” jawab Kiki kalem. “datanya gue matiin. Kenapa?”
“Cek WA lo sekarang! Gue ngirim loker,” titah Ajeng.
“Loker apaan?” sahut Kiki tidak bersemangat. Ia sudah di titik lelah untuk melamar pekerjaan. Titik lelah yang ia rasakan berulang kali selama hampir dua tahun ini.
“Ya kerjaan lah. Emang loker apa?”
“Ya, ya, ya, gue cek. Dah, matiin nih telepon. Gue mau buka WA.”
Tanpa salam penutup ataupun basa basi yang lain, Ajeng gegas memutuskan sambungan telepon. Mengikuti interuksi Ajeng, Kiki pun lantas menghidupkan kembali data selulernya dan membuka aplikasi WhatsApp. Seperti yang dikatakan Ajeng, gadis itu mengirimkan info lowongan pekerjaan pada Kiki.
Dengan saksama, Kiki membaca lowongan pekerjaan tersebut. Tertulis jika di salah satu perusahaan membutuhkan pekerja untuk posisi administrasi dengan kualifikasi semua jurusan.
Tak berselang lama, sebuah panggilan dari Ajeng kembali masuk ke ponselnya. Kali ini melalui aplikasi WhatsApp.
“Apaan lagi?” ucap Kiki, lelah.
“Mau daftar nggak lo?”
“Mager gue. Ini aja belum ada email balasan dari loker-loker sebelumnya.”
Kiki memutar tubuhnya, kali ini ia menatap awan dari balik jendela kamarnya. Mengikuti gerakan pelan awan yang berarak mengikuti arah angin.
“Ya elah, itu kan ngelamarnya via website, bukan kirim email. Apa gue ke rumah lo aja biar lo nggak mageran?”
“Terserah lo deh,” kata Kiki.
“Ya udah, gue siap-siap dulu.”
“Hm,” balas Kiki pendek.
Kembali sambungan telepon itu Ajeng putuskan. Kiki meletakkan ponselnya setelah mematikan data seluler. Memijat dahinya yang terasa mulai pening.
Dulu, Kiki kira ia dapat begitu mudah mendapat pekerjaan. Lulus kuliah tepat waktu, melamar pekerjaan lalu diterima dan bekerja. Namun saat ia terjun langsung ke lapangan, ternyata tidak semudah itu. Kiki sadar, hidup itu keras dan penuh perjuangan. Karena hidup tidak seindah dalam novel.
***
Kiki hampir lelap dalam tidurnya saat Ajeng tiba-tiba masuk ke kamarnya. Getaran di kasurnya saat gadis itu duduk, nyaris melompat, ke atas kasurnya, tak ayal membuat Kiki terjaga. Kelopak mata gadis itu terbuka dan sedikit terkejut mendapati Ajeng sudah ada di hadapannya.
“Lo terbang ke sini?” tanya Kiki setengah sadar. Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul saat melihat Ajeng sudah membuka laptopnya.
“Tinggal berkedip terus, boom, gue muncul di kamar lo.” Ajeng mendelik, kesal.
“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Kiki.
Perlahan, gadis itu bangkit dari posisi rebahnya. Duduk sambil memeluk gulingnya yang ia tekuk.
“Gue kira lo naik motor ke sini. Rupanya tinggal ngedip aja kayak jin.”
Mendengarnya, gegas Ajeng menoleh. Bibir gadis itu berkedut. “Ya kali gue terbang. Lo kira gue Mrs. K apa? Sembarangan aja.”
“Bukan gue, ya, yang ngatain lo Mrs. K.”
“Ya, ya, serah lo deh.”
Kiki terkekeh. Ia mengucek pelan matanya yang masih mengantuk.
“Dih, bukannya gerak malah masih diem. Buruan sana ambil laptop lo. Jadi nggak, nih, ngelamar kerjaan?” sewot Ajeng karena posisi Kiki masih belum bergeser. Malah gadis itu kini tengah mengecek ponselnya.
“Bentar, ngumpulin nyawa dulu,” balas Kiki. Tak lama ia menguap lebar yang langsung ia tutup dengan telapak tangan.
“Bentar, bentar, malah nanti lo mager dan nggak jadi. Percuma dong kedatangan gue ke sini kalau lo nggak jadi ngelamar kerjaan.”
“Iya, iya. Bawel deh nih orang satu.”
Meski masih berat menggerakkan bokongnya, Kiki pun beranjak menuju rak buku di sudut kamar. Mengambil laptopnya dan duduk tepat di samping Ajeng.
Sembari menunggu loading, Kiki melempar tanya, “Apa alamat website-nya?”
“Ya elah, cek di WA. Udah gue kirim selengkap-lengkapnya. Jangan males baca, deh. Lo kan lebih doyan baca ketimbang gue.”
“Dasar nggak bisa diajak bercanda,” keluh Kiki.
“Bercanda dari Hongkong! Dasar upil kuda!”
“Emang lo tahu gimana bentuk upil kuda? Lihat kuda aja belum, sok-sokan ngomong upil kuda.”
“Bodoh amat!” balas Ajeng, tak acuh.
Kiki terkekeh sebelum keheningan menyapa mereka yang fokus membuka website salah satu perusahaan untuk melamar posisi pekerjaan yang tersedia. Saat tengah fokus mengunggah persyaratan, Ajeng tiba-tiba buka suara yang membuat konsentrasi Kiki terpecah.
“Ki, lo mau nggak daftar jadi talent buat Grab Me!?”
“Itu acara nggak real? Setingan gitu, ya?”
“Bukan gitu maksudnya. Buat gabung di acara itu, lo kudu daftar dan bakalan ikut casting mereka sebelum tampil di layar kaca. Gitu loh. Bukan berarti itu setingan,” jelas Ajeng.
“Yakin tu acara nggak setingan?” selidik Kiki.
Meski sebelumnya Ajeng sudah pernah membicarakan mengenai acara itu dan ia sedikit tertarik, tetapi Kiki hanya ingin tahu saja. Kalau Cuma setingan, buat apa dong dia ikut acara itu? Mending dia sekalian mencari jodoh di aplikasi kencan online yang pernah disarankan Ajeng saja.
“Yakinlah. Ngapain juga gue menjerumuskan elo? Tenang aja, gue juga bakalan daftar di acara itu kok. Kan yang jomlo di sini bukan lo aja. Gue juga jomlo, keles!”
“Tumben lo ngaku kalau jomlo. Biasanya ngeles terus kayak bajaj.”
“Gue cuma mau menerima kenyataan. Kalau gue selalu menolak kenyataan, rejeki gue bakalan seret dan Tuhan nggak bakalan mau ngabulin doa gue. Jadi mending gue terima kenyataan dong. Biar hati, pikiran, dan jiwa gue tenang, tentram, dan damai sentosa.”
Kiki tertawa cukup keras. Bahkan tanpa sadar ia memukul paha Ajeng.
“Astaga, tumben lo bijak banget hari ini. Sebelum ke rumah gue, lo mampir ke kuburan dulu?”
“Mampir ke kuburan? Ngapain coba?”
“Ya, kali aja lo kesambet, makanya jadi bijak gini.”
“Sialan lo!”
Kiki semakin kencang tertawa hingga perutnya sakit. Namun hal itu berbanding terbalik dengan Ajeng, gadis itu jadi keki karena tawa Kiki.
“Eh, lamaran lo udah selesai?” tanya Kiki setelah menghentikan tawanya.
“Udah dari tadi! Lo sibuk ngetawain gue,” sungut Ajeng.
“Haha, maaf, deh, maaf. Eh, gue lupa belum ngasih lo minum. Bentar, ya, gue ambilin dulu.”
Kiki sudah hendak berdiri saat Ajeng menahannya. “Lamaran lo udah selesai belum? Ambil minumnya setelah proses ngelamar kerjanya selesai aja. Gue takut lo mager lagi,” kata Ajeng.
“Iya, deh, iya. Tinggal sertifikat aja.”
“Selesaikan sekarang!” ucap Ajeng galak. Matanya kini melotot.
Kiki mengendorkan bahunya. Memilih mengalah dan menyelesaikan proses melamar pekerjaan. Setelah mengklik tulisan 'lamar posisi ini', barulah Kiki bangkit dari duduknya. Menuju dapur untuk membuat minuman.
“Es batunya yang banyak,” pesan Ajeng sebelum Kiki berlalu.
“Iya, iya. Bawel banget dah.”
Tanpa perlu membutuhkan waktu yang lama, Kiki sudah kembali muncul dengan membawa nampan berisikan dua gelas besar sirop dan dua toples makanan ringan. Tidak lupa ia juga menyediakan mangkuk kecil berisikan pecahan es batu. Khusus untuk Ajeng yang doyan ngemil es batu.
Kebiasaan kecil yang membuat Kiki seketika ngilu melihat Ajeng yang begitu bersemangat mengigit es batu yang keras dan dingin.
Senyum Ajeng langsung terbit melihat bawaan Kiki. Segera ia menyambar gelas siropnya dan menghabiskan hampir setengah isinya.
“Btw, gue udah hapus aplikasi kencan online yang kemarin,” ujar Ajeng. Ia kembali meletakkan gelas ke atas nampan dan mengambil salah satu toples makanan ringan.
Kiki mengerutkan dahi. “Kok lo hapus? Kemarin lo semangat banget nyuruh gue buat download tu aplikasi,” sahut Kiki, heran.
“Gue males. Orang-orangnya gitu semua. Nanyain udah makan belum? Lagi ngapain? Hello! Kita sudah umur dua puluhan. Gue rasa nggak perlu lagi lah nanya kayak gituan. Basa basi banget, gue males.”
“Iya, sih. Gue juga males nerima pesan yang kayak gitu. Kalau pas zaman sekolah dulu sih, nggak masalah. Kayak kata lo, umur kita udah dua puluhan, udah bukan zamannya lagi saling ngirim pesan kayak gitu. Langsung ke intinya aja kalau mau ngirim pesan.”
“Ho’oh. Jadi gue hapus deh. Bahkan akun gue juga gue hapus. Jadi gue nggak ninggalin jejak di aplikasi itu.”
“Lo juga, sih, ngapain pake acara download aplikasi gituan. Mending cari di dunia nyata aja, deh, ketimbang dunia maya kayak gitu.”
“Nah, ikut Grab Me! aja, yuk! Gue juga ikutan. Lo nggak usah khawatir.”
“Kalau ternyata cowok-cowok di acara itu ngebosenin juga, gimana?”
“Ya, setidaknya lo, kan, nggak sendiri, Ki. Gue dan belasan cewek lain juga ikutan acara itu kok.”
“Kok lo demen banget, sih, nyari cowok lewat cara kayak gini?”
“Bukan demen, tapi apa salahnya mencoba, kan? Ini salah satu cara gue buat ketemu jodoh, Ki.”
“Ya, ya, terserah lo kata deh.”
“Lagian, masa lo lupa kalau kita mau ngegebet CEO? Kan lo juga udah setuju kalau kita harus gaet CEO buat dinikahin.”
Kiki terdiam. Ia jelas tidak lupa dengan rencana tersebut.
“Gue males mau daftar,” ucap Kiki.
“Tenang aja, kalau lo males, gue yang daftarin. Gimana?” Ajeng menaik-turunkan alisnya.
Kiki mendesah, mengambil toples dari pangkuan Ajeng. Gadis itu sempat protes. Namun protes tersebut tenggelam saat melihat Kiki mengangguk pasrah.
“Ya udah, gih, sana daftar. Gue terima beres aja.”
“Nah, gitu dong! Ini baru Kiki, temen gue! Pokoknya lo tenang aja. Gue bakal ngabarin kalau jadwal casting kita udah keluar.”
Kembali Kiki mendesah. Namun kepala gadis itu mengangguk, tanda setuju.
***
Kiki maju mundur cantik, nih, buat ikutan Grab Me!.
Btw, stay safe, ya buat kalian. Jangan lupa jaga kesehatan. Jangan ke mana-mana dulu kalau nggak penting banget. Lebih baik mencegah daripada mengobati, kan?
Oh, iya, bisa minta tolong untuk mampir ke ceritaku yang lain? Judulnya After That Month dan sudah aku publish sampai selesai. Sembari kalian nunggu next chapter dari Kebelet Nikah dengan CEO, mending kalian baca After That Month aja. Hehe.
Aku usahakan bakal secepatnya publish next chapter. Ditunggu saja, ya dan jangan lupa mampir ke After That Month juga.
Xoxo,
Winda Zizty
17 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro