Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sembilan

Happy reading. 💜

***

Matahari sudah merangkak naik ke langit saat Kiki membantu Lira di dapur. Meski belum lihai memasak, kalau soal tumis-menumis sayur, Kiki bisa sedikit. Asalkan jangan disuruh masak rendang atau opor, ia belum bisa mengolahnya. Hampir sejam lebih berkutat di dapur, akhirnya menu makan siang telah terhidang di atas meja.

Kiki dan Lira pun membagi tugas setelahnya.

Tengah asyik mengemil daun kangkung tumis, tiba-tiba Kiki nyeletuk, “Ma, kalau aku nikah, gimana, ya?”

Lira yang tengah mencuci piring bekas memasak seketika menoleh. Kerutan di dahinya muncul saat mencoba menelaah maksud ucapan Kiki. Namun siempunya pertanyaan malah tak acuh dan kini tengah mengunyah tempe goreng.

“Ya, nggak kenapa-napa. Emang kenapa?” tanya Lira balik.

“Ya, nanya aja, sih. Soalnya temen-temenku juga udah ada yang nikah. Malah ada yang mau punya anak dua,” jelas Kiki tanpa menoleh pada Lira.

Lira tersenyum kecil. Menyudahi acara cuci piringnya, wanita itu lantas mendekati Kiki. Dipegangnya bahu Kiki yang masih asyik menyomot apa saja yang ada di atas meja.

“Kamu mau menikah?”

Pertanyaan Lira sontak membuat Kiki tersedak. Gegas diraihnya gelas dan mengisi dengan air mineral. Dalam beberapa teguk, isi di dalam gelas pun tandas.

“Kok Mama tiba-tiba nanya gitu?”

“Nggak akan ada asap kalau nggak ada api, kan?” goda Lira. Ia kini duduk di samping Kiki dengan posisi menyamping. Membuatnya leluasa menatap wajah Kiki.

“Terus? Hubungannya apa?” tanya Kiki tidak mengerti.

“Tadi kamu nanya, gimana kalau kamu menikah. Emang kamu udah mau menikah? Udah siap lahir dan batin?”

“Ih, pertanyaan Mama kok nyeremin, sih?” Kiki bergidik.

“Kalau kamu tanya ke Mama, ya, pasti jawaban Mama, sih, terserah kamu. Toh, kamu yang akan menjalani pernikahan itu. Tapi, kamu harus ingat, pernikahan itu komitmen serius, bukan main-main. Bukan untuk beberapa bulan, tapi sampai maut menjemput dan memisahkan dua insan yang sudah disatukan Tuhan.”

“Kalau itu, sih, aku udah tahu, Ma,” ucap Kiki.

“Jadi, kamu beneran mau nikah?” ulang Lira.

“Ya maulah, Ma. Emang siapa, sih, yang nggak mau nikah?”

“Maksud Mama dalam waktu dekat ini.”

“Kalau dalam waktu dekat ini, sih, nggak kayaknya, Ma. Hilal jodoh aja belum kelihatan. Aku juga di rumah aja, nggak ke mana-mana, gimana mau dapet jodoh coba?” sungut Kiki.

“Jodoh, kan, bisa dateng dari mana aja. Lewat online juga bisa. Malah Mama denger, yang minggu kemarin nikahan di kelurahan sebelah, ketemu istrinya dari online. Ehm, media sosial apa gitu namanya. Facebook apa, ya?”

“Kok bisa, sih, Ma, dapet jodoh dari Facebook? Emang nggak takut penipuan gitu?”

“Nah, di kelurahan sebelah itu buktinya. Kalau penipuan, nggak bakal sampai nikah dong?”

“Ih, nggak mau, ah, dapet jodoh dari sosial media gitu.”

“Kenapa?” tanya Lira bingung. “Bukannya anak zaman sekarang emang lebih suka main sosial media ketimbang bersosialisasi di luar?”

“Ya, aku nggak mau aja, Ma. Mending dapet jodoh di dunia nyata. Ketemu, kenalan, jatuh cinta, menikah, punya anak, terus meninggal. Gitu,” ucap Kiki semangat.

“Terus? Udah ketemu orangnya?”

“Ih, Mama. Ya, belum dong. Aku aja di rumah aja gini. Gimana mau bersosialisasi di luar?”

“Makanya cari kegiatan sana. Cari kerja kek, atau apa,” usul Lira.

“Udah, Ma,” jawab Kiki lesu. “Tapi sampe sekarang lamaran kerja aku belum ada panggilan.”

“Ya udah, berarti kamu tunggu dilamar aja ketimbang melamar kerja.”

“Ih, Mama.”

“Loh? Kenapa?”

“Cariin cowok kek atau apa, biar anaknya nggak jomlo. Bosen, nih, nggak ada yang ngajak jalan,” rajuk Kiki, manja.

Lira lantas tertawa. Mencubit pipi Kiki yang sengaja ia kembangkan. Dasar si Kiki, usia aja yang dua puluhan, tapi tingkah masih kayak anak SMP. Manjanya nggak ketulungan.

“Kamu sebenarnya mau nikah apa butuh cowok buat diajak jalan? Beda loh, beneran siap nikah sama cuma butuh gandengan buat dipamerin ke orang-orang.”

Kiki terdiam, menyerap ucapan Lira. Dalam hati ia bertanya apa yang sebenarnya ia inginkan.

“Tapi, Mama setuju kalau aku nikah? Di umur segini?” tanya Kiki setelah cukup lama mengunci bibir.

“Kenapa nggak? Justru dulu di kampung Mama, seusia kamu ini udah dianggap perawan tua. Jadi kalau kamu mau menikah, ya, Mama nggak bakal melarang. Asalkan calon kamu itu bisa bertanggung jawab dan menghidupi anak Mama yang manjanya kelewat batas ini.”

“Ih, Mama,” decak Kiki.

“Kalau nanti jodoh kamu beneran udah datang, sikap kekanakannya disingkirkan dulu, ya. Membangun rumah tangga itu nggak semudah kelihatannya. Kalau ada masalah mesti dihadapi dengan kepala dingin, harus sama-sama dewasa, dan jangan lupa komunikasi harus dua arah. Nggak boleh ada yang disembunyikan kalau ada yang mau diutarakan. Kunci hubungan yang harmonis, ya, komunikasi.”

Kembali Kiki terdiam. Mematri baik-baik ucapan Lira ke dalam otaknya. Petuah dari sang mama yang akan ia jadikan pedoman untuk ke depan.

“Doain aja jodoh Kiki udah deket, Ma."

“Aamiin.”

“Walaupun sampe detik ini, aku juga nggak tahu siapa jodoh aku. Padahal aku udah penasaran banget, Ma.”

“Sama. Mama juga penasaran siapa lelaki yang bakal mendampingi putri Mama ini.” Lira tersenyum, menyelipkan ke telinga, helai rambut Kiki yang jatuh di pipi.

“Makanya, doain aku dong, Ma.”

“Selalu Mama doakan. Emang Mama mesti laporan ke kamu setiap Mama mendoakan anak Mama?”

Kiki menggeleng, lantas tersenyum.

“Hehe.”

“Malah cengengesan. Ingat, ya, jangan nikah karena kamu kepengen, tapi nikahlah kalau kamu emang beneran udah siap. Jadi istri itu nggak mudah, loh, tapi bukan berarti memberatkan juga. Ngerti?”

Kiki mengangguk berulang kali, kemudian menyentuhkan ujung jarinya di dahi, membentuk posisi hormat. “Siap, Komandan!”


***


Kiki baru selesai makan siang dan masuk ke kamar saat ponselnya berbunyi, tanda panggilan masuk. Mendekat ke benda pipih tersebut, Kiki langsung menerima panggilan yang berasal dari Ajeng tersebut.

What happen? Aye naon?

Eh, punuk unta!

Kiki mengusap dada sembari geleng-geleng kepala mendengar sapaan Ajeng padanya. Tidak bisa apa sehari saja Ajeng tidak mengubah namanya?

“Apaan?”

Pendaftaran kita di Grab Me! lagi diproses, nih. Barusan gue cek email.

“Oh,” respons Kiki singkat. Ia lantas duduk di pinggir ranjang sambil melipat kedua kakinya.

Kayak nggak minat banget, sih, lo?

“Ya emang gue mesti gimana? Loncat-loncat? Teriak kayak orang gila? Aneh deh.”

Ya apa kek gitu. Tanya-tanya yang lain kek. Misalnya kayak, 'Wah, terus gimana? Kapan kita casting? Gue udah nggak sabar ngegaet CEO.’. Nah, kek gitu.

“Eh, btw, itu acara kan tayangnya malem, nih. Terus kalau misal kita lulus dan jadi salah satu talent di sana, syutingnya bakal malem juga?”

Akhirnya Kiki mengutarakan juga keganjalan dalam hatinya.

Ehm, iya, ya. Kok gue nggak kepikiran, sih?

“Yee, mana gue tahu,” balas Kiki, agak sewot. “Jadi, lo udah dapet info belum kapan syutingnya? Malem apa pagi? Apa siang? Apa sore?”

Kan gue nggak pernah ikut acara ginian, Ki. Ya, mana gue tahu lah."

“Iya juga, sih.” Kiki mengusap dagunya. “Lo nelepon gue cuma buat bilang ini aja?”

Salah satunya, sih.

“Salah satu? Emang ada lagi?"

Lamaran kerja yang kemarin ada kabar nggak?

“Lamaran kerja yang mana?” Kiki menautkan kedua alisnya. Saking banyaknya melamar pekerjaan, ia sampai lupa ke mana saja lamaran itu ia tuju.

“” jelas Ajeng yang membuat Kiki ber-oh ria.

“Perasaan, tu lamaran belum seminggu, deh. Masa udah lo tanya?”

Eh? Masa?

“Iya, Zaenab!”

“Saking lamanya nganggur, otak gue kayaknya mulai korslet, deh,” keluh Ajeng di seberang sana.

“Tanpa nganggur pun, gue yakin otak lo emang udah korslet dari sananya.”

Duh, elo, mah, kalo ngomong suka bener. Jangan terlalu jujur, nggak asyik. Mending dunia ini dipenuhi saja dengan orang-orang munafik, biar seru.

“Duh, korslet banget otak nih orang.”

Biarin aja.

“Ya, ya, serah lo deh,” ucap Kiki, mengalah. “Udah, kan? Itu aja?”

Kenapa, sih, emang? Kayak males banget denger suara gue?

Ada nada sedih yang Kiki dengar. Menghela napas, ia lantas berujar, “Ada apa? Lo lagi ada masalah? Tumbenan banget nelepon. Biasanya juga hal remeh temeh gini lo bahas lewat pesan, ini kenapa malah nelepon?”

Di seberang sana, Ajeng menghela napas panjang. Sepertinya dugaan Kiki benar, ada sesuatu yang mengganjal pikiran Ajeng.

Gue rasanya frustrasi banget, Ki. Kayak Tuhan nggak adil banget sama gue.”

“Lah? Emang kenapa? Masalah kerjaan? Kan udah gue bilang, bukan lo aja yang nganggur, gue juga. Kita juga diwisuda di waktu yang sama. Jadi selama apa pun lo nganggur, maka selama itu juga gue nganggur. Ya, kecuali salah satu dari kita diterima kerja duluan.”

Bukan itu aja,” sanggah Ajeng.

“Terus?”

Temen gue satu per satu udah pada nikah. Kalau belum nikah, ya, udah kerja. Gue iri sama mereka. Malah salah satu temen gue, gayanya hits banget. Padahal bawaan dia sama kayak gue, motor. Tapi foto di Instagram dia kece banget. Dia pinter nyari angle yang ngebuat seolah-olah dia itu bermobil.

Kiki mulai menemukan benang merah dari cerita Ajeng. Ia yang semula duduk, kini merubah posisi menjadi rebahan. Memandang langit-langit kamarnya. Sebenarnya Kiki juga merasakan kegundahan yang sama. Ia hanya tidak bisa menceritakannya pada orang lain.

Mending kalau mereka mengerti, kalau malah mencibir? Yang ada malah ia makin sakit hati dan nelangsa. Cerita sama Ajeng pun, percuma juga. Ibaratnya, ia dan Ajeng sama-sama di posisi lemah. Kalau berbagi cerita, bukan saling menguatkan, mereka malah bakal semakin down.

“Kita disuruh sabar lagi, Jeng. Percaya, deh, di balik semua ini ada rencana Tuhan yang indah banget untuk kita. Cukup ingat, kalau Tuhan nggak bakal membebankan suatu masalah di luar kemampuan hamba-Nya. Anggap aja ini ujian supaya kita bisa naik kelas.”

Iya, gue tahu, tapi gue iri aja lihat postingan mereka,” keluh Ajeng.

Kiki terdiam, dalam hati membenarkan. Alih-alih sebagai penyambung silahturahmi, sosial media malah menjadi ajang pamer. Berharap decak kagum dari orang lain, tetapi malah membuat psikis orang lain terganggu secara tidak langsung. Kiki sendiri sudah sebisa mungkin mengontrol diri agar tidak terlalu teracuni konten di media sosial.

“Intinya sabar aja dan terus berusaha. Gue nggak tahu lagi mau gimana. Soalnya gue juga ngerasain yang sama.”

Gini amat nasib kita, ya, Ki. Rasanya gue pengen balik jadi anak kecil aja. Kayak mudah banget mereka ketawa. Makin dewasa, gue malah makin ngerasa susah buat ketawa karena hal-hal kecil.

Kiki tersenyum miris mendengarnya. “Syukuri aja apa yang ada, Jeng. Semoga nanti dengan kesabaran kita, Tuhan ngasih hadiah yang nggak terduga. Aamiin.”

Aamiin.”


***

Ada yang pernah atau tengah merasakan kegundahan yang sama?

Xoxo
Winda Zizty
21 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro