Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Satu

Morning. 💜
Mari kita berhalu ria~
Selamat membaca. 💜

***

Hidup selama 23 tahun tidak lantas membuat Kiki tahu apa yang ia tuju dalam hidupnya. Jika ditanya apa yang tengah ia kejar, Kiki akan menjawab tidak tahu. Ibarat kata, ia sudah hilang arah. Semua rencana yang sudah gadis itu rancang, tidak ada yang terealisasi.

Takdir entah kenapa begitu kejam. Atau Kiki saja yang tidak memahami makna di balik semua keinginannya yang tidak terwujud?

Rencana Kiki sebenarnya simpel. Wisuda, kemudian bekerja minimal setahun sebelum akhirnya menikah. Namun sayang, semua itu hanya angan-angan. Hampir dua tahun diwisuda dengan IPK di atas 3.5, Kiki belum juga mendapatkan pekerjaan.
Kandas sudah semua angan-angan yang ia buat semasa sekolah dulu.

“Salahnya di mana, ya, Jeng?” tanya Kiki sembari mengunyah keripik singkong yang baru digoreng mamanya.

Sore itu Ajeng bertandang ke rumahnya. Gadis yang merupakan anak tunggal itu merasa kesepian hanya bertatap muka dengan sang ibu jika ayahnya pergi bekerja. Karena itulah, sesekali Ajeng menyambangi Kiki. Meski lebih seringnya Ajeng pergi bersama sepupunya atau mengelilingi kota sendiri dengan motor.

Ajeng yang juga tengah mengunyah keripik singkong yang sama hanya bisa mengedikkan bahunya. Tanda tidak tahu.

“Perasaan, gue udah lamar ke sana-kemari, tapi nggak ada yang manggil buat interview,” tambah Kiki lagi. Kali ini suara gadis itu sedikit tersamarkan oleh kunyahan mulutnya.

“Mana gue tahu, Ki. Kalau gue tahu di mana letak salah lo, gue mungkin nggak nganggur juga kayak elo.”

Ajeng mengunyah dengan semangat. Sebenarnya ia kesal juga dengan pertanyaan Kiki yang sama setiap harinya. Ia dan Kiki wisuda di hari yang sama, tapi hingga detik ini rezeki untuk bekerja belum mereka dapatkan. Jika dikata, ia juga merasakan hal yang sama dengan Kiki.

Kalau bukan dirinya yang mengeluh di suatu hari, pasti Kiki yang mengeluh mengenai nasib mereka di hari yang lain. Gantian saja mereka mengeluhnya.

“Apa kita nikah aja, ya?” celetuk Kiki. Matanya menerawang ke atas langit sana, dari balik jendela kamar.

“Maunya, sih, gitu. Jangankan lamaran kerja, dilamar orang aja nggak. Ngenes banget nggak, sih, hidup kita ini?”

“Ho’oh. Nggak tahu deh gue mesti gimana lagi.”

Sontak saja, raut wajah kedua gadis itu berubah sendu. Sama-sama jomlo dan pengangguran membuat kedua gadis itu makin lengket. Padahal sebelumnya mereka tidak saling mengenal.

Ya, memang, sih, semua orang berawal dari saling tidak mengenal. Itu pula yang dialami Kiki dan Ajeng. Maksudnya, sebelum berteman seperti sekarang, meski diwisuda di hari yang sama, mereka baru berteman saat tidak sengaja berkenalan di suatu job fair.

Job fair yang awalnya Kiki kita gratis, tetapi ternyata berbayar. Membuat gadis itu harus merogeh kocek yang lebih dalam setelah sebelumnya membeli satu rim amplop coklat.

“Di postingan Instagram nggak ada info kalau tu job fair berbayar,” sungut Kiki kala itu.

Salah satu kesamaan lain antara dirinya dan Ajeng adalah, mereka sama-sama memiliki dompet yang tipis. Uang bulanan dari orang tua pun jumlahnya sama tanpa disengaja. Tiga ratus ribu per bulan.

Sudah jomlo, pengangguran, dompet tipis pula. Duh, malangnya nasib dua gadis tersebut.

“Gue rasanya mau nikah aja, Ki,” desah Ajeng, putus asa.

“Sama. Tapi calonnya mana? Jomlo gini. Mau nunggu dia jatuh dari langit? Mimpi aja deh, lo.”

“Tahu deh. Bingung gue. Di usia kita ini, kalau nggak ngelamar, ya, nunggu dilamar.” Ajeng bersedekap. Keripik singkong di toples sudah makin menipis. Ia melirik Kiki sekilas sebelum menyomot keripik singkong lagi.

“Iya, nunggu dilamar siapa tapinya? Hidup nggak kayak cerita di novel. Karangan manusia beda sama karangan Tuhan.”

“Itu juga gue tahu, keles!”

“Nah, makanya. Lagian, lo udah siap nikah?” Kiki memutar tubuhnya menghadap Ajeng.

Ajeng menautkan kedua alisnya. Mengambil bantal di atas kasur Kiki, lantas memeluknya erat.

“Ya, kalau ada yang ngelamar gue terus udah kerja dan gue oke, kenapa nggak? Lo sendiri, gimana?”

“Tahu, deh,” jawab Kiki lesu.

“Kenapa? Masih kepikiran mantan lo yang gagal dateng ke rumah?”

“Kadang,” aku Kiki jujur.

“Udahlah, dia bukan jodoh lo. Cemen banget, disuruh dateng ke rumah malah minta putus. Nggak sevisi sama lo. Udah!”

I know that. Ya udahlah, bukan jodoh gue. Entah siapa jodoh gue.”

“CEO tu jodoh lo. Biar kayak di novel-novel itu loh!” celetuk Ajeng sambil cengengesan. Keripik singkong di toples sudah kandas. Gadis itu lantas meraih gelas berisi sirop jeruk dingin.

“CEO pale lu peyang! Udah dibilang novel itu karangan manusia, hasil imajinasi, jangan dijadikan patokan dalam menjalani hidup di kenyataan. Itu dibuat untuk memenuhi keinginan si penulis!” koar Kiki berapi-api.

“Yeeee, kali aja, kan lo dapet laki CEO. Mayan gue bisa kecipratan dikit.”

“Kecipratan air maksud lo? Mau gue ambilkan dari kamar mandi? Apa dari got?"

“Ya elah, Ki, serius amat, deh. Bukannya diaminin malah sewot. Jodoh, kan, siapa yang tahu? Dari khayalan bisa jadi kenyataan. Who knows, kan?”

“Ya, ya, ya, amin deh semoga gue dapet laki CEO, biar lo puas.”

“AAMIIN!” ucap Ajeng semangat. “Eh, kok gue yang puas, sih? Harusnya, kan, elo yang puas, hidup bergelimang harta.”

“Bergelimang harta nggak menjamin kebahagiaan, Ajeng ....”

“Ya, ya, ya, serah lo, deh. Eh, tapi, Ki, kita mau nyari CEO di mana?”

“Tuh, di novel! CEO yang seksi, tajir, membahana, ulala.”

“Elo ada kenalan nggak yang punya koneksi ke CEO?”

“Eh, semprul! Kalau gue ada koneksi, gue udah kerja. Sisip sedikit, jadi bininya, kayak kata  lo.”

“Benar juga, ya.” Ajeng manggut-manggut.

“Mending CEO-nya masih muda, bisa gue jadiin laki. Lah, kalo udah tuir? Jadi apa? Bini mudanya? Enak aja! Numbalin temen sendiri namanya.”

“Ya nggak gitu juga kali, Ki. Ih, elo, mah, nggak ngerti maksud gue.” Ajeng memanyunkan bibirnya. Sedikit frustrasi menjelaskan ke Kiki.

“Emang!”

“Atau, gini, deh. Lo download aplikasi kencan online. Gimana?” usul Ajeng sambil menepuk pundak Kiki. Saking semangatnya, Kiki sampai mengaduh kesakitan.

“Ngapain? Kayak insecure banget, deh, sampe download gituan.” Kiki jelas menolak usul Ajeng. Apa kata dunia jika ia ketahuan download aplikasi seperti itu?

“Ya elah, emang kenapa dengan aplikasi kencan online? Selama bisa kita filter, nggak bakal deh dapet yang kaleng-kaleng.” Ajeng berusaha meyakinkan Kiki.

“Terus, kenapa nggak lo aja yang download tu aplikasi? Kenapa malah nyuruh gue, sih?”

“Hoho, Anda belum mengenalku ternyata, Esmeralda."

Kiki mengerutkan dahi saat Ajeng begitu bersemangat meraih ponselnya. Tak berselang lama, gadis itu memperlihatkan layar ponselnya, tepat ke depan wajah Kiki.

“Tada! Aplikasi kencan online yang gue maksud! Siapa bilang gue nggak download?” ucap Ajeng bangga.

Kiki sontak melongo. Menatap layar ponsel Ajeng dan si empunya, secara bergantian.

“Sinting lo!” komentarnya setelah cukup lama tercengang.

Yes, I do.” Ajeng menyibakkan rambut sepunggungnya, bangga.

“Kok bisa?” Kiki masih tidak percaya.

“Ya, bisa dong. Lagian, nih, ya, Ki, nggak dosa kok download aplikasi ginian selagi lo jomlo. Yang dosa itu lo download aplikasi ini di saat lo udah ada pasangan.”

“Nggak takut dapet predator, Jeng?”

Ajeng mengibaskan tangannya, terkekeh pelan. “Tenang aja, aplikasi ini terjamin kok. Beda sama aplikasi kencan online yang lain. Jadi, lo nggak perlu ragu buat download aplikasi ini.”

“Emang Lo udah dapet kenalan dari ni aplikasi?”

“Udah, dong. Ganteng banget loh, Ki."

Kemudian Ajeng memperlihatkan halaman obrolan antara dirinya dengan kenalannya tersebut. Kiki menyetujui jika si lelaki memiliki wajah yang rupawan saat melihat foto profilnya.

“Gimana? Tertarik? Gue juga download karena temen gue. Dia udah banyak dapet kenalan dari ni aplikasi. Siapa tahu, kan, gue mujur dapet jodoh.”

“Jeng, gila lo,” decak Kiki. “Lo cocok jadi sales ni aplikasi. Cocok banget! Coba lo lamar aja ke aplikasi ini, siapa tahu lo bisa jadi sales mereka.”

“Sialan lo! Kalau gue tahu caranya, udah gue sebar lamaran gue. Tapi sekarang, gue mau menebar umpan buat dilamar aja. Mungkin takdir gue itu dilamar orang, bukan melamar kerjaan.”

“Ada opsi lain nggak, sih, selain download ginian? Ogah gue. Beneran, deh.”

“Sejauh ini, cuma ini opsi dari gue. Sorry, Ki.”

Kiki mendesah panjang. Memikirkan ulang usul Ajeng untuk mengunduh aplikasi kencan online tersebut. Sebenarnya tawaran Ajeng cukup menarik, tapi sayang, ia takut jika menemukan orang yang salah dari aplikasi tersebut. Mencari pasangan tanpa aplikasi saja dia sering salah, apalagi melalui aplikasi. Di mana identitas bisa dipalsukan karena tidak melihat secara langsung.

“Atau gini deh,” sahut Ajeng lagi. “Gimana kalau lo ikutan acara Grab Me! aja?”

“Grab Me!? Apaan tuh? Kayak transportasi online aja.”

“Lo nggak pernah nonton TV apa?”

Gelengan Kiki membuat Ajeng berdecak, “Astaga dragon kesambet petir!”

“Lebay deh, lo."

“Itu acara lagi happening tahu, Ki. Masa lo nggak tahu? Jadi lo ngapain aja di rumah?”

“Rebahan,” jawab Kiki singkat.

“Kalau Lo nggak mau download aplikasi kencan online yang gue saranin, mending lo daftar buat ikutan Grab Me! aja deh. Serius gue.”

“Itu apaan sih? Dari tadi Lo nyuruh gue mulu. Malah gue yang merasa insecure banget gara-gara jomlo belum kawin-kawin.”

“Ih, bukan gitu maksud gue. Astaga dragon banget ni anak satu!” ucap Ajeng frustrasi. “Jadi gini loh, Ki, kalau lo belum tahu, Grab Me! Itu acara TV tentang pencarian jodoh. Yang ikut ni acara high class semua. Mereka melalui casting, no kaleng-kaleng pokoknya. Trust me!”

“Nah, terus?”

“Lo beneran nggak pernah denger? Nggak pernah nonton? Nggak main-main, kan, sama gue?”

“Eh, biji salak! Lo tahu sendiri gue nggak pernah main-main sama ucapan gue. Ngapain juga gue bohong? Gue aja baru denger acara Grab Me! dari elo. Gue males nonton TV, jadi nggak tahu ada acara gituan.”

“Oh, oke,” balas Ajeng. “Gue lanjut, nih, ya?”

“Silakan mbak marketing yang nggak dibayar,” sarkas Kiki. Meski begitu, ia mendengarkan juga secara saksama penjelasan Ajeng.

Grab Me! yang merupakan tayangan di salah satu TV swasta. Program acara tersebut merupakan salah satu cara para jomlo untuk menemukan pasangan mereka. Entah karena sibuk bekerja atau mencari pasangan di zaman sekarang sama seperti mencari jarum di tumpukan jerami, acara tersebut langsung meledak dan menjadi trending topic di mana-mana.

“Ada yang berhasil?” tanya Kiki. Ia cukup tertarik juga dengan Grab Me!.

“Ya ada dong, malah pasangan yang berhasil itu CEO di salah satu perusahaan. Keren nggak?”

“CEO beneran ada? Bukan karangan di novel?”

“Ya ada dong. Makanya, kencengin doa lo biar dapet laki CEO.”

“Pasti!” tekad Kiki.

“Pokoknya, lo mesti dapet CEO! Nggak pake nolak!”

Kiki mengangguk. Tekadnya sudah bulat, ia harus mendapatkan suami CEO!

***

Gimana ceritanya? Seru? Jangan lupa masukkan ke library kalian, ya. Kita lihat gimana Kiki dan Ajeng selanjutnya. Apa bakalan dapet suami CEO? Jangan lupa like, komen, dan bagikan cerita ini ke teman kalian, ya.

Xoxo
Winda Zizty

11 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro