Lima Belas
Sebenarnya, Kiki sudah lelah mencari lowongan pekerjaan di internet. Membuat akun pencari kerja di situs khusus lowongan pekerjaan pun sudah ia lakukan di lima situs berbeda. Namun hingga detik ini, tidak ada satu pun lamarannya yang menuai panggilan kerja. Mengantarkan lamaran langsung ke kantornya pun, sudah ia lakoni. Jangan tanya sudah berapa kali ia melakukannya. Terlalu sering hingga ia tidak lagi menghitung.
“Nikah apa kerja, ya? Mau kerja, tapi sampe sekarang masih nganggur. Kalaupun nikah, hilal jodoh belum kelihatan,” gumam Kiki sedih. Memeluk bantal, ia kembali mengusap layar ponsel. Membuka satu persatu lowongan pekerjaan yang tersedia di salah satu situs pencari kerja.
Kiki memang ingin bekerja sebelum menikah. Namun kalau ternyata dia ditakdirkan untuk tidak bekerja, gadis itu memilih pasrah. Pilihan untuk menikah begitu menggoda gadis itu, tetapi hingga detik ini belum ada satu pun lelaki yang melamar. Mendatangi kedua orang tuanya dan mengutarakan niat untuk membangun rumah tangga bersama.
Bosan karena lowongan pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan jurusannya, Kiki memilih bermain sosial media. Berselancar di dunia maya demi menyegarkan pikiran. Alih-alih pikirannya kembali segar, yang ada dia semakin insecure. Pasalnya, baik postingan maupun instastory milik teman-temannya memuat kegiatan mereka yang tengah bekerja.
“Ah? Kapan gue kerja?” desah Kiki. Terselip rasa iri dalam hatinya.
Karena tidak mau menyimpan iri lebih banyak dalam hatinya, Kiki mematikan sambungan internet di ponselnya. Kali ini ia bermain permainan cacing yang tengah digandrungi. Awalnya pikiran Kiki teralih karena begitu asyik bermain, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Ia kembali merasa bosan hingga akhirnya tidur menjadi pilihan terakhir gadis itu.
Meletakkan ponsel ke atas nakas, gadis itu memeluk guling. Memejamkan mata, berharap dapat segera berpindah ke alam mimpi.
Entah sudah berapa menit berlalu—yang terasa seperti detik—kelopak mata Kiki terpaksa terbuka saat dering ponsel membangunkannya. Setengah mengantuk, ia meraih ponsel dan mendapati nama Ajeng di layar ponselnya. Meski bingung, akhirnya ia menjawab juga panggilan tersebut.
“Apa?” ucap Kiki.
“Baca WhatsApp gue sekarang.” Ajeng berkata dengan nada perintah. “Tuman banget, gue nge-wa malah centang satu.”
“Ya, ya.” Kiki lantas mematikan sambungan telepon. Ia merenggangkan tubuh sebelum duduk di atas kasurnya.
Tidak langsung melihat pesan yang dikirimkan Ajeng, Kiki malah pergi ke dapur untuk mengambil minum. Kerongkongannya terasa kering karena baru bangun tidur. Meski begitu, tidak lupa ia membawa serta ponselnya. Niatnya, sih, mau baca pesan dari Ajeng di dapur. Sekalian ngemil, kalau ada makanan.
Duduk di kursi meja makan dengan segelas air mineral dingin, Kiki pun menghidupkan sambungan internetnya. Ternyata Ajeng kembali mengirimkan info lowongan pekerjaan. Namun sesuatu menarik minat Kiki dari lowongan pekerjaan ini.
Malas mengetik, Kiki memutuskan untuk mengirim voice note ke Ajeng.
“Ini beneran? Halo TV buka lowongan? Jadi sekretaris?”
Voice note terkirim. Kiki menandaskan minumannya sebelum kembali mengisi gelas. Sekitar lima menit kemudian voice note Kiki telah berubah menjadi centang biru dua. Dilihatnya, ternyata Ajeng tengah mengetikkan balasan.
Iya. Makanya gue ngirim ke elo. Ini bisa jadi langkah lain supaya lo beneran bisa ngegaet CEO.
“Lo nggak ikut ngelamar?” tanya Kiki. Kembali melalui voice note.
Nggak. Gue nggak minat kerja di stasiun TV. Meskipun jadi sekretaris.
“Oh, ya udah kalau gitu. Gue apply, nih.”
Terserah lo!
“Tumben lo nggak minat. Tapi maaciw, ya, udah ngasih info.”
Najis.
“Astagfirullah mulutnya.”
“Bacot! Buruan sana kirim lamaran!”
Tidak disangka, Ajeng mengirim voice note juga. Mungkin lelah karena Kiki terus-menerus mengirim voice note, alih-alih mengetikkan pesannya.
“Hahahaha!”
Kiki benar-benar geli membuat Ajeng keki seperti ini. Apalagi setelahnya, Ajeng mengirimkan umpatan melalui voice note. Membuat Kiki harus mengurangi volume ponselnya yang sudah ia atur maksimal.
“Asem banget si Ajeng. Ngumpatin orang nggak main-main, langsung gas pol.”
Kiki geleng-geleng kepala, tidak habis pikir. Entah kenapa ia masih saja berteman dengan Ajeng. Padahal untuk urusan satu itu, mereka bagaikan langit dan bumi. Sisi negatif berteman dengan Ajeng, Kiki semakin sering mendengar kata-kata makian yang kasar dari bibir gadis itu.
“Lama-lama rusak pembendaharaan kata gue.”
Setelah membaca persyaratan apa saja untuk melamar posisi sekretaris di Halo TV, Kiki gegas mengirim berkas yang diperlukan. Untungnya ia sudah menjadikan satu berkasnya dalam file pdf. Hanya menggunakan ponsel pintarnya, lamaran sudah ia ajukan melalui situs karir Halo TV.
“Tinggal nunggu email dari mereka. Kalau dipanggil buat wawancara, ya, syukur. Kalau nggak, ya belum rejeki gue,” monolog Kiki. Ia antara pasrah dan sudah menyerah akan takdirnya. Bahkan lowongan pekerjaan pun, kebanyakan diberitahu Ajeng, setelah perkenalan mereka di job fair tempo hari.
Hendak meletakkan gelas kotor ke wastafel sekaligus mencucinya, Kiki melihat Lira tengah berbincang dengan tetangga mereka. Batas antara rumahnya dengan rumah tetangga adalah pagar semen yang mempunyai rongga dan tidak terlalu tinggi. Kalau untuk bergosip, Lira tidak perlu keluar rumah.
“... iya, belum rejekinya.”
Sayup-sayup Kiki mendengar suara Lira. Penasaran dengan topik yang dibicarakan Lira dengan tetangga mereka, perlahan Kiki mendekat. Sosok Ijah, tetangga mereka, mulai terlihat di mata Kiki.
“Aduh, padahal sarjana, ya, Lir, masa kerjaannya ngendon di rumah, sih?”
Dada Kiki terasa panas mendengarnya. Tanpa perlu mencari tahu asal mula pembicaraan tersebut, Kiki sudah mendapatkan jawaban mengenai topik yang tengah dibahas Lira dan Ijah. Sebisa mungkin Kiki menahan emosinya. Namun tidak bisa ia cegah saat rasa dongkol itu bercokol di hatinya.
“Iya, belum rejekinya aja. Aku percaya kalau rejeki orang itu sudah ada yang ngatur.”
“Iya. Haruslah kerja, masa di rumah aja? Sayang banget ijazah S1-nya. Lagian emang, sih, zaman sekarang banyak sarjana yang nganggur.”
“Kampret!” umpat Kiki pelan.
“Belum rejekinya aja, Jah.” Lira masih menjawab walaupun Kiki tahu, itu hanya basa basi. Seperti Kiki, Lira pun sudah dongkol saat Ijah berusaha menjelekkan anaknya yang masih menganggur hingga saat ini.
Tidak ingin mendengar lebih jauh percakapan yang ia yakin seratus persen dapat merusak harinya, Kiki kembali masuk ke dalam rumah. Gelas kotor yang sudah ia letakkan di wastafel, ia ambil kembali. Mengisinya dengan air mineral yang langsung ia habiskan. Berulang kali ia melakukannya hingga ia merasa cukup.
“Sayang ijazahnya,” kicau Kiki. Mengikuti cara Ijah saat mengucapkannya. “Ya kalau belum rejeki gue kerja mau gimana? Nggak usah dikasih tahu juga, gue sayang sama ijazah gue. Susah dapetinnya. Mesti dibantai dosen. Mana Dekan pula yang ngebantai.”
Kiki masih menyimpan dongkol hingga membuatnya tidak berhenti mendumel. Kiki sadar, di usianya yang semakin bertambah, maka akan semakin bertambah pula mulut-mulut manusia yang pasti akan nyinyirin kehidupannya.
“Rasanya pengen gue ulek jadi sambel terasi!”
Tangan Kiki sudah mengepal, saking kesalnya. Namun tangannya itu ia alihkan untuk mencuci piring, seperti tujuan awal gadis itu. Untungnya tidak ada barang yang pecah, meski Kiki melampiaskan kekesalannya pada peralatan makan yang kotor.
“Daripada ngegosipin gue yang masih nganggur, kenapa nggak nyoba bantuin cari lowongan kerja? Unfaedah banget jadi tetangga. Bukan saling ngebantu, malah saling ngehujat. Kayak dia nggak punya anak aja. Pake acara ngegosipin anak tetangga.”
Setelah mencuci piring, Kiki kembali ke kamarnya. Kembali ia mendumel, “Kali ini gue harus kerja, biar bisa nampel mulut tu orang-orang nyinyir. Kalau perlu kayak kata Ajeng, gue mesti nikah sama CEO biar pada mingkem tu lambe! Kalau gue nggak kerja, gue mesti dapetin CEO, minimal orang kaya. Dapet kerjaan sekaligus nikah sama CEO lebih bagus lagi. Biar melongo tu orang-orang.”
Kiki bersedekap, memandang pantulan dirinya di dalam cermin. Dahi gadis itu berkerut, campuran tekad yang kuat dan rasa dongkol.
***
Setelah makan malam, Kiki yang biasanya langsung masuk ke kamar, kini memilih untuk menemani Lira menonton televisi. Kiki sebenarnya malas, karena Lira tengah menonton tayangan dangdut. Namun gadis itu terpaksa ikut menonton karena Wisnu tengah ke rumah salah satu teman kerjanya untuk melayat.
“Ma, ganti channel lain aja,” sahut Kiki pada Lira yang fokus pada layar televisi.
“Ini aja. Lagi seru,” ucap Lira, tanpa menoleh.
“Ma, ganti aja. Masa nonton dangdut, sih?”
“Nonton sendiri aja di kamar kamu. Pake TV yang satunya.”
Kiki memanyunkan bibirnya. Percuma mendebat Lira untuk mengganti channel. Kalau sudah berhubungan dengan dangdut atau acara gosip, Kiki sudah pasti kalah. Akhirnya Kiki kembali pada kegiatan sehari-harinya, yakni memainkan permainan cacing.
Sudah lebih dari tiga kali ia mengulangi permainan karena kurang fokus hingga cacing gadis itu menabrak cacing yang lain. Padahal Kiki sudah sebisa mungkin menghindari cacing yang lain. Malah cacing lain yang seolah sengaja mengejar cacingnya agar bisa mati.
“Gue nggak pernah ganggu orang, malah gue yang djganggu. Padahal gue udah ngehindar setiap dideketin,” dumel Kiki, yang ternyata didengar oleh Lira.
“Kamu ngomongin siapa?”
“Cacing,” jawab Kiki pendek. Ia tidak ingin kehilangan fokus lagi hingga membuat cacingnya mati.
“Bukan ngomongin Mama, kan? Atau orang lain?”
“Argh!” geram Kiki karena cacingnya kembali mati. “Cacing kurang ajar! Gue udah ngehindar, malah kayak sengaja banget ngejer gue sampe mati.”
“Kiki!” sentak Lira hingga Kiki kaget dan segera menoleh.
“Kenapa, Ma?”
“Kamu kalau kesel sama Mama nggak usah ngumpat gitu. Ngomong langsung sama Mama. Gara-gara Mama nggak mau ganti channel, Mama jadi dimusuhin gini.”
Kerutan di dahi Kiki semakin dalam. Bingung dengan maksud Lira.
“Ha? Siapa yang musuhin Mama?”
“Terus, kenapa kamu ngomong gitu? Yang ada di sini Cuma kamu sama Mama aja.”
“Aku lagi main cacing, Ma,” kata Kiki. “Mama salah paham, deh, kayaknya.”
“Cacing?”
“Iya. Nih, lihat. Aku lagi main game.”
Sesuai interuksi Kiki, Lira pun melihat ponsel gadis itu. Senyum malu-malu tergaris di wajah wanita itu.
“Mama kira, kamu ngedumel karena Mama nggak mau ganti channel. Pas Mama tanya, kamu jawab cacing. Mama nggak tahu kalau itu game.”
“Makanya, Ma, tanya dulu. Aku udah bener jawab cacing, malah dikira yang lain.”
***
Xoxo.
Winda Zizty
27 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro