Selamat siang.
Happy reading. 💜

***

Kiki lagi asik ngemut jari-jari ayam saat Ajeng nyelonong masuk ke kamarnya. Ceker sambal jeletot yang merah membahana dan menggoda untuk diserang itu langsung menjadi objek tatapan mata Ajeng. Tanpa ba-bi-bu lagi, gadis itu langsung mencomot satu ceker dengan sambal yang paling banyak. Mengabaikan protes Kiki karena salah satu makanan favoritnya itu diembat Ajeng tanpa izin.

“Beli sana kalau mau lagi!” sahut Kiki saat Ajeng mau mengambil satu potong ceker lagi. Tak lupa ia menepuk punggung tangan Ajeng yang meluncur lurus bak sedang di jalan tol.

“Ya elah, bagi dikit ke gue nggak dosa kali. Malah nambah pahala,” balas Ajeng sambil manyun.

“Pahala apaan? Emang Lo kaum duafa? Dah sono pesen lewat ojek online. Pake hape gue deh, mumpung ada voucher promo.”

“Alhamdulillah, akhirnya lo mau nraktir temen lo satu ini,” ucap Ajeng semringah. “Semoga kebaikan elo ini membuat lo beneran dapet laki CEO.”

Dengan semangat 45, ia meraih ponsel Kiki dan membuka aplikasi ojek online. Namun gerakan tangannya seketika terhenti saat suara Kiki menyapa gendang telinganya.

“Kata siapa gue yang traktir? Gue cuma minjemin voucher, nanti lo ganti DuitPay gue. Rugi bandar dong gue, udah ngirit, malah jajanin elo.”

Ajeng memberengut kesal. Pasalnya ia sudah kepalang memesan ceker sambal jeletot. Kalau dibatalin, kan, kasihan abang ojolnya harus kehilangan satu orderan. Menjadi pengangguran seperti ini membuat Ajeng dan Kiki lebih menghargai profesi apa pun itu. Termasuk abang ojek online yang akan mengantarkan pesanan Ajeng.

Nyari kerja zaman sekarang susah, cuy. Jadi kedua gadis itu tidak mau meremehkan profesi, meski sekadar tukang sampah. Setidaknya mereka punya kerjaan, ketimbang Kiki dan Ajeng yang kerjaan utamanya cuma rebahan.

“Nggak jadi, deh, gue doain lo jadi bini CEO. Pas lagi buntu aja lo medit gini sama temen sendiri, apalagi pas lagi jaya,” sindir Ajeng.

Kiki malah terkekeh puas. Tidak peduli dengan ucapan Ajeng, ia lebih memilih menghabiskan ceker sambal jeletotnya.

Tidak lama, ponsel Kiki berdering. Satu panggilan dari nomor asing masuk ke ponselnya. Tahu itu merupakan panggilan dari abang ojek online-nya, Ajeng lekas menjawab panggilan tersebut.

“Siang, Mbak, dari ojek online. Ceker sambal jeletotnya satu, kan?”

Ajeng mengangguk, yang pastinya tidak dapat dilihat si abang ojek online. “Iya, benar. Tapi kalo abang mau nambahin seblak atau bakso aci, boleh juga tuh.”

“Oh, ya udah. Ceker aja berarti,ya, Mbak.”

“Ho’oh.” Ajeng manggut-manggut.

“Ditunggu, ya, Mbak.”

“Oke.”

Panggilan pun terputus, menyisakan cekikikan dari bibir Ajeng. Gadis itu memang suka usil ngegodain orang. Kali ini abang ojol yang jadi korbannya. Kiki sendiri tidak habis pikir bisa berteman dengan Ajeng. Kadang ia juga suka pusing mendadak mendengar celotehan kebun binatang dari bibir Ajeng yang tidak disaring lagi. Meski begitu, mereka memiliki kesamaan seperti kelamaan nganggur dan jomlo.

Salah satu kesamaan lain antara Ajeng dan Kiki adalah, mereka  tidak gemuk-gemuk meski doyan ngemil banyak. Entah karena cacingan beneran atau cacing-cacing di perut mereka menolak menyerap makanan karena kelamaan menganggur. Mungkin kalau mereka udah dapet kerjaan, perut mereka yang kelewat datar itu bakal sedikit membusung ke depan juga.

“Eh, Ki,” panggil Ajeng.

“Apa?” sahut Kiki ogah-ogahan.

“Nyomot satu lagi boleh nggak? Ntar lo ambil deh jatah ceker gue kalo udah dateng.”

Sebenarnya, tanpa Ajeng pinta seperti itu pun, Kiki akan memberikan. Namun melihat wajah memelas Ajeng, ia jadi tergoda buat ngusilin tu anak satu.

“Nih ambil. Ganti duit gue dobel, tapi, ya.”

Ajeng menghela napas. “Iya, deh, iya,” ucapnya.

Kiki terkekeh geli.

“Astaga muka lo. Lucu banget. Ya, kali gue malakin elo segitunya. Nih ambil. Abisin aja, gue udah kenyang.”

Kiki mengangsurkan ceker yang masih tersisa tiga potong lagi. Liur Ajeng hampir menetes melihat sisa sambal yang masih banyak.

“Aduh, lo emang the best, deh. Gue jadi, deh, ngedoain elo jadi bini CEO. Kalau perlu yang punya Halo TV, yang nyiarin Grab Me!. Jadi lo nggak perlu ikut Grab Me! lagi.”

“Amin, deh. Aamiin ....” Kiki berujar penuh semangat. “Eh, bukannya yang punya Halo TV itu udah tuir, ya? Lo ngedoain gue jadi bini muda kakek-kakek?"

“Elo yang ngomong, ya. Bukan gue. Kali aja, kan, dia punya anak laki. Lo negatif thinking mulu, sih.”

“Ih, masa dia ada anak cowok?” tanya Kiki penasaran.

“Ye, mana gue tahu, Esmeralda. Lo kira gue yang pegang akun gosip di Instagram yang tahu segala macam info? Info gue ada batasnya juga, keles.”

“Dih, dasar. Dah, makan aja sono.” Kiki jadi keki sendiri.

Ajeng mengendikkan bahunya, tak acuh. Bodoh amat dengan Kiki, mending dia ngabisin ceker di depan mata sambil nungguin ceker pesanannya datang. Lumayan bisa makan ceker pedas di cuaca yang sedikit mendung ini. Apalagi yang gratis. Ya, walaupun bulan depan ia mesti mengganti uang Kiki yang ia pakai untuk memesan ceker melalui aplikasi ojek online.

***

Gerimis kecil yang turun ke bumi membuat dua gadis yang hanya terpaut tiga bulan, tetapi berbeda tahun itu, lebih memilih rebahan di atas kasur. Sibuk dengan ponsel masing-masing, karena memainkan cacing yang ternyata lagi viral itu.

Awalnya Kiki hanya iseng, karena melihat sepupunya memainkan permainan cacing tersebut. Karena merasa di rumah akan bosan, maka ia memilih turut mengunduh permainan tersebut. Siapa sangka, saat Ajeng datang ke rumahnya dan melihat ia tengah memainkan permainan tersebut, Ajeng langsung heboh mengatakan kalau permainan tersebut tengah viral di Instagram.

“Mana gue tahu lagi viral. Gue download juga karena takut mati kebosanan di rumah,” ujar Kiki kala itu.

Karena sependapat dengan alasan Kiki di balik pengunduhan permainan cacing tersebut, Ajeng pun latah mengunduh. Biar bisa dikata mengikuti zaman juga, sih. Ajeng orangnya nggak mau kalah. Apalagi kalau hal tersebut tengah viral di zaman milenial ini.

Kalau orang lain bisa, kenapa ia tidak bisa? Kalau orang lain punya, kenapa ia tidak punya? Ya, walaupun ia mesti meringis juga melihat isi dompetnya yang sering sekarat.

Kiki berdecak kesal saat cacingnya tidak sengaja menabrak cacing lain. Padahal saat ini ia tengah berada di posisi pertama. Mengesalkan sekali.

“Napa lo?” tanya Ajeng tanpa melepas pandangan dari layar ponsel. Bisa gawat kalau ia menabrak cacing lain gara-gara melirik walau sedetik.

“Mati,” balas Kiki pendek. Ia mendengkus kesal mengingat posisi cacingnya.

“Apanya yang mati?”

“Hati gue!” sewot Kiki. “Ya cacing gue lah. Emang apa lagi? Gue, kan, dari tadi lagi mainin cacing kayak elo.”

“Oh.”

Kiki memilih tidak membalas. Ia mengunci layar ponselnya setelah melirik sekilas cacing yang dimainkan Ajeng. Turun dari ranjangnya, gadis itu lantas menuju dapur. Membuka lemari es dan mengambil dua botol air mineral untuk dirinya dan Ajeng.
Kiki baru memutar tubuhnya dan hendak kembali ke kamar saat melihat sosok Lira, sang mama. Lira yang tengah duduk di ruang tengah sambil makan seporsi mie instan membuat cacing di perut Kiki ikut meronta.

Tanpa tedeng aling-aling, gadis itu lantas mengambil sendok dan mendekati Lira. Liurnya hampir menetes melihat mie instan yang ditemani potongan cabai dan telur, ditambah kecambah dan sayur kol.

“Bagi dong, Ma,” sahut Kiki yang langsung menyendok kuah mie instan tersebut.

Lira yang tidak menduga akan kedatangan Kiki yang tiba-tiba, sedikit tersentak. Ia menepuk punggung Kiki secara spontan.

“Kebiasaan! Ngagetin orang tua aja,” omel Lira yang dibalas Kiki dengan cengengesan.

“Mama masak mie instan nggak ngomong lagi. Kiki, kan, mau juga kalo dimasakin.”

“Masak sendiri sana.” Lira menggerakkan dagunya ke arah dapur.

“Males. Mending dimasakin. Masakan Mama kan numero uno,” ucap Kiki seraya mengacungkan kedua jempolnya.

“Udah gede, masih aja manja,” cibir Lira.

“Hehe.”

“Si Ajeng mau juga nggak? Sekalian Mama masakin,” kata Lira, setelah membiarkan Kiki ikut merecoki sesi makannya.

Kiki mengangguk antusias.

“Tu anak ditawarin makanan apa aja, mana mau nolak. Selagi enak, gratis, dan halal, dia oke-oke aja, Ma.”

“Ya udah, panggil Ajeng sekalian. Kita makan bareng. Mi Mama jangan dihabisin.”

“Siap Bu Bos!” Kiki langsung berdiri dan memberikan penghormatan pada Lira. Melihat tingkah anak gadisnya itu, membuat Lira hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Udah usia siap nikah, malah masih manja banget sama Mama,” gumam Lira pelan. Namun masih bisa didengar Kiki.

“Makanya, cariin calonnya dong, Ma. Biar Kiki bisa nikah,” celetuk Kiki yang membuat Lira melotot.

“Kayak udah siap nikah aja. Masak air aja masih gosong.”

Kiki garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tidak mau mendengarkan ocehan Lira lebih lanjut, Kiki pun undur diri dengan alasan memanggil Ajeng. Kembali, desahan pelan dan gelengan kepala yang bisa Lira lakukan melihat tingkah anak gadisnya itu.

Kiki yang sudah masuk ke kamar langsung menggoyangkan tubuh Ajeng. Gadis itu ternyata tertidur di kamarnya. Karena Ajeng tidak juga membuka mata, Kiki berinisiatif membangunkan Ajeng dengan cara yang berbeda.

Perlahan, ia duduk di pinggir ranjang. Mendekatkan bibirnya, tepat di depan telinga Ajeng, kemudian ....

“Ajeng! BANGUN! ADA KEBAKARAN!"

“Kebakaran? Di mana kebakarannya?”

Ajeng langsung terlonjak bangun dari tidurnya. Matanya menatap awas ke sekeliling. Namun ekspresi cemas itu langsung berubah tatkala melihat Kiki yang tengah tertawa puas.

“Sialan! Lo ngerjain gue?” dongkol Ajeng.

Kiki masih memegangi perutnya yang terasa sakit akibat terlalu banyak tertawa. Tidak memedulikan Ajeng yang melotot ke arahnya. Memangnya siapa, sih, yang tidak kesal dibangunkan saat tengah nyenyak terlelap?

“Mon maap, habisnya lo susah banget gue bangunin.” Tawa Kiki sudah terhenti. Namun perutnya masih terasa sakit.

“Ngapain lo gangguin gue tidur, Maemunah? Padahal gue udah mimpi nikah sama CEO perusahaan minyak sayur.”

Kali ini, Kiki tidak bisa menahan tawanya. Entah kenapa saat ini ia sangat ingin tertawa lepas nan bebas. Meski ia tahu hal itu membuat kedongkolan Ajeng semakin menjadi.

“Nyokap gue masak mie instan. Lo mau nggak?”

Kiki akhirnya mengutarakan niat awalnya membangunkan Ajeng. Meski awalnya masih kesal, Ajeng mengiyakan juga tawaran Kiki untuk makan mie instan.

“Awas, ya, kalau sekali lagi lo bangunin gue tidur dengan cara yang nggak manusiawi kayak tadi,$ ancam Ajeng saat mereka berjalan bersisian keluar kamar.

“Iya, iya. Siap, Esmeralda!”

***

Jangan lupa like, komen, dan saran.

Xoxo

Winda Zizty
18 Maret 2020