Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Enam Belas

Happy reading. 💜

***

Menunggu hingga hari Kamis datang, Hansya lakukan dengan menyibukkan diri di kantor. Meski hal demikian tidak perlu ia lakukan. Hansya hanya tidak mau waktu senggangnya digunakan Herna untuk menjodohkan dirinya dengan seseorang lagi. Padahal, Herna sendiri sudah menyerah di percobaan pertamanya.

Semalam, Herna menghubungi Hansya, mengatakan jika ia akan pulang ke Surabaya besok. Tidak lupa ia berpesan agar Hansya menjaga kesehatannya. Mengingat lelaki itu tinggal seorang diri tanpa ditemani.

"Lo juga, safe flight. Jagain ponakan gue. Lagi hamil malah ke luar kota," omel Hansya.

Di seberang sana, Herna terkekeh. "Tenang aja, si kembar tahan banting kok. Dia juga nggak nakal."

"Bagus deh kalo gitu."

Kemudian hening. Keheningan itu Hansya pergunakan untuk membuat secangkir kopi hitam, tanpa gula. Entah kenapa saat ini, ia ingin menyesap minuman tersebut.

"Han," lirih Herna di seberang sana. Bertepatan dengan selesainya Hansya membuat kopi.

"Paan?" balas lelaki itu cuek. Disesapnya perlahan kopi yang masih mengepulkan asap itu. Tidak peduli saat lidahnya terasa terbakar.

"Besok, lo nggak bisa nganterin gue ke bandara?"

Ada harap yang terselip dari nada bicara Herna, Hansya bukannya tidak menyadari hal itu. Meletakkan kopinya di meja, Hansya lantas mendaratkan bokongnya ke sofa depan televisi.

"Kayaknya nggak bisa, Kak," kata Hansya akhirnya, setelah menimbang-nimbang.

"Oh, gitu, ya?"

"Tapi lihat besok aja deh. Gue nggak janji."

"Ya udah kalau gitu," balas Herna lesu.

"Permintaan si kembar?" tebak Hansya.

"Iya, kayaknya. Padahal gue eneg banget lihat muka lo. Kalaupun ngidam, kok malah pas hamil tua begini?"

Hansya terkekeh, lalu ia menyahut, "Awas aja, ntar anak lo mirip sama gue."

"Ogah!"

"Haha, kalau mirip gue emang kenapa, sih? Gue kan oomnya."

"Pokoknya gue nggak mau!" tolak Herna keras yang mengundang tawa Hansya.

"Ya udah, lihat besok aja. Tidur gih, udah malem."

"Lo juga cepetan tidur, nggak usah begadang. Kasihan gue. Kalo lo sakit, siapa yang ngurus? Nyokap pasti lebih milih ngurusin bokap yang butuh istirahat."

"Gue bisa ngurus diri gue sendiri." Hanya kembali menyesap kopinya. "Lagian, selama ini gue fine-fine aja kok."

"Iya, iya, gue cuma ngingetin aja."

"Thanks buat perhatian lo, Kak."

"Hm. Ya udah, gue mau tidur. Udah capek juga habis packing."

Sambungan telepon pun berakhir setelah keduanya saling mengucapkan selamat tidur. Herna dan Hansya memang tidak terlalu dekat. Namun bukan berarti mereka tidak saling peduli. Mereka hanya tahu sebatas mana seorang saudara saling peduli akan kehidupan pribadi saudaranya.

Hansya tidak langsung memilih tidur. Setelah menghabiskan kopi hitamnya, lelaki itu berdiri di balkon. Membiarkan angin menampar pelan kulitnya. Sekitar dua puluh menit berdiri sambil memandangi bintang-bintang, barulah lelaki itu masuk dan bersiap untuk tidur.

Keesokan harinya, lelaki itu pergi ke kantor seperti biasa. Namun tidak seperti hari yang sudah, lelaki itu yang menanyakan jadwalnya pada Andre.

"Bisa lo kosongin beberapa jadwal gue? Cancel aja pertemuan atau makan siang yang nggak terlalu penting. Atau ubah jadwalnya ke hari lain."

"Loh? Kenapa?" tanya Andre heran. Tidak biasanya Hansya mengubah jadwal seperti ini.

"Gue mau ke bandara nganterin kakak gue," jelas Hansya yang dijawab Andre dengan 'o' panjang.

Setelah Andre kembali mengatur ulang jadwalnya, barulah Hansya bertolak ke bandara. Herna sudah memberitahukan jadwal keberangkatannya. Namun saat Hansya tiba di rumahnya, ternyata Herna sudah pergi ke bandara diantar sopir mereka. Akhirnya, lelaki itu memilih menyusul Herna ke bandara.

Setelah memarkirkan mobil, Hansya langsung menuju gerbang keberangkatan dosmetik. Mata berbingkai kacamata itu langsung mengedar, mencari sosok Herna. Begitu sosok wanita hamil itu telah tertangkap netranya, tanpa ragu Hansya melangkahkan kaki, mendekat.

Herna tampak tengah mengobrol dengan seorang wanita yang berkuncir kuda. Hansya tidak tahu siapa, karena wanita itu berdiri membelakanginya. Herna tertawa saat perutnya dielus sang wanita.

Saat langkah Hansya semakin mendekat, Herna menyadari kehadiran lelaki itu. Panggilan Herna membuat si wanita menoleh.

"Loh? Hansya?" tanya Imelda—wanita itu.

Hansya mengabaikan Imelda. Ia terus melangkah dan kini berdiri di samping Herna. Kali ini, gantian Hansya yang mengelus perut Herna.

"Ponakan Oom apa kabar? Kangen, ya, mau ketemu Oom?" tanya Hansya.

"Enak aja kangen," sanggah Herna. "Kali elo yang kangen sama si kembar."

"Lah, buktinya si kembar maunya gue yang nganterin elo ke bandara."

"Kata siapa?"

"Elo sendiri yang bilang pas di telepon semalam."

"Enak aja!" cibir Herna. Pandangan wanita itu kini beralih ke Imelda. "Mel, gimana kalau kamu pulang bareng Hansya aja?"

"Ah?" Imelda melirik Hansya yang terlihat sekali tak acuh padanya. "Nggak usah, Kak. Aku naik taksi aja."

"Nggak usah. Mending sama Hansya aja. Toh dia juga lagi senggang." Herna menyentuh lengan adiknya. "Han, nanti anterin Imelda pulang, ya? Tadi gue nyuruh Imelda ke sini karena gue lupa bawa beberapa barang untuk rumah sakit. Kebetulan Imelda ada."

"Beli sendiri aja kenapa, sih?" ketus Hansya. "Tuman! Kayak nggak mampu beli aja."

"Nggak pa-pa kok, Kak, aku nggak keberatan. Lagian bukan barang mahal kok," ucap Imelda, menjawab kata-kata Hansya.

"Iya, nih, si Hansya, bawel banget." Herna berada di pihak Imelda. "So, Han, lo mau, kan, nganterin Imelda? Kasihan dia kalau naik taksi."

"Salah dia sendiri kenapa malah nganterin ke bandara!" ketus Hansya.

"Hm, nggak usah repot-repot, Kak Herna. Aku bisa naik taksi kok." Imelda mengalihkan tatapannya ke Hansya. "Iya, Kak, aku naik taksi aja. Di sini banyak kok taksinya."

"Nah! Lo denger sendiri, kan, jawaban dia?"

Herna merenggut. Menegur Hansya melalui lirikan matanya. Namun Hansya seakan buta dan mengabaikan semua kode dari Herna.

"Kalau gitu, aku pamit dulu, Kak." Imelda tersenyum, lalu cipika-cipiki dengan Herna. "Aku duluan, Kak Hansya."

"Hm," jawab Hansya cuek.

Imelda sudah berbalik dan menjauh dari kakak beradik itu. Melihat punggung Imelda yang makin menjauh, Herna langsung mendelik tidak suka pada Herna.

"Susul dia sekarang! Anterin dia pulang!" titah Herna.

"Ogah!" tolak Hansya. "Ya udah kalau gitu, gue juga mau balik ke kantor. Safe flight aja buat lo dan si kembar."

Hansya sudah hendak berbalik, tetapi Herna dengan sigap menjewer telinganya. Seperti saat mereka masih kecil dulu.

"Gue nggak mau tahu, pokoknya lo mesti anterin Imelda! Buruan susul dia sekarang!"

"Gue nggak ...." Hansya tidak melanjutkan ucapannya saat melihat Herna menangis. "Shit!"

"Anterin Imelda pulang, Hansya," pinta Herna di balik tangisnya.

"Iya, iya, gue anterin di pulang," kata Hansya, mengalah. Setelah mengusap perut Herna, Hansya langsung berlari mengejar Imelda. Sosok wanita itu Hansya temukan tengah berdiri menunggu taksi. Dengan langkah lebar, Hansya mendekat.

"Lo pulang sama gue."

Imelda sedikit tersentak mendengar ucapan itu. Ditambah dengan sikap Hansya yang sedikit menarik lengannya. Kebetulan, saat itu ada mobil yang mengarah ke arahnya dengan kecepatan cukup tinggi. Jika Hansya tidak menarik lengannya, mungkin Imelda sudah jatuh karena terserempet.

Imelda mengerjap. Menatap lengannya yang masih dipegang Hansya dan wajah lelaki itu secara bergantian. Sadar arah tatapan Imelda, lekas Hansya menjauhkan tangannya.

"Jangan geer. Ini karena perintah Kak Herna yang nggak bisa gue tolak."

"Ah, eh, iya, Kak. Ehm, makasih, ya, Kak," kata Imelda gugup.

Hansya menggumam pelan sebelum melangkah meninggalkan Imelda. Gadis itu mengekori langkah Hansya dengan degupan jantung yang semakin menggila. Gabungan antara kaget karena hampir diserempet dan efek akibat sentuhan Hansya di lengannya.

Imelda tidak berbohong, jika jantungnya selalu berdegup kencang setiap ada di dekat Hansya. Namun sayang, lelaki itu seolah sulit untuk ia raih. Bagai punuk yang merindukan bulan, seperti itulah situasi Imelda saat ini. Hanya dia yang menyimpan rasa diam-diam, sedangkan Hansya tidak.

Kecanggungan semakin terasa saat mereka berdua sudah berada di dalam mobil. Hansya yang terlalu fokus dengan jalanan, membuat Imelda sungkan untuk membuka percakapan. Gadis itu sangat tidak nyaman dengan situasi yang ada.

Hansya bukan tidak menyadari ketidaknyamanan yang Imelda rasakan. Namun lelaki itu memilih tidak peduli. Toh, memberikan tumpangan pada Imelda bukanlah sesuatu yang ia lakukan dengan sukarela. Ini semata karena ia tidak suka melihat Herna menangis. Lebih tepatnya, Hansya tipe lelaki yang tidak suka jika melihat seorang wanita menangis. Berapapun usia mereka.

"Ehm, Kak," ucap Imelda, berusaha memecah keheningan. "Halo TV sekarang banyak peminatnya, ya."

"Hm," gumam Hansya.

Kemudian hening. Imelda benar-benar kehilangan kata-katanya. Ia benar-benar tidak nyaman berkendara dengan seseorang yang tidak mengajaknya mengobrol seperti Hansya. Berusaha membuka percakapan, tetapi respons Hansya sangat jauh dari harapan.

"Gue turunin di mana?" tanya Hansya setelah keheningan menyapa.

"Ah, di rumah aja, Kak. Hari ini aku nggak ke rumah sakit."

Ketediaman Hansya membuat Imelda kembali merutuki kalimat yang keluar dari bibirnya. Padahal sudah jelas, Hansya tidak membutuhkan informasi apa pun darinya.

Calon dokter spesialis anak itu pun memilih diam. Berusaha mungkin mengunci bibirnya yang ingin sekali mengeluarkan kata. Imelda memang bukan tipe wanita yang tahan berlama-lama dalam keheningan saat bersama seseorang.

Jalan yang mereka lalui terasa begitu panjang bagi Hansya. Padahal ia tahu, jarak antara kediaman Imelda dari bandara tidak terlalu jauh. Tidak perlu memakan waktu hingga satu jam dalam keadaan macet sekalipun. Namun saat bersama Imelda, entah kenapa waktu terasa melambat, hingga rasanya membuat Hansya jengah.

"Ehm, Kak Hansya," panggil Imelda. "Aku boleh tanya sesuatu?"

Untuk sepersekian detik Hansya menoleh sebelum kembali fokus pada jalanan. Hal itu secara otomatis memberikan sinyal pada Imelda untuk melanjutkan kalimatnya. Apalagi setelah hadis itu mendengar gumaman pelan Hansya.

"Kak Hansya sudah punya kekasih?" tanya Imelda hati-hati. Jujur saja, ia sedikit ragu akan menanyakan hal ini pada Hansya.

"Urusin aja urusan lo sendiri!"

Jawaban ketus dari Hansya didukung oleh decitan ban mobil yang berhenti, tepat di depan rumahnya. Rahang Hansya yang mengeras sudah menjadi cukup bukti jika lelaki itu tidak menginginkan kebersamaan lebih lama lagi dengan Imelda. Sadar diri, Imelda langsung turun.

"Kak Hansya mau mampir?" tawar Imelda. Namun kembali ia menelan kecewa karena Hansya sudah berlalu dengan mobilnya tanpa menjawab tawarannya ataupun berpamitan.

Lagi, Imelda menerima penolakan dari Hansya. Meskipun tahu Hansya secara tegas menolak perasaannya, tetapi hal itu cukup menyakitkan untuk Imelda terima.

***

Seandainya semua cowok itu kayak Hansya yang dengan tegas nolak Imelda yang suka ngode ke dia. Kalau nggak suka, ya jangan dikasih harapan terus ditinggalin. Mending langsung tegas kayak gini kalau nggak suka, biar si ceweknya nggak berharap.
Setuju?

Xoxo

Winda Zizty
28 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro