Enam
Selamat malam. Happy reading. 💜
***
Hansya bergeming di depan jendela kaca besar, menatap hujan yang jatuh ke bumi. Rintikannya mengetuk kaca jendela, menciptakan harmoni dalam kesunyian yang semakin memeluk erat. Meski di luar sana hujan telah cukup lama menyapu dedaunan, menguarkan aura dingin bagi sekitar, Hansya tidak juga mengubah suhu ruangannya. Masih dalam suhu 16 derajat Celcius, tidak bertambah. Seolah ingin menjelaskan betapa dingin hati dan ekspresi lelaki itu.
Bahkan ketukan pelan di pintu ruangannya, disusul suara derap langkah pelan di belakang, tidak lantas membuat Hansya berbalik. Ia sudah hapal betul dari suara sepatu yang berderap di atas keramik itu. Pun tempo langkah yang ia sudah tahu milik siapa.
“Ada apa?” tanya Hansya, tanpa menoleh.
Andre membasahi kerongkongannya yang seketika kering. Udara dingin di luar sana, ditambah suhu pendingin ruangan, membuat kuduknya sedikit meremang. Padahal ini bukan kali pertama ia berada di suasana demikian. Namun kali ini, sesuatu telah mengubahnya. Andre sendiri tidak tahu apa. Mungkin karena aura yang dikeluarkan Hansya saat ini.
“Tiga puluh menit lagi ada rapat direksi,” ucap Andre. Mengingatkan jadwal Hansya hari ini.
Mendesah pelan, Hansya kemudian mengangguk. “Gue akan ke sana, lima menit sebelum rapat dimulai. Ingatkan gue kalau sudah waktunya.”
Andre mengusap layar tablet di tangannya. Kembali ia mengucapkan jadwal Hansya, “Kemudian ada makan malam dengan Pak Reanu untuk membicarakan tayangan baru di Halo TV.”
“Oke, gue akan pergi sendiri nanti malam.” Tidak ada bantahan dari Hansya. Tidak seperti biasa.
Seingat Andre, Hansya selalu mengajaknya ikut serta jika bertemu dengan Pak Reanu. Makan malam berkedok membahas pekerjaan, tetapi ada maksud lain dari pertemuan itu. Namun kali ini, entah ada angin apa, Hansya memilih untuk menemui Pak Hansya sendirian. Tanpa meminta ditemani seperti yang sudah.
“Baik, Han,” balas Andre kemudian. Meski kepalanya dipenuhi tanda tanya besar.
Andre menunduk singkat, kali ini ia bersikap formal. Menebak jika suasana hati Hansya jauh dari kata baik, lelaki itu lantas pamit undur diri. Meninggalkan Hansya kembali dalam kesendirian di tengah hujan yang semakin deras.
Memasukkan kedua tangan ke saku celana, mata Hansya menerawang jauh. Tatapan tajam itu seolah dapat menembus kaca jendela yang membungkus salah satu sisi ruang kerjanya.
Perlahan, ia memejamkan mata. Menikmati suara hujan yang pernah ia dengar bisa menjadi salah satu obat untuk jiwanya yang lelah. Mencoba mengariskan senyum, tetapi justru air mata yang perlahan menetes dari pinggir matanya.
Setelah sekian tahun, akhirnya air mata itu kembali hadir. Meski sekuat tenaga Hansya menahannya, ia memilih kalah karena kenyataan yang menampar telak.
Ada yang tidak bisa ia ubah, apalagi cegah. Termasuk luka yang perlahan kembali terbuka di dalam hatinya, hanya karena sebuah nama yang kembali diperdengarkan di telinga.
“Haru ... aku merindukanmu,” bisik Hansya lirih pada hujan yang tidak akan pernah membalas ucapan rindunya.
Waktu terasa melamban saat Haru kembali masuk ke pikiran Hansya. Terlalu dalam mengenang sosok Haru, hingga Hansya tidak menyadari waktu yang sudah berlalu melewatinya. Suara sepatu yang beradu dengan lantai keramik membuat Hansya sedikit tersentak. Tersadar dari lamunan panjangnya mengenai Haru.
“Lima menit lagi rapat dimulai.” Suara Andre menyapa gendang telinganya.
Tanpa suara, Hansya berbalik dan menuju pintu untuk keluar. Namun baru dua langkah Hansya melewati Andre, bahunya ditahan hingga langkah lelaki itu turut terhenti. Berbalik, ia mengerutkan dahi saat melihat Andre merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah sapu tangan. Kerutan di dahi Hansya semakin menjadi tatkala saputangan itu disodorkan ke arahnya.
Seolah tahu tanya yang akan Hansya lempar, Andre lantas berujar, “Elo emang pemimpin di stasiun televisi ini, tapi sebaiknya lo hapus air mata lo sebelum pergi ke ruang rapat. Ah, gue rasa lo juga harus cuci muka. Kusut banget kayak belum diseterika.”
Hansya mengerjap, menyadari pelupuk matanya yang basah. Bahkan kacamatanya sedikit berembun. Kenapa hal sekecil ini dia tidak sadar?
Meraih saputangan yang diulurkan Andre, Hansya kemudian berbalik dan meneruskan langkah. Jika Andre tidak memberikannya saputangan, tentu Hansya tidak akan menyadari jejak air mata yang hampir mengering di wajahnya.
“Thanks,” gumam Hansya pelan saat mereka sudah berada di depan lift.
Andre tersenyum, menepuk pundak Hansya pelan.
“Bersedih boleh, tapi jangan terlalu larut di dalamnya.”
Hansya memilih bungkam. Namun ia mengingat kata-kata Andre barusan. Mengukirnya di dalam ingatan.
***
Hansya sedikit melonggarkan dasinya, melepas kacamata dan memijat dahi. Memejamkan mata, ia membiarkan pijatan kecil itu sedikit merilekskan pikirannya yang cukup kalut. Malam sudah naik ke permukaan. Matahari pun sudah pulang ke peraduannya. Namun Hansya masih memilih berada di ruang kerjanya. Padahal, Andre sendiri sudah ia suruh pulang ke rumah.
“Perlu gue temani makan malam bareng Pak Reanu?” tawar Andre, untuk kesekian kalinya. Namun gelengan kepala tetap menjadi jawaban Hansya.
“Pulanglah. Anak dan istri lo sudah nunggu di rumah.”
Andre masih bergeming dengan tablet di genggaman tangannya. Menyadari Andre masih berdiri di tempat, Hansya lantas mendongak. Menatap lurus wajah Andre yang seolah ingin mengatakan sesuatu.
“Kenapa masih di sini?”
“Gue tahu apa yang mau dikatakan Pak Reanu. Lo yakin mau menghadapi beliau sendirian? Kehadiran gue di sana, mungkin bisa meminimalisir pembahasan itu, kayak yang sudah lewat.”
Hansya menggeleng, lantas berdiri untuk menepuk bahu Andre. Ia bahkan menggiring Andre menuju pintu.
“Pulanglah. Gue mau nyoba menghadapi orang tua itu sendiri, kali ini.”
Meski enggan, akhirnya Andre mengalah.
“Ya udah, gue pulang dulu.”
Hansya mengangguk, menggaris senyum tipis. Setelah sosok Andre sudah menghilang dari pandangan, Hansya menghapus senyumnya. Kembali menuju meja kerjanya dan duduk di sana hingga matahari kembali ke peraduan.
Kini, Hansya sedikit menyesali keputusannya itu. Benar seperti yang Andre katakan, kehadiran lelaki itu di antara dirinya dan Pak Reanu sedikit meminimalisir percakapan di antara mereka.
Kembali mengenakan kacamata dan memperbaiki penampilannya, Hansya kemudian berdiri dan memilih pergi. Bagaimanapun juga, ia harus menerima undangan makan malam Pak Reanu. Meski setengah mati ia membenci maksud di balik setiap makan malam mereka.
Andre sudah menyebutkan di restoran mana yang menjadi tempat pertemuan dirinya dan Pak Reanu. Bahkan meja pun sudah dipesan lelaki itu. Hansya hanya tinggal menuju tempat tersebut sesuai jam yang telah dijanjikan.
Jalanan cukup padat malam ini. Hansya yang memang sudah memiliki prinsip untuk on time, untungnya sudah pergi lebih cepat dari jam pertemuan. Ia sudah mengira-ngira pada pukul berapa ia akan tiba di restoran. Meski sedikit meleset beberapa menit, Hansya tiba di restoran sebelum waktu yang telah ditetapkan.
Parkiran cukup lenggang hingga Hansya dapat dengan mudah memarkirkan mobilnya. Setelah mengunci mobil, Hansya pun mulai memasuki restoran. Seorang pelayan langsung mengantar Hansya ke meja yang telah dipesan, setelah lelaki itu menyebutkan namanya.
Hansya tersenyum tipis. Andre sangatlah mengingat apa yang ia suka. Bahkan meja yang dipesan kali ini cukup memanjakan pandangan Hansya. Meja yang berada di bagian atap restoran, menyajikan pemandangan kota di waktu malam. Kerlipan lampu yang tampak seperti pantulan bintang di langit, dapat Hansya yakini bisa mengalihkan perhatian lelaki itu dari percakapan yang sangat mungkin ia hindari nanti.
Tak berselang lama, sosok Reanu tertangkap pinggir mata Hansya. Lelaki paruh baya yang terlihat parlente itu langsung menjabat tangan Hansya yang berdiri menyambut kedatangannya.
“Sudah lama?” tanya Reanu, basa basi.
“Lumayan,” balas Hansya. Ia masih bersikap sopan, mengingat Yusrizal dan Reanu memiliki hubungan yang cukup baik. Apalagi seingat Hansya, dua lelaki paruh baya itu berasal dari daerah yang sama. Hal yang membuat kedua lelaki itu dekat, meski jabatan mereka di stasiun tidaklah sama.
Setelah bercakap singkat, menu makan malam yang sudah dipesan pun datang. Hansya menyantap makan malamnya dalam diam. Sebisa mungkin menghindari tatapan Reanu yang tengah terarah kepadanya secara intens.
“Jadi,” ucap Reanu setelah makan malam mereka tandas, “apa rencananya untuk Halo TV ke depannya?”
Hansya melirik Reanu sekilas dari balik gelas. Meletakkan minumannya, Hansya lantas menjawab, “Saya akan tetap menjadikan anak muda sebagai sasaran utama program-program di Halo TV.”
Reanu mengangguk, lantas tersenyum. “Kalau untuk sepuluh tahun ke depan? Apa kamu sudah memikirkannya?” tanya Reanu kembali.
Hansya tersenyum miring. Tahu jika Reanu tengah menebarkan umpannya. Berharap agar Hansya terpancing hingga ia bisa melontarkan tanya yang memang menjadi tujuan utama makan malam ini.
“Saya belum memikirkan masa depan hingga sejauh itu, Pak. Saya sendiri bahkan tidak yakin apa sepuluh tahun mendatang, saya masih ada di dunia ini. Tidak ada jaminan, kan, jika sepuluh tahun lagi saya masih hidup.”
Hansya dapat melihat jelas ekspresi Reanu yang berubah. Lelaki itu cukup terkejut dengan jawaban Hansya yang di luar ekspektasinya. Senyum miring kembali tergaris di bibir Hansya. Untuk menutupi senyum itu dari pandangan Reanu, Hansya kembali meminum minumannya.
“Apa kamu masih belum kepikiran memiliki pendamping?” Reanu langsung menembak ke intinya. Dalam hati Hansya tertawa karena justru Reanu yang memakan umpannya sendiri.
“Selagi saya merasa baik-baik saja dalam kesendirian, itu tidak masalah.” Pandangan Hansya mengunci netra Reanu.
“Tahun ini putriku akan menyelesaikan pendidikan spesialisnya,” kata Reanu memberitahu. “Kamu ingat Imelda? Putriku yang satu itu tengah mencari pendamping.”
Ingin sekali Hansya mengeluarkan kata-kata tajamnya. Namun mengingat hubungan antara Yusrizal dan Reanu, Hansya menahan keinginannya tersebut. Menahan diri meski dirinya sudah amat sangat muak dengan pembicaraan ini.
“Lalu?” ucap Hansya, tak acuh.
“Aku rasa kalian berdua bisa cocok. Lagipula kalian berdua sudah cukup lama saling mengenal.”
“Sayang sekali. Meski sudah mengenal cukup lama, kami tidak sedekat yang Anda bayangkan, Pak.” Ada senyum kecil di wajah Hansya dan Reanu melihatnya. Sebuah senyum yang jauh dari kata bersahabat.
“Aku mendengar Yusrizal sering menanyakan perihal pendamping untukmu.” Reanu masih tidak kehabisan cara.
“Ya, itu benar.”
“Aku dengar juga kesehatan Yusrizal makin memburuk. Apa kamu tidak ingin Yusrizal melihatmu meminang seseorang?”
“Maaf, itu masalah internal keluarga saya. Bukankah kita di sini untuk membahas Halo TV?”
Reanu sedikit tersedak, matanya sedikit melebar, ekspresi lelaki itu pun berubah. Namun dalam sepersekian detik, Reanu dengan lihai mengubah kembali ekspresinya.
“Ya, benar, kita memang hendak membahas Halo TV. Namun hal ini tetap berkaitan, bukan? Membahas calon penerus Halo TV yang tengah digemari anak muda.”
Hansya bersedekap, tidak sedetik pun matanya terlepas dari wajah Reanu.
“Ini sudah kesekian kalinya Anda menawarkan Imelda pada saya secara tidak langsung. Apa sebegitu inginnya Anda menjadikan saya sebagai menantu? Atau ada motif lain di balik ini semua?” tembak Hansya langsung.
Seperti dugaannya, Reanu terdiam. Skak mat! Lelaki itu kehilangan kata-katanya.
Menepuk kedua paha, Hansya lantas berdiri. “Jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, saya pamit undur diri. Terima kasih atas undangan makan malamnya.”
Menundukkan kepala sebagai tanda hormat, Hansya lantas berbalik dan meninggalkan Reanu. Lelaki itu masih bergeming meski Hansya kini sudah menghilang dari pandangan.
Mengembuskan napas panjang, Hansya lantas menggeleng. Tidak habis pikir di setiap kesempatan, Reanu begitu getol menyisipkan Imelda dalam percakapan mereka. Mencoba menjodohkan dokter muda itu padanya.
“Seharusnya gue nggak menolak tawaran Andre tadi,” gumam Hansya sebelum berlalu dengan mobilnya.
***
Stay safe, ya, semuanya.
Jangan keluar rumah kalau nggak penting banget. Jangan lupa masker dan cuci tangan pakai sabun. Hand sanitizer juga jangan lupa dibawa.
Xoxo
Winda Zizty
19 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro