Empat Puluh
Happy reading.
***
Yusrizal terdiam memandang kedatangan putranya. Berita pengunduran diri Kiki sudah sampai di telinganya. Yusrizal tidak habis pikir apa yang sebenarnya Hansya pikirkan.
“Aku sudah tahu apa yang ingin Papa bicarakan,” ucap Hansya.
Melangkah mendekati Yusrizal yang duduk di salah satu sisi sofa, Hansya mencoba menarik senyum simpul. Setelah mengambil posisi duduk, tidak jauh dari Yusrizal, Hansya bersiap merangkai kalimat. Namun susunan kata itu lenyap tatkala ucapan Yusrizal menyapa telinganya.
“Apa yang sebenarnya kamu inginkan?”
Suara Yusrizal begitu dingin dan penuh tekanan.
“Ini semua kemauan Kiki. Aku sendiri tidak tahu kalau dia memilih resign.” Hansya berkata dengan jujur.
“Bukan itu yang Papa maksud!” sentak Yusrizal. Sontak Hansya terdiam. “Papa sudah kehabisan segala cara dan Papa tahu kamu menyadarinya. Mau sampai kapan kamu menutup hati kamu untuk gadis lain? Mau sampai kapan kamu berkubang dengan kenangan kamu dengan Haru?”
“Segala perjodohan bisa aku terima, Pa, tapi jika mengumpankan perasaan orang lain agar aku bisa lepas dari masa lalu, aku tidak pernah menginginkannya. Baik itu perasaanku atau perasaan Kiki, tidak seharusnya diatur seperti ini,” sahut Hansya. “Pilihan tepat jika Kiki memilih resign, daripada harus berusaha mencintai aku dan berharap aku bisa mencintainya balik. Perasaan manusia bukan mainan!”
Yusrizal terdiam. Merasa skak mat dengan apa yang diucapkan Hansya. Anak lelakinya itu tidak salah. Namun ia juga tidak salah karena menginginkan Hansya memiliki pendamping hidup di usianya yang tidak muda lagi.
Yusrizal memijat dahinya, tampak begitu lelah. Ia memejamkan mata, lalu berkata, “Sekarang terserah kamu, Hansya. Papa tidak akan memaksa kamu atau mengenalkan wanita lain. Tidak juga sengaja memasukkan wanita ke kehidupan kamu, seperti Kiki yang diterima menjadi sekretaris kamu.”
“Aku bisa mencari pasanganku sendiri, Pa.” Hansya sengaja menekankan setiap kalimat yang keluar dari bibirnya.
“Ya, terserah kamu saja.”
***
Hari menjadi pengangguran kembali Kiki jalani. Duduk di salah satu kafe, Kiki menatap layar laptop dengan seksama. Mencari lowongan pekerjaan untuk segera ia lamar. Satu hal yang Kiki sesalkan, ia memilih resign di saat ia belum mempunyai pekerjaan pengganti.
Sentakan di mejanya membuat Kiki mendongak. Tidak terlalu terkejut saat melihat Ajeng berdiri menjulang di hadapannya. Tanpa basa-basi Ajeng menarik kursi hingga duduk di sebelah kanan Kiki.
“Lo gila? Nggak waras? Apa kesurupan, Ki?”
Kiki melirik sekilas, sebelum kembali berkutat dengan layar laptop.
“Lo udah enak-enak kerja jadi sekretaris, malah milih resign? Astaga, Ki! Lo bisa bayangin nggak, di luar sana ada berapa ribu orang yang menginginkan posisi lo? Lo tahu, nggak, ada berapa pengangguran di Indonesia yang butuh kerja? Tapi lo malah ....”
Ajeng menatap Kiki dari atas ke bawah, tidak habis pikir. Kesal karena Kiki tidak menyahut, Ajeng meraih gelas minuman Kiki dan menghabiskannya tanpa tersisa.
“Minum gue! Lo pesen aja kenapa, sih? Nggak harus ngabisin minum gue juga!” protes Kiki.
“Gue haus. Tenggorokan gue kering. Gue capek koar-koar, tapi lo nggak nanggepin sama sekali.”
Kiki mendengkus. Alih-alih menjawab, ia malah memutar laptop hingga layarnya kini mengarah pada Ajeng.
“Apa nih maksudnya?” tanya Ajeng. Mendelik ke arah layar laptop.
“Baca aja,” titah Kiki.
Tanpa banyak bicara, Ajeng menuruti perintah Kiki. Membaca salah satu postingan di Instagram, mengenai alasan-alasan yang menyebabkan seseorang memilik resign dari tempat kerjanya.
“Jadi maksud lo, lo nggak nyaman sama tempat kerja lo?” tanya Ajeng memastikan.
Kiki mengangguk, mengambil kembali laptopnya. Kembali fokus mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya.
“Kok bisa? Apa yang buat lo nggak nyaman?” kejar Ajeng.
“Banyak, Jeng,” sahut Kiki.
“Contohnya?”
“Pak Hansya.”
“Ha? Pak Hansya?” tanya Ajeng, tak mengerti.
“Lo inget, ‘kan, pas lo bilang kalau kemungkinan besar Pak Hansya ada rasa sama gue?” Melihat Ajeng yang mengangguk, Kiki melanjutkan, “Lo salah, Ki. Pak Hansya nggak ada rasa sama gue, begitu juga gue. Hubungan kami hanya sebatas atasan dan bawahan. Hubungan profesional yang kayak gitu.”
“Kok bisa?”
“Ya bisalah, Jeng. Karena memang sedari awal ada Haru yang mengisi hati Pak Hansya, sampai saat ini. Kalaupun gue akhirnya suka sama dia karena intensitas kami di tempat kerja, hati Pak Hansya nggak akan terbuka semudah itu buat gue. Kenangan dia dan Haru lebih dalam dari yang orang lain pikirin. Gue tak ubahnya kambing hitam agar dia terlepas dari bayang-bayang Haru.”
“Bentar deh, Ki. Kok penjelasan lo kayak drama banget, sih?”
“Bukan drama, Jeng, tapi emang begitu kenyataannya. Pas di Surabaya gue nggak sengaja denger percakapan Pak Hansya dengan Pak Yusrizal, itu semua udah cukup untuk membuat gue sadar diri. Gue harus tahu di mana posisi gue saat ini.”
“Jadi karena itu lo resign?”
“Iya. Gue nggak mau ada perasaan yang jadi korban di dalam pekerjaan. Entah itu perasaan gue atau perasaan Pak Hansya, atau bahkan perasaan keluarganya. Karena ini nggak semudah itu untuk bilang seseorang harus menikah dengan siapa.”
“Tapi, Ki, jujur aja, gue nggak sepenuhnya ngerti dengan kondisi kayak gini.”
“Sama. Gue juga bingung, Jeng, jujuran aja.”
Kiki menutup layar laptop. Memutar posisi duduknya menjadi menyamping, hingga berhadapan dengan Ajeng.
“Gue nggak tahu mesti gimana, setelah ini. Gue bahkan mempertanyakan lagi apakah gue emang layak kerja di sana. Bahkan apakah gue beneran layak untuk dicintai? Karena kejadian ini buat gue mikir, untuk urusan pribadi aja orang-orang begitu ikut campur, apalagi untuk urusan yang lain.”
“Ki ... gue beneran nggak tahu maksud ucapan lo. Entah omongan lo yang bikin nggak ngerti, atau malah omongan lo terlalu ketinggian sampe otak gue nggak nyampe?”
“Jangankan elo, Jeng. Gue aja udah nggak tahu lagi apa aja yang keluar dari bibir gue. Rasanya gue udah nggak bisa lagi mencerna apa-apa aja yang bakalan gue ucapin.”
***
Bos dan sekretaris menjalin cinta. Kiki sering membaca kisah itu atas saran Ajeng. Bahkan atas saran Ajeng jugalah Kiki berharap bisa menikahi seorang CEO. Walau sebenarnya dia tidak yakin hal itu dapat terjadi di dunia nyata.
Menjadi sekretaris seorang Hansya Yusrizal sama sekali tidak Kiki sesali. Berkat bekerja di sana, seorang Kiana Putri memiliki pengalaman kerja yang bakal menghiasi curiculum vitae-nya. Berkat Hansya juga, Kiki bisa mengendarai mobil, walau tidak memilikinya.
Kiki bisa saja bertahan, jika ia tidak mendengar percakapan di Surabaya dan Yusrizal tidak memiliki niat lain di balik perekrutan karyawan baru. Kiki tidak menyangka hidupnya akan berubah sedrastis ini.
Mematut diri di depan cermin, Kiki menghela napas panjang. Mencoba menarik kedua sudut bibir dan menyemangati dirinya sendiri. Setelah merasa cukup tenang, gadis yang mengenakan kemeja putih dan rok span hitam itu pun melenggang keluar kamar. Tidak lupa meraih tas dan blazer hitam di atas kasur.
Hari ini, Kiki akan melaksanakan wawancara kerja. Lagi-lagi posisi sekretaris dipilih gadis itu. Kiki tidak berharap banyak. Setidaknya jika tidak diterima, ia bisa kembali merasakan mengenakan pakaian kerja dan masuk ke kantor. Kalaupun nantinya ia diterima, tentu ia akan bersyukur dan bekerja sepenuh hati.
Sekaligus, ia ingin menghilangkan sosok Hansya di pikirannya. Ada rasa tidak enak karena memilih resign seenak jidatnya.
Pukul dua siang, sesi wawancara kerja pun berakhir. Ada sekitar tujuh orang yang dipanggil untuk wawancara dengan HRD. Matahari begitu terik mencium kulit wajah Kiki saat gadis itu melangkah keluar. Perutnya sudah keroncongan dan dahaga menghampiri.
Menatap sekeliling, pillihan Kiki pun jatuh pada bistro yang tidak jauh dari kantor. Mempercepat langkah karena teriknya matahari, Kiki tidak menyadari hak sepatu yang ia pakai menginjak pijakan yang tidak rata. Alhasil, tubuh Kiki pun oleng ke samping dengan posisi kaki yang tertekuk.
Kiki meringis saat menyentuh pergelangan kaki kirinya. Beberapa pasang mata terarah padanya. Seolah tidak ada niat untuk menolong gadis itu berdiri. Menatap ke sisi kiri, Kiki pun berpegangan pada salah satu tiang penyangga. Susah payah gadis itu berdiri hingga tidak menyadari sebuah tangan terulur padanya.
“Sini saya bantu.”
Suara itu menarik atensi Kiki. Tanpa persetujuan, orang itu menarik tubuh Kiki hingga berdiri sepenuhnya. Kiki mengerjap. Tidak percaya dengan apa yang ditangkap matanya saat ini.
“Pak ... Hansya?”
“Lain kali, perhatikan langkah yang kamu ambil, Ki. Kamu lihat sendiri, ‘kan, orang-orang belum tentu mau membantu saat kamu jatuh kayak tadi.”
Kiki membisu. Antara mendengar dan tidak ucapan Hansya. Ia masih syok melihat Hansya yang sudah hampir tiga bulan tidak ia lihat setelah mengajukan resign.
“Ki? Halo? Kamu mendengar saya?”
Lambaian tangan Hansya di depan wajah Kiki membuatnya seketika tersadar. Ia mengerjap berulang kali sebelum kesadarannya kembali.
“Ah, iya, Pak. Makasih sudah nolongin saya.”
“Sama-sama.”
Hansya tersenyum. Sesuatu yang amat jarang Kiki lihat. Senyuman Hansya entah kenapa malah membuat Kiki makin terpaku.
“Kamu mau ke mana? Saya lihat jalannya cepat sekali.”
“Ah, mau ke sana, Pak,” ucap Kiki seraya menunjuk bistro yang hendak ia kunjungi.
“Ah gitu.” Hansya manggut-manggut. “Kebetulan saya mau ke sana. Mau bareng?”
“Ah, boleh, Pak.”
Berjalan berdampingan dengan Hansya dengan lengan lelaki itu yang melingkari bahunya, entah kenapa membuat Kiki sedikit gugup. Kiki tidak tahu Hansya sadar atau tidak tengah merangkulnya sambil berjalan. Meski tertatih dan harus menahan ngilu akibat terkilir, Kiki akhirnya sampai juga di bistro.
Setelah memilih meja, tak jauh dari pintu masuk, keduanya pun memilih menu untuk dikonsumsi. Selagi menunggu pesanan mereka datang, Kiki memilih melirik kakinya. Ada sedikit warna biru keunguan di pergelangan kaki kirinya. Pantas Kiki tidak nyaman saat berjalan.
“Kamu sedang apa di daerah ini?” tanya Hansya, membuka percakapan.
“Ah, saya melamar pekerjaan, Pak.”
Hansya mengangguk, menggaris senyum tipis. Respons Hansya tersebut membuat Kiki jadi tidak enak. Mengatakan tengah melamar pekerjaan pada mantan bosnya, tentu sangat membuat tidak nyaman.
“Maaf kalau selama ini sikap saya tidak baik dengan kamu.”
Mata Kiki membola. Tidak menyangka Hansya akan berkata demikian.
“Ah, tidak kok, Pak. Justru saya yang harus minta maaf karena sering terlambat mengerjakan laporan dan kadang salah mengatur jadwal Bapak.”
Hansya mengulum senyum. “Baiklah. Kita saling memaafkan kalau begitu.”
“Ah, iya, Pak.”
Kembali hening hingga pesanan mereka diantar ke meja. Menikmati makanan dalam diam, sesekali Kiki melirik pada Hansya. Lelaki itu kelewat tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Makan dulu, Ki, baru lihatin saya.”
Kiki tersedak makanan yang tengah ia kunyah. Tidak menyangka Hansya menyadari lirikan-lirikan yang ia layangkan. Terbatuk hebat, Hansya pun membuka sebotol air mineral dan menyerahkannya pada Kiki.
“Minum dulu, Ki. Makannya pelan-pelan saja.”
Menandaskan hampir setengah isi dari botol tersebut, Kiki merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa ia jadi seperti ini di depan Hansya? Sangat memalukan. Sudah terjatuh, kini ia malah tersedak makanannya sendiri.
“Habiskan makanan kamu. Karena saya tidak mau membuat kamu tersedak untuk kedua kalinya,” ucap Hansya.
Dahi Kiki berkerut, bingung. “Maksudnya, Pak?”
“Udah. Habiskan makanan kamu.”
Tidak ambil pusing, Kiki pun kembali menyantap makanannya. Bukan karena menuruti Hansya, tetapi karena ia memang lapar. Setelah makanannya habis, Kiki bersandar pada kursi. Perutnya sudah terisi dan ia pun sudah tidak kehausan lagi. Melempar pandangan ke luar jendela, Kiki mendesah karena matahari di luar sana masih bersinar dengan terik.
“Ki,” panggil Hansya.
Kiki mengalihkan pandangannya, menatap Hansya bingung.
“Iya, Pak?”
“Maafkan kelakuan papa saya. Saya tengah membahas percakapan kami di Surabaya yang tidak sengaja kamu dengar. Saya tidak menuduh kamu sengaja menguping, karena saya yakin kamu sama sekali tidak ada niatan seperti itu.”
“Pak, saya—”
“Saya benar-benar minta maaf, Ki. Saya tidak akan melibatkan perasaan kamu untuk kehidupan percintaan saya. Masalah saya dan masa lalu adalah sepenuhnya milik saya. Kamu tidak seharusnya ikut masuk dan terlibat di dalamnya.” Hansya menatap Kiki lurus. “Karena itu, kali ini, apa boleh saya masuk ke hidup kamu?”
Kiki menatap Hansya tanpa berkedip. Mulutnya ternganga tidak percaya.
“Mungkin terdengar aneh. Kamu boleh tidak percaya. Namun setelah kamu resign dan tidak bisa saya lihat lagi di kantor, saya sedikit merasa ... kehilangan. Jadi, Kiki, apa boleh saya masuk ke kehidupan kamu? Bukan sebagai bos kamu tentunya.”
“Maksudnya, Pak?” tanya Kiki. Ia masih perlu memproses untaian kata dari bibir Hansya. Ia takut berharap. Jadi Kiki hanya perlu meyakinkan diri kalau dia hanya salah mendengar.
“Papa saya benar. Saya pasti akan kehilangan sosok kamu di kantor, cepat atau lambat. Juga setelah saya membawa kamu ke rumah Haru, jujur saja, saya berharap kamu bisa mengerti apa yang tengah saya alami. Bisa membawa saya keluar dari penjara yang saya buat sendiri tanpa sadar. Jadi, Ki, izinkan saya memperbaiki semua dan masuk ke kehidupan kamu dari awal lagi. May I?”
“Pak ... ini maksudnya apa?” Kiki menatap sekeliling. “Ini nggak ada kamera tersembunyi, ‘kan? Ini bukan program Grab Me!, ‘kan? Bapak masih ingat, ‘kan, kalau saya pernah ikut Grab Me! dan Bapak memilih saya?”
Alih-alih membenarkan praduga Kiki, Hansya malah tertawa. Meraih tangan Kiki dan menggenggamnya lembut.
“Saya serius kali ini, Ki. Izinkan saya masuk ke kehidupan kamu. Mengenal kamu lebih dalam dan kalau boleh, menjadi bagian dalam cerita hidup kamu.”
“Pak, ini maksudnya apa?” Mata Kiki masih memindai sekeliling.
“Saya rasa, saya mulai menyukai kamu, Ki.”
Kiki terperangah. Menatap lurus manik mata Hansya.
“Saya menyukai kamu, Ki. Bukan sebagai pengganti Haru atau apa pun yang keluarga saya rencanakan. Saya menyukai kamu karena kamu adalah Kiana Putri. Jadi, Ki, izinkan saya masuk ke hidup kamu untuk merebut hati kamu.”
Butuh waktu bagi Kiki untuk mencerna semua ini. Namun melihat senyum merekah Hansya dan sorot penuh ketulusan di wajahnya, Kiki turut menarik kedua sudut bibirnya. Membalas genggaman tangan Hansya, gadis itu pun mengangguk.
“Saya perbolehkan Bapak masuk ke hidup saya dan berusaha merebut hati saya.”
Senyum Hansya makin merekah. Tanpa melepaskan tautan tangan mereka, Hansya berdiri dari duduknya dan merengkuh Kiki ke pelukannya.
“Terima kasih, Ki, sudah memberikan saya izin memasuki kehidupan kamu.”
Kiki tersenyum, mengangguk pelan.
“Sama-sama, Pak Hansya.”
***
Yeay!
Akhirnya cerita ini kelar juga setelah sekian lama purnama?
Gimana endingnya? Suka? Banyak yang minta happy ending, jadi aku kasih ending terbaik untuk Hansya dan Kiki. Semoga suka, ya.
Terima kasih banget untuk kalian yang sudah ngikutin cerita ini dari awal sampai akhir. Dari yang sebelumnya nggak ada komentar, jadi berisikan komentar dari kalian. Juga untuk pembaca baru, selamat membaca karyaku.
Oh iya, setelah naskah ini kelar, aku ada cerita baru. Jangan lupa mampir, ya.
Ceritanya udah ada di profil aku. Kuy baca juga.
Terima kasih sekali lagi. Salam sayang dari Hansya dan Kiki.
xoxo
Winda Zizty
29 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro