Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Empat Belas

Happy reading. 💜

***



Hening menemani perjalanan pulang Hansya dan Herna. Keduanya tidak ada yang membuka bibir semenjak mobil yang dikendarai Hansya meninggalkan mal. Sesekali Herna melirik Hansya di sampingnya yang tampak sekali tengah dikuasai amarah. Salahnya yang memang sengaja mempertemukan Hansya dengan Imelda tanpa seizin lelaki itu.

Perjalanan mereka rasanya seperti berhari-hari. Karena itulah, Herna mengusap perutnya penuh kasih, berharap kemarahan Hansya tidak turut dirasakan si kembar.

Hansya benar-benar marah dan Herna menyesal akan rencananya.
Mobil berdecit saat mereka sudah tiba di rumah. Segera Herna turun, tetapi Hansya tidak. Menoleh wanita itu menatap adiknya penuh tanda tanya. Pintu mobil masih belum Herna tutup.

“Gue nggak turun,” kata Hansya seolah tahu apa yang akan Herna tanyakan. “Gue mau pulang ke rumah gue.”

“Hansya,” panggil Herna pelan. Namun Hansya tetap bergeming, tanpa menoleh. “Kalau lo mau pulang, pamit dulu sama Mama dan Papa. Bagaimanapun juga lo anak mereka dan mereka ortu lo. Lo boleh marah sama gue.”

Hansya menghela napas pendek. Lelaki itu kemudian mematikan mesin mobil lantas mengikuti ucapan Herna. Wanita itu tersenyum saat melihat Hansya melangkah memasuki rumah. Sedikit berlari, meski sudah payah, Herna pun menyusul Hansya.

Alda dan Yusrizal tengah menonton televisi saat keduanya masuk. Melihat ekspresi Hansya, Alda gegas melirik Herna yang menggeleng lemah di belakang adiknya itu. Alda mendesah pelan, memegang bahu suaminya sembari menggeleng.

“Ma, Pa, aku mau pulang,” pamit Hansya kemudian mencium punggung tangan Alda dan Yusrizal.

“Kamu nggak nginep? Herna pulang ke Surabaya hari Kamis nanti.” Yusrizal mencoba menahan Hansya.

“Besok aku harus kembali kerja, Pa,” tolak Hansya halus.

“Kamu, kan, bisa pergi kerja dari sini. Nggak harus pulang.” Kali ini Alda yang membuka suara.

“Maaf, Ma, aku nggak bisa.” Hansya lantas mencium pipi Alda, sebagai permintaan maaf. “Mungkin lain kali aku nginep di sini lagi.”

“Ya sudah, hati-hati di jalan,” pesan Alda yang dijawab Hansya dengan anggukan.

“Aku pulang dulu, Ma, Pa.” Tatapan Hansya kini bersirobok dengan netra Herna. “Gue balik dulu, Kak. Kalau lo mau jalan, bisa minta anterin sopir atau naik transportasi online.”

Hansya melangkah menjauh dengan mantap. Meninggalkan tiga pasang mata yang menatap punggungnya dengan pikiran masing-masing.

“Gagal lagi, Her?” tanya Alda setelah sosok Hansya hilang dari pandangan. Bahkan deru mobil lelaki itu pun sudah tidak terdengar telinga lagi.
Herna mendesah, duduk di samping Alda.

“Aku nggak tahu mesti gimana, Ma. Kayaknya kita turutin aja kemauan Hansya. Biarin dia nyari calonnya sendiri. Kayak yang dia bilang, dia itu cowok, terserah mau nikah umur berapa aja.”

“Tapi dia masih mikirin Haru. Dia begitu karena belum bisa melepas kenangan dengan Haru,” ucap Yusrizal. “Papa akan coba mengatur kencan buta untuk Hansya lagi. Kali ini Papa yakin pasti akan berhasil.”

“Sudahlah, Pa, Hansya sudah besar. Benar kata, Herna, kali ini biarkan Hansya memilih calonnya sendiri. Sudah banyak gadis yang kita kenalkan ke Hansya, tapi tidak ada satu pun yang membuat Hansya tertarik. Sepertinya memang jodoh Hansya belum ia temukan.”

“Tapi, Ma—”

“Pa,” ucap Alda, mencoba menenangkan emosi suaminya yang tengah bergejolak. “Hansya sudah besar dan dia lelaki yang bisa bertanggung jawab dengan semua pilihannya. Percaya saja dengan apa yang ia pilih. Termasuk pilihannya untuk fokus ke karir, mengembangkan Halo TV.”

“Dia butuh pewaris untuk menjalankan Halo TV, Ma. Kita tidak tahu sampai kapan Hansya ada di dunia ini. Kalau dia meninggal sebelum mempunyai keturunan, siapa yang akan melanjutkan Halo TV? Rumah sakit kita di Surabaya sudah diurus Herna dan Ario. Lalu Halo TV? Siapa lagi kalau bukan Hansya dan anaknya kelak?”

“Pa, jangan berpikir terlalu keras. Ingat kata dokter? Papa harus banyak istirahat dan kurangi berpikir yang berlebihan. Kita ke kamar saja, yuk? Papa butuh istirahat.”

Yusrizal mengalah. Ia membiarkan saja saat Alda menuntunnya menuju kamar mereka. Sebelum menaiki tangga ke lantai dua, Alda berhenti. Memutar tubuhnya 90 derajat untuk menatap Herna.

“Kalau Imelda tidak bisa menjadi wanita yang mengisi hati Hansya, Mama tidak bisa membantu lebih jauh lagi. Meski Mama tahu kamu menyukai Imelda, adikmu tetap tidak mau membuka hatinya untuk gadis itu. Jadi berhentilah mencoba menjodohkan mereka.”

“Iya, Ma,” jawab Herna lesu.


***


Mengesalkan!

Hansya tidak menyangka jika Herna terlalu jauh mencampuri urusan pribadinya. Meski ia adalah kakak Hansya satu-satunya, lelaki itu tidak suka dengan cara Herna yang selalu menjodohkan ia dengan Imelda. Hansya yakin, Reanu juga memiliki andil dalam hal ini. Herna memang mudah diperdaya oleh Reanu yang pandai bersilat lidah.

Mencengkeram setirnya dengan kencang, amarah kembali menguasai Hansya. Entah kenapa, kali ini ia merasa Herna tengah mengkhianatinya. Padahal dulu, Herna selalu mendukung apa pun pilihan Hansya. Termasuk soal pasangan. Karena itulah, ia tidak ragu mengenalkan Haru ke keluarganya yang ternyata disambut baik.

Hingga akhirnya keyakinan meminang Haru muncul di hati Hansya. Pernikahan yang ia dan Haru nantikan, ternyata tidak berjalan sesuai ekspektasi. Kematian Haru saat hendak menyeberang menuju lokasi akad mereka telah memusnahkan harapan tersebut. Hansya yang tidak sengaja melihat dengan mata kepalanya sendiri, tentu mengutuk takdir yang telah memisahkan ia dan Haru melalui jalan kematian.

“Harusnya Haru masih hidup,” gumam Hansya. Ia sudah berusaha ikhlas dan merelakan kepergian Haru. Namun entah kenapa, hari ini, ia kembali menyalahi Tuhan dan takdir yang telah digariskan-Nya.

Gerbang kediaman Hansya sudah terlihat matanya, karenanya lelaki itu menambah laju kendaraan. Tidak adanya orang yang ia pekerjakan di rumah, membuat lelaki itu harus membuka dan menutup pagar sendiri. Setelah mobilnya terparkir di carport, Hansya masuk ke rumah dengan langkah sedikit gontai.

Bayangan akan kenangannya dengan Haru yang menari dalam benak lelaki itu, membuat Hansya melemah. Masuk ke kamar setelah mengunci pintu depan, lelaki itu pun rebah di atas kasur. Mencoba menutup mata, berharap kenangan yang telah berlalu itu berhenti menari-nari di benaknya.

Demi Tuhan! Selama tujuh tahun ini Hansya sudah bisa melanjutkan hidupnya tanpa Haru. Meski ia terseok di tahun pertama, tetapi perlahan ia mulai bangkit. Bahkan ia sudah tidak lagi memimpikan Haru di setiap tidurnya. Ia juga mengira Haru telah lelah menyapanya dalam mimpi.

Namun entah kenapa tahun ini, Hansya merasa usahanya bertahan selama ini sangat sia-sia. Ia masih mengharapkan Haru. Berharap Tuhan hanya bercanda mengambil Haru tujuh tahun silam dan tahun ini mau mengembalikan gadis itu ke hadapan Hansya.

“Bodoh!” kekeh Hansya, geli sekaligus miris dengan pemikiran tersebut.

Memijat pelipisnya, Hansya berusaha untuk tidur. Mungkin dengan beristirahat, ia bisa sedikit merilekskan pikirannya. Hansya juga tidak mau, di sisi Tuhan Haru harus tersiksa karena ia masih belum merelakan kepergian gadis itu.

“Beristirahatlah dengan tenang, Sayang. Aku juga ingin istirahat,” ucap Hansya, pilu.


***


Satu hal yang Hansya tidak suka setelah ia memikirkan Haru adalah, lelaki itu akan sulit tidur. Kalaupun ia jatuh tertidur, lelaki itu akan kembali terbangun setiap satu jam. Seperti saat ini.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Namun lelaki itu kesulitan untuk tidur kembali setelah terjaga dari tidurnya. Padahal siang tadi, Hansya sudah berusaha melakukan aktivitas seperti biasa. Ia bahkan sengaja membersihkan rumahnya untuk memiliki pengalih pikiran.

Hansya kira usahanya cukup berhasil karena ia sama sekali tidak memikirkan Haru lagi. Namun sesuatu di dalam kepalanya kembali memutar kenangan itu hingga memunculkan keresahan dalam hati Hansya. Keresahan yang berujung dengan terganggunya jam tidur lelaki itu.

Saat pukul dua lebih lima belas menit, Hansya kembali terlelap setelah susah payah menutup kelopak matanya. Namun, seperti yang sudah, lelaki itu kembali terbangun satu jam kemudian. Membuat kepalanya terasa begitu berat.

Kesal karena tidurnya tidak berkualitas, lelaki itu bangkit dari rebahnya dan melangkah menuju dapur. Mencoba mengisi perutnya yang entah kenapa terasa kosong. Membuka lemari penyimpanan di dapur, Hansya lantas mengambil sebungkus mi instan. Tidak lupa sebutir telur dan sayur-sayuran untuk menemani mi instannya.

Fokus memasak, Hansya tidak peduli saat kantuknya menguar entah ke mana. Ia tetap terjaga hingga fajar datang dan ayam di luar sana berkokok, saling bersahutan.

Begitu tiba di kantor, Hansya langsung disambut Andre yang sudah berada di meja kerjanya. Melihat kedatangan Hansya, dengan sigap Andre mengekori lelaki itu ke ruangannya guna memberitahu jadwal sang CEO hari ini.

“Lo nggak tidur?” tanya Andre. Keluar dari konteks pekerjaan.

Hansya menyipitkan matanya. “Kenapa emang?”

“Kantung mata lo item banget,” sahut Andre.

Tidak terduga, Hansya malah tertawa. “Kalau aja lo cewek, mungkin gue bisa baper karena perhatian lo itu.”

“Kalaupun gue cewek, gue nggak mau sama cowok dingin kayak elo. Udah dingin, galak pula.” Terus susah move on, tambah Andre dalam hati. Tidak mungkin ia menyuarakannya di depan Hansya.

“Lagian, siapa juga yang mau sama elo, Dre? Gue yakin, kalau lo terlahir jadi cewek, lo bakal cerewet banget ngelebihin suara bajaj.”

“Ya, ya, ya, suka-suka elo deh. Bos mah bebas.”

“Iya dong. Gue juga bebas mau gimana di kantor. Toh gue nggak digaji,” canda Hansya.

Andre seketika manyun mendengar ucapan Hansya. Tidak ingin ditertawakan Hansya lebih lanjut, Andre pun pamit untuk kembali ke meja kerjanya. Meninggalkan Hansya yang kehilangan senyumnya, seiring dengan langkah Andre yang menjauh.

Setelah memastikan Andre tidak akan berbalik karena ingin mengajaknya berbicara lagi, Hansya menundukkan kepalanya. Merasa begitu pusing hingga ia sedikit meringis kesakitan.

“Selalu pusing kalau gue kurang tidur,” keluhnya.

Hansya lalu berdiri, menuju lemari pendingin berukuran kecil di salah satu sisi ruangannya. Mengambil sebotol minuman isotonik dan meneguknya hingga habis.

Teringat akan sesuatu, Hansya pun menekan interkom di atas meja, menghubungi Andre.

“Dre, bisa lo beliin gue nasi uduk di depan? Gue laper, belum sarapan. Nggak pake lama!” titah Hansya dan langsung mematikan sambungan tanpa memberi Andre kesempatan untuk protes.

***

Senang rasanya kalau kalian menyukai cerita ini. 💜
Aku sengaja dan berusaha untuk update setiap hari demi menemani kalian yang #DiRumahAja.
Oh iya, jangan lupa mampir ke ceritaku yang judulnya After That Month, ya.
Terima kasih.

Xoxo

Winda Zizty
26 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro