Dua Puluh Tujuh
Happy reading. 💜
***
Pasti pernah mendengar bahwa roda kehidupan akan selalu berputar. Hal itu juga lah yang dialami Kiki. Rasanya baru kemarin ia dan Ajeng mengeluh karena masih menganggur dan jomlo. Namun kini, Kiki masih bergeming di atas kasurnya dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Padahal sambungan telepon sudah tidak lagi tersambung.
Ada bahagia yang terselip di tengah kebisuannya. Pasalnya, baru saja ia ditelepon jika ia diterima menjadi sekretaris di Halo TV. Tentu saja ia tidak percaya. Rasanya terlalu mustahil diterima bekerja di stasiun televisi yang tengah naik daun tersebut. Ia terlalu speechless.
Mematut diri di depan cermin, Kiki mencoba tersenyum. Hari ini, adalah hari yang bersejarah dalam hidupnya. Pertama kalinya ia bekerja setelah berbulan-bulan menganggur. Memeriksa sekali lagi penampilannya, barulah Kiki beranjak meninggalkan kamar. Wisnu tengah duduk di teras depan ditemani koran dan secangkir kopi. Sedangkan Lira tengah menyapu halaman.
“Udah mau pergi?” tanya Lira, begitu Kiki mendekat untuk berpamitan.
“Iya, Ma.” Kiki menjawab singkat. Diraihnya tangan Lira dan menciumnya, disusul kedua pipi wanita itu.
“Naik apa?”
“Pake ojek aja, udah dipesen kok.”
Lira manggut-manggut. Kemudian ia memberikan sedikit wejangan pada Kiki, mengingat ini kali pertama ia bekerja.
“Kasih kesan yang bagus,” pesan Wisnu saat Kiki gantian berpamitan padanya.
“Iya, Pa. Kiki pamit dulu, ya. Ojeknya udah di depan.”
Hampir setengah jam perjalanan Kiki tiba di Halo TV. Turun dari ojek, Kiki pun langsung memasuki gedung Halo TV dengan jantung yang berdetak kencang. Ia hari pertama ia bekerja, sekaligus pengalaman pertamanya, siapa yang tidak gugup jika berada di posisi Kiki?
Resepsionis memberikan Kiki tanda pengenal sebagai karyawan di Halo TV. Jika tidak berada di keramaian seperti ini, pasti Kiki sudah menangis saking bahagianya. Sesuai arahan, Kiki menaiki lift menuju lantai teratas. Lantai tempat ia akan memulai karirnya.
Kiki terkinjat, karena begitu pintu lift terbuka, seorang lelaki sudah berdiri di hadapannya. Melihat keterkejutan Kiki, lelaki itu pun berkata, “Selamat datang, ehm ...,” Lelaki itu mengusap layar tablet, “Kiana Putri. Aku Andre, sekretaris CEO Halo TV.”
Andre sedikit menggeser tubuhnya, memberi Kiki jalan keluar dari lift. Disambut seperti itu, tak ayal memunculkan senyum di wajah Kiki. Ia menerima uluran tangan Andre untuk saling berjabat.
“Terima kasih. Panggil Kiki saja,” pinta Kiki.
“Oke, Kiki.” Andre mengangguk.
Kemudian penjelasan singkat mengenai Halo TV dan job description Kiki mengalir dari bibir Andre. Keduanya melangkah menuju sebuah ruangan yang kata Andre adalah ruangan CEO. Ada meja kerja di dekat pintu yang biasa digunakan Andre. Namun hari ini, Andre harus membagi mejanya dengan Kiki sebelum ia benar-benar resign dari Halo TV.
“Pak Hansya masih dalam perjalanan, kita bisa rileks sejenak,” ucap Andre, lantas mempersilakan Kiki duduk.
Kiki merasa ada yang janggal dari penjelasan Andre. Alih-alih duduk di kursi yang tersedia, Kiki malah melempar tanya, “CEO kita cowok? Bukan cewek?”
Andre mengulum senyumnya, lantas menggeleng. “Iya, cowok. Namanya Hansya Yusrizal.”
“Bukannya di internet namanya Hafsya?”
Tidak disangka, Andre tertawa terbahak-bahak, membuat Kiki menatapnya bingung. Namun tawa itu tidak lama, karena Andre dengan cepat menguasai diri.
“Sudah sering kami meminta Pak Hansya untuk mengonfirmasi namanya yang salah ketik. Namun beliau memilih membiarkan kesalahpahaman itu hingga bertahun-tahun. Wajar kalau kamu pun mengira jika CEO Halo TV adalah perempuan.”
Mata Kiki sontak membola. Kaget dengan informasi yang baru saja ia dengar.
“Sudah, kamu tenang saja. Pak Hansya tidak akan memarahimu karena kamu salah mengira jenis kelaminnya. Salahkan wartawan yang salah ketik itu,” ucap Andre, mencoba menenangkan Kiki.
Kiki menghela napas, lalu mengangguk. Duduk di samping Andre, gadis itu pun kembali mendengar arahan dari lelaki yang kini menjadi rekan kerjanya.
Suara lift menginterupsi Andre dan Kiki. Keduanya sontak menoleh ke arah lift dan berdiri begitu sosok Hansya tertangkap netra mereka. Lelaki berkacamata itu nampak menyipitkan mata saat mendapati Kiki yang berdiri di samping Andre. Namun melihat senyuman di wajah Andre, tahulah Hansya jika gadis itu merupakan sekretaris barunya.
Hansya memasuki ruang kerjanya, diikuti Andre dan Kiki. Setelah lelaki itu duduk di kursinya, barulah Andre membacakan jadwal Hansya hari ini.
“Ah, iya, perkenalkan dia Kiana Putri, Pak. Mulai sekarang Kiki akan menjadi sekretaris Anda.” Andre memperkenalkan Kiki yang nampak kikuk.
Netra tajam Hansya memindai Kiki, membuat gadis itu menahan napasnya tanpa sadar. Anggukan Hansya membuat Kiki dapat bernapas lega.
“Oke. Selamat bergabung kalau begitu,” ucap Hansya acuh tak acuh. Dengan gerakan jemarinya, Hansya menyuruh Andre dan Kiki keluar dari ruangan.
“Jangan tegang gitu. Pak Hansya orangnya baik kok,” ucap Andre saat keduanya sudah di luar ruangan.
Kiki mengangguk, kemudian mengulas senyum tipis.
“Iya,” ucapnya.
***
Menjadi sekretaris ternyata tidak mudah. Mesti berada di sisi Hansya ke mana pun lelaki itu melangkah. Kecuali ke toilet, tentunya.
Saat ini, Kiki harus menemani Hansya bertemu dengan salah satu petinggi bank swasta di salah satu restoran. Tentu saja Andre pun turut serta. Ia tidak mungkin melepas Kiki begitu saja tanpa pengarahan. Terlebih mengingat ini pengalaman pertama Kiki bekerja.
“Sekretaris baru Anda cantik, Pak,” ucap Rian, sambil mengerling pada Kiki.
“Tentu,” balas Hansya. “Kalau dia tidak cantik, tidak mungkin Anda menatapnya sejak awal pertemuan kita, 'kan.”
Kiki menunduk saat tatapan Rian seolah menelanjanginya. Lelaki berusia akhir dua puluh itu bahkan tanpa segan mencari kesempatan untuk menyentuh jemari Kiki. Tadi saja lelaki itu dengan sengaja mengambil pena di dekat jemari Kiki agar bisa bersentuhan dengannya.
Merasa tidak nyaman, tetapi Kiki tidak punya alasan untuk meninggalkan pertemuan itu. Ia hanya bisa menggunakan alasan 'pergi ke toilet' untuk bisa menghindari tatapan Rian, walau hanya beberapa menit.
Setelah berbincang-bincang, akhirnya Hansya sepakat untuk memperpanjang kerjasama dengan bank swasta, tempat Rian bekerja. Kedua lelaki itu pun saling berjabat tangan sebelum berpisah.
Kiki sudah hendak meninggalkan meja, mengikuti Hansya dan Andre, saat sebuah tangan menghentikan langkahnya. Menoleh, Kiki mendapati jika Rian yang memegang lengannya.
“Ehm, maaf, Pak, ada apa?” tanya Kiki, berusaha sesopan mungkin.
“Bisa kita bertukar kontak?” tanya Rian, tanpa menjauhkan tangannya dari tangan Kiki.
“Ehm, anu, Pak.” Kiki tengah memutar otak untuk memberikan jawaban yang sekiranya tidak melukai Rian. Namun alih-alih menemukan jawaban, Kiki semakin tidak berkutik saat Rian malah menyodorkan kartu nama ke arahnya.
“Itu kartu namaku. Ada nomor ponselku juga,” jelas Rian.
Detik berlalu, tangan lelaki itu tergantung di udara, karena Kiki masih bergeming. Tidak menerima kartu nama yang Rian sodorkan. Menyadari hal itu, Rian berinisiatif meletakkan kartu namanya di telapak tangan Kiki. Namun sebuah tangan menghentikan aksi Rian dan mengambil kartu nama yang disodorkan.
Kiki dan Rian sontak menoleh. Keduanya mendapati Hansya yang menatap mereka dengan sorot tajam. Lelaki itu lantas menarik tubuh Kiki, membawanya ke belakang tubuhnya. Seolah memberikan Kiki perlindungan.
“Maaf, Pak Rian, sepertinya saya berubah pikiran. Saya tidak jadi memperpanjang kerjasama di antara kita. Terima kasih.”
Tanpa memberi kesempatan pada Rian untuk membalas, Hansya berlalu bersama Kiki yang menatap keduanya tidak percaya.
“Kerjasamanya gimana, Pak?” tanya Kiki saat mereka sudah cukup jauh dari Rian.
“Kamu tidak dengar? Saya sudah mengakhiri kerjasama dengan bank tersebut,” jawab Hansya tanpa menoleh. Lelaki itu lantas melepaskan tangan Kiki. Membiarkan gadis itu berjalan di belakangnya.
“Tapi, Pak, kata Kak Andre kerjasama dengan bank Dwicahya cukup berpengaruh untuk Halo TV.” Kiki sedikit kesulitan menyamakan langkahnya dengan Hansya. Entah kenapa lelaki itu seolah memiliki langkah yang panjang.
“Biar itu menjadi urusan saya,” tegas Hansya. Menolak dibantah lebih jauh.
Andre yang melihat itu pun hanya bisa menggeleng saat Kiki menoleh padanya. Lelaki itu melangkah di samping Kiki menuju tempat parkir.
“Jangan pernah mengganggu keputusan Pak Hansya,” bisik Andre. “Pembatalan kerjasama itu pasti sudah dia pikirkan matang-matang.”
Kiki menghela napas panjang, lantas mengangguk. Ia tahu Andre hanya berusaha menenangkan hatinya saja. Ada rasa bersalah dalam hati Kiki. Karena entah kenapa, ia merasa kehadirannya di pertemuan tadi mempunyai pengaruh dalam pembatalan kerjasama dengan Bank Dwicahya. Bank swasta yang cukup terkemuka di negara ini.
***
Pukul lima sore, Kiki beranjak keluar dari Halo TV.
“Kak Andre nggak ikut pulang?” tanya Kiki, saat dilihatnya Andre masih berkutat dengan tabletnya. Kiki sendiri sudah dipinjamkan tablet yang berisikan jadwal Hansya beberapa hari ke depan.
Andre mendongak, lantas menggeleng.
“Nanti. Gue pulangnya emang agak lama dari yang lain.”
“Oh, ya udah. Kalau gitu aku pulang dulu, ya, Kak.”
“Oke. Hati-hati di jalan.”
Kiki pun berlalu menuju lift. Bersamaan dengan pintu lift terbuka dan Kiki masuk ke dalamnya, Hansya keluar dari ruangannya. Ia melangkah mendekati Andre yang masih pura-pura sibuk dengan tablet.
“Dia udah pulang?” tanya Hansya. Matanya menatap sekeliling.
“Kayak yang lo liat,” balas Andre. Lelaki itu kini meregangkan tubuhnya.
“Baguslah kalau udah.”
Andre berdiri, melangkah menuju Hansya. Tak lama, tepukan di punggung Hansya mendarat dari tangan Andre.
“Bisa lo jelasin kenapa lo malah memutuskan kerjasama dengan Rian?” tuntut Andre.
Hansya menghela napas pendek. Melepas kacamatanya dan meletakkan di atas meja. Kedua tangannya ia masukkan ke saku celana.
“Karena gue rasa Rian nggak bakal profesional kalau lo beneran pindah ke Surabaya.”
Tak Hansya duga, Andre malah tertawa. “Ya wajar dong. Lagian Rian lelaki lajang.”
Mata Hansya membeliak. Ia tahu Andre telah salah duga dengan keputusannya.
“Lo nggak ngerti.” Hanya itu yang bisa Hansya katakan. Tidak mau berdebat lebih jauh.
“Sayang banget. Padahal cukup banyak karyawan kita yang buka rekening di Bank Dwicahya.”
“Itu pilihan mereka. Nggak ada sangkut pautnya dengan Halo TV.”
“Lo harus secepatnya ngasih tahu Pak Yusrizal,” komentar Andre.
“Ya, tapi bukan hari ini.”
Andre mengendikkan bahu. “Terserah elo, sih. Setidaknya, sebagai sekretaris elo, gue udah ngasih tahu.”
“Ya, ya, terima kasih sarannya.”
Tak lama, Andre pun izin pulang. Matahari sudah hendak pulang ke peraduannya dan Andre sudah tidak sabar untuk bertemu keluarga kecilnya. Sepeninggal Andre, Hansya belum beranjak. Ia memilih untuk berada di kantor sedikit lebih lama. Menatap matahari dari celah-celah gedung perkantoran yang menjulang.
***
Sebenarnya mau update besok, tapi udah nggak sabar.
Oh iya, bisa minta bantuan kalian, nggak, untuk love cerita aku di Dreame?
Ada satu naskah complete dan naskah on going di sana.
Judulnya The Flower Bride dan Emergency Marriage.
Buat klik love/ masukkan library cerita aku, kalian buat akun dulu di dreame.com. kalau sudah, jangan lupa klik tanda 💜 di sana, ya.
Xoxo
Winda Zizty
20 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro