Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua Puluh Lima

Happy reading. 💜

***


Entah apa yang tengah Tuhan rencanakan untuk Kiki kali ini. Rasanya berturut-turut keinginannya terkabul. Hari ini ia akan mengikuti interview user di Halo TV, pun menjalani syuting Grab Me! bersama Ajeng. Syuting yang rencananya akan dimulai pukul dua siang itu membuat Ajeng ikut datang ke Halo TV pukul sepuluh, mengikuti jadwal interview Kiki pada pukul sebelas nanti.

Ajeng dan Kiki tidak lupa membawa baju ganti untuk syuting nanti. Meski sudah dikatakan jika ada orang-orang wardrobe yang akan turun tangan langsung mengurus pakaian mereka, kedua gadis itu tetap membawa baju pribadi, untuk berjaga. Kiki sudah bersiap dengan kemeja krem dilapisi blazer hitam dan rok span selutut berwarna senada. Saat ini ia tengah duduk di kursi teras, menunggu Ajeng.

Tidak sampai lima menit kemudian, Ajeng dan motornya tertangkap netra Kiki. Segera ia mencari Lira untuk berpamitan.

“Semoga lancar interviunya nanti,” harap Lira.

“Aamiin. Kiki pergi dulu, Ma,” ucap Kiki, lantas mencium punggung tangan Lira, takzim.

Ajeng yang sudah berada di atas motor, langsung tancap gas begitu Kiki sudah duduk di boncengannya. Setelah sebelumnya turut berpamitan dengan Lira.

Bergabung dengan kemacetan di jalan, Ajeng dan Kiki tidak saling membuka suara. Ajeng fokus pada jalanan yang mereka lalui, sedangkan Kiki sibuk merapal doa dalam hati. Wajar, karena ini kali pertama Kiki bisa sampai di tahap akhir dalam melamar pekerjaan.

“Jangan tegang. Dari tadi diem aja kayak lagi nahan kentut,” canda Ajeng saat lampu merah menghentikan laju beberapa kendaraan.

Kiki langsung mencubit pinggang Ajeng, gemas. Ajeng malah tertawa, membuat pengendara di samping mereka langsung menoleh.

“Enak aja nahan kentut,” omel Kiki, campur malu karena dilihat pengendara yang lain.

“Habisnya tegang banget. Santai aja. Santuy. Rejeki nggak bakal ke mana. Tapi gue yakin, kalo di Halo TV itu rejeki elo.”

“Aamiin.”

“Kalau udah selesai interviunya, langsung ke kafe deket Halo TV, ya. Yang deket pintu masuknya,” ucap Ajeng, mengingatkan.

Semalam, kedua gadis itu memang sudah menyusun rencana untuk hari ini. Karena tidak mungkin jika Ajeng menunggu Kiki interviu di Halo TV sendirian, gadis itu lebih memilih untuk menunggu di kafe. Letaknya tidak jauh dari stasiun Halo TV, malah seakan menyatu, saking dekatnya.

“Iya, nanti gue langsung ke sana.”

“Mau langsung gue pesenin apa nggak?”

“Langsung aja, deh. Terserah mau apa, asal jangan kopi item.”

Ajeng terkekeh. Teringat aksi nekat mereka yang memesan kopi hitam di salah satu gerai kopi kekinian. Alasannya tentu saja karena uang mereka tidak mencukupi untuk membeli varian rasa yang lain. Untuk memenuhi rasa penasaran mereka dan untuk dijadikan instastory di Instagram, jadinya mereka membeli kopi hitam tersebut. Alhasil, saat malam tiba, kedua gadis itu kesulitan menutup mata hingga subuh.

Lampu lalu lintas pun berubah warna menjadi hijau dan Ajeng kembali melajukan motornya. Kiki melirik jam tangannya, lantas terkinjat. Panik, ia menepuk bahu Ajeng.

“Jeng, udah mau pukul sebelas. Gimana nih? Telat gue.”

“Lo nggak mukulin gue juga, bisa kali, Ki. Ini gue ngebut. Pegangan, ntar jatoh pula.”

Menambah kecepatan, Kiki menuruti perkataan Ajeng untuk berpegangan. Sisi samping jok motor ia pilih, ketimbang memegang pinggang Ajeng. Pikiran negatif langsung memenuhi kepala Kiki. Ini adalah pertama kalinya ia bisa sampai diinterviu petinggi di perusahaan yang ia lamar, jika sampai ia datang terlambat, hancur sudah harapannya untuk bekerja.

Bak pembalap profesional, Ajeng meliukkan motornya, menyalip di sana-sini. Menulikan telinga dari klakson motor dan mobil yang saling bersahutan. Begitu gedung Halo TV sudah tampak di depan mata, Ajeng sedikit menuruni kecepatan. Namun masih dalam mode ngebut.

Motor pun berhenti di tempat parkir, melepas helm dan menggantungkan di spion, Kiki gegas berlari memasuki gedung Halo TV. Ajeng hanya bisa geleng-geleng kepala sekaligus berdoa dalam hati agar Kiki bisa lulus kali ini.

Menukar kartu identitas dengan kartu pengunjung, Kiki pun setengah berlari menuju lift. Dilihatnya pintu lift hendak menutup saat ruangan persegi itu tertangkap mata. Fokus pada pintu lift yang perlahan menutup, menjadikan Kiki abai akan sekitar. Kecepatan lari dan nihilnya kesiapan, membuat ia menubruk seseorang di depan pintu lift yang kini menutup sempurna.

Suara dentuman akibat tabrakan tersebut membuat mata Kiki membola. Gadis itu semakin kehabisan kata-kata begitu menyadari jika ia telah menabrak seorang lelaki berpakaian bak eksekutif muda. Bahkan suara geraman lelaki itu yang menahan nyeri di punggung dan kepala, membuat Kiki semakin didera rasa bersalah.

“Bapak nggak kenapa-napa, kan?” tanya Kiki cemas, saat netra mereka beradu. Untuk sesaat, Kiki terkesima dengan netra di balik kacamata itu.

Lelaki itu menjawab dengan gelengan. Dibantu seorang lelaki lain, lelaki yang Kiki tabrak itu pun mencoba berdiri. Melihat hal tersebut, Kiki pun berdiri. Membenahi rok dan blazernya yang sedikit berantakan.

“Ya, aku tidak kenapa-napa,” jawab si lelaki dengan senyum tipis.

Jika saja sedang tidak dikejar waktu, mungkin saat ini Kiki betah berlama-lama bersitatap dengan di lelaki. Seperti adegan romantis di film dan novel-novel yang pernah ia dan Ajeng baca. Namun sayang, kenyataan tidak sama dengan novel. Kiki harus segera pergi untuk mengikuti interviu.

“Maaf, banget, Pak. Saya sedang terburu-buru dan tidak melihat Bapak.” Kiki benar-benar merasa menyesal dan bersalah.

“Aku benar-benar tidak kenapa-napa,” balas lelaki tersebut.

“Ah, maaf, sekali lagi, Pak. Tapi saya ada keperluan di atas. Permisi.”

Pintu lift di sampingnya kembali terbuka, tanpa membuang banyak waktu, Kiki pun masuk ke dalamnya. Tidak lupa ia mengangguk dengan tatapan bersalah yang masih bersarang di matanya. Sebelum pintu lift tertutup dan sempurna, Kiki masih bisa melihat lelaki tersebut mengulas senyum, seolah berkata tidak apa-apa.

Hanya ada dirinya sendiri di dalam lift, membuat Kiki bisa mengekspresikan apa yang ia rasa. Memegang dadanya, Kiki dapat merasakan jantungnya bertalu hebat. Mengingat kembali rupa si lelaki, Kiki menebak usia mereka  tidak terpaut cukup jauh. Namun, Kiki sadar, bukan waktunya ia memikirkan romansa picisan seperti itu. Ia harus fokus pada interviu yang akan ia jalani.


***


“Keterima apa nggak nih, kira-kira?” tanya Ajeng, tanpa tedeng aling-aling.

Kiki di hadapannya masih menyeruput matcha smoothies, seolah pertanyaan Ajeng hanyalah angin lalu. Begitu selesai interviu, Kiki langsung mendatangi Ajeng di kafe. Sesuai kesepakatan mereka. Namun baru beberapa menit Kiki datang dan melepas dahaga, Ajeng langsung memberondong dengan pertanyaan.

“Bentar, gue minum dulu,” kata Kiki, saat dilihatnya raut muka Ajeng yang bete. “Nah, sudah. Lo tadi nanya apa?”

“Kira-kira lo keterima apa nggak? Apa masih nganggur?”

Kiki mengendikkan bahu. Menyomot keripik kentang milik Ajeng, lantas mengunyahnya pelan.

“Nggak tahu juga. Penginnya, sih, keterima, tapi nggak tahu, kan, gimana takdir Tuhan.”

“Lo tadi ditanyain apa aja?”

“Ya, pertanyaan umum, sih. Disuruh perkenalkan diri sendiri, ditanya kenapa nganggur lama banget, kesibukannya apa. Terus, tadi juga ditanya udah nikah belum, ada pacar apa belum. Ya, gitu, deh pokoknya.”

Ajeng nampak antusias, terbukti dari tingkahnya yang kini memajukan tubuh ke arah Kiki. “Ganteng nggak?”

“Siapa?” tanya Kiki bingung. Kedua alisnya bertaut.

“Itu, yang mewawancarai elo.”

“Dih, sok yakin banget kalau yang nanyain gue itu cowok.”

Ajeng kelihatan kecewa. “Jadi cewek, ya?”

“Cowok kok.” Kiki terkekeh. “Tapi udah tua, ganteng, sih, gue akui.”

“Oh, udah tua.” Ajeng manggut-manggut. “Apa dia itu Pak Yusrizal? Yang punya Halo TV?”

“Kayaknya, sih, iya. Soalnya berwibawa banget. Terus meskipun udah tua, masih kelihatan banget berkarisma.”

“Astaga, pasti pas mudah dia ganteng banget,” ucap Ajeng, dramatis.

“Mungkin.” Kiki kembali mengendikkan bahu. “Yang penting, gue nggak deg-degan lagi. Gila, gue sampe keringet dingin nunggu diwawancarai.”

“Wajar, sih. Kalau gue di posisi elo pun, pasti bakal deg-degan banget.”

Kemudian hening menyapa. Kedua gadis itu fokus menyantap pesanan masing-masing. Matahari semakin terik kala itu, membuat keduanya malas untuk beranjak.

“Jam dua lama banget, ya,” keluh Ajeng. “Tapi katanya kita disuruh ke sana maksimal setengah jam sebelum syuting.”

Melirik jam tangan, Kiki pun membalas, “Bentar lagi, Jeng kita ke sana. Lima belas menit lagi deh. Begah nih perut gue. Kebanyakan makan sama minum kayaknya.”

“Iya. Gue juga masih kepengin di sini, belum mau ke sebelah.”

“Zuhur dulu jangan lupa,” ucap Kiki, mengingatkan.

“Iya Bu Ustadzah.”

Kiki tidak menanggapi, memilih mengambil ponsel dan memainkan cacingnya yang sudah beberapa hari ini tidak ia mainkan. Berbeda dengan Kiki, Ajeng memilih membuka aplikasi Instagram dan melihat-lihat postingan para influencer yang dia ikuti.

Tidak terasa sudah lima belas menit berlalu. Keduanya pun beranjak meninggalkan kafe. Masuk ke gedung Halo TV, keduanya pun lekas mencari musholla untuk beribadah sebelum menuju studio syuting.

Kiki sama sekali tidak melepaskan kesempatan berdoa pada Tuhan. Meminta agar kali ini keberuntungan tengah berpihak padanya. Berharap jika lamarannya di Halo TV adalah kali terakhir ia melamar pekerjaan. Karena jujur, ia sudah bosan dan lelah dengan penolakan yang sudah diterima selama ini.

Studio untuk syuting Grab Me! Berbeda satu lantai dengan musholla yang mereka datangi. Karena itulah, Kiki dan Ajeng harus kembali menaiki lift agar bisa sampai ke lantai tujuan. Menunggu lift bersama tiga orang yang lain, netra Kiki tidak sengaja menangkap sosok yang ia kenal. Sosok laki-laki yang tadi mewawancarainya.

“Jeng,” panggil Kiki sambil menyikut lengan Ajeng.

“Hm? Apa?”

“Lo lihat bapak-bapak yang di ujung sana.” Kiki menunjuk laki-laki yang ia maksud.

“Hm, iya. Emangnya kenapa?”

“Dia yang tadi ngewawancarain gue,” jelas Kiki. “Bener, kan, kata gue, dia masih ganteng walaupun udah tua.”

“Tuhan! Itu beneran Pak Yusrizal yang punya ini stasiun. Lebih ganteng dari yang ada di internet!” pekik Ajeng pelan. “Kalau dia ada anak cowok satu, mau deh gue jadi mantunya. Tapi kata lo, dia nggak ada anak cowok, kan? Kalau gitu, gue operasi jadi cowok aja deh, biar bisa jadi mantunya.”

“Ngawur lo!” Kiki langsung menoyor dahi Ajeng. “Anaknya udah nikah. Emang lo mau jadi pebinor?”

“Kok pebinor? Pelakor dong,” sanggah Ajeng.

“Kan anaknya itu cewek, bukan cowok.”

“Eh, tapi, Ki, masa lo nggak tahu mukanya Pak Yusrizal, sih? Elo, kan, pernah ngepoin keluarga mereka, sampe tahu muka anaknya itu kinclong kayak pantat bayi. Rada aneh deh menurut gue.”

“Ehm, iya juga, ya. Kok gue bisa pikun gini?” tanya Kiki, heran.

“Dah, lupain aja. Buruan masuk lift, jangan kebanyakan ngobrol.”

Ajeng menarik tangan Kiki, hingga keduanya masuk ke dalam lift. Menekan lantai tujuan mereka yang ternyata sama dengan tiga orang lainnya, pintu lift pun tertutup. Namun dari celah pintu lift, Kiki masih dapat melihat sosok Yusrizal yang masih tampak gagah meski usianya telah lanjut dimakan waktu.

Dalam diam, Kiki mereka ulang kejadian saat dirinya tengah diinterviu Yusrizal. Lelaki itu tidak berhenti mengumbar senyum. Mungkin karena Kiki terlihat begitu gugup.

“Kamu ada niat untuk menikah dalam waktu dekat?”

Ditembak pertanyaan seperti itu, jelas membuat jiwa jomlo Kiki meronta-ronta. Boro-boro menikah, calon pun dia belum punya.

“Saya tidak ada pacar, Pak,” jawab Kiki, takut bercampur malu. Pikiran negatif langsung memengaruhi. Ia takut, jika Yusrizal akan menjadikannya istri muda, seperti cerita-cerita kebanyakan.

“Baguslah. Karena saya takut pacar kamu akan vemburu.”

Meski ingin bertanya, Kiki mengurungkan niatnya. Ia takut mendengar jawaban dari pertanyaan yang akan ia lontarkan. Kalau tiba-tiba Yusrizal membenarkan prasangka Kiki, gadis itu harus menjawab apa? Bersedia menjadi istri muda? Tentu Kiki tidak mau berbagi suami dengan yang lain.

“Woi, Ki. Melamun aja.”

Sentuhan Ajeng di lengannya, membuat Kiki tersadar dari lamunan. Menoleh, gadis itu lantas terkekeh pelan.

“Malah cengar-cengir. Kesambet lo?”

“Ih, nggaklah. Amit-amit.” Kiki mengetuk dinding lift berulang kali.

Pintu lift pun terbuka, tanpa aling-aling keduanya keluar dan menuju studio syuting. Kiki mendesah pelan. Satu babak lagi dalam hidupnya, akan segera ia lalui.

***

Semoga suka. Jangan lupa mampir ke RIAK, juga, ya.

Xoxo
Winda Zizty

14 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro