Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua Puluh Dua

Happy reading. 💜

***

Tidak ada yang bisa menggambarkan seperti apa perasaan Hansya saat ini. Terlebih saat dilihatnya Alda tengah menangis sesenggukan di pinggir ranjang sambil memegangi tangan Yusrizal yang masih belum sadarkan diri. Mendekati keduanya, jantung Hansya tidak juga berdetak normal.

"Ma," panggil Hansya sambil mengusap punggung Alda.

"Hansya." Tangis Alda makin merebak saat Hansya memeluk wanita itu dari samping. "Papa kamu, Nak. Papa ...."

"Sstt, udah, Mama nggak usah nangis lagi. Ada Hansya di sini," ucap Hansya, mencoba menenangkan Alda. Tidak ia pedulikan air mata Alda yang membasahi jas mahalnya.

Setelah tangis Alda berhenti, walau isak itu masih ada, Hansya pun mengurai pelukan mereka. Menyeka sudut mata Alda yang masih tergenang air mata. Kemudian mengecup pelan dahi Alda. Menyalurkan semangat dan meyakini Alda jika wanita itu tidak sendirian.

"Mama istirahat aja, ya. Biar Hansya aja yang di sini jagain Papa." Hansya mengusap pelan punggung Alda. Punggung ringkih milik wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.

Namun sekeras apa pun Hansya menyuruh Alda beristirahat, wanita itu memilih menggeleng. Genggamannya pada tangan Yusrizal kini mengerat.

"Mama tidak mau meninggalkan Papa. Bagaimanapun kondisinya."

Hansya terenyuh melihatnya. Meski tahu kondisi Alda akan ikut memburuk jika seperti ini, wanita itu tetap memilih setia mendampingi sang suami. Pikiran Hansya sudah berkelana. Andai ia yang ada di posisi Yusrizal saat ini, adakah wanita yang akan setia menemaninya seperti Alda yang setia membersamai Yusrizal?

"Ma, tapi Mama bisa sakit. Aku yakin Mama pasti belum makan, kan."

Tebakan Hansya bukan tanpa bukti. Hidangan di meja makan sudah mendingin, tidak tersentuh sama sekali. Pasti begitu selesai memasak, Alda langsung menemani Yusrizal.
Jika Hansya mereka ulang kejadiannya, Alda yang selesai memasak langsung masuk ke kamar untuk mengajak Yusrizal makan siang. Namun yang ia lihat malah sosok sang suami yang telah pingsan di kamar mandi. Membayangkannya saja, sudah membuat dada Hansya sesak. Apalagi jika kejadian itu ia lihat di depan mata.

Hansya memejamkan mata. Bayangan akan sosok Haru yang berlumuran darah, kini menari dalam benaknya. Tanpa sadar ia meraih ujung seprai dan mencengkeramnya erat.

"Sial!" desis Hansya. Kenapa di saat seperti ini kenangan itu kembali hadir?

Selain harus menenangkan Alda, di sisi yang lain Hansya juga tengah berperang dengan kesakitannya sendiri. Ujian apa lagi yang harus Hansya hadapi setelah ini?

Cukup lama Hansya berperang dengan diri sendiri, hingga akhirnya ia memilih berdiri, meninggalkan Alda dengan Yusrizal. Bukan karena Hansya tidak menyayangi kedua orang tuanya, tetapi ia juga butuh ruang untuk diri sendiri.

Duduk di salah satu kursi meja makan, Hansya meraih gelas dan mengisinya hingga penuh. Menghabiskannya dalam beberapa teguk, berharap sesak itu lekas pergi. Namun, harapannya sia-sia. Menyaksikan kesetiaan Alda membuat dada Hansya makin ngilu.

"Kenapa datang lagi? Kenapa?"
Mata Hansya memanas, kepalanya terasa berat. Ia tidak sanggup menahannya lagi hingga akhirnya air mata itu luruh juga. Menekan dadanya dengan sebelah tangan, Hansya membiarkan emosinya bermain. Luka dan kesedihan yang begitu sering memainkannya akhir-akhir ini.

Entah sudah berapa lama Hansya bergelut dengan lukanya, hingga lelaki itu sendiri tidak sadar matahari sudah kembali ke peraduannya. Hansya menatap sekeliling, suasana rumah yang sepi membuat senyum tipis terbit di bibir. Menyeka sudut mata, Hansya pun bangkit dari duduknya. Melangkah demi memasuki kembali kamar orang tuanya.

Tidak lupa ia menekan sakelar, menghidupkan lampu dan menutup gordin. Kepala Hansya melongok lebih dulu dari celah daun pintu yang ia buka. Ada kelegaan yang membuat beban di pundaknya seketika musnah, tatkala melihat Yusrizal yang sudah terjaga. Berbanding terbalik dengan Alda yang tengah tertidur di samping ranjang dengan tangan yang masih terpaut dengan jemari Yusrizal.

"Sstt, Mama kamu tidur," ucap Yusrizal pelan. Tidak lupa isyarat dengan jari telunjuk yang ia letakkan di depan bibir.

Hansya tersenyum sembari mengangguk pelan. Langkah kaki lelaki itu dibuat agar tidak menimbulkan suara yang berarti, hingga kini Hansya sudah berdiri di dekat kedua orang tuanya.

"Feel better?" tanya Hansya.

Yusrizal mengangguk. "Aku sudah tua." Matanya kini melirik Alda yang masih pulas. "Begitu juga mamamu. Sakit seperti ini sudah wajar untuk orang seusia kami."

Hansya menggeleng tidak setuju. Pingsan di kamar mandi bukan sesuatu hal yang dianggap wajar untuk usia berapa pun.

"Papa mau minum? Biar aku ambilkan?" tawar Hansya. Saat ini ia tidak mau mendebat Yusrizal. Seperti yang telah dikatakan dokter, jangan membebankan pikiran Yusrizal lebih banyak lagi.

"Ya, boleh. Kalau tidak merepotkan."

Dengan sigap Hansya membantu Yusrizal duduk bersandarkan bantal. Meraih segelas air mineral yang sudah tersedia di atas nakas dan memberikannya pada Yusrizal. Tanpa melepaskan tautan jemarinya dengan Alda, Yusrizal pun menerima gelas tersebut dan menuntaskan dahaganya dalam beberapa teguk.

"Sebaiknya kamu membangunkan mamamu juga. Kasihan kalau tidurnya tidak nyaman seperti ini. Lehernya pasti akan sakit begitu ia bangun." Dengan tangan satunya, Yusrizal mengusap penuh sayang surai Alda yang masih tetap indah walau telah di akan usia.

"Nggak usah, Pa. Biarin Mama tidur," kata Hansya. "Mama butuh istirahat karena seharian ini nungguin Papa."
Dengan pelan, lelaki itu pun mengangkat tubuh Alda hingga kini sepenuhnya berada di atas kasur. Secara otomatis, Yusrizal tubuhnya, memberikan tempat untuk Alda berbaring.

"Kenapa Papa tidak pernah mau dirawat ke rumah sakit?" tanya Hansya. "Semenjak kesehatan Papa menurun, Papa memilih rawat jalan di rumah. Alih-alih opname."

Yusrizal mendesah. "Karena Papa dan rumah sakit tidak berteman baik. Lagi pula kalau Papa dirawat di rumah sakit, Mama kamu akan lebih letih dari ini dan Papa tidak mau membuat mamamu kelelahan."

Hansya terdiam. Alasan yang dikemukakan Yusrizal sangat masuk akal.

Cukup lama hening menjeda, hingga gerakan di samping Yusrizal membuat lelaki itu terinterupsi. Alda telah terjaga dari tidurnya. Mata wanita itu langsung berkaca-kaca menyadari Yusrizal telah sadar. Tanpa tedeng aling-aling, Alda merengkuh tubuh Yusrizal.

Sadar akan situasi dan ingin memberikan privasi kepada orang tuanya, Hansya perlahan melangkah mundur. Dengan hati-hati ia menutup daun pintu dan membiarkan Alda menumpahkan tangis bahagianya di pelukan Yusrizal.


***


Surat elektronik dari Andre sudah Hansya terima. Laporan mengenai pembangunan mal dan hotel yang tengah dikebut itu setidaknya membuat pikiran Hansya teralih. Ia sengaja melemburkan diri dan tidak memilih berisitirahat meski waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari.

Secangkir kopi yang sudah mendingin ada di atas meja, berdampingan dengan laptop dan ponsel pintar miliknya. Ia sengaja mengerjakan pekerjaannya di rumah karena sudah berniat tidak masuk kantor dalam beberapa hari ke depan. Seperti yang sudah disepakati, Andre akan membawa beberapa laporan yang mesti ia tandatangani ke rumah.

Mengenai meeting atau hal yang semacamnya, Hansya meminta Andre mengatur ulang jadwalnya hingga Senin nanti. Dalam sepekan ini ia hanya ingin berada di rumah, menjaga Alda dan Yusrizal. Antisipasi kalau-kalau kesehatan Yusrizal memburuk.

Menyesap perlahan kopinya, Hansya melempar pandangan ke langit malam. Embusan angin yang syahdu langsung menampar kulit lelaki itu saat Hansya menginjakkan kaki di balkon. Kembali menyesap kopinya, Hansya berusaha menikmati pemandangan yang tersaji di hadapannya.

Waktu pun berlalu hingga kopi Hansya telah ia tandaskan. Menyadari kopinya telah habis, Hansya kembali masuk ke kamar. Ia berniat membuat secangkir kopi hitam lagi. Namun saat ia ingin kembali ke kamar setelah membuat kopi, langkah kakinya harus terhenti. Yusrizal tengah berdiri di ujung tangga dengan tatapan yang mengarah lurus padanya.

"Papa ingin bicara," kata Yusrizal setelah Hansya mendekat. Dengan patuh Hansya mengikuti langkah Yusrizal menuju ruang kerjanya.

"Papa mau ngomong apa?" tanya Hansya setelah duduk di satu-satunya sofa di ruang kerja Yusrizal.

Yusrizal tidak menjawab ucapan Hansya, gantinya ia mengambil sesuatu di loker meja kerjanya. Hansya terkesiap saat menyadari Yusrizal ternyata mengambil sebuah kotak beludru kecil yang ia tahu apa isinya.

"Wajah terkejut itu," ujar Yusrizal. "Papa tahu, kamu pasti mengingat benda ini."

Tentu saja Hansya ingat. Ia tidak akan pernah melupakan benda yang ia beli dengan sepenuh hati dan jiwa. Waktu di sekitar Hansya seolah terhenti saat Yusrizal membuka kotak tersebut dan memperlihatkan isi di dalamnya. Sepasang cincin kawin yang dipahat sempurna sesuai permintaan calon pasangan pengantin.

"Seharusnya kamu sudah mengenakan ini, sejak tujuh tahun yang lalu."

Ada luka yang tidak sengaja Hansya tangkap di mata Yusrizal. Lelaki paruh baya itu ternyata memiliki luka yang hampir sama dengan apa yang Hansya punya. Namun tentu saja, luka Hansya lebih dalam dari apa yang bisa orang lain kira.

"Papa ingat saat cincin ini tiba di rumah. Kamu dan Haru begitu senang melihatnya." Mata Yusrizal menerawang. Kembali mengenang kejadian yang telah berlalu. "Namun tidak ada yang menduga, cincin ini tidak pernah dipakai oleh si pemesan. Takdir berkata lain."

Hansya menatap nanar sepasang cincin di hadapannya. Bukan hanya Yusrizal yang mengenang momen saat cincin itu baru tiba di rumahnya, tetapi Hansya juga. Ia bahkan masih mengingat betapa bangganya Haru saat mencoba cincin tersebut di jari manisnya.

"Aku nggak sabar pake cincin ini selamanya," ucap Haru bahagia.

Hansya tersenyum, mengecup puncak kepala Haru. "Aku juga. Jangan pernah dilepasin cincinnya kalau udah aku pakein."

"Nggak akan," janji Haru.

Namun siapa yang tahu ke mana takdir akan melangkah? Tidak ada yang tahu jika sepasang cincin itu tidak pernah melingkar di jari manis Haru dan Hansya.

"Papa ingin kamu segera memakainya cincin ini," ujar Yusrizal lirih. Ada harapan yang begitu dalam dari nada bicaranya. "Kamu tentu sudah tahu mengenai perekrutan sekretaris baru di Halo TV. Maafkan Papa yang sudah mengambil langkah tanpa sepengetahuan kamu."

Hansya masih bungkam. Semua ucapan Yusrizal seolah dengungan lebah di telinganya. Ia tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Semua rasanya kosong.

"Itu sudah jalan terakhir yang Papa pilih. Bagaimana kelanjutannya itu terserah kamu. Papa dan Mama sudah menua, kamu pun juga."

Tepukan pelan di bahunya yang membuat Hansya kembali ke kenyataan. Yusrizal tersenyum samar sebelum akhirnya melenggang pergi meninggalkan Hansya. Ragu, Hansya meraih kotak cincin tersebut. Menutup kotak tersebut sebelum menggenggam erat, hingga urat di tangannya terlihat.

****

Di kotaku lagi hujan, nih. Gimana dengan kota kalian?

Oh iya, follow Instagramku, yuk. Ada postingan quote yang sok galau dan juga kalau lagi rajin, aku bakal upload quote dari cerita yang lagi aku tulis.

Xoxo

Winda Zizty

09 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro