Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua Puluh

Selamat malam
Happy reading. 💜

***

Hansya melirik sebal pada Andre yang sedari tadi menahan tawanya. Begitu Hansya melempar tatapan tajam, mendekati melotot, barulah Andre menghilangkan semua jejak tawanya. Wajah Andre langsung datar, meskipun tidak sedatar Hansya.

“Sudah puas ketawanya?” tanya Hansya. Lelaki itu bersedekap, menatap Andre dingin.

“Ehm, sudah. Maaf, Pak.” Kalau sudah begini, Andre langsung bersikap formal pada Hansya.

Sudah tiga hari ini—sejak Hansya menanyakan pendapat Andre mengenai rencana untuk mengikuti Grab Me!—Andre selalu menahan tawa setiap bertatap muka dengan Hansya.  Rasanya sungguh menyesal menanyakan itu kepada Andre.

Hansya sangat ingat seperti apa respons Andre setelah tanya itu terlontar. Lelaki yang menjadi sekretarisnya itu langsung tertawa lepas, hingga Andre memegangi perut. Saking gelinya.

“Jadi ini alasan lo minta biodata cewek-cewek yang ikutan Grab Me!? Karena lo mau ikutan?” tanya Andre balik. Pertanyaan Hansya begitu mengagetkan.

“Nggaklah! Kata siapa?” sanggah Hansya cepat. “Lagian gue mau lihat biodata mereka bukan karena gue mau ikutan.”

“Terus? Ngapain lo nanya, gimana kalau misalnya lo ikutan Grab Me!? Berarti lo tertarik buat ikutan, kan?” tembak Andre.

“Kayaknya lo salah paham, deh.” Hansya menyipitkan mata dan melipat tangan di depan dada. “Pertama, gue pure mau tahu aja siapa yang ikutan Grab Me! karena tuh acara ditayangin di stasiun televisi gue. Jadi gue nggak mau dong kalau ternyata ada pihak yang merasa dirugikan karena mengikuti tu acara.”

Andre manggut-manggut. Tampak jelas di wajahnya kalau lelaki itu masih tidak percaya jika Hansya tidak tertarik mengikuti Grab Me!.

“Kedua, gue nanyain kayak gitu karena gue cuma mau nanya pendapat lo aja. Karena lo bilang sendiri ke gue kalau tu acara buat nyari pasangan. Makanya gue—”

“Lo tertarik karena lo jomlo dan udah didesak keluarga lo buat nikah. Bukan begitu, Pak Hansya?” potong Andre. Meski sedikit tidak sopan karena memotong ucapan atasannya, tetapi kata-kata Andre cukup telak membuat Hansya bungkam. Mengabaikan jika status mereka adalah atasan dan bawahan.

“Astaga, bukan begitu,” desah Hansya frustrasi. “Gue hanya bertanya. Meminta pendapat.”

“Kalau menurut gue oke? Lo mau ikutan?” pancing Andre. Sorot geli kembali muncul di mata lelaki itu.
Hansya mengedikkan bahu. “Nggak tahu. Itu pilihan pribadi gue. Kalau menurut gue nggak masalah, kenapa nggak?”

Andre berdeham pelan. Menegakkan punggungnya. “Ya, itu emang terserah Bapak, sih. Saya hanya orang yang dimintai pendapat.”

“Andre,” geram Hansya. Lelaki itu memejamkan mata, tampak tidak suka. “Kalau nggak bahas pekerjaan, jangan bersikap formal ke gue.”

Andre menunduk, meletakkan salah satu tangannya di depan perut. “Baik, Pak,” katanya patuh.

“Sekali lagi lo kayak gitu, gue potong gaji lo!”

“Eh? Jangan dong. Mau makan apa anak sama bini gue?”

“Gaji lo masih bisa mencukupi mereka, walaupun gue potong,” balas Hansya tak acuh. Lelaki itu kini tampak fokus membolak-balik lembaran dokumen di atas mejanya.

“Ya, tapi, kan—”

“Mau bayar cicilan rumah?” tebak Hansya. “Lo, kan, bentar lagi mau pindah ke Surabaya, rumah lo jual aja. Atau disewain ke orang. Lumayan uangnya buat bayar cicilan rumah. Gimana?”

“Ide lo bagus, sih, sebenarnya. Gue juga sempat kepikiran gitu,” aku Andre jujur. “Tapi beneran lo mau potong gaji gue?”

“Nggak tahu. Menurut lo?” tanya Hansya balik. Lelaki itu menumpukan dagu di kedua tangannya yang terpaut.

“Apa syaratnya biar gaji gue nggak dipotong?”

Hansya tersenyum miring, kemudian berujar, “Jangan ngetawain gue lagi. Lalu pertanyaan gue perihal gue yang mau ikut Grab Me! atau nggak, Lo anggap aja angin lalu. Nggak pernah ada.”

Mau tidak mau Andre mengangguk. Walau kadang terlihat bercanda, tetapi Hansya tidak pernah main-main dengan ucapannya.

“Oh iya, omong-omong, casting buat Grab Me! bakal diadain minggu ini, atau nggak minggu depan,” beritahu Andre yang langsung dihadiahi pelototan dari Hansya.

“Andre ... masih ingat ucapan gue yang belum sampai lima menit yang lalu?”

“Ah, iya, masih. Gue cuma ngasih tahu aja.”

Hansya manggut-manggut. “Oke, alasan gue terima.”

Dan memang, setelahnya, Andre tidak lagi membahas Grab Me! ataupun perihal Hansya yang menanyai pendapatnya. Selain karena takut akan ancaman Hansya mengenai pemotongan gaji, Andre memang tidak pernah membahas sesuatu di luar ranah pekerjaan. Kecuali, jika itu berhubungan dengan permintaan dari Pak Yusrizal langsung.



***



Mata Hansya terpejam, tangan kanannya memijat pelan dahi yang berkerut itu. Rapat baru saja selesai lima menit yang lalu. Namun kepalanya masih terasa berat hingga ia belum meninggalkan ruangan rapat. Di dekatnya, Andre tampak begitu khawatir.

“Lo nggak pa-pa?” tanya lelaki itu.

“Gue nggak pa-pa,” balas Hansya pelan. Namun Andre dapat melihat jelas ringisan lelaki itu.

“Atau lo istirahat aja, deh. Lo nggak usah takut bakal potong gaji, karena stasiun televisi ini punya lo juga.”

“Gue nggak pa-pa,” kata Hansya lagi. “Lo bawain gue teh anget aja. Bisa?”

“Ya udah,” sahut Andre. “Tunggu bentar.”

Kemudian dengan sigap Andre meninggalkan ruangan rapat. Meski Andre sudah menyarankan agar Hansya berada di ruangannya saja, tetapi lelaki itu lebih memilih menetap di ruang rapat.

Entah kenapa, selama berjalannya rapat, kepala Hansya terasa berat. Kalau dikatakan belum makan, ia sudah mengisi perutnya. Apalagi rapat diadakan setelah jam makan siang.

Entah berapa menit terlewati yang rasanya seperti berjam-jam, Andre kemudian datang dengan segelas teh hangat. Meletakkan gelas teh tersebut yang langsung ditarik Hansya untuk menghangatkan telapak tangannya.

“Kayaknya lo emang perlu pulang, deh, Han. Lagian setelah ini agenda lo juga kosong. Kalau ada dokumen yang mesti lo tandatangani, nanti gue anterin ke rumah.”

Thanks,” jawab Hansya sebelum menyesap pelan teh hangatnya. “Tapi gue masih ngerasa sehat dan nggak perlu pulang. Gue kayaknya cuma masuk angin aja.”

“Mau gue kerokin?” tawar Andre.

Hansya menggeleng. “Nggak usah. Gue nggak biasa dikerok. Nggak pernah malah. Teh ini aja udah cukup. Paling bentar lagi udah mendingan.”

Andre memilih tetap menemani Hansya menghabiskan tehnya. Namun belum setengah Hansya menghabiskan isi gelasnya, ponsel lelaki itu bergetar di atas meja. Dahi Hansya berkerut saat menyadari jika panggilan tersebut berasal dari Alda.

“Halo, Ma. Kenapa?” tanya Hansya, bingung. Tidak biasanya Alda menghubunginya seperti ini. Jikalau ada yang ingin dibicarakan, biasanya mereka akan melalui Andre.

“Hansya,” kata Alda dengan suara bergetar.

“Ma? Mama kenapa?” tanya Hansya panik. Lelaki itu semakin waswas karena Alda terisak setelahnya.

“Bisa kamu pulang ke rumah sekarang?”

“Memang kenapa, Ma? Mama kenapa? Kok nangis?”

“Pulang sekarang, ya, Nak. Papa kamu jatuh di kamar mandi. Mama nggak bawa ke rumah sakit karena kebetulan dokter tengah berkunjung ke rumah.” Tangis Alda kembali terdengar, bahkan lebih kencang dari sebelumnya.

“Iya, Ma. Hansya bakal pulang. Mama jangan nangis dan tunggu Hansya di rumah.”

Hansya langsung berdiri, tidak memedulikan tanya yang dilontarkan Andre. Setengah berlari Hansya meninggalkan ruang rapat menuju parkiran. Di belakang, Andre turut mengikuti langkah lelaki itu, hingga kini keduanya telah berada di dalam lift.

“Pak Yusrizal kenapa?” tanya Andre. Ia panik juga melihat Hansya yang gelisah.

“Bokap jatuh di kamar mandi. Gue nggak tahu gimana kejadiannya, yang pasti gue mesti pulang.”

“Pak Yusrizal nggak kenapa-napa, kan?”

“Gue nggak tahu, makanya gue mesti pulang ke rumah supaya tahu kondisi di sana.”

“Semoga Pak Yusrizal nggak kenapa-napa,” harap Andre.

“Aamiin.” Hansya kemudian menepuk pundak Andre. “Kayak yang lo bilang tadi, kalau ada dokumen yang mesti gue tandatangani, lo bawa ke rumah gue.”

“Oke, siap.”

Begitu pintu lift terbuka, Hansya gegas keluar. Kembali ia melangkah cepat, tidak peduli dengan sekitar, bahkan sapaan yang mampir di telinga, tak dia acuhkan. Fokusnya kini hanya pada Yusrizal dan bagaimana keadaan sang ayah saat ini.

Saking terburu-buru dan tidak acuh pada sekitar, Hansya tidak sengaja menubruk seseorang hingga terjatuh. Pekikan tertahan dari orang itu membuat Hansya seketika menoleh. Berbalik, ia mendapati seorang wanita tengah terduduk sambil meringis kesakitan.

Sorry, gue nggak sengaja.” Hansya mengulurkan tangannya, mencoba membantu gadis itu berdiri.

“Lain kali hati-hati dong. Sakit nih badan gue,” dumel gadis tersebut.

Hansya mengulas senyum tipis sebelum kembali melontarkan maaf, “Gue bener-bener nggak sengaja. Gue lagi terburu-buru. Maaf sekali lagi.”

Setelah menunduk sekilas sebagai tanda permintaan maaf, Hansya kembali meneruskan langkah. Meninggalkan sang gadis yang masih menahan sakit di bagian belakang tubuhnya yang mendarat begitu sempurna di lantai.

Jalanan siang itu cukup padat, membuat Hansya berulang kali menekan klakson. Ia begitu panik, gusar. Bahkan sakit di kepala yang ia rasakan tadi, kini seolah lenyap. Ada yang lebih penting dari kesehatannya, yakni kesehatan Yusrizal.

Berkali-kali terjebak di lampu merah, membuat Hansya ingin memaki para pengendara di depannya. Ia ingin segera tiba di rumah dan melihat sendiri seperti apa keadaan Yusrizal saat ini.

Di tengah kepanikan, ponsel Hansya berdering. Tanpa melihat si penelepon, Hansya menerima panggilan tersebut.

Hansya, gimana keadaan Papa?” tanya Herna dengan suara serak, khas orang yang tengah menangis.

“Gue juga belum tahu. Gue masih kejebak macet.”

Gue takut Papa kenapa-napa, Han. Lo tahu sendiri kesehatan Papa makin menurun, ditambah kejadian ini. Gue khawatir banget.

“Lo kira gue nggak khawatir? Gue juga khawatir, Kak.”

Papa, Han. Gue takut kehilangan Papa.

“Hus! Mulut lo. Udah nggak usah mikir kalo macem-macem, doain aja semoga Papa nggak kenapa-napa. Lo juga nggak usah banyak pikiran. Kasihan si kembar kalau lo sampe stres mikirin Papa.”

Gimana nggak kepikiran, itu bokap kandung gue.

“Bokap kandung gue juga, kalau lo lupa,” decak Hansya.

Kabarin gue kalau lo udah tahu gimana kondisi Papa. Gue nggak terlalu jelas denger penjelasan Mama, karena dia nangis terus. Apa enggak tambah panik gue jadinya?

“Makanya, lo doain semoga Papa nggak kenapa-napa dan bisa cepet pulih. Jangan ikut mikirin yang nggak-nggak.”

Iya, aamiin. Semoga Papa nggak kenapa-napa.

“Ya udah, istirahat aja sana. Nanti gue kabarin.”

Tanpa memerlukan balasan Herna, sambungan tersebut sudah Hansya putus. Setelah lampu lalulintas berubah menjadi hijau, tanpa tedeng aling-aling, Hansya segera menginjak pedal gas.

***

Bayar utang karena absen update dua hari. Tetap di rumah aja, ya. Stay safe.

Xoxo

Winda Zizty
02 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro