Dua Belas
Happy reading. 💜
***
Kehadiran Herna di rumah pasti bukan tanpa sebab. Seperti dugaan Hansya, walau sedikit melenceng, keberadaan Herna di rumah membuat lelaki itu harus menginap. Herna bahkan melarang Hansya pulang ke rumah pribadinya.
“Lo nggak kangen sama gue? Kita jarang ketemu, loh, Han,” ucap Herna dengan wajah memelas.
“Ngapain gue kangen sama elo?” elak Hansya. Ia tahu, ini hanya akal-akalan Herna saja.
Mendung menggantung di wajah Herna. Wanita yang tengah hamil itu, lantas mengelus perutnya. Setitik air mata, jatuh membasahi pipi Herna tanpa bisa dicegah. Hansya tercekat menyadari kakak satu-satunya itu tengah menangis.
“Si kembar mau elo nginep di sini,” lirih Herna tanpa mengangkat wajahnya. “Emang lo mau dua ponakan lo ini ileran pas gede? Gara-gara keinginannya nggak terpenuhi? Elo bakal jadi Oom terjahat di muka bumi ini, Han! Ini keponakan elo yang kepengen.”
Melempar pandang ke wajah dan perut Herna secara bergantian, Hansya pun menyerah. Setelah menghela napas panjang, lelaki itu pun mengangguk. Hal itu tidak luput dari pandangan Herna. Meski Hansya menyanggupi keinginannya, Herna tidak juga menghentikan tangis. Karena itulah, Hansya meraih pindah Hansya dan memeluk wanita itu.
“Udah, nggak usah nangis. Gue bakalan nginep di sini malam ini,” ucap Hansya, mencoba menenangkan Herna. Namun gelengan kepala Herna membuat Hansya mengernyit bingung.
“Nggak. Pokoknya gue nggak mau!”
“Lah? Tadi lo nyuruh gue nginep, sekarang pas gue udah mau, lo malah nolak. Gimana, sih?”
“Gue nggak mau kalau malam ini aja. Pokoknya, selama gue di sini, lo mesti nginep. Nggak boleh nolak!” titah Herna.
Kembali Hansya menyerah. Kalau tidak mengingat kondisi Herna yang tengah hamil, Hansya tentu sudah menolak keras. Namun karena kondisi yang tidak memungkinkan, Hansya memilih mengalah dan mengikuti kemauan Herna.
“Iya, iya. Selama lo di sini, gue bakal nginep.”
“Nah! Gitu dong. Ini baru adek kesayangan gue.” Herna begitu riang hingga mendaratkan ciuman di pipi Hansya yang langsung mendelik tidak suka.
“Kak Herna!” geram lelaki itu.
“Eits, si kembar yang minta.”
Herna terkekeh melihat ekspresi Hansya yang kentara sekali menahan amarah.
“Kayaknya lo sengaja jadiin si kembar sebagai alasan,” decak Hansya.
Herna terkekeh, mengelus perutnya dengan sayang.
“Nggak juga, sih. Lagian gue emang kangen elo dan si kembar juga maunya elo di sini.”
Hansya mendesah, memilih masuk ke kamarnya meninggalkan Herna yang tertawa puas.
***
Keesokan harinya, Herna kembali berulah. Wanita itu meminta Hansya untuk menemaninya pergi ke mal. Pagi-pagi sekali wanita itu tega membangunkan Hansya yang masih bermain dalam alam mimpi. Meski Hansya telah menolak, Herna tetap bersikeras.
“Lo mau ponakan lo ileran dua-duanya?” ancam Herna lagi.
Hansya berdecak, menggeleng pelan. Tidak percaya jika Herna kembali menjadikan si kembar dalam perutnya itu sebagai kambing hitam.
“Anak lo masih dalam perut, malah lo jadiin alasan.”
“Hansya ... ayolah. Gue pengin ke mal. Nggak mungkin, kan, gue sendiri. Lo tega ngebiarin wanita hamil sendirian muter-muter mal?”
Hansya mencebik kesal. Kakak satu-satunya itu selalu saja punya beribu alasan agar Hansya mau mengikuti kemauannya. Kali ini, ia tidak langsung menuruti kemauan Herna. Ia kembali menarik selimut dan bantal untuk menutupi tubuhnya.
Melihat hal itu, sontak Herna menarik selimut yang menutupi seluruh tubuh Hansya.
“Han, ayolah,” rengek Herna, bak anak kecil. Seolah lupa umurnya hampir mencapai kepala empat.
“Nggak mau!” tolak Hansya. Ia mencoba kembali menarik selimut. Namun dengan cepat Herna mengambil alih selimut tersebut.
“Ayolah. Sekali ini aja gue minta temenin elo ke mal.” Nada memelas Herna, membuat Hansya berbalik demi melihat wajah wanita itu.
“Lo ini, ya. Selalu aja tahu kelemahan gue,” decak Hansya.
Lelaki itu kemudian bangkit dari posisi rebahnya dalam beberapa detik sebelum berdiri dan menuju kamar mandi. Melihat itu, Herna langsung bersorak dalam hati. Tanpa sepengetahuan Hansya, wanita itu meraih ponsel di saku celana dan mengirim pesan pada seseorang.
Pukul 11, ya. Tempatnya kayak yang udah kita setujui semalam.
Pesan telah terkirim, terbukti dari dua centang yang belum berwarna biru. Menyimpan kembali ponselnya ke saku celana, Herna pun keluar dari kamar Hansya dengan senyum lebar.
Hansya sudah rapi dan wangi, khas orang yang baru mandi, saat Herna tengah mengunyah buah-buahan bersama Alda di ruang tengah. Televisi yang tengah menyajikan acara memasak itu menjadi tontonan dua wanita tersebut.
Memilih duduk di samping Alda, Hansya pun mencomot sepotong apel di atas piring. Tindakan itu tentu membuat fokus Alda teralih.
“Mau ke mana? Udah rapi gini,” kata Alda saat melihat Hansya sudah rapi dengan baju polo warna hitam yang melekat erat di tubuhnya beserta celana jins.
“Mau nemenin tu orang,” jawab Hansya sambil mengarahkan dagunya pada Herna yang masih asyik menonton.
“Oh, ya udah. Pergi sekarang aja gih, takutnya macet.”
“Nanti aja,” sahut Herna tanpa menoleh. “Acara masaknya belum habis. Aku mau selesaiin acara ini dulu. Ngiler ngelihat makanannya.”
Selagi menunggu Herna menonton tayangan yang ia gemari, Hansya lebih memilih memainkan ponselnya. Sesekali ia ikut menyomot potongan buah segar yang Hansya yakini sengaja dihidangkan untuk Herna. Sekitar tiga puluh menit menunggu, akhirnya program acara memasak itu pun berakhir.
“Pergi sekarang, yuk,” ajak Herna yang telah berdiri di hadapan Hansya.
Menyimpan ponselnya di saku celana, Hansya pun mengekori langkah Herna menuju pintu depan. Tidak lupa mereka berpamitan pada Alda dan Yusrizal yang tengah bersantai di taman depan.
“Pelan-pelan bawa mobilnya,” pesan Alda.
“Iya, Ma,” sahut Hansya yang lengannya kini sudah ditarik Herna dengan semangat.
Di belakang mereka, Alda dan Yusrizal tengah bertatapan sambil tersenyum penuh arti. Tidak salah keputusan mereka menyuruh Herna untuk pulang ke rumah.
Hansya mengemudi dalam diam. Bahkan suara musik pun tidak terdengar di telinga. Herna tahu kebiasaan adiknya yang tidak mau fokusnya terpecah, meski hanya karena sebuah lagu. Meski sedikit bosan, ditambah ekspresi Hansya yang dingin, Herna memilih mendengarkan musik dari ponselnya. Kedua telinga wanita itu telah tersumpal earphone.
Hansya melirik Herna sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan. Meski tahu Herna dilanda bosan karena hening yang menemani mereka, tidak lantas membuat Hansya memperdengarkan sebuah lagu di dalam mobilnya.
“Kak Ario nggak ikut?” tanya Hansya saat lampu lalu lintas tengah berwarna merah.
Herna menggeleng atas pertanyaan Hansya. Meski tengah mendengarkan musik, telinga Herna masih bisa menangkap pertanyaan yang dilontarkan Hansya.
“Ada salah satu pasien yang mau dioperasi dan Bang Rio nggak bisa ninggalin rumah sakit."
Hansya manggut-manggut mendengarnya. Jemari lelaki itu ia ketukkan ke setir mobil.
“Kapan-kapan gue mau ke Surabaya, tapi nggak tahu kapan. Gue masih sibuk ngurusin Halo TV.”
“Pastinya lo mesti dateng ke Surabaya pas si kembar lahir,” ucap Herna dengan nada perintah.
“Ya iyalah. Masa ponakan gue lahir, malah nggak gue jengukin? Pas anak Andre lahir aja gue dateng buat ngejenguk.”
“Nah, Andre aja udah punya anak. Lo kapan? Usia kalian bahkan nggak terpaut jauh. Malah lebih tua elo ketimbang dia.”
“Cuma tua beberapa bulan aja,” ralat Hansya. Fokus lelaki itu kembali ke jalanan, karena lampu lalu lintas telah menjadi hijau.
“Ya intinya tuaan elo dari dia.”
Hansya tidak menjawab, terlalu fokus pada jalanan. Hingga mobil yang ia kemudian telah memasuki komplek mal yang telah Herna beritahu sebelumnya. Setelah memarkirkan mobil, kedua kakak beradik itu pun turun dan masuk ke dalam mal.
Meski tengah hamil, gerakan Herna cukup luwes. Ia bahkan begitu semangat menarik tangan Hansya menuju sebuah outlet sepatu di lantai tiga. Hansya hanya bisa geleng-geleng kepala dengan tingkah kakaknya itu.
“Bagus yang mana?” tanya Herna, seraya memamerkan dua buah sandal.
“Yang kanan aja,” sahut Hansya pada sebuah sandal berwana hitam. Warna favoritnya.
Herna tersenyum tipis, karena ia memang lebih tertarik pada sand hitam itu ketimbang sandal satunya yang berwarna beige. Saat Herna tengah asyik melihat-lihat deretan sandal, mata Hansya berkeliling menatap sekitar.
Tatapan dinginnya tak sengaja menangkap sesosok wanita yang berdiri di dekat pintu keluar. Tubuh wanita itu bergeming dengan tatapan yang tertuju ke arah mereka. Tepatnya pada Herna yang sama sekali tidak peduli pada sekitar karena terlalu asyik memilih sandal.
Sorot tajam milik Hansya masih memindai wanita yang tidak ia ketahui siapa. Namun setelah beberapa menit, wanita itu tampak terkejut saat tatapannya bersirobok dengan netra Hansya yang tajam.
Tanda tanya besar hinggap di kepala Hansya saat wanita lain menarik tangan wanita itu dan sepenuhnya berlalu dari hadapannya. Hansya mencoba mengabaikan wanita aneh itu dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa.
Wanita itu hanya tokoh yang numpang lewat di dalam cerita hidupnya.
“Han, makan, yuk.”
Suara Herna sedikit menyentak Hansya dari lamunan. Beruntung, ia telah terlatih untuk cepat mengubah ekspresi wajahnya.
“Oke,” jawab Hansya singkat dan melangkah bersisian dengan Herna. Meninggalkan outlet sepatu itu beserta ingatan akan sosok wanita yang secepatnya akan sirna dari benak Hansya.
***
Hansya tahu ada yang tidak beres di sini. Meski makanan telah terhidang di depan mereka, Herna tampak cemas sambil melirik ponselnya beberapa kali. Yang membuat Hansya semakin curiga adalah saat Herna memesan tiga porsi makanan.
“Gue lagi hamil. Makannya banyak.”
Hansya tahu itu hanya alasan Herna saja. Mencoba memutar otak, akhirnya benang merah itu pun menampakkan wujudnya. Seorang wanita yang sudah Hansya kenal tengah mendekati meja mereka.
“Sudah lama nunggunya, Kak?” tanya wanita itu sembari mencium kedua pipi Herna yang menyambut dengan senyum lebar.
“Nggak juga kok,” jawab Herna. “Ayo duduk, Mel.”
Wanita itu—Imelda—pun duduk di kursi, tepat di seberang Hansya. Membuat mereka kini saling berhadapan.
“Kakak udah pesenin makanan juga?” ucap Imelda, sedikit tidak enak. “Pasti lama banget, ya, nunggu aku.”
Herna menggeleng, mengibaskan tangannya. “Ah, nggak pa-pa. Udah biasa nunggu. Hansya aja betah kok nunggu jodoh bertahun-tahun, masa nunggu kamu beberapa menitan aja nggak sabar.”
Imelda tertawa. Suara renyah itu sebenarnya sangat enak di telinga. Namun tidak lantas membuka gembok di hati Hansya.
Tahu perubahan hati sang adik setelah kedatangan Imelda, Herna pun berujar, “Yuk kita makan dulu. Udah jam makan siang.”
“Ehm, iya, Kak,” balas Imelda sambil sesekali melirik Hansya.
Dalam hening, ketiga orang itu menyantap makanan mereka. Hansya merasa dongkol karena tahu ia tengah dijebak. Ia tidak menyangka, kegagalan Reanu untuk menyodorkan Imelda pada Hansya saat makan malam terakhir kali, membuat lelaki itu menempuh jalan nekat. Bahkan sampai harus melibatkan Herna yang tinggal di Surabaya.
Benar-benar licik!
“Jadi, papa kamu udah setuju kalau kamu bakal kerja di rumah sakit kami?” tanya Herna, memecah keheningan. Makanan di piring wanita itu telah habis tak tersisa. Makanya ia berani membuka suara.
“Iya, Kak. Malah emang Papa yang kasih rekomendasi buat kerja di sana.”
Herna begitu senang mendengarnya. Ia memang menyukai Imelda sejak Reanu membawa gadis itu ke rumah mereka saat bersilahturahmi.
Terlebih saat ia mengetahui rencana Reanu untuk menjadikan Imelda sebagai menantu Yusrizal dan Alda. Meski saat itu Haru menjadi kekasih Hansya dan Herna menyukai gadis itu juga, tetap tidak bisa menggeser posisi Imelda di matanya.
“Kayaknya bakal seru deh, kalau kamu nikah sama Hansya.”
Imelda yang tengah minum langsung tersedak. Begitu pula Hansya yang langsung berdeham keras, tanda tidak setuju. Ia membenci pertemuan ini. Terlebih rencana di balik semua ini.
“Ah, Kak Herna ngomong apa, sih?” ucap Imelda, tak enak hati. Terlebih setelah ia melirik Hansya dan mendapati ekspresi lelaki itu yang semakin dingin.
“Ya, nggak masalah dong kalau berandai-andai. Menurut kamu gimana, Han? Imelda cocok kok jadi pasangan lo.”
“Gue belum mau menikah, Kak!” tekan Hansya.
“Tapi umur elo, kan, udah—”
“Memangnya ada masalah dengan umur gue, Kak?” potong Hansya. “Gue lelaki, beda dengan wanita. Berapa pun umur gue saat ini, tidak lantas dijadikan patokan kapan gue harus menikah. Tidak perlu buru-buru untuk menikah. Bukan begitu, Imelda?”
Suara dingin Hansya membuat Imelda kesulitan bernapas. Tenggorokannya seketika kering hingga iya sedikit terbatas menjawab pertanyaan Hansya.
“I—iya, Kak.”
Pertemuan hari itu berakhir jauh dari apa yang Herna bayangkan. Bahkan Hansya tidak ada basa basi untuk memberikan Imelda tumpangan. Padahal Imelda sudah menjawab jika ia naik transportasi online saat Herna menanyainya.
“Jangan ikut-ikutan ngejodohin gue sama Imelda atau gadis manapun, Kak. Gue bisa cari calon gue sendiri.”
Herna tercekat. Memilih diam, tidak membantah.
***
Jangan lupa like, ya. Terima kasih. 💜
Xoxo
Winda Zizty
24 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro