Delapan Belas
Happy reading. 💜
***
Seharian ini Hansya tidak pergi ke kantor. Bersama Andre, lelaki itu meninjau pembangunan mal yang menyatu dengan hotel. Pembangunan yang sudah 90% itu cukup memuaskan Hansya. Pasalnya, selama sepuluh tahun ini menjabat sebagai CEO, baru dua tahun terakhir keinginan Hansya untuk membangun mal yang juga menyatu dengan hotel dapat terealisasi.
Meski harus melewati fase yang cukup sulit saat harus membebaskan lahan, tetapi usaha itu cukup terbayarkan. Tidak peduli sudah berapa nominal yang mesti ia keluarkan untuk mengganti rugi, karena membeli lahan yang sudah dibangun rumah warga secara ilegal. Hari ini lelaki itu benar-benar puas.
“Gue seneng keinginan gue ngebangun hotel dan mal dapat terlaksana,” ucap Hansya saat sudah di mobil. Andre yang tengah menyetir hanya bisa tersenyum tipis.
“Artinya tugas terakhir gue berhasil,” balas Andre.
Dahi Hansya berkerut. Bingung dengan jawaban Andre.
“Maksud lo?” tanya lelaki itu akhirnya, setelah mencoba menerka sendiri maksud Andre.
“Eh, gue lupa bilang, ya, sama lo. Gue udah ngajuin surat resign dan udah disetujui Pak Yusrizal. Gue masih tetep kerja sampai peresmian hotel sekaligus mal itu,” jelas Andre. “Setelah peresmian, besoknya gue udah nggak kerja jadi sekretaris lo lagi.”
“Terus siapa yang bakal jadi sekretaris gue kalau bukan lo?” tanya Hansya, tidak terima. “Lagian, kenapa lo nggak ngasih tahu gue dulu? Kenapa langsung ngasih surat resign ke bokap gue? Bos lo sebenernya siapa, sih?”
“Sorry, Han, tapi Pak Yusrizal udah nyuruh anak-anak HRD buat nyari pengganti gue. Bahkan kabarnya mereka sudah mau tes online.”
“Sialan banget! Kenapa hal penting kayak gini gue nggak dikasih tahu?” geram Hansya.
“Ini atas kemauan Pak Yusrizal, Han. Gue nggak bisa nolak.”
“Maksud lo?”
“Ehm, sebenarnya Pak Yusrizal nyuruh gue ke Surabaya buat jadi sekretaris kakak lo. Jadi gue mesti resign dari Halo TV, karena lo tahu sendiri Halo TV sama rumah sakit di Surabaya enggak di bawah naungan yang sama, meski pemiliknya sama, sih.”
“Kampret emang!” maki Hansya.
“Sorry, Han.”
“Terus bokap gue ngomong apa lagi? Gue tahu, ini pasti akal-akalan dia doang!” kejar Hansya.
“Ehm, yang gue denger, sih, perekrutan kali ini persyaratannya hanya untuk cewek. Jadi ... ya, sekretaris lo nanti cewek, bukan cowok lagi kayak gue!”
“Anjir! Ketebak banget jalan pikiran mereka!”
Andre mengulum senyumnya. Membiarkan Hansya di sebelahnya kembali mengeluarkan makian.
“Kenapa, sih, pada ikut campur sama masalah gue? Kayak gue ini anak kecil aja.”
“Mungkin ini juga untuk menyanggah gosip yang sudah lama beredar, Han,” ujar Andre. “Lagi pula, gue rasa keputusan ini sudah tepat. Supaya lo bisa ngelihat cewek, bukan cowok.”
“Maksud lo apaan? Gosip apaan?” cecar Hansya. Ia benar-benar tidak tahu mengenai gosip apa pun di Halo TV.
“Awalnya, sih, karena salah satu media salah nulis nama lo jadi Hafsya dan lo sama sekali nggak nyuruh media itu buat meralat nama lo. Terus ditambah elo yang sampai detik ini belum kelihatan gandeng cewek. Ya, lo bisa menyimpulkan sendiri gosip seperti apa yang udah beredar.”
Mata Hansya melebar sempurna. Ia syok bukan main dengan informasi yang sudah Andre beritahu. “Kenapa lo baru ngasih tahu sekarang kalau ada gosip kayak gitu?” tanya Hansya kemudian.
“Ya gue kira lo masa bodoh sama semua gosip itu, makanya gue ikutan diem. Dan juga gue rasa, Pak Yusrizal udah tahu, makanya dia doyan banget jodohin elo. Salah satu caranya, ya, kayak gini, mutasi gue ke Surabaya. Walaupun bukan mutasi banget, sih.”
“Shit! Anjir! Gue masih normal seratus persen! Siapa yang udah berani nyebarin gosip nggak bertanggung jawab kayak gitu?”
“Ya, mana gue tahu, Han. Gue juga bukan tipe cowok yang suka bergosip. Lagian, gue, kan, sibuk ke sana-kemari bareng elo. Ngatur jadwal lo, segala macem.”
“Sialan! Lo bener,” ucap Hansya, pasrah. “Omong-omong, bini lo udah tahu kalo kalian bakalan pindah ke Surabaya?”
Andre mengangguk. “Udah, malahan di setuju banget karena dia bakal tinggal di kampung halaman dia. Lo tahu sendiri, istri gue dari Surabaya.”
“Terus, siapa sekretaris gue?”
“Ya, mana gue tahu. Yang pasti sekretaris lo nanti cewek, bukan cowok.”
“Harus banget cewek?” desah Hansya. Entah kenapa membayangkan seharian bersama wanita, meski dalam konteks pekerjaan, membuat Hansya tidak nyaman. Mungkin karena memang dia bukan tipe lelaki yang mudah akrab dengan makhluk Tuhan yang merupakan keturunan Hawa itu.
“Ya harus dong. Udah gue bilang, semua udah diatur Pak Yusrizal. Sisanya, lo terima aja.”
Hansya memejamkan mata, memijat dahinya karena merasa sedikit pusing. “Gue mau tidur bentar, tiba-tiba gue pusing. Bangunin aja kalau udah sampai kantor,” pesan Hansya.
“Hm.”
***
Hansya tidak habis pikir jika Yusrizal sampai bertindak sejauh itu. Menjauhkan Andre hingga membuka perekrutan karyawan baru untuk menduduki posisi sekretaris, menggantikan Andre. Padahal Yusrizal tahu sendiri, Hansya sudah cocok dengan kinerja Andre. Bahkan Hansya menganggap lelaki itu sebagai teman sekaligus saudaranya sendiri.
“Kamu sudah dewasa, Han, tidak mungkin selamanya Andre yang akan menjadi sekretaris kamu,” kata Yusrizal saat Hansya menghubungi.
“Tapi apa salahnya kalau sekretarisku laki-laki, Pa? Aku bahkan nggak keberatan sama sekali.”
“Papa yang keberatan,” jawab Yusrizal, membuat Hansya mendesah panjang. “Sudah saatnya kamu menikah, Han. Maaf kalau Papa memaksa.”
“Sudah sering aku bilang Pa, aku bisa mencari calonku sendiri. Aku nggak perlu Papa bantu untuk mencari pendamping.”
“Papa ingin melihat kamu segera menikah, Mama juga. Apa salahnya menyenangkan orang tua dengan mengikuti kemauan mereka, Han?”
“Astagfirullah, Pa,” ucap Hansya. “Aku belum mengikuti kemauan Papa dan Mama yang satu itu, bukan karena aku nggak sayang kalian. Kalau sudah menemukan wanita yang cocok, langsung aku nikahin, Pa. Sayangnya sampai detik ini aku belum menemukannya.”
“Kemarin kamu bilang belum memikirkan pernikahan, terus sekarang alasannya karena belum menemukan wanita yang cocok. Terus ke depannya, apalagi alasan kamu, Hansya? Papa dan Mama keburu dikubur di tanah kalau kelamaan menunggu kamu menikah.”
“Pa,” desah Hansya. “Oke, nggak masalah Papa nyariin sekretaris baru buat aku.”
“Memang seharusnya dari dulu saja Papa Carikan sekretaris wanita buat kamu, bukan laki-laki. Bukan berarti Papa nggak suka dengan hasil kerja Andre yang cekatan. Tapi kalau sekretaris kamu wanita, mungkin sekarang kamu sudah menikah. Entah dengan sekretarismu sendiri, atau dengan wanita lain.”
“Pa, please, jangan bahas pernikahan dulu. Oke?”
“Hansya Sayang ....”
Kali ini suara Alda menyapa gendang telinga Hansya. Sepertinya Yusrizal sudah lelah berdebat dengan Hansya hingga menyuruh Alda yang berbicara dengan lelaki itu.
“Iya, Ma?”
“Semua yang Papa lakukan sudah papamu pertimbangkan matang-matang, entah bagaimana hasilnya nanti, itu yang terbaik untuk kamu. Lagi pula dengan pengalaman Andre, dia cukup mumpuni kok menjadi sekretaris Herna.”
“Tapi, Ma, aku cuma menyayangkan kenapa aku nggak dikasih tahu dulu? Kenapa rasanya mendadak banget kayak gini?”
“Nggak mendadak kok. Sebenarnya ini rencana terakhir Papa kalau semua rencananya tidak ada yang berhasil. Andre juga tidak keberatan kok, kamu jangan marahi dia karena turut andil dalam rencana ini. Lagi pula kalau dari awal kamu dikasih tahu, apa kamu mau menerima? Mama sangat yakin, kamu malah akan menggagalkan rencana ini, mengingat kamu seperti apa.”
Hansya terdiam. Ucapan Alda memang benar adanya. Karena itulah, Hansya sama sekali tidak menyanggah.
“Ini bukan karena kami mau menjodohkan kamu dengan sekretaris kamu nanti. Kami bahkan tidak tahu siapa aja yang melamar, Nak. Kamu juga mungkin sudah tahu gosip apa yang beredar di Halo TV dan kami tidak mau gosip itu terus berlarut hingga tahun-tahun berikutnya.”
“Ma, aku masih normal. Aku masih suka sama cewek,” bantah Hansya tidak terima.
“Iya, Mama tahu, tapi apa orang lain bakalan percaya? Mama tahu kamu masih normal dan suka sama wanita. Cuma belum ketemu yang pas aja makanya sampai saat ini kamu masih melajang. Tapi apa orang lain peduli, Han? Mereka hanya percaya gosip yang beredar, meski mungkin mereka juga tahu kamu itu lelaki normal yang menyukai lawan jenis. Tapi apa salahnya, kan, mempunyai sekretaris baru? Hitung-hitung membuka kesempatan bagi orang lain untuk mengais rejeki. Karena kita tidak ada yang tahu, di luar sana ada yang butuh pekerjaan apa nggak, kan?”
“Ya, setiap orang butuh kerja dong, Ma. Butuh duit, sih, sebenarnya.”
“Nah, makanya, anggap saja kita membuka pintu rejeki orang lain untuk bisa berpenghasilan. Andre juga bisa menyenangkan istrinya karena tidak perlu pulang kampung saat lebaran. Mertua Andre di Surabaya, kan?” tanya Alda, memastikan.
“Iya, Ma, di Surabaya.”
“Nah, bukankah ini juga keputusan yang tepat untuk Andre dan keluarganya?”
“Iya, Ma, iya.” Hansya mengalah.
“Kami menyayangi kamu, Han. Mama, Papa, dan juga Herna, bahkan si kembar yang masih dalam perut pun menyayangi kamu. Menginginkan yang terbaik untuk kamu.”
Hansya mendesah, “Iya, Ma. Ya udah, teleponnya aku tutup, ya? Aku mesti balik kerja lagi.”
“Jangan terlalu keras bekerja, Han. Sesekali kamu istirahat aja. Kamu butuh rehat,” saran Alda.
“Iya, Ma, makasih sarannya. Papa sama Mama juga butuh istirahat, bukan aku aja. Jaga kesehatan, jangan lupa perbanyak minum air mineral.”
“Iya, ya udah, selamat bekerja anak kesayangan Mama.”
Setelah mengucapkan salam, Hansya lantas memutuskan sambungan telepon. Lelaki itu menengadah, menatap langit-langit. Entah takdir seperti apa yang sudah Tuhan gariskan untuknya. Namun selama ini, Hansya terus membiarkan takdirnya mengalir apa adanya. Ia tidak muluk-muluk meminta apa pun pada Tuhan.
Termasuk saat ini. Ia tidak mau berekspektasi mengenai siapa calon sekretaris barunya yang akan menggantikan Andre. Bukan ia tidak percaya dengan takdir Tuhan, atau kecewa padaNya. Hansya hanya takut kecewa dengan ekspektasinya sendiri, bukan dengan takdir-Nya.
Pintu ruangan Hansya terketuk tak lama kemudian, membuat lelaki itu menegakkan punggungnya. Setelah dipersilakan masuk, sosok Andre langsung tertangkap netranya.
“Dre,” panggil Hansya setelah sang sekretaris berdiri di hadapannya. “Kalau gue ikutan Grab Me! Gimana?”
***
Saat menulis ini, aku kehilangan kata-kata. Kayak kalimat yang udah tergantung di ujung lidah, malah hilang gitu aja.
Semoga suka, ya. Jangan lupa mampir ke ceritaku yang lain. Terutama mampir ke After That Month. Vote like aja, gpp. Hehe.
Xoxo
Winda Zizty
30 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro