Delapan
Selamat malam.
Happy reading. 💜
***
Tubuh lelah Hansya tengah diguyur air yang mengalir dari shower. Menumpukan kedua tangan ke dinding kamar mandi, lelaki itu lantas memejamkan mata. Menikmati tetesan air yang seolah memijat kepalanya yang terasa berat.
Tekanan di sana-sini tidak pernah ada habisnya. Keluarga yang menuntut untuk segera menikah, tekanan pekerjaan, juga perjodohan baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi.
Reanu bukan orang pertama yang menawarkan putrinya pada Hansya. Sudah lebih dari sepuluh orang yang menawarkan putri mereka agar bisa dipinang Hansya. Menjadi pendamping sang CEO dalam meneruskan bisnis keluarga.
Namun sebanyak apa pun wanita yang disodorkan padanya, Hansya selalu menolak. Bukan inginnya, tetapi entah kenapa sulit sekali untuk membuka hati.
Hansya sadar daya tarik yang ia miliki. Wajah rupawan dengan tubuh proporsional, wanita mana yang tidak tertarik? Namun yang lebih menjadi magnet adalah kekayaan yang ia punya. Jabatan tertinggi di Halo TV membuat para orang tua rela menitipkan anaknya untuk mendampingi Hansya hingga ajal menjemput.
Selain itu, Hansya memiliki investasi berupa tanah, logam mulia, dan rumah di beberapa perumahan yang tersebar di beberapa kota. Ada yang ia sewakan, ada juga yang ia biarkan kosong, tak berpenghuni.
Hansya juga memiliki bisnis kafe dengan konsep perpustakaan. Di mana para pengunjung juga bisa leluasa membaca dan meminjam buku, baik fiksi maupun non fiksi.
Otot tubuh Hansya yang tegang, perlahan mengendur. Meski hal itu tidak lantas membuat beban di pikirannya turut menghilang. Merasa cukup dengan guyuran air yang membasahi tubuhnya, Hansya mematikan shower. Mengambil bathrobe yang tergantung di dinding dan segera keluar dari kamar mandi.
Setelah berganti baju dengan kaos dan celana selutut, lelaki itu tidak langsung mengistirahatkan tubuh. Hansya memilih berdiri di balkon kamarnya, menatap langit malam yang hanya dihiasi beberapa bintang.
Angin malam cukup menamparnya, meniup rambut hitam legam yang dipotong dengan model pompauder itu. Mata yang kali ini tidak dibingkai kacamata itu menatap lurus ke satu titik. Pada bintang yang paling terang di antara bintang yang lain, malam ini.
“Haru ...,” gumam Hansya pelan. “Apa kamu sengaja membuat hatiku terus terkunci untukmu?”
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Hansya. Tidak pula bintang, bulan, ataupun angin yang semakin kencang menyapa kulitnya.
Hansya tersenyum miris. Memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Sosok Haru kembali terbayang, setelah sekian lama. Hansya kira wajah Haru sudah pudar dalam ingatan, tetapi dugaan itu salah. Malah, wajah Haru seolah nyata terbayang di depan matanya.
“Mungkin Papa benar, aku lelaki cengeng karena hingga detik ini masih terbayang akan masa lalu,” lirih Hansya. Ia lantas menunduk, menatap jemarinya yang mengepal di pinggir terali pembatas. “Haru ... apa ini hukuman darimu? Karena aku tidak bisa menolongmu saat itu.”
Malam semakin larut. Namun kantuk seolah enggan menyapa Hansya. Tanpa asupan kafein, lelaki itu tetap terjaga. Matanya tetap awas menatap sekitar.
Entah sudah berapa lama Hansya berada di balkon kamarnya. Hingga akhirnya ia menyerah. Berbalik dan masuk ke kamarnya yang sepi.
Merebahkan tubuh, Hansya mencoba menutup mata. Ia tidak mau terlalu keras dengan dirinya sendiri. Lelaki itu sadar, ia harus istirahat. Beban yang menumpuk di pundaknya membuat Hansya harus tetap menjaga kesehatan. Memilih bergadang dengan alasan beban pikiran, bukanlah pilihan yang bijak.
Mencoba merilekskan tubuh dan pikirannya, deru napas Hansya perlahan teratur. Merasuki alam mimpi dan mengusir jauh beban yang ia pikul hari ini.
***
Pagi ini Hansya datang lebih awal ke kantor. Bahkan Andre sedikit terkejut saat mendapati Hansya sudah duduk manis di kursi kerjanya saat ia tiba di ruangan lelaki itu.
“Tumben,” ucap Andre. Tidak bermaksud menyembunyikan rasa herannya.
Hansya tidak membalas, fokusnya tetap terarah pada laptop yang terbuka. Menyadari sikap Hansya yang dingin, Andre lantas membuka tabletnya, mulai membacakan agenda Hansya hari ini. Setelah Andre mengucapkan jadwalnya, Hansya mengangguk singkat.
“Lain kali, kayaknya gue beneran harus ngajak lo setiap Pak Reanu ngajak makan malam.”
Ucapan Hansya membuat Andre yang tengah menekuri tablet lantas mendongak.
“Sudah gue duga.” Senyum kecil terbit di wajah Andre. “Dia masih ngotot mau jodohin elo sama Imelda?”
Hansya mengangguk. Lelaki itu kini meregangkan tubuhnya. Cukup lama duduk membuat tubuhnya sedikit kaku.
“Dia nggak tahu aja kalau Imelda udah ada pacar.”
“Gue rasa dia tahu,” ucap Andre. “Gue denger, sih, Pak Reanu nggak setuju sama pacarnya Imelda, karena belum mapan. Ya, buka usaha franchise kecil-kecilan gitu deh.”
“Jadi karena itu dia nekat nawarin putrinya ke gue?” tebak Hansya.
Andre mengangguk. “Iya. Karena menurut Pak Reanu dengan menikah dengan lo masa depan Imelda lebih terjamin. Doi juga bisa mengabdi di rumah sakit yang di Surabaya.”
Hansya manggut-manggut. Ucapan yang dilontarkan Andre cukup masuk akal. Hansya cukup mengenal Reanu yang lebih mengutamakan gengsinya.
“Kayaknya lo banyak diincer para orang tua, ya. Kenapa lo nggak nyari calon aja, sih? Biar mereka pada berhenti jodohin lo sama anak mereka.”
Senyum samar tergaris di bibir Hansya.
“Andai semudah itu.” Matanya kini menerawang. “Memutuskan menikah bukan hal yang mudah. Nggak semudah itu gue nyari calon buat gue nikahin.”
“Ya elah, apa susahnya, sih? Tinggal pilih aja wanita yang lo suka. Gue yakin seratus persen, nggak ada wanita yang mau nolak lo.”
“Dan lo juga tahu apa alasan mereka nggak bakal nolak gue,” jawab Hansya telak.
Tentu saja Andre tahu apa jawabannya. Harta, takhta, dan Hansya. Tiga hal yang tidak akan dengan mudah ditolak para wanita. Bahkan tanpa ditawarkan dua kali, para wanita akan langsung menyetujuinya.
“Btw, acara di Halo TV ada yang ratingnya melonjak drastis,” beritahu Andre. Mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Acara apa?” tanya Hansya, tertarik.
“Grab Me! yang tayang setiap Kamis malam.” Kedua alis Andre naik-turun dengan senyum di wajahnya.
“Grab Me!? Acara apaan tuh?”
Alis Hansya terpaut mendengar nama program acara tersebut. Mungkin karena terlalu banyak hal yang mesti ia urus, Hansya sampai melupakan salah satu program favorit di Halo TV tersebut.
“Serius lo nggak tahu acara itu?” Andre berdecak sembari menggeleng tak percaya. “Lo CEO di sini, tapi nggak tahu ada program acara apa aja di Halo TV. Wow! Gue nggak percaya akan hal itu.”
“Urusan gue banyak. Nggak cuma ngurusin satu acara aja,” kilah Hansya. Lain kali ia harus mengingat program acara apa saja yang ia setujui untuk ditayangkan sebelum membubuhkan tanda tangannya di lembar laporan.
“Ya, ya, ya, gue tahu itu. Gue sekretaris lo, jangan lupakan itu.”
“Jelasin ke gue, gimana Grab Me! itu.” Nada suara Hansya terdengar penuh perintah. Mau tak mau, Andre menurut. Meski memang tanpa disuruh pun, Andre akan dengan senang hati menjelaskan tentang Grab Me! ke Hansya.
“Grab Me! itu ajang pencarian pasangan. Nanti bakal ada 5 cowok single yang datang buat nyari pasangan di antara belasan cewek yang juga single. Sistemnya, kalau si cewek tertarik sama cowok itu, dia bakal mempertahankan lampunya agar tetap hidup. Sebaliknya, kalau dia nggak sreg sama profil si cowok, dia bisa milih buat matiin lampu.”
“Terus?”
“Astaga, harusnya elo lebih tahu daripada gue.”
“Urusan gue—“
“Iya, iya, elo orang sibuk,” potong Andre cepat.
“Ya udah, lanjutin,” titah Hansya. Lelaki itu menautkan jemarinya di atas meja. Matanya terarah lurus pada Andre yang sudah siap untuk bercerita kembali.
“Ya intinya, itu acara buat nyari jodoh. Apa lo mau ikutan Grab Me! juga? Siapa tahu jodoh lo ternyata ikutan tu acara juga?”
“Sinting!” balas Hansya. Ia bersedekap.
“Hei, ini cuma opsi.”
“Mau ditaruh di mana muka gue kalau petinggi di sini tahu gue ikut acara pencarian jodoh di stasiun TV gue sendiri? Lo mau bokap gue tambah parah sakitnya?”
“Kalau lo nggak mau, ya udah. Gue juga asal nyaranin ke elo. Tiba-tiba melintas gitu aja.”
“Makasih atas saran lo, tapi kali ini gue menolak.”
“Iya, iya, Pak Bos.”
“Terus?”
“Terus apanya?” tanya Andre balik.
“Itu, tentang Grab Me!, kelanjutannya gimana?”
“Yang ikut acara itu?”
Hansya mengangguk sebagai jawaban.
“Ya kalau sudah ketemu pasangan yang dirasa cocok, mereka bakal dapet hadiah pdkt selama sebulan. Jadi selama sebulan itu mereka kencan dengan dimonitori sama staf di sini. Dibiayain paling banyak 50% dari pengeluaran selama mereka kencan sebulanan itu.”
“Oh, gitu.” Hansya manggut-manggut.
“Lo ikutan aja, deh, acara itu. Nanti identitas lo diubah sedikit, biar nggak tahu kalau lo itu CEO di sini.”
“Gue nggak mau!” tolak Hansya tegas.
“Kalau kencan buta, mau?” usul Andre.
Mata Hansya melebar mendengar usulan Andre yang lebih gila dari sebelumnya. “Apalagi itu!”
“Ya, kali aja lo tertarik. Kalau lo mau, gue bisa atur jadwalnya. Gue ada kok kenalan yang bisa ngurusin kencan buta. Nggak usah khawatir kalau nanti—“
“Gue nggak mau, Andre!” potong Hansya. “Untuk saat ini biarin gue sendiri dulu tanpa pendamping. Gue belum berminat deketin cewek buat menjalin hubungan serius.”
“Tapi Pak Yusrizal—“
Hansya memejamkan matanya sejenak sebelum menatap Andre tajam. “Biarin itu urusan gue sama bokap gue.”
“Sorry.”
“Omong-omong tentang Grab Me!, bisa lo kasih gue informasi tentang pesertanya dari awal tayang sampai hari ini?”
“Buat apa?” tanya Andre bingung. “Tadi katanya lo nggak tertarik?”
“Andre,” desis Hansya.
“Oke, oke. Gue turun dulu buat nyari tahu.”
Di bawah tatapan tajam Hansya, Andre pun beringsut menjauh. Meninggalkan Hansya di ruangannya demi memenuhi keinginan lelaki itu. Sepeninggal Andre, Hansya mengembuskan napas panjang. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil memejamkan mata.
Kenapa setiap hari tuntutan mencari pasangan dan menikah semakin gencar terlontar dari orang-orang di sekitarnya? Apa segitu menyedihkan hidup Hansya karena hingga detik ini belum juga meminang seseorang untuk menemani hari-harinya?
Hansya tersenyum miris. Tentu saja ia menyedihkan. Masih belum sepenuhnya lepas dari masa lalu dan terbayang akan sosok calon pengantinnya yang telah lama kembali ke pangkuan Tuhan.
Mungkin, Hansya mesti memikirkan ulang untuk menemukan calon pendamping. Tidak hanya untuk membungkam mulut-mulut orang di sekitarnya, tetapi juga untuk menenangkan hatinya sendiri.
***
Daripada bengong di rumah nggak ada kerjaan, mending baca Kebelet Nikah dengan CEO, dong.
Xoxo
Winda Zizty
20 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro