Pertama
Sejak kecil Feri selalu mempunyai prinsip yang selalu ia tanamkan dalam jiwanya.
Biasa disebut; 'Gangsaling Pranatan Izvara' (Lima peraturan Izwara)
Yeah, mungkin sedikit berlebihan untuk ukuran sebutannya—tapi ini benak Feri! Terserah maunya, dong! Jangan protes!
Selalu susah Feri mengendalikan mulut dan pikirannya jika ia sudah kelewatan.
Namun demi kepentingan untuk mendapat hidup sejahtera dan memotivasi diri, fondasi kuat harus dibangun.
Sebab itulah kelima peraturan memiliki esensi masing-masing.
Semua dimulai dari yang pertama dan paling penting;
Sayangilah orang tua, keluarga, teman, dan siapapun yang baik kepadamu. Memang ini kewajiban. Percayalah tak ada penyesalan, keuntungan pasti akan didapapatkan di kemudian hari.
Pasang wajah ramah kepada siapa saja yang memusuhimu. Sangat tidak berfaedah bila meladeni, tidak bagus untuk kesehatan kokoro, sayangku.
Berperilakulah seperti orang biasa. Jangan di bawah, jangan juga di atas. Jatuh drastis bisa sakit, naik ke puncak jadi target sirik.
Hindari menarik terlalu banyak perhatian, tapi bukan berarti menjadi bayang semu yang gampang dilupakan orang.
Ikuti arus, karena pengucilan itu menyesakkan. Berbaurlah sebelum terlambat.
Dan yang terakhir;
Simpan rapat-rapat hobimu jika kesenangan tersebut terlalu busuk untuk dipapar.
Feri suka kartun, mau itu dari Jepang atau China atau Amerika, Feri tetap suka.
Ya, oke, itu, sih, masih wajar di jaman sekarang, mungkin.
Tapi ada juga satu hal lain yang ia tidak akan beri tahu siapapun (bahkan kepada kedua orangtuanya sendiri) kalau dia itu...
Fudanshi.
Sial, 'kan? Makasih.
Untuk koleksi kartun Jepang (Anime) misalnya, tidak sampai maniak, hanya sekedar hobi (yang terlalu ditekuni).
Shojo, Slice of life, Fantasy, Romance, Action, Sci-fi, Thriller, Shounen-ai---sebenarnya Feri melalap semuanya.
Kamar Feri juga cukup simpel, cat biru langit, tertata rapih, kendati ada tempelan dua tiga poster, beberapa pajangan figur aksi, dan rak buku fiksi (termasuk komik).
Kasur ukuran pangeran, bantal, guling dan bed-covernya bertemakan SAO Arc. Alfheim Online. Baru datang beberapa hari lalu setelah Feri bersabar selama sebulan pre-order.
Meski wajar bila jaman ini masih terdapat remaja yang sama sepertinya (dalam bagian ini tentang menjadi otaku) Belum satupun teman Feri yang pernah dipersilahkan masuk ke sana.
Kau tentu tidak mau dipandang seperti: "Lo masih suka liat kartun yang begituan? Naruto, gitu?" Saat mereka, teman atau siapa saja yang mengenalmu, mengetahui kesenangan taraf kekanakan, yang ingin kau simpan rapat sendiri itu, tersingkap.
Naruto, Naruto, Naruto, ah!
Dari sini Feri perlu meluruskan bahwa; bukan semua hal yang berhubungan dengan hobinya itu adalah Naruto! Meski Feri juga suka Naruto, omong-omong.
Sekalipun juga ada segelintir teman-temannya yang suka nonton. Namun Feri masih ragu untuk membuka diri dalam hal ini.
Oleh sebab itu, setiap saat dia berusaha keras agar tidak sampai meledak masuk ke obrolan bila ada sekelompok dari mereka sedang asik membahas tentang serial kartun Jepang.
Otaku. Biar dia tidak mau dicap begitu karena pola pikir yang telah tertanam dalam kepalanya itu culun, namun Feri rela mengantri lama semisal ada eksibisi festival Jepang (apapun) di Lembah atau Expo Center, untuk mendapat seapapun merchandise serial apapun yang Feri ikuti.
Kedua orang tuanya tidak pernah mempermasalahkan tentang kegemaran Feri (lagi-lagi, dalam hal bukan Fudanshi tentunya).
Feri juga tidak pernah bertingkah di depan teman-temannya macam wibu yang selalu menyisipkan omong Jepun di tiap kalimat yang dia ucapkan.
Jadi perkara akan selesai dan tidak menimbulkan masalah baru, bila untuk seterusnya konteks lingkungan sekitar Feri belum berubah.
~*O*~
Tidak ada yang menarik dari rutinitas Feri semasa libur semesteran.
Tidur→Makan →Nonton →Main→ Baca manga BL sembunyi-sembunyi.
Begitu seterusnya, siklus kesenangan seorang Feri Izvara, dikala waktu senggang melanda di rumah.
Tugas bersih-bersih dan masak juga sudah diurus Bi Linggom, pembantu rumah tangga keluarganya yang mulai bekerja semenjak Feri masih taman kanak-kanak.
Jadi bukan karena Feri adalah laki-laki pemalas yang kerjanya senang-senang manja, hanya ketika dia mempunyai suasana hati untuk melakukannya, Bi Linggom selalu menolak dan mengatakan bahwa 'Nggak usah, Den, nggak usah. Ini sudah kerjaan Bibi.' begitu, dan ujungnya menyuruh Feri untuk istirahat selama liburan.
Orang bilang masa SMA adalah masa paling menyenangkan dalam hidupmu.
Kau bisa membuat kenangan apapun yang paling berkesan. Bergembiralah. Lakukan apa yang ingin kau inginkan!
Tentu Feri tidak bakal menyia-nyiakan masa itu dan melakukan apa yang dilakukan orang berintegritas dan berkemauan kuat dengan penuh suka cita; mendapatkan skor bagus di sekolah, mengelola KYRC, dan mungkin selanjutnya memiliki pacar cantik dengan kulit putih mulus yang menerima Feri apa adanya terlepas dari kalian-tahu-apa.
Mama-Papa Feri sekarang jarang di rumah karena sibuk mengurusi usaha sampingan baru dengan mitra kerja yang belum lama mereka temui.
Feri memakluminya karena ia bukan anak tunggal manja yang suka menuntut ini-itu dan akan berontak membabi buta bila tidak dituruti.
Seperti sekarang. Minggu pagi plus Mama Feri sudah rapih di depan tolet rias ruang tengah mengenakan setelan blouse krem, berkaca diri.
Ditemani Papa yang kebetulan hari itu dapat libur dari kantor, Mama akan meresmikan pembukaan usaha---yang Feri sedikit mengerti, berhubungan dengan Pengaturan serta Perencanaan Pernikahan, bersama mitra barunya.
Bi Linggom sedang berada di kamar belakang. Beliau baru datang pagi-pagi sekali sepulang cuti dari kampungnya di pesisir laut selatan.
"Adek, nanti jangan lupa mandi. Makan siang sama sore tinggal hangatin oseng kacang panjang sama sop yang ada di piring meja belakang bikinan Mama, atau kamu mau goreng telur sendiri?"
Sembari mengulas lipstik pelembab di bibir, Mama mengingatkan Feri yang tengah melakukan aktivitas harian liburnya; duduk bersandar memeluk lutut di sofa ruang tengah.
"Mama." Feri membalas jengah tanpa mengalihkan matanya dari layar telvisi yang menayangkan serial Ben 10 Alien Force di kanal Cartoon Network.
"Umur Feri sampai tujuh belas tahun masih perlu diingetin?"
Mama mendekati Feri tanpa disadari, lalu kemudian mencubit gemas pipi anaknya, mengeluarkan suara, "Hiihh...!"
"Aw-aw, sakit lah, Mah!" protes Feri seraya mengusap sayang pipinya sendiri.
"Mama tahu kamu udah besar. Tapi tetep aja kamu anak Mama satu-satunya. Mama sayang kamu---"
"Iya, iya, Feri juga sayang Mama, kok. Tuh, ditunggu sama Papa di mobil lama katanya," Feri memutar topik, menggerak-gerakan tangan seakan mengusir.
Mama seketika tersadar kemudian melihat jam tangan di lengannya, ingat kalau sebentar lagi ia akan terlambat.
"Ah! Kalau begitu Mama tinggal dulu ya, muah!"
Mama pamit, mencium kening Feri, dan mengusap-usap singkat rambut ikal yang selama ini belum Feri potong sejak minggu-minggu terakhir, membuatnya jadi tambah berikal-ikal.
"Hu'um." Feri berdehem, dengan mulut yang masih cemberut akan perlakuan yang diterimanya.
Feri. Tidak. Habis. Pikir! Inilah sebabnya ia tidak ingin Mamanya berada di sekitar ketika dia sedang bersama teman-temannya.
Malu!
Beda dengan Aldo yang telah tahu karena mereka sering kerja kelompok di rumah Feri bila diberi tugas yang anggotanya adalah hanya satu meja, dan itu pun tanpa disengaja ba! Feri sungguh tidak menginginkan, namun terlanjur terjadi.
Dari situ Feri selalu waspada, terutama waktu pengambilan rapor semesteran di Kayangan dan beralih meminta Papa untuk melakukan.
Setelah mendengar suara mobil yang makin menjauh,
Bukk!
Feri menjatuhkan diri secara horizontal di atas dudukan sofa.
Saat yang sama juga, Ben, Gwen, dan Kevin sedang melawan seekor Alien Serigala bermata kuning di suatu hutan di---Feri tidak tahu, planet lain mungkin.
Omong-omong soal pengambilan rapor dan sepasang mata kuning.
"Tai kucing!" Feri meradang ketika mengingat peristiwa akhir semester, dan kilatan kuning itu.
"Jaka Rahardja."
Menyebutkan namanya membuat Feri ingin segera amnesia.
Sudah hampir tiga minggu berlalu tapi Feri masih terbayang-bayang akan orang itu.
Dia bahkan sama sekali tidak menikmati hari Natal dan tahun baru dengan hitmat meski dia ingin.
Hari terakhir liburannya jadi terbuang sia-sia.  ̄へ ̄
Sungguh, Feri tidak terbawa perasaan. Setidaknya sampai di situ keyakinannya barusan.
Masalah yang ada, baru pertama kali ini ada seseorang yang menyatakan pada Feri sebegitu anehnya.
Lebih parah lagi dia orang yang secara dilihat kasat mata adalah laki-laki ah!
Memang Jaka tidak berkata langsung kalau dia 'gue suka elo, Manis. Yuk kita pacaran, oke?' pada Feri atau semacam pengakuan rasa yang dilakukan seorang individu untuk menyalurkannya pada individu lain.
"Dia nggak bilang begitu. Tapi implementasinya 'kan ambigu!" Karena Feri fudanshi.
Jujur Feri tidak pernah sebegitu memperhatikan macam-macam cara orang menembak waktu Sekolah Menengah Pertama dulu, dan ini baru bulan ketujuh dia berada di Kayangan.
Kenyataannya saat-saat tertentu Feri pernah memuntahkan kalimat mainstream 'I love you' atau mengirim surat cinta dan sepucuk bunga mawar plastik yang disemprot parfum Fresh Lavender kalau dia Terlalu malu.
Tidak banyak. Hanya lima gadis alim biasa dan semuanya ditolak. ╥﹏╥
Feri yakin sekali tidak ada yang salah dengan wajahnya. Cukup tampan untuk ukuran remaja pulau sepertinya (opini pribadi).
Akibat menelan terlalu banyak pil pahit dari masa puber, mulai di Kayangan Feri memberi jeda beberapa saat untuk hubungan semacam itu.
Semua berjalan tenang, akan tetapi kali sekarang masalah lain muncul. Hanya dengan dua kata 'kita jodoh' itu, telah dapat memicu kinerja syaraf Feri untuk lebih giat lagi.
Narrggh!
Seperti itulah Feri. Jika ada suatu hal yang menurutnya tidak lumrah di logikanya, dia akan terus berputar-putar dalam batin. Mencari penjelasan yang rasional yang meski pada akhirnya belum ketemu juga.
Setengah jam Feri terlarut dalam angannya, bel rumah tiba-tiba dibunyikan.
"Pagi-pagi, ada aja yang ganggu." Feri meggerutu, menggelosor ke lantai, menggaruk belakang tengkuk.
Menoleh ke samping, Feri kemudian bergerak gontai menuju pintu depan yang jaraknya satu ruang tamu dari ruang tengah (kisaran tujuh meter) lalu menarik kenopnya sedikit dan mengintip ke luar dengan mata menyebalkan.
"Yo," sapa orang di luar pintu.
"Apa?"
"Enggak disuruh masuk dulu, nih?"
"Ngapain disuruh kalau biasanya udah masuk duluan."
"Yah, inginnya sih begitu. Tapi kalau ketahuan, Oma bisa bunuh gue, hiii."
"Terus?"
"Ada yang mau gue bahas soal voting kemaren. Kakak kelas KYRC udah ngasih tahu gue kalau ... Eh, ntar aja deh, ya, pokoknya gue udah ngajak yang lain, kok," jelas Aldo. "Mungkin bentar lagi juga dateng."
"Gitu." Feri jawab seadanya. Ini satu lagi nongol juga orang ambigu.
Memasang ekspresi ibarat bilang, Harus banget ya di rumah gue?
"....."
Lagipula sepertinya tidak mungkin yang lain akan datang segera, membuat janji pagi-pagi bolong di hari minggu akhir liburan? Rajin sekali, Tapi tidak.
Aldo masih berdiri di sana, menunggu dengan patuh seakan rumah Feri satu-satunya tempat yang paling ia ingin masuki selama periode hidupnya yang menyedihkan.
Feri berdecak. "Yaudah, cepet sana masuk---keset dulu tapi. Jangan berisik, Bi Linggom baru tidur. Kalau belum makan ada sayur bebas bawang di meja makan."
"Bisa diatur, lah. Sikat!" Bagaikan kucing yang dilemparkan gulungan benang wol, Aldo menyerobot masuk ke dalam dengan senang hati, mencuri langkah seribu langsung menuju dapur.
Feri memutar kedua bola matanya malas. Lihat sekarang apa tujuan utamanya. Setelah itu berbalik---jika saja dia tidak tiba-tiba merasa ada yang sedang mengawasinya.
Feri berpaling, hanya untuk medapati seekor Anjing berjenis German Shepherd mematung memandangi rumah Feri, atau malah Feri?
Entah.
Matanya berkilat kuning saat kedua cuping telinganya yang gelap kecoklatan bergerak ke kanan-kiri dan leher yang menjenjang tinggi.
German Shepherd punya mata bisa sampai menyala begitu?
Lagi-lagi jawaban yang didapat dari Feri sendiri adalah; Entah.
Feri bukan ahli canine lupus juga.
Lumayan asing memang. Seingatnya baru kali pertama ini Feri melihat keberadaan German Shepherd itu di sekitaran komplek.
Padahal Feri tahu betul beragam apa-apa binatang peliharaan dari hampir seluruh tetangga di perumahannya.
Penghuni baru?
Namun Feri yakin tidak mendengar kabar akan hal tersebut.
Mamanya yang tukang arisan dan ngrumpi bersama ibu-ibu blok B juga tidak pernah membicarakannya.
"Fer! Kerupuknya mana?"
"Apa? Ow, di toples dalem bifet. Nempel tembok, atas rice cooker---dibilangin jangan berisik!"
Sesaat setelah memberitahukan letak kerupuk udang pada Aldo, niatnya Feri ingin melihat kembali German Shepherd itu.
Namun ketika Feri hendak mencari sosoknya, keberadaan anjing itu sudah hilang dari pandang.
Yah, tidak dapat tertolong.
Lagipula masih ada kesempatan lain bila memang German Shepherd itu milk salah satu penghuni baru yang ada di komplek perumahannya.
.
.
"Fer!"
.
.
.
"....."
.
.
.
"Feri!"
.
.
"....."
.
.
"Feri Izvara!"
.
.
"....."
.
.
"Ferissa!"
.
.
.
Feri: "Bocah tengik!"
Bersambung
Ehem, oke. Sebenernya aku nggak mau ini terlalu bxb dan hanya sebatas—kalian tahu, shounen-ai penuh momen flufy.
Tapi, ah, mau ngomong gimana lagi juga ujungnya akan masuk BL.  ̄へ ̄
Oh, dan mungkin seting tempatnya terlalu menjurus? Dun care! Rotfl
Yah, liat saja lah nanti kedepannya gimana.
╮(╯▽╰)╭
C'ya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro