Kedua
".... Lo harus setuju. Udah keputusan bersama, inget?"
Briefing mestinya digunakan setiap siswa untuk rehat sejenak sehabis upacara bendera, tapi saat ini Feri belum puas sama sekali, semua sebab ulah orang di sebelahnya.
Dengan muka malas yang dibaringkan di atas meja, Feri, "Dengerin baik-baik, ya. Mau sampai kapanpun, elo jelasin bertele-tele, gue tetep enggak ngerti kalau bicara lo setengah-setengah dari kemarin."
Seperti yang Feri perkirakan, senin perdana setelah libur panjang akhir tahun.
Penat. Lahir. Batin.
Apalagi selain banyak siswi perempuan yang kolaps, tadi siswa laki-laki pun ikut berkunang-kunang.
Terkutuklah cuaca cerah nihil awan!
Feri dan anggota KYRC lainnya harus mondar-mandir menggotong orang memakai tandu lipat darurat (Feri paling tidak suka) kemudian mengambil perlengkapan medis ke sana-sini.
Mayoritas tugas angkat dikerjakan oleh mereka yang anggota laki-laki. Sementara anggota perempuan diberi mandat untuk; buat teh hangat, ngurut kaki, mengipas sepoi-sepoi---agar pasien merasa nyaman dan kondisinya membaik.
Feri tak mengeluh, anggota yang lain juga sama (walau dihadapkan dengan kaki bau super). Mereka rela mempertaruhkan apapun demi kemanusiaan ... dan piala gubernur, tentu saja.
Tapi, hey, tujuan pertama memang tidak henti-hentinya ditanamkan oleh Kak Mikail, pelatih sekaligus mentor mereka yang menurut Feri adalah manusia paling berhati malaikat seregional.
Jadi ini masih dihitung berbuatan yang mulia, tahu!
Biar satu-satunya kendala yang Feri alami selama ini adalah mengenai kekuatannya yang lagi-lagi sedikit lebih rendah daripada anggota laki-laki lain juga kakak kelas di KYRC.
Bukan berarti Feri harus menyerah begitu lalu menerima kondisi yang dialaminya, malahan setiap akhir pekan ia rutin latihan angkat barbel dua kilo di kamar!
"Ayolah, Fer. Bantuin gue, dong. Demi KYRC angkatan kita," pinta Aldo, lengkap dengan pose memohonnya---kedua tangan saling menempel vertikal, kepala menunduk serendah mungkin.
Sekalian saja dogeza! Berlutut menyentuh tanah sambil bilang 'Yang Mulia Izvara yang tampan tiada tara, mohon berikan hamba kemurahan hati anda'
Feri menaik turunkan alisnya sambil tersenyum dalam bayang, membalas tanpa sadar,
"Ya, gimana, dong? Lagian, kenapa asal mertahanin diri jadi pengurus OSIS kalau tiga bulan lagi bakal digerus kakel jadi kandidat ketua KYRC, Mas Grinaldo?"
"Masalahnya, tahun ini OSIS kena krisis anggota, Feri, dan senior gue di pengurus rewel nyuruh gue jangan re-sign dari OSIS."
"Terus yang mana hubungannya ke gue?"
"Ada satu syarat kalau gue boleh ngundurin diri," Aldo mencicit pelan. Terdapat sedikit keraguan dibalik nadanya, yang membuat Feri curiga kemudian memicingkan matanya.
"Lanjutin."
Apa ini? Aldo belum bicara apa-apa tentang persyaratan tetek bengek ini.
Gelagapan, Aldo buru-buru mengalihkan pandangan. "A-Asal dapet orang yang gantiin gue, jadi bagian keamanan dan ketertiban."
Feri: "....."
Aldo: "Mau, ya?"
"Cari orang lain." Menggeser bangku, Feri beranjak dari tempat duduknya.
"Tunggu, tunggu, tunggu!"
Reflek cepat, Aldo menahan belakang seragam Feri, tidak sengaja, hingga menarik keluar bagian kemeja yang dimasukan dan mengendorkan sabuknya---ah, susah payah Feri merapikan pagi tadi dan sekarang amburadul.
"Lepas."
"So-Sori." Aldo mengangkat kedua tangan tangan.
Nampak matanya yang memerah berkilat lesu, manik coklatnya sedikit menggelap, serta kantung mata yang berlapis dan terlihat memprihatinkan itu.
Sebegitunya berpikir keras? Kurang tidur apa gimana?
Melihat mimik melas Aldo, Feri tidak tahan untuk tidak iba, menghela napas, dan kembali duduk.
Kalau dipikir lagi persoalan ini kelihatan tidak akan selesai bila dia berlagak buta.
Ditambah hal tersebut ada sangkutpaut dengan KYRC, kalau bukan karena mayoritas pemungutan suara terbanyak calon ketua ada di tangan Aldo seorang! Bah! Feri sebenarnya marah. Dia menginginkan posisi itu!
Memang ada sedikit keengganan dalam hati Feri, namun tidak punya pilihan. Aldo itu sahabatnya, bagaimanapun cara tersebut dipandang. Setidaknya Feri ingin menolong sebisa kemampuannya.
"Mending kita omongin, lagi. Keamanan dan ketertiban? Wo-wow, berhenti di situ, Bung. Bukannya lebih cocok Si Ganesh? Dia gede, gempal, rupanya garang lagi, kayak mammoth."
"Hatinya juga kayak marmot, ngomong-ngomong." Aldo memutar kedua bola matanya. "Lo lupa waktu cewek lecet yang Ganesha bersihin lukanya pakai NaCl marah-marah terus dianya malah nangis?"
Ah~~ Perihal betapa cengeng teman satu itu, Feri sepenuhnya lupa.
Tapi tidak kehabisan akal dan Feri akan membuka mulutnya menyebutkan rekomendasi lain---hanya untuk dipotong Aldo.
Seakan tahu siapa selanjutnya yang akan Feri sebut,
"Octavius juga enggak bisa. Gue ngerasa bawaannya kayak sedikit antagonis gitu. Takutnya nyalah gunain kekuasaan. No."
"Wei! Dia temen lo juga, kali!" sembur Feri.
"Pokoknya cuma elo yang pas!" saut Aldo.
"Gue enggak suka kekerasan!"
"Yakali kita lo samain preman kolong jembatan layang Majapahit! Ini masih di sekolah, Ferissa Isvara!"
"Ngh!" Keluar juga tuh nama lengkap terlarang!
Feri waras. Feri masih waras. Tenangkan emosi Feri~
Tunggu, kenapa ini malah kelihatan jadi...
"Pasutri lagi debat?"
Entah dari mana datang, seolah tiba-tiba muncul dari balik tembok lalu menyeringai. Siapa lagi seumpama bukan Jennar Jiang. →_→
"Keamanan dan ketertiban enggak seperti yang elo pikirin. Serius!" Aldo berusaha keras, dengan segala kata yang dia punya, membujuk Feri.
Sangat meyakinkan, sampai sukses masuk telinga kanan terus keluar lewat telinga kiri.
"Tugas Divisi Keamanan dan Ketertiban OSIS Kayangan adalah; Memantau, mengawasi, dan melaksanakan koordinasi penyelenggaraan ketentraman serta ketertiban seluruh warga Sekolah Menengah Atas Kayangan, agar terjadi situasi kondusif sebagai tugas yang diberikan oleh pemimpin Dewan Siswa atau OSIS terjabat bersangkutan meski harus dengan cara yang tegas."
"Hm, ya, brutal sedikit, sih, hehe." Aldo tersenyum masam, menggaruk tengkuknya.
Tiga garis hitam muncul di pelipis Feri yang berwajah kelam. (|||=_=)
'Brutal hehe', mata lo!
Beralih ke Jennar, Feri memasang topeng, "Nona Jiang tahu banyak. Untuk adik kecil mengalah, mengapa tidak anda saja yang mendapat kehormatan menempati posisi tersebut?"
Menawarkan sopan plus secercah tambahan bumbu etika hasil panennya membaca manhua Tiongkok.
Kendati sebetulnya Feri telah menebak jawaban yang nanti akan diberikan cewek sipit itu.
Tidak ada salahnya mencoba, 'kan? ╮(╯▽╰)╭
"Bibi Besar ini enggak tertarik," tanpa basa-basi langsung menolak.
"Yang dibutuhin Keamanan dan Ketertiban cuma cowok, Feri." Aldo mendelik menunjuk-nunjuk permukaan meja.
Feri mengedikan bahu. "Tanya doang, woles."
Bosan berdebat dengan Aldo yang bersikeras memintanya agar menggantikan posisinya sebagai keamanan-ketertiban-ketentraman-kedamaian atau apalah itu sebutannya, lalu kini ditambah Jennar yang seenaknya nimbrung dan memperkeruh situasi Feri.
Tidakkah dapat menjadi lebih buruk lagi?
Oh, ya. Perut Feri tidak bisa ditolerir. Sedikit mual. Enzim di lambungnya membludak, berteriak ingin melahap sesuatu seperti; Nasi Rames Bu Tukilah! Nasi Rames Bu Tukilah!
Lantaran tadi pagi Feri hanya membawa dua potong roti tawar minus selai coklat dari rumah. (T~T)
Feri bukan keturunan barat yang kalau hanya menyantap fermentasi gandum lantas kenyang seketika.
Feri orang pribumi asli, organ pencernaannya perlu mengolah nasi untuk dihitung sebagai sarapan.
Ini jugalah yang membuat Feri ingin segera meyelesaikan kemudian pergi kantin sebelum bel jam pelajaran pertama berbunyi.
Terlambat bangun mengakibatkannya terburu-buru (mandi tokek) hingga tidak sempat memasak lauk sendiri.
Feri sungkan meminta bantuan Bi Linggom yang baru kembali dari Pasar Terminal dan menenteng banyak belanjaan.
"Aduh! Maaf ya, Den. Bibi belum masak soalnya tadi enggak ada bahan dan Bibi baru belanja. Sekarang Den Feri tunggu Bibi masakin telor sebentar gimana?"
Di kulkas hanya tersisa roti tawar, cuka, bawang putih, sedangkan oseng kacang yang harusnya awet sampai pagi hari sudah dilalap habis saat semua teman Feri berkumpul di rumah kemarin.
"Enggak usah, deh, Bi. Enggak ada waktu, Feri makan roti cukup," terpaksa Feri berbohong. Dalam batin menangis darah. Sudah beruntung Feri tidak pingsan setelahnya.
Acara peresmian sekaligus syukuran, Mama pulang hampir tengah malam, sampai pagi ada di kamarnya, tengah; "ZzzZz..."
Papa, sih, tidak usah ditanya, tanpa tidur pun sudah biasa berangkat setelah subuh tanpa makan sarapan dari rumah, alih-alih jajan di warung dekat kantor.
Feri kadang bersyukur karena ia mewarisi paling tidak setengah dari inventori energi besar yang dimiliki Papanya itu (sayang setengahnya lagi hanya untuk diisi oleh kemampuan output daya terbatas milik Mama).
"Oke, gue mau."
Muka kembali bening, sudut mulutnya mengriting, Aldo mengangkat kedua alis. "Beneran?"
"Gantinya." Feri belum selesai sampai sana. "Lo traktir gue di Ritmo Gelato enam bulan."
Feri suka kimia, apalagi redoks. Penyetaraan jumlah, unsur, senyawa, dan bilangan oksidasi-reduksi dilakukan agar mencapai harmonisasi reaksi.
Kesampingkan nasib yang akan dialami isi dompetnya, "Deal!"
Aldo seperti beranggapan kesepakatan tersebut lebih baik daripada tidak sama sekali.
Ha! Cicipilah prinsip pertukaran sebanding! Kalau begini Feri tidak mungkin menyesal ah.
"Nah begitu, dong. Enggak baik anak kembar bertengkar terus-terusan." Mula-mula pasutri dan sekarang berganti anak kembar. Betapa tidak kompeten julukan untuk mereka =_=
Jennar menganggukan kepalanya beberapa kali, bertingkah seakan dia punya peran penting.
Cewek ini, kalau saja bukan karena perangai tomboy, etc. dan yang lain-lain, dengan secuil kemayu sudah pasti banyak yang akan menembaknya (termasuk Feri, bila masa jedanya tidak dihitung) mengingat rupa Jennar termasuk cukup langka di Kayangan.
Sekolah kurang lebih sudah menginjak bulan ketujuh untuk mereka murid tingkat 10 dan belum ada kabar bahwa Jennar Jiang, Si wajah giok kelas C telah taken oleh siapapun.
Memang awalnya agak heran. Cewek secantik dirinya terus menganggu Feri Isvara? Bukankah ini asmara tersirat? Sempat isu seperti itu muncul, namun segera ditepis Feri.
Kakak-kakak tingkat 11 dan 12 yang superior bahkan ada barang bertanya langsung pada Feri, bagaimana dia tidak merinding!?
Yah, terlepas dari seluruhnya, Feri pikir Jennar Jiang adalah teman sekelas yang baik, serta menyebalkan.
"Kita sungguh berutang sama lo, J."
"Ara, senang bisa berkontribusi dalam masalah kalian."
"Ya, ya. Dah kelar, 'kan?" Feri angkat kaki, berniat meninggalkan ruang kelas.
"Kemana?" seru Aldo, tidak mengkondisikan volume suaranya. Mendengarkan dari luar membuat Feri meringis.
"Ke kantin. Laper~" Feri membalas, melambaikan tangan pada kaca jendela, berjalan di lorong.
Bukannya Feri ingin membolos. Masih ada beberapa waktu sebelum briefing guru selesai (5 menit lagi).
Toh meski datang terlambat, Feri bisa menciptakan alasan atau berkata sebenarnya? Itu bisa diputuskan nanti, yang penting isi perut, isi perut.
Jadi Feri pun pergi ke kantin Bu Tukilah, sendirian.
||•_•||
"Saya Jaka Rahardja."
Anak-anak 10-C sekonyong-konyong termangu. Tidak bisa tak memandangi sosok yang tersenyum dan sedang berdiri di depan mereka.
"Dan ya. Mau diperkenalkan juga sepertinya kalian semua pasti sudah tahu. Dengan berbagai pertimbangan dan alasan yang ada, Jaka Rahardja dari kelas 10-A, akan pindah ke kelas kalian untuk semester ini." Pak Imanuel, guru kalkulus, wali kelas 10-C, menerangkan.
Pada waktu yang sama, mendengar identitas familier yang disebutkan, Feri yang gelap membisu di depan pintu.
Ini plot kedaluarsa!
"Nah, sekarang kamu duduk di...," Pak Nuel mengamati meja-meja, mencari-cari jika saja ada bangku kosong walau tidak berharap banyak.
Awalnya dia ragu tentang transafer dadakan ini karena kelas naungannya sudah terlihat penuh lebih-lebih ditambah satu siswa lagi.
Di kolom paling kiri dekat pintu kelas, deret paling akhir pada pojok ruangan. Memang rada mengenaskan tapi apa yang bagus daripada tanpa tempat duduk, hanya dengan meja kursi tua yang hanya muat seorang.
Pak Nuel memijat pangkal hidungnya, penasaran kenapa benda reot itu masih ada di sana.
"Baik. Tempat dudukmu ada di sebelah belakangnya Giovani dan---loh? Izvara tidak berangkat tah?"
"Saya di sini, Pak." Feri mau tidak mau menampakan diri.
"Tadi saya ke kantin. Belum sarapan." Memilih untuk jujur. Tenang. Itu cuma Pak Nuel yang tidak mungkin berlaku keras pada siswa 10-C yang diwalikan olehnya. ╮(╯▽╰)╭
Feri melangkah kikuk saat melewati Jaka Rahardja yang belum minggat dari posisi awalnya (sudah diperlihatkan lokasi tempat duduk, tinggal duduk, mengapa susah!?) memberi salam kepada Pak Nuel sekaligus meminta maaf.
~"O"~
"Nggak kerasa udah seabad." Aldo berkomentar, bersandar dengan kedua telapak tangannya sebagai tumpuan.
Feri mengeluarkan binder yang biasa ia gunakan untuk mencatat materi tepat ketika Pak Nuel akan memulai Deferensial Aljabar.
"Bu Tukilah lama tau ngasih kembaliannya," bisik Feri.
"Oh."
Cuma 'oh' ngapain lo tanya!
"Pak, saya mau ke toilet!"
"Silahkan."
Dan pada detik selanjutnya, Aldo pun pergi dengan begitu saja.
Feri agape. O∆O
.
.
.
Tatap~ tatap~
.
.
.
"....?"
.
.
Feri menoleh, segera mendapatkan perasaan borok seketika.
Menjumpai siswa pindahan (Jaka Rahardja, jelas) yang duduk di belakang, tengah memperhatikan Pak Nuel dengan angka-angka variabel x, y, z di papan tulis putih, dan Feri yang dengan tak tahu malunya menatap Jaka Rahardja.
Sementara mengetahui hal tersebut, pihak lain, secara penuh kejutan justru balas... menyeringai.
"Fer---"
"---Tup*i!"
Kontan mengumpat lirih, Feri secepat kilat kembali menghadap depan seperti habis melihat setan.
"Bahasa! Kenapa sih lo?" tanya Jennar, curiga.
"Enggak, enggak apa-apa." Feri berlagak sibuk menulis sesuatu, menepis pertanyaan Jennar. "Lo sendiri, ngapain manggil?"
.
.
.
.
.
"Mau pinjem tip-ex. Ehehe."
Penulis memiliki sesuatu untuk dikatakan:
Tatap~ tatap~
Toleh~ toleh~
Penulis: Ferissa kita sensi sekali ah~ ah~
Seseorang: Ferissa-KU!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro