Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Awalan

"Kita jodoh."

.

Detik satu.

.

Detik dua.

.

Detik tiga.

.

.

.

.

"Hm?"

.

Feri mengerjap, mengulas senyum muslihat, gabungan antara kaget dan grogi.

Hah?

Dia ... pasti sedang melakukan sebuah permainan.

Tidakkah orang ini tahu bahwa frasa itu sedikit---hurhur---sangat sensitif, bahkan diantara dua laki-laki sekalipun!

Maksudnya adalah, mereka baru secara---boleh dibilang, baru kali pertama resmi bertemu langsung secara muka ke muka.

Bisa saja kata-katanya mempunyai arti lain seperti; berjodoh karena dipertemukan sebagai saudara seperjuangan pelajar, berjodoh akibat punya baju identik (tentu, mereka 'kan satu sekolah), atau barangkali berjodoh sebab mendapat nilai subjek Bahasa Daerah yang sama.

Bisa jadi.

Untungnya saat ini parkiran sepi karena sore dan seluruh aktivitas ekstrakulikuler diliburkan karena pada pagi tadi para murid telah menerima laporan progres selama semester satu.

Lebih baik mati ketimbang dilihat seantero tiga angkatan Kayangan.

Adapun ruginya; Feri tidak bisa mengalihkan perhatiannya, apalagi berkesempatan untuk kabur menjauh.

Brilian.

Situasi mereka tidak berubah seinchi pun sampai dua menit yang serasa dua abad berlalu (Hiperbola. Baik, ini eksesif), Feri pikir ia harus memulai kembali dan bilang,

"Huh?"

Sekedar mengonfirmasi kalau-kalau salah mendengar.

"Apakah kurang jelas?" tanya balik cowok di depannya dengan ekspresi campuran yang sulit ditebak.

Dan saat tertulis campuran sulit ditebak, itu termasuk menekan nyali hingga Feri meneguk ludah banyak-banyak.

Tidak fokus, bahkan dia dengan ceroboh bertanya,

"Ya... Lo siapa, ya?"

.
.
.

"...."

Orang itu lantas mengernyit, memandang dengan tatapan tidak percaya ... dan kecewa.

Neraka berdarah! Iya, iya, iya, gue tahu, gue salah. Jangan lihat gue begitu, oke! Udah cukup gue merasa bersalah cuma karena dikasih ekspresi begituan.

Tentu saja. Lucu sekali Feri bertanya begitu. Memangnya mau cari mati? Oh, mari mencoba, jangan melebih-lebihkan.

Siapa yang tidak kenal dengannya? Feri? Yah, memang mereka tidak pernah mengobrol, jangankan tegur sapa, berpapasan saja jarang.

Bisa dihitung, paling banyak dua kali dalam sebulan, dan hanya kebetulan semata seperti pada saat upacara bendera, misal.

Jaka Rahardja.

Bagaimana Feri dapat menyebutkannya, ya?

Tinggi-ngeri.

Kesan yang pertama kali didapat ketika dia melihatnya waktu mengikuti orientasi siswa baru Kayangan.

Feri juga kurang tahu detil tentang karakternya, dan tidak mau tahu plus berurusan.

Memang tidak seheboh yang dibayangkan, tapi cowok yang sepertinya sedang menunggu respons lanjutan dari Feri ini adalah bagian dari ekstra basket—tunggu, sepertinya Feri juga pernah mendapatinya di ruang OSIS, jadi dia pasti juga pengurus, atau malah dua-duanya?

Aiya! Inilah akibatnya bila tak pernah datang dan bicara dengan anak kelas lain kalau bukan untuk kepentingan KYRC.

Kesampingkan pengurus OSIS yang Feri tidak peduli lagi, dan jika benar dia juga anggota (apalagi yang tadi disebutkan; Basuke—Rajawali, tim andalan Kayangan) Jangan salah, tapi Feri masih suka menonton Bola Basket yang Kuroko Mainkan secara marathon 2 kali seminggu, tambah satu lagi alasan kuat untuk mereka---yang sangat amat Feri hindari, bagaimanapun cara yang ada.

Bukan karena mereka melakukan hal badung, penggertakan, atau semacamnya. Tidak. Bukan seperti itu, dan bukan salah mereka Feri menetapkan label stereotipnya sendiri.

Hanya saja dengan situasi yang ada di Kayangan, terlalu dekat dengan orang-orang sepertinya bisa membuat Feri jadi kurang enak. Merinding. Semi fobia tapi tidak histeria.

Pandangan dan gosip sudah pasti terpusat ke arah mereka-mereka kemanapun asalkan itu di lingkungan sekolah.

Feri tidak ingin mengatakan tapi memang aura seorang siswa biasa sepertinya akan ketimpuk jatuh dibanding para atlit olahraga di Kayangan.

Feri tidak mau berakhir minder dan tidak laku selama tiga tahun. Mimpi buruk.

Memikirkannya saja sudah membuat Feri meringis kaku. Hehehe.

"Maaf."

Jaka Rahardja tiba-tiba mendekat, membuat Feri harus sedikit mendongak waspada karena dia sedikit lebih tinggi.

Baik, Feri mengaku, sebenarnya hanya sekitar 5-7 sentimeter, tidak lebih, jadi kita bisa abaikan hal tak penting itu.

Jaka Rahardja menambah kerutan di dahinya, menunduk dan menatap langsung ke arah Feri.

"Kenapa kamu minta maaf?"

Dari situ Feri bisa melihat matanya berkilat kuning yang ... tunggu sebentar, jangan bilang barusan dia melihat matanya mendadak berubah warna?

Tidak? Oh, yang benar saja. Jangan bertingkah ngawur, Feri. Jelas-jelas kau melihatnya.

Mungkin dia serupa mutan, lebih buruk lagi alien. Horor!

Lalu, apa lagi nada intim 'Kamu-kamu-an'-nya itu!? Memangnya kita ini sedang di mana? Telenovela? Teen-fiction romansa?

Tidak, tidak, tidak. Mari kita meluruskan semuanya. Feri segera menggelengkan kepala, mengenyahkan pemikiran-pemikiran aneh barusan.

Bisa gila dia membayangkan adegan BL live-action di parkiran sekolah sendiri. Meski sebetulnya Feri tidak memimpikan menjadi pemeran... apa ini? Uke? Shou? Bot? Hesemeleh!

"Oy, Fer! Mau bareng, enggak?" teriak seseorang dari sudut belakang, suaranya terdengar tidak jauh dari area parkir, tempat mereka bediri.

Bergerak seperti kilat, Feri menoleh.

Bagus!

Pada saat dia membutuhkan pengalihan, Aldo datang dengan motor bebek hitamnya.

Oke, oke, oke. Sekarang dia hanya perlu---

"Ah, Em.... anu," sambil perlahan melangkah mundur dan menggaruk belakang kepala, "seperti ini, itu, gue mau kesana, permisi."

---undur diri sesegera mungkin.

Tanpa menunggu Jaka Rahardja menjawab, Feri berbalik dan berjalan cepat menuju Aldo, buru-buru naik ke belakang boncengannya.

"Helm, wei, helm!" Aldo menegur.

"Halah!" Menepuk jidat. Sampai lupa helm di rak titip dekat parkiran dalam.

Mustahil untuk kembali dan mengambilnya. Feri juga tidak berani mengerling ke tempat parkiran hanya untuk mendapati seseorang masih ada di sana.

Biar saja helm itu menginap di sana sampai tahun baru besok.

"Hesh! Nggak usah banyak omong cepet jalan! Mana ada polisi operasi sore di pinggir kota kayak begini," semprot Feri pada sahabat sekaligus teman pertamanya di ketika pertama masuk SMA itu.

Tak mengindahkan muka menekuk Aldo saat ini yang seakan bilang 'Ditawari tumpangan malah ngelonjak!'

Aldo berdecih, memperlihatkan sebuah gigi lancip kecil di pinggir bibirnya. "Awas kalau lo mati bukan salah gue!"

"He'em. Kalau gue jadi pocong baru tahu rasa lo," balas Feri seraya mencopot kacamata minusnya dan menyimpannya di saku.

(Dikhawatirkan jatuh dan pengalaman masa lalu pun membuktikan)

||•~•||

Aldo melajukan motor bebek hitamnya—supra-X tahun 2005, keluar dari pintu gerbang Kayangan yang sudah tertutup setengahnya menuju jalur cepat Jalan Raya Cincin.

Aneh.

Biasanya Pak Wigun selalu di pos satpam waktu-waktu hampir senja seperti ini dan akan mencegat serta menghardik siapa saja (mau itu murid, tamu, bahkan guru) yang tidak memakai helm ketika melintasi gerbang-nya. Itu disudahi dengan pidato panjang lebar tentang betapa pentingnya keselamatan lalu lintas.

Sedang be'ol paling.  Keberuntungan akhir tahun. ╮(╯▽╰)╭ 

Di lain pihak, setidaknya Feri belum akan bertemu lagi dengan laki-laki telenovela itu dalam rentang waktu libur dua minggu kedepan.

Yang pasti untuk sesaat mungkin dia bisa tenang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, lah, teguh Feri.

Mungkin tahun depan juga, Jaka Rahardja akan melupakan kejadian itu.

Anggap saja hal tersebut sebagai satu hari melewati mimpi buruk dan empat belas hari menuju kesenangan.

"Omong-omong, ngapain tadi lo sama Si Rahardja?" Aldo tiba-tiba saja memulai, entah dari mana.

"Hm? Siapa? Yang mana?"

"...."

Mendengar jawaban seperti itu dari Feri, Aldo tidak lagi berkomentar.

Dia tetap menjalankan motor bebek hitamnya seakan tak peduli dan masa bodoh.

Tapi dia sebenarnya peduli. Tsundere meh. ╮(╯▽╰)╭ 

Feri terkikik menatap belakang KYT abu-abu di depan mukanya.

Sangat seperti dirinya, Aldo tahu kalau Feri tidak  ingin membahas hal tersebut lebih jauh.

Kendati total cingcong berjibun daripada saat-saat sepaham, mereka telah mengerti sifat masing-masing.

Semua karena Feri dan Aldo sudah duduk bersebelahan dari awal kelas sepuluh, ditambah mengikuti klub Palang Merah Remaja, latihan sama-sama, pada akhirnya seringkali pulang bersama (kalau Feri sedang tidak bawa motor, seperti sekarang).

Paling menyebalkan sampai ada yang mengira kalau mereka adalah bersaudara.

Hah~

Baiklah, di samping semua yang telah terjadi tahun ini, terlepas dari akibat kedepannya nanti, baik atau buruk, masa bodoh lah, nikmati saja libur panjang semesteran kali ini, Feri!

Bersambung.

.
.

O M G !😵
Aku, aku, aku, hanya menulisnya dan hal itu berubah menjadi ini.

Perdana LilianaCorpus stagah!😰

Jumpa di next part! G' bye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro