Bab 8
Gading sibuk mengelap meja stainless yang akan menjadi tempat pemeriksaan binatang. Kliniknya baru akan buka hari Sabtu tapi beberapa orang sudah datang dengan membawa peliharaan mereka.Untuk kasus yang lebih ringan, dia menolak dan memberikan tips-tips sederhana. Misalnya jika kucing pilek atau demam. Tapi, untuk hal yang lebih besar seperti kemarin, saat ada dua orang anak-anak membawa seekor anjing mereka yang terluka karena ditabrak motor, mau tidak mau dia membantu. Dia berharap, semoga saja kliniknya ramai.
Mempertimbangkan saran orang tuanya, dia menambah satu pegawai laki-laki untuk mengurus penjualan makanan kering. Karena setelah melakukan survey sekitar, dia mendapati ternyata tempat untuk menjual makanan binatang terutama kucing dan anjing masih sangat jarang sekali.
“Gading, sibuk?” Suara sapaan terdengar di sela-sela bunyi paku dan besi beradu.
Gading mendongak dan melihat Sherly berdiri di ambang pintu.
“Hai, sendiri?” sapanya ramah.
“Iya, mampir tadi. Udah 80 persen ya pengerjaan.” Sherly menatap ruang praktik Gading yang sudah mulai terisi barang-barang.
“Yuup, lumayan. Kok kamu hari kerja gini bisa kemari?”
Sherly melangkah gemulai ke arah Gading. “Aku sedang ada presentasi tugas di Jakarta. Sekalian aja mampir. Soalnya, kita jadi jarang ketemu setelah kamu pindah kemari.”
“Maaf, aku lagi sibuk memang.”
Tidak menanggapi perkataan Gading, Sherly melangkah menuju jendela. Dari tempatnya berdiri, dia menatap pemandangan bagian belakang rumah yang digunakan untuk tempat mencuci dan menjemur. Sebuah gitar rusak tergeletak di dekat pagar dan membuatnya mengernyit.
“Kok ada gitar jelek? Punya siapa?”
“Punya teman,” sahut Gading dari sudut ruangan.
“Kok nggak dibuang?”
“Biar saja. Nggak mengganggu ini.”
Tanpa sadar, pikiran Sherly tertuju pada gadis pengamen yang dia temui hari ini. Memakai topi dan gitar tua, entah kenapa dia seperti melihat gitar yang rusak dengan gitar milik gadis itu memiliki kesamaan. Namun, dia buru-buru menepis pikirannya yang konyol. Karena tidak mungkin seorang Gading bisa mengenal seorang pengamen.
“Mumpung aku di sini. Bisa kita pergi makan malam?”
Gading menghentikan gerakannya yang sedang menatap isi lemari. Menoleh ke arah Sherly dengan senyum kecil.
“Maaf, aku nggak bisa. Ada janji.”
“Dengan siapa?” tanya Sherly cepat. Keningnya berkerut tanda tanya.
“Ada, teman lama.”
“Nggak bisa dibatalin demi aku? Kapan lagi kita bisa ketemu?” Sherly menghampiri Gading dan mengelus lengan laki-laki itu.
Gading mendesah, merasa tidak enak hati dengan Sherly. Entah sudah keberapa kali wanita itu mengajaknya pergi dan dia selalu menolak dengan alasan yang sama. Bukannya dia sembarangan membuat alasan tapi memang waktu yang tidak memungkinkan.
“Nggak bisa, tapi aku janji kalau lain kali kamu datang pasti kita pergi.”
Menelan rasa kecewa, Sherly mengangguk dengan lesu. Ia mengulum senyum kecil, mendengar janji yang diucapkan Gading padanya.
“Pembukaan klinik ini akan ada syukuran. Datanglah kalau kamu ada di Jakarta.”
Mengangkat bahu, Sherly menjawab dengan sedikit ragu-ragu. “Entahlah, tapi aku coba.”
Hingga waktu pulang tiba, Sherly sama sekali tidak bisa menggoyahkan tekad Gading. Meski dia memohon dan merayu, dokter muda itu tetap kekeh dengan pendiriannya. Akhirnya, dia keluar dari klinik dengan kecewa.
Sepeninggal Sherly, Gading mempercepat pekerjaannya. Malam ini, dia ada janji kencan dengan Kirania. Dia tidak mau telat datang karena sudah pasti akan menjadi bahan bulian gadis itu.
Pukul lima sore, dia keluar dari klinik. Memutuskan langsung pulang untuk mandi dan berganti baju. Dua jam kemudian, dia sudah memarkir mobil di depan pagar rumah Kirania. Kehadirannya diketahui oleh kedua orang tua sang tunangan. Setelah menyapa mereka dan berbasa-basi, Kirania keluar dalam balutan celana jins robek-robek dan blus merah tanpa lengan. Penampilannya menonjolkan tubuhnya yang langsing.
“Hei, pakaian macam apa itu? Memangnya kamu nggak punya gaun?” tegur Nuri pada anak perempuannya.
“Apaan, sih, Ma? Emang ada yang salah apa sama bajuku?” Kirania menjawab sambil mencebik.
“Masih tanya mana yang salah? Coba bandingkan penampilanmu sama Gading. Bagai langit dan bumi!”
Kirania mengernyit, menatap Gading yang berdiri dalam balutan kemeja biru dan celana abu-abu. Kesan tampan, mapan, dan tenang terpancar dari wajah laki-laki itu. Mau tidak mau Kirania merasa minder dan mengakui apa yang dikatakan mamanya benar. Dibandingkan dengan Gading, penampilan mereka bagai langit dan bumi.
“Nggak masalah Tante, Kiki mau pakai baju apa. Kami hanya makan malam saja,” ucap Gading untuk menengahi situasi.
“Nah, kan! Mama paham sekarang. Kami cuma makan!” celetuk Kirania dengan wajah semringah.
Dia maju ke depan, menyambar lengan Gading dan pergi meninggalkan sang mama. “Kami cuma main sebentar, Ma. Pergi dulu, ya!”
Tanpa menunggu jawaban Nuri, keduanya masuk ke dalam mobil dan sesaat kemudian, kendaraan melau mulus di jalan raya.
Terbiasa dengan sikap Gading yang dingin, dan jarak yang terbentang di antara mereka, Kirania terdiam sepanjang perjalanan. Tidak ada keinginan untuk berbincang dengan sang tunangan karena pada dasarnya, dia tidak suka jika laki-laki di sampingnya bersikap ketus. Dari pada membuat emosi, lebih baik dia menutup mulut.
“Kamu mau makan apa?” tanya Gading membuka percakapan.
Kirania mengangkat bahu.”Terserah, Kakak yang mau bayarin. Aku makan apa juga jadi.”
“Oh, jadi kalau sekarang aku ajakin kamu makan di warkop juga mau?”
Tanpa ragu Kirania mengangguk. “Yup, nggak masalah.”
Gading tidak meneruskan perkataannya. Dia mengetuk-ngetuk setir dengan jari dan membawa kendaraan melaju mulus menembus jalan raya.
Bukan warkop atau warung tenda pinggir jalan seperti dugaan Kirania. Gading membawanya ke sebuah hotel bintang empat. Saat laki-laki itu mengajaknya turun, dia gemetar karena grogi.
“Kak, kita mau ngapaian ke hotel?” tanyanya ragu-ragu.
“Makan, ada restoran Thai food yang enak banget ada di lobi hotel. Yuuk!”
Sepanjang jalan dari parkiran menuju lobi, Kirania tidak berhenti mengutuk dirinya sediri. Ia menyesal tidak mengikuti saran sang mama untuk mengganti pakaian yang sekarang dengan gaun. Kini, setelah melihat tempat yang akan menjadi tujuan mereka untuk makan, nyalinya ciut seketika.
“Kamu jalan pelan amat. Ayo, buruan!” ucap Gading pada Kirania yang melangkah di belakangnya.
“Ini juga udah cepet,” jawab Kirania pelan. “Kalau ada pecel lele di pinggir jalan, kenapa harus makan di hotel, sih?”
Gading tidak menanggapi ocehannya. Laki-laki itu melangkah tegap dengan dia mengekor di belakang. Perasaanya gugup tak menentu, terlebih saat mereka memasuki lobi hotel yang berlantai mengkilat. Mendesah pasrah, Kirania tidak membantah saat Gading mengajaknya ke sebuah restoran.
**
Tersedia di google play book
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro