Bab 7
Meski menyandang status tunangan, tidak banyak perubahan dalam hidup Kirania. Dia masih kuliah, mengamen, dan pergi membantu anak-anak di rumah singgah milik Oma. Hubungannya dengan Gading tidak banyak perubahan. Hanya sesekali laki-laki itu datang untuk mengantar makanan, atau barang-barang pemberian orang tuanya untuk keluarga Kirania. Selebihnya, mereka jarang bertemu. Namun, justru hal itu membuat Kirania bahagia. Bertunangan bukan berarti dia kehilangan kebebasan.
Seperti biasanya, sore ini dia mengamen bersama Nira di lampu merah. Tanpa sengaja dia melihat para preman yang dulu mengeroyoknya dan memalak uang dua pengamen cilik. Anehnya, para preman itu seperti tidak menganggap keberadaannya atau mengenalinya sebagai orang yang pernah menantang mereka. Meski sedikit aneh dengan pikirannya, tapi tak urung Kirania bersyukur dijauhkan dari mereka.
“Gila, panas banget sore ini.” Nira menggerutu sambil mengipasi lehernya dengan kipas kecil dari kain yang mulai lusuh. “padahal udah jam tiga, masih panas aja.”
“Emang, keringat gue ampe masuk ke dada.” Kirania mengelap keringat di dahi dengan handuk kecil yang sengaja dia bawa dari rumah. “habis ini kita minum es campur, yuk!”
“Yuk, ah! Mau berapa kali lagi?”
“Dua kali cukup kayaknya. Nanti kita serahin ke Oma.”
“Menurut lo, sampai kapan kita ngamen gini? Kayaknya uang nggak cukup-cukup, ya?”
Kirania menghela napas panjang. “Entahlah, gue juga bingung. Kebutuhan makin banyak tapi kalau bukan pakai ngamen gini gue nggak tahu mau gimana lagi bantu mereka.”
Nira mengangguk. “Iya, sih. Gue juga ogah suruh edarin brosur atau amplop minta sumbangan. Kayak gitu malah dianggap ngemis. Mending kita ngamen.”
“Dari pada mengeluh kagak jelas, mending kerja lagi sekarang. Yuk!”
Keduanya bangkit dari bawah pohon, tempat mereka berteduh. Saat melangkah menuju lampu merah, pikiran Kirania tertuju pada Gading. Dia tidak tahu apa reaksi laki-laki itu kalau suatu saat ketahuan dirinya mengamen di lampu merah. Untuk sekarang, dia berharap apa yang dilakukannya semoga tidak diketahui oleh keluarga, terlebih sang tunangan. Karena, dia tidak mau melakukan sesuatu yang dianggap mempermalukan mereka.
Sebuah mobil sedan hitam terparkir di bawah pohon tempat dia dan Nira biasa berteduh. Pemiliknya adalah seorang wanita cantik dengan rambut digerai dan memakai kacamata hitam. Wanita itu terlihat sedang berdebat dengan seseorang yang dia tahu adalah pemilik bengkel mobil. Perdebatan keduanya terdengar hingga sampai di telinganya.
“Ganti ban aja masa kamu minta mahal banget. Yang benar aja, sih!”
“Loh, Kakak gimana? Emangnya ganti ban kagak pakai tenaga?”
“Iya memang, tapi kasih harga wajar dong. Malak itu namanya kalau terlalu mahal.”
“Ya, sudah. Kalau Kakak nggak mau. Aku pergi!”
Kirania melihat wanita itu menatap tukang bengkel dengan kesal. Dia yang tanpa sengaja mendengar percakapan mereka pun merasa jika harga yang diberikan si tukang bengkel memang terlalu mahal hanya untuk mengganti ban. Meski enggan, dengan terpaksa dia beranjak dari tempatnya dan menghampiri mereka diiringi Nira.
Saat mencapai tempat mereka, dia berdehem sebentar lalu menepuk lengan si tukang bengkel.
“Hei, Bro. Kamu kasihan dikit sama cewek napa? Masa kasih harga tinggi begitu.”
“Nah iya, benar itu,” timpal Nira.
“Hei, kenapa kalian ikut campur!” bentak tukang bengkel dengan wajah sebal.
“Karena mereka juga tahu kalau aku diperas!” Wanita pemilik mobil berucap jengkel. “Kalau missal harga wajar, atau paling nggak nambah sedikit aja. Aku masih mau. Kamu gila-gilaan kasih harga!”
Si tukang bengkel melotot.”Loh, di sini tenagaku yang dibutuhkan jadi harga sesuai dengan keinginanku, dong. Kalau situ nggak mau, ya, sudah. Aku mau pergi sekarang!”
“Pergi aja!” ucap Kirania sambil melambaikan tangan. “Kalau kamu cabut sekarang dari sini, gue bantu Kakak ini cari bengkel di seberangmu. Bukannya kalian saingan? Hah, kita lihat nanti gimana cara gue ngomporin dia biar dapat harga wajar. Gue yakin setelah ini bengkel lo jadi sepi karena gue bakalan sebarin berita kalau bengkelmu mahal.”
Laki-laki pemilik bengkel itu memucat. Dia menatap Kirania dengan benci lalu bergantian menatap Nira dan wanita pemilik mobil. Dia seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu lalu mengangguk lemah.
“Okelah, aku ganti ban.”
Ucapan laki-laki itu disambut senyum oleh tiga wanita yang mengelilinginya. Kirania bertukar senyum dengan Nira. Keduanya beranjak pergi saat wanita pemilik mobil menyapa.
“Makasih, ya, atas bantuan kalian. Kalau nggak ada kalian entah gimana nasibku.”
Kirania memamerkan senyum pada wanita cantik di hadapannya.”Ah, ini hanya hal kecil, Kak.”
Wanita itu menatap penampilan Kirainia dari atas ke bawah lalu bertanya. “Kalian mengamen?”
“Iya, Kak.”
Tersenyum penuh pengertian, wanita itu mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan dan menyerahkannya pada Kirania.
“Apa ini, Kak?”
“Ini untuk kalian beli es.”
“Eh, nggak usah, Kak,” tolak Kirania. “kami bantu iklas kok.”
“Aku cuma ngasih sedikit aja. Bukan hal besar. Ini, terima.”
Wanita itu menyodorkan uang setengah memaksa dan Kirania kekeh menolak. “Benar, Kak. Kami tanpa pamrih. Udah, ya, Kak. Kami pulang dulu!”
Mengabaikan uang yang disodorkan di depan mereka, Kirania meraih lengan Nira dan berlalu.
“Tunggu! Nama kalian siapa? Kali saja nanti kita bisa ketemu lagi,” tanya wanita itu.
“Aku Kirania dan ini, Nira.” Kirania menunjuk dirinya dan sahabat di sampingnya.
“Oh, aku Sherly. Senang bisa mengenal kalian.”
Mereka saling membalas lambaian sebelum berpisah. Kirania menuju sepeda yang diparkir tak jauh dari taman, sedangkan Nira naik angkot pulang. Saat tanganya mencapai stang sepeda, ponselnya berbunyi. Dahi Kirania mengernyit saat melihat nomor tanpa nama tertera di layar. Dengan enggan dia membiarkan ponsel tetap berdering tanpa menerimanya lalu mengayuh sepeda menyusuri jalananan. Namun, rupanya si penelepon tidak menyerah. Terbukti dengan ponsel yang terus berdering tiada henti. Terpaksa, Kirania menerimanya.
“Hallo.”
“Kamu mengabaikanku?”
Suara laki-laki yang dalam dan tenang terdengar dari seberang.
“Eh, siapa ini?”
“Setelah mengabaikanku lalu sekarang pura-pura tidak mengenaliku?”
Untuk sesaat Kirania tercengang. “Kak Gading?”
“Memangnya ada laki-laki lain yang biasa meneleponmu?”
Pernyataan laki-laki di ujung telepon membuat Kirania mencebik.
“Ada apa, Kak? Aku sibuk. Nggak usaha telepon kalau cuma mau buli.”
“Hei, siapa yang mau buli kamu? Aku mau kasih kamu makan gratis.”
“Hah, maksudnya?”
“Kita makan bersama malam ini, Aku jemput jam tujuh.”
“Dih, nggak mau. Aku sibuk!”
“Kamu cewek nggak bersyukur, ya. Diajak makan malah nolak.”
“Biar aja. Aku nggak mau pokoknya.”
“Oh, jadi perlu diancam? Oke, kita lihat gimana nanti jawaban mamamu kalau dia tahu kamu nolak ajakanku!”
Ucapan Gading membuat Kirania melotot pada layar ponselnya. Bayangan sang mama yang mengamuk membuatnya bergidik ngeri. Akhirnya, demi keselamatan dirinya sendiri, dengan terpaksa dia menerimanya.
“Iya, baik. Nanti malam jam tujuh.”
“Nah, cewek pintar. Pakai baju biasa saja, nggak usah pakai pengganjal dada.”
“Wew!”
Sia-sia Kirania berteriak marah karena sambungan telepon terputus. Yang dia lakukan hanya menyumpahi Gading lewat angin yang semilir di sore hari. Untuk melampiaskan kekesalan hatinya, Kirania mengayuh sepeda dengan kecepatan layaknya seorang pembalap.
***
Tersedia di google play book : https://play.google.com/store/books/details/Nev_Nov_Kawin_Gantung?id=BOgGEAAAQBAJ
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro