Bab 5
“Ki … lo kenapa nggak bisa datang malam kemarin?” Nira bertanya penasaran.
Mereka sedang duduk di bawah pohon rindang di perempatan jalan. Seperti biasanya sedang mengamati jalanan dan beristirahat sebelum mengamen.
Kirania yang kehilangan gitarnya saat berkelahi untuk membela dua bocah, hari ini menenteng gitar kecil untuk mengamen.
“Gue ada urusan penting, nggak bisa ditinggalin.”
Nira turun dari tempat duduk dan berdiri bersedekap di depan sahabatnya.
“Urusan apa? Sampai bisa ngalahin urusan ke rumah Oma. Biasanya sesibuk apa pun itu, lo akan tetap datang kalau ada sesuatu di sana.”
Kirania tidak menjawab. Menunduk di atas gitarnya . Pikirannya tertuju pada pesta pertunangannya yang mendadak. Seketika teringat dengan tunangannya yang tampan dan mapan.
Mulai malam itu, kehidupan pribadinya bukan lagi miliknya utuh. Ada banyak orang yang kini terlibat di dalamnya. Keluarganya, keluarga Gading dan kerabat mereka yang mengetahui ikatan antara dirinya dan laki-laki itu.
“Rasanya gue kayak Siti Nurbaya,” gumam Kirania tanpa sadar dengan wajah melamun.
“Woiii!” bentak Nira kesal. “Lo ditanya diam aja, malah gumam nggak jelas tentang Siti Nurbaya.”
Kirania memandang Nira yang berdiri di depannya. Melihat betapa sahabatnya terlihat cantik dengan rambut ikal dan kulit hitam eksotis. Di sini semua pengamen mengakui jika Nira punya suara yang luar biasa indah. Dibandingkan dirinya yang seperti kodok bengkung jika menyanyi.
“Suatu saat gue ngomong, jangan sekarang,” elaknya.
Kirania bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lampu merah, diikuti oleh Nira. Mereka berjalan bersisihan di antara orang-orang yang berlalu lalang.
“Gue lihat dari kemarin lo kayak orang linglung, Ki. Emang sih, lo udah ngasih jatah ke Oma tapi tetap saja, anak-anak itu lebih suka lo di sana dari pada gue.”
“Besok malam gue ke sana. Hari ini nggak bisa, ada urusan.”
“Kalah direktur, sibuknya,” gerutu Nira tidak puas.
Kirania mengabaikannya. Berjalan mendekati mobil yang berjajar rapi di lampu merah. Bersiap-siap untuk bernyanyi. Ada sebuah mobil mewah kuning mengkilat, ia mulai mendekat karena melihat jendelanya sedikit terbuka. Sebelumnya memberi tanda agar Nira mengikuti di belakang.
“Permisi, Kakak,” sapa Kirania ramah sebelum mulai menyanyi.
Sebuah lagu dari Sheila On 7 mereka nyanyikan dengan merdu. Suara indah Nira ditimpa dengan petikan gitar Kirania yang terampil. Sesekali Kirania menimpali suara Nira yang melengking dengan suaranya yang lebih sendu. Belum selesai lagu mereka, jendela mobil terbuka lebih lebar.
Seorang wanita amat cantik berkacamata hitam tersenyum dari balik kemudi. Mengulurkan uang sepuluh ribuan ke arah mereka dan berkata dengan suara pelan.
“Lagu yang bagus,” pujinya.
“Terima kasih, Kakak,” jawab Kirania sambil tersenyum. Tangannya terulur untuk mengambil uang yang diberikan si wanita namun seperti ada angin yang tiba-tiba menerbangkan uang, selembar sepuluh ribuan terjatuh sampai di dekat ban mobil. Kirania membungkuk untuk mengambil dan saat menegakkan tubuh, lampu di perempatan menyala hijau. Untung ada Nira yang menyambar lengannya.
“Gila, lo. Hampir keserempet. Uang jatuh biarin, sih!”
“Sayang, sepuluh ribu juga lumayan.” jawab Kirania.
Nira menggeleng mendengar jawaban Kirania. Ia tahu untuk apa sahabatnya bersusah payah mengamen, padahal sebagai mahasiswa harusnya dia menikmati waktu senggang bukan dengan berkeliaran di lampu merah. Keluarga Kirania juga bukan tipe yang kesusahan sampai membiarkan anak mereka mengamen.
Siang itu, mereka mengamen sampai mengumpulkan uang dua ratus ribu. Nira mengajak Kirania mampir ke rumah Oma tapi ditolak. Dengan dalih ada urusan lain, ia meninggalkan sahabatnya yang berdiri memandang kepergiannya dengan tidak puas.
Ada janji yang tidak bisa ia tinggalkan malam ini. Demi apa pun ia harus datang. Jika sampai terjadi sesuatu dan tidak datang ke acara malam ini, bisa dipastikan besok akan tersedia tali gantungan di kamar untuknya. Siapa lagi kalau bukan kerjaan mamanya, di dunia ini ancaman sang mama lebih mengerikan dari apa pun. Lebih baik Kirania tidak membuat masalah dengan mamanya jika ingin hidup damai.
Menyusuri jalanan yang ramai. Kirania melangkah gontai. Mengambil sepeda yang dia parkir di dekat warung rokok dan mulai mengayuh menuju rumah.
****
Terjadi kesibukan luar biasa di ruko nomor tujuh. Meja besi ditata, kursi-kursi stainles diletakkan sejajar dengan tembok. Beberapa tukang bangunan sibuk memaku, menambal tembok dan mengecat.
Gading mengamati ruangan praktiknya.
Menyimpulkan jika warna putih tetap menjadi warna favorite untuk ruang pemeriksaan. Ada meja stainless besar yang akan dia letakkan di tengah ruangan sebagai meja periksa pasien. Mulai minggu depan, ruang pratiknya akan ramai oleh segala macam binatang yang berkunjung.
Di ruangan depan ada konter kaca yang rencananya akan menjual segalam macam pernak-pernik kebutuhan binatang, dari mulai obat, makanan hingga vitamin. Ia sudah mendapatkan dua pegawai yang akan membantunya. Satu orang cewek untuk di depan bagian penjualan dan pendaftaran. Satu orang lagi, seorang laki-laki membantunya di meja pasien. Sementara ini, dua orang sudah cukup. Jika kelak tempat praktiknya berkembang, bukan tidak mungkin ia akan menambah karyawan.
“Tok-tok! Gading!”
Sebuah sapaan lembut terdengar dari arah rolling door yang terbuka. Gading memalingkan wajah dari keasyikannya memandang dinding dan menoleh ke arah datangnya seorang wanita amat cantik dengan rambut panjang kecoklatan terurai hingga bahu.
Sexy dan glamour, itulah yang terpikirkan oleh para lelaki yang ada di ruangan saat melihat wanita itu berjalan gemulai menghampiri Gading.
“Sherly, sungguh kejutan yang menyenangkan,” sapa Gading hangat.
Sherly tersenyum, memeluk Gading dan mengecup pipinya.
“Sudah beberapa bulan nggak ketemu, ya?” ucapnya.
“Aku sibuk sekali. Bagaimana kabarmu? Tahu dari mana tentang tempat ini?”
“Apa sih, soal kamu yang aku nggak tahu?” jawab Sherly sambil tertawa riang. “Fariz yang memberitahuku tentang tempat ini, katanya kamu akan pindah praktik ke sini?”
Gading merentangkan tangannya. “Iya, ini kelak yang akan jadi tempat praktikku.”
Sherly mengerutkan keningnya, memandang ruanganan yang tidak terlalu luas menurutnya.
“Di depan untuk ruang tunggu dan juga tempat pendaftaran dan menjual segala macam kebutuhan pasienku. Lalu ruangan pratik dan belakang bisa berfungsi untuk dapur, toilet trus ada ruangan kecil untuk gudang.” Gading menjelaskan dengan senyum yang tidak bisa ditutupi dari bibirnya.
“Tapi Gading, kenapa harus di tempat ini? Tempat praktikmu yang lama itu luas dan sudah banyak pasien di sana,” tanya Sherly. “di sini, kamu harus memulai semuanya dari awal.”
Gading menghampiri Sherly dan mengelus bahunya.
“Ini permintaan Papa dan Mamaku, setelah tugas Papa selesai dia ingin kembali ke sini. Tempat aku dulu lahir. Selain itu, daerah sini lumayan ramai dan kulihat memang belum ada praktik dokter hewan.”
Sherly mengangguk tapi matanya menyiratkan ketidakpuasan. Selalu seperti ini, jika menyangkut orang tuanya, Gading akan mengiyakan tanpa membantah. Terkadang kepatuhan Gading pada orang tuanya membuatnya sebal tapi justru itu yang membuat laki-laki itu yang pendiam dan dingin terlihat manis, jika bicara perihal orang tuanya.
“Aku akan selalu mendukungmu, Gading. Meski aku tidak suka dengan pilihan tempatmu,” ucap Sherly. Mengedikkan bahunya yang cantik. Berusaha menerima apa pun pilihan laki-laki itu.
Gading tersenyum, “Terima kasih untuk dukungannya, kamu dan Fariz adalah sahabat terbaik.”
“Woi! Apa nyebut-nyebut namaku!”
Fariz muncul dari balik pintu, rambutnya yang hitam dan agak panjang terlihat bersinar karena matahari. Terlihat tampan dalam balutan kaos polo dan celana katun.
“Hai, Sayang,” sapa Fariz pada Sherly, memeluk wanita di depannya sekilas lalu mengedarkan pandangan pada ruangan yang berantakan.
“Bentar lagi selesai ya, renov-nya?”
“Iya,” jawab Gading. “minggu depan akan ada syukuran kecil-kecilan di hari pertama pembukaan klinik. Kalian berdua diundang,” ucap Gading menunjuk Sherly dan Fariz.
“Kami tentu akan datang dan aku berharap kamu mengundang banyak gadis-gadis cantik di hari itu,” ujar Fariz sambil meringis. “sudah lama hidupku sunyi tanpa cinta.” Fariz mendekap dadanya.
Gading berpandangan dengan Sherly dan saling menggeleng. Keduanya merasa tidak aneh lagi dengan sikap Fariz.
Sherly melihat jam tangan cantik yang melingkari pergelangan tangannya lalu beralih memandang dua laki-laki tampan yang sekarang sedang sibuk berdiskusi tentang rak kaca.
“Bagaimana kalau sekarang kita pergi makan? Gading, Fariz. Aku belum makan dari pagi.”
Gading dan Fariz menoleh barengan ke arah Sherly.
“Wah, Sorry. Aku nggak bisa, sudah ada janji. Kalian berdua saja pergi,” jawab Gading.
“Mau kemana? Janji sama siapa?” cecar Fariz.
Gading tergelak, matanya bersinar jenaka.
“Ada deh, sorry ya? Kali ini aku nggak bisa gabung sama kalian.”
Fariz menggerutu, Gading tergelak di sampingnya.
Sementara Sherly menatap Gading yang tertawa dengan pandangan lesu. Dia berharap kali ini bisa makan bersama sang dokter hewan, setidaknya sedikit mengobrol, hal yang sudah lama tidak mereka lakukan. Namun apa daya, laki-laki itu ada urusan. Mengabaikan resah hatinya, Shery menghampiri Gading dan bergayut di lengannya. Mencampurkan diri dalam obrolan tentang rak kaca.
****
Kirania menarik gaunnya yang pendek di atas dengkul. Entah kapan mamanya membeli gaun ini karena seingatnya ia tidak punya gaun berenda dengan bahan satin berwarna biru di lemarinya.
Lalu sore tadi, mendadak ia menemukan gaun ini.
“Pakai gaun itu, kalau nggak aku yang akan memakaikan gaun itu di tubuhmu,” desis Mamanya saat melihat Kirania melongo memandang gaun yang terhampar di tempat tidur.
“Tapi, Ma. Ini hanya makan malam keluarga. Kenapa harus pakai gaun sih?” Tolaknya.
Detik itu juga ia merasa menyesal telah bertanya. Sang mama berdiri dengan pandangan galak dan berkacak pinggang.
“Emangnya kamu nggak malu apa? Datang ke rumah mertua pakai celana jin dan kaos? Apa pandangan mereka kalau Gading yang tampan harus bersanding dengan kamu yang penampilannya kucel.”
Kirania mendengkus, kesal dengan omelan mamanya.
“Sebenarnya anak Mama itu Kak Gading apa aku sih? Gitu amat ngomelnya.”
“Lah, kalau bisa Mama tuker, udah dari dulu Mama tuker kamu sama Gading,” tuding Nuria serius. “Ingat ya, pakai ini. Awas kalau nggak?”
Dengan ancaman terakhir sang mama pergi meninggalkan kamarnya. Sekarang di sinilah ia, terlihat tidak puas di depan kaca dengan penampilannya. Rambut pendeknya masih setengah basah, gaun pendek menampakkan postur tubuhnya yang kurus. Saat matanya melihat bagian dada, ada perasaan sesal di sana.
Tangannya terangkat menyangga buah dadanya lalu mengangkat sedikit ke atas.
“Kalau pakai push up bra seperti yang dibilang Jeng Ana pasti aku lebih sexy tapi gimana cara pakainya aja aku nggak tahu.”
Dengan lesu ia berbalik, menyambar ponsel di atas nakas dan melangkah keluar. Rasanya ia tidak perlu membawa tas, buat apa? Toh hanya makan malam keluarga di rumah samping.
Mama dan papanya sudah menunggunya di ruang depan. Jika melihat penampilan mamanya yang heboh dengan long dress batik dan rambut yang disanggul rapi, Kirania menduga sang mama sengaja merias diri demi keluarga Gading. Dia tidak ingin terlihat lecek. Sedangkan papanya juga tampan dalam balutan batik. Hanya Kirania seorang yang merasa tidak cocok dengan pakaian yang ia kenakan.
“Nah, gitu cakep. Ayo, jalan,” puji Nuria.
Kirania menurut saat lengannya disambar sang mama dan mereka bertiga melangkah beriringan menuju rumah Gading yang berjarak sepuluh rumah dengan mereka.
**
Tersedia di google play book
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro