Bab 4
“Ter-terima kasih,” ucapnya terbata.
“Kembali kasih, masih mau melompati pagar?”
“Nggak, aku mau cara yang lain. Mungkin minta ijin sama Mama atau ada satu cara, kamu mengantarku, Kak,” celetuk Kirania tanpa pikir panjang.
“Tidak mau!” Tolak Gading.
“Kenapa?”
“Aku nggak akan nolong pengantinku yang kabur di malam pertunangan kami.”
Kirania mengentakkan kaki, melangkah mendekati Gading dan menatap marah.
“Aku memintamu baik-baik, dan kubilang sekali lagi, aku nggak kabur.”
“Aku tetap nggak mau,” jawab Gading santai. Menyandarkan tubuhnya ke pagar.
“Ayolah, Kak.” Dia memohon, tangannya terangkat dengan maksud untuk memegang tangan Gading tapi laki-laki itu bergerak cepat untuk meraih pinggangnya.
“Aku nggak akan membiarkan pengantin kecilku kabur,” bisik Gading di telinga Kirania.
Kirania meronta, Gading mendekapnya erat. Dengan gemas ia mencubit lengan tunangannya dan melihat laki-laki meringis.
“Pelan-pelan, Sayang. Kamu menyakitiku,” ucap Gading pelan. Membiarkan tangan Kirania di leher dan lengannya.
Belum sempat Kirania bereaksi, terdengar teriakan dari belakang mereka.
“Kikii!Jaga sikapmu!”
Kirania menoleh. Ia melotot ngeri saat melihat mamanya menggelengkan kepala . Di sampingnya, ada Zahra-mama Gading- tertawa geli.
“Ma, ini bukan seperti yang terlihat.” Kirania berkata gugup dengan wajah merah padam.
Ia meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan laki-laki di depannya. Tidak ingin mamanya dan mama Gading salah paham. Ia bergerak menjauh saat terlepas dari pelukan sang tunangan.
“Kiki, kami tahu kalau calon suamimu tampan, Tapi seenggaknya kalau kamu ingin menciumnya, carilah tempat yang sepi, Ki. Bukan di sini?” tegur sang mama dengan wajah heran.
Terdengara tawa kecil di sekeliling, Gading bahkan tidak menyembunyikan seringainya. Kirania menahan geram dan rasa malu.
“Aduh, Tante. Kami,’kan ingin merayakan pertunangan tapi memang Kirania sedikit lebih agresif,” ucap Gading. Ucapanya membuat Kirania melotot marah.
“Jeng Nuria. Jadi nggak sabar ingin segera punya cucu,” ucap Zahra pada calon besannya.
Nuria mengulum senyum. “Iya, Jeng. Maaf loh, anak saya terlalu agresif.”
“Wah, saya malah suka. Kirania yang agresif akan sangat cocok dengan Gading yang pendiam.”
Lalu mereka berlalu pergi dengan kikik terdengar bahkan saat tubuh mereka tidak lagi terlihat dari pandangan. Kirania terdiam menahan malu. Apa yang baru saja terjadi sungguh luar dugaannya dan semua karena calon suaminya yang tampan tapi menjengkelkan. Hancur sudah nama baiknya, ia yang tomboy berganti menjadi Kirania yang agresif.
Demi melampiaskan rasa marahnya, Kirania mendekati Gading lalu tanpa diduga menginjak kaki laki-laki itu yang bersepatu dengan kuat. Tidak memedulikan jerit kesakitan tunangannya, Kirania berderap menuju kamarnya dengan ujung gaun terangkat hingga ke lutut.
****
“Kirania, kamu cantik!”
Seorang anak laki-laki tampan bermata sendu memandang Kirania dengan sayang. Tangannya terulur untuk mengelus rambut Kirania.
Mereka berdua berada di taman bunga yang indah yang berada di atas bukit. Ia berjongkok di depan rumpun bunga sepatu dan memetik setangkai bunga untuk mengagumi kelopaknya.
“Cantikkan bunga ini dari pada Kiki, Kak.” Tunjuk Kirania pada bunga di tangannya.
Anak laki-laki tampan di sampingnya menggeleng. “Kamu lebih menggemaskan.”
“Kakak tampan, matamu bagus,” ucap Kirania sambil tertawa. Melirik anak laki-laki di sampingnya.
“Kamu sayang sama kakak?” anak laki-laki itu berjongkok di depannya.
“Sayang, Kiki sayang sama Kakak. Karena kamu baik.”
Anak laki-laki itu tertawa. “Apa kamu mau menikah denganku kalau sudah dewasa nanti?”
Kirania tersenyum, masih memegang bunga sepatu di tangannya. Berdiri dari tempatnya dan tertawa.
“Kiki mau menikah sama Kak Gading, begitu kata Mama.”
“Nggak, kamu harus menikah denganku. Bukan dengan Gading!”
Anak laki-laki bermata sendu di depannya menghardik marah. Merampas bunga sepatu dari tangan Kirania dan membuangnya ke tanah lalu menginjaknya hingga hancur. Kirania menangis karena kaget dan takut.
“Kakak jahaaat, aku nggak mau sama Kakak.”
“Diam, kamu, Kirania!”
“Jangan membentaknya!” Suara yang lain datang membelanya.
Lalu terdengar percecokan antara seorang anak laki-laki yang baru datang dan anak bermata sendu. Tiba-tiba sebuah tangan terulur untuk mendorong tubuh Kirania, seketika mata kecilnya menggelap dan tubuhnya jatuh dan terguling ke bawah bukit.
“Aaah!”
Kirania terjaga dalam tidurnya dengan tubuh bersimbah peluh. Napasnya ngos-ngosan dan jantung berdetak kencang. Ia bangkit dari ranjang dengan linglung. Mimpi masa kecil yang baru saja menderanya membuat napas sesak dan tubuh gemetar.
Ia ingat benar peristiwa di dalam mimpinya dan mengalami hal itu secara nyata saat umurnya menginjak sembilan tahun. Ia juga sering mengingat tentang anak laki-laki bermata sendu yang menghantui mimpi-mimpinya. Anak laki-laki paling tampan yang pernah dilihat Kirania. Dengan senyum manis, mata sendu dan rambut kecoklatan.
Lalu? Bagaimana ia bisa ada di atas sebuah bukit? Bukankah ia tinggal dan besar di Jakarta? Mana ada bukit di sini? Kirania merasa seperti ada yang hilang dari ingatannya.
Sedikit terengah, ia meraih botol air dari samping ranjang dan meneguk isinya. Kesegaran merasuk dalam tenggorokan. Ia bangkit dari ranjang lalu melangkah menuju jendela. Membuka gorden dan matanya menerawang pada gelap malam.
Malam ini statusnya berubah menjadi tunangan Gading. Kirania mendesah resah dan merasa jika tidak akan mudah untuk menjadi tunangan dari seorang Gading. Banyak pikiran membuat ia terjaga hingga pagi hari.
***
Kejutan menunggu pagi harinya saat ia hendak pergi kuliah. Sebuah mobil putih mengkilat sudah terparkir di depan rumah. Sang Tunangan terlihat tampan dengan kaos polo biru dipadu dengan celana katun coklat. Bagi kebanyakan orang, penampilan Gading akan terlihat membosankan tapi entah kenapa, laki-laki itu justru terlihat bagai model kaos di halaman tengah majalah pria. Dengan sikap santai dan tatapan mata tajam tanpa senyum.
“Kak Gading, ngapain di sini?” tanyanya heran. Ia nyaris menjatuhkan buku-bukunya saat melihat sang tunangan berdiri di depan rumah.
“Naik!” ucap Gading pelan.
Kirania menatap laki-laki itu sesaat lalu berucap enggan.
“Nggak, ah. Aku mau naik bus barengan teman.”
Tolak Kirania. “Daah, Kakak.”Ia melambaikan tangan hendak berlalu.
Baru tiga langkah, Gading menarik lengannya. Kirania menjerit kecil. Belum sempat menolak, pintu mobil terbuka dan memaksanya masuk.
“Yee, kenapa harus maksa gini, sih, Kak?” gerutu Kirania saat mobil melaju dengan dirinya terpaksa duduk manis di samping tunangan.
“Sudah aku bilang bisa berangkat sendiri. Ingat ya, Kak? Status kita memang bertunangan tapi bukan berarti semua yang aku lakukan berada dalam kendalimu. Aku nggak suka dikekang gitu,” celoteh Kirania tanpa henti. “Aku ini cewek mandiri, Kak. Terbiasa melakukan semuanya sendiri. Kalau memang bisa, biarkan hubungan kita hanya sebatas seremonial, Kak. Kamu dan aku masih punya kebebasan yang sama.”
Dalam mobil hening, tidak ada jawaban apa pun dari Gading. Laki-laki tampan yang mengendarai mobil itu masih membisu. Kirania menggaruk rambut pendeknya yang mendadak terasa gatal. Ada kecanggungan aneh di antara mereka berdua. Ia sibuk mengoceh dan laki-laki di sampingnya sama sekali tidak bereaksi.
Sadar jika dirinya bicara tanpa ada yang menanggapi, Kirania memutuskan untuk menutup mulut.
Gading memelankan laju mobil saat mereka mulai memasuki area kampus yang ramai. Banyak mobil dan motor yang bersliweran di jalanan. Seakan tahu di mana letak gedung tempat belajarnya, laki-laki itu membawa mobilnya menuju kampus C.
“Kenapa kamu mengambil pelajaran sastra Mandarin?” tanya Gading setelah kebisuan yang lama.
“Ooh, itu. Aku ingin menjadi TKW,” jawab Kirania.
Gading menoleh cepat dan memandangya heran.
“Serius? Ke China gitu?”
Kirania tersenyum sambil menggeleng.
“Nggak harus ke China tapi saat ini bahasa Mandarin adalah bahasa yang paling banyak digunakan untuk transaksi bisnis atau pekerjaan lain selain bahasa Inggris. Suatu saat aku ingin bekerja ke luar negeri, mungkin menjadi penerjemah. Saat itulah aku menjadi TKW.”
Gading tersenyum simpul. “Itu kampusmu,’ kan?” ucap Gading sambil menunjuk gedung bercat kuning. “ Turun sana dan cita-citamu bagus.”
“Makasih, Kak. Sudah diantar,” ujar Kirania berseri-seri.
“Ah, jangan menganggap ini suatu keharusan atau merasa kamu istimewa. Aku cuma mau menunjukkan ke orang tuaku kalau aku menghargai cewek yang mereka jodohkan untukku. Demi mereka bukan kamu. Ingat itu, Kirania.”
Hanya Gading seorang yang memanggilnya dengan nama lengkap.
“Sudah kuduga,” gumam Kirania.
“Jangan ketagihan diantar dan merajuk pada orang tuaku. Aku nggak suka begitu, Kirania.”
Kirania mendesis marah, mencopot sabuk pengamannya dan keluar dari mobil.
“Dasar manusia sombong! kalau bukan karena orang tua, aku juga nggak mau dijodohkan sama kamu!”
Gading melongok dari jendela yang terbuka.
“Untuk kamu tahu sekali lagi, seleraku cewek sexy dengan dada ukuran minimal C bukan yah, A kayak kamu.”
“Apaa!”
Pintu menutup dengan keras. Ia berdiri dengan geram. Rasanya ingin menggores permukaan mobil yang mulus dan membuat sang tunangan marah. Namun niatnya hanya berupa niat semata, Gading seakan tak terpengaruh dengan rasa marahnya. Mobil melaju pelan meninggalkan Kirania dengan debu berterbangan di kakinya.
Aku harus bersabar mengahadapinya. Saat ini misiku adalah membuat dia memutuskan perjodohan kami.
Gadis kurus dengan buku menumpuk di lengannya berjalan gontai menuju kelasnya. Sepanjang jalan ingatannya tertuju pada Gading yang tampan dan tenang. Jika diingat-ingat lagi, dari kecil laki-laki itu memang memiliki kepribadian yang tenang.
Dulu sering sekali Kirania mendengar keluarganya terutama mamanya membicarakan Gading dengan nada memuja.
“Duuh, menantuku satu itu memang pintar dan tampan,” ucap Nuria dengan nada bangga pada tetangganya yang berkumpul di rumah mereka.
Suatu hari, Kirania akan merayakan ulang tahun yang kedelapan. Sang mama sibuk menyiapkan pesta kecil-kecilan. Karena dia anak tunggal, kasih sayang bertumpuk padanya seorang. Begitu juga Gading yang merupakan anak satu-satunya. Mereka dilimpahi cinta tak berkesudahan dari orang tua.
“Beruntung ya, Jeng. Kirania dijodohkan dengan Gading. Saya lihat Gading juga sangat sayang padanya,” kata seorang ibu muda dengan lipstik merah menyala, tangannya sedang sibuk mengupas kentang.
“Iya, Mbak Sri. Siapa sangka Gadinglah yang menyelamatkan nyawa anak saya,” ucap Nuria dengan haru.
“Coba saya punya anak perempuan. Pasti saya jodohkan dengan Gading yang tampan dan pintar.”
Kirania kecil yang sedang asyik bermain boneka tidak mengerti sedikit pun tentang percakapan orang-orang tua di sekitarnya. Yang ia tahu hanya satu, Gading adalah kakak tampan yang tinggal di samping rumahnya.
Malam itu, keluarga Gading memberikannya sebuah boneka barbei cantik sebagai hadiah ulang tahun. Kirania menerima dengan gembira. Membawa boneka kemana pun ia pergi. Hingga suatu hari, boneka Barbie kesayangannya ditemukan rusak dengan muka tersayat tergeletak di depan pintu rumahnya. Tidak ada yang tahu siapa yang melakukannya.
***
Tersedia di google play store
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro