Bab 1
#Kawin_Gantung
#Bab_1
Sebelumnya saya kasih tahu, kalau ini hanya promo. Ebook akan tersedia Minggu depan❤️
**
Sore ini tidak banyak pengamen yang bekerja, jika biasanya di pojokan lampu merah selalu banyak pengamen berkerumun kali ini sepi. Di sana hanya ada Kirania dan dua anak kecil yang memakai boneka lucu untuk menari. Merapikan topi dan kacamata yang menutupi wajah, ia menatap iba pada dua bocah di depannya. Mendesah dalam hati karena kemiskinanlah, dengan terpaksa dua anak berumur tujuh dan sepuluh tahun harus membanting tulang. Pernah ia mengatakan pada keduanya untuk pergi bersekolah dan akan dibantu sebisanya untuk biaya, tapi jawaban keduanya membuat Kirania terdiam.
“Bapak hanya pemulung, Emak sedang sakit-sakit. Kalau kami nggak kerja, siapa yang beliin obat buat Emak.”
Mengabaikan rasa bersalah karena tidak dapat membantu mereka lebih banyak, Kirania melangkah ke depan mobil dan mulai mengamen sambil memetik gitar, saat lampu kembali merah. Banyak yang mengatakan suaranya bagus dan ia selalu menyanyikan lagu yang up to date, karena itu para pengguna jalan tidak segan mengeluarkan uang untuknya.
Setelah delapan kali lampu merah, dua bocah berpakaian boneka nampak duduk kelelahan di sampingnya. Keduanya mencopot kepala boneka yang terlihat berat dan mengambil air minum dari botol kecil. Kirania sendiri merasa haus, mengambil botol air minum yang terselip di pinggang dan mulai meneguk. Ia mengawasi dalam diam, saat dua bocah di sampingnya beranjak pergi. Tertinggal ia sendiri.
Saat ia sedang menikmati minumannya, terdengar teriakan dari belakang dan mengagetkan.
“Kiki, lo ngapaian masih di sini?” Nira, teman sebaya yang juga sering menemaninya ngamen, datang tergopoh-gopoh.
“Kenapa memang?”
“Gimana, sih, lo? Bukannya ada urusan penting di rumah?”
Kirania hampir saja menyemburkan air di dalam mulut. Ia lupa kalau hari ini ada acara penting dan sang mama sudah wanti-wanti dari pagi agar ia datang tepat waktu. Bisa-bisa nyawanya melayang sia-sia jika berani melanggar aturan sang mama.
“Mampus, gue lupa pula. Bisa kena cincang.”
Dengan terburu-buru ia melepaskan kacamata dan menyimpannya ke dalam tas kecil.
“Nira, lo kasih uang ini sama Oma. Bilang ama mereka, gue datang malam, ya.” Ia mengulurkan segenggam uang.
“Emang ada acara penting apaan?” Nira bertanya dengan tangan menerima recehan yang diberikan sahabatnya.
Kirania mengangkat sebelah bahu. “Ntar gue ceritain. Jalan dulu, bye!”
Mengabaikan temannya yang cemberut, ia melangkah tergesa-gesa menerobos barisan kendaraan di jalanan. Sore begini, perempatan lampu merah lebih berupa tempat parkir dari pada jalan raya karena kemacetan yang luar bisa. Di sela kebisingan, ia setengah berlari ke arah jalan yang lebih kecil dan menuju ke perkampungan penduduk. Ia melewati sungai kecil di sisi kiri jalan dan warung yang berjajar rapat di sebelah kanan dengan gitar di bahu.
Tepat di persimpangan, Kirania melihat dua bocah boneka sedang duduk bersimpuh di hadapan dua laki-laki yang memaki mereka dengan beringas.
“Kasih semua ke gue! Masa cuma segini?” salah seorang dari mereka, preman dengan codet di mata menarik anak yang lebih besar dan merogoh saku si bocah.
“Ampun, Pak. Jangan diambil, ibu saya lagi sakit. Butuh beli obat!” si bocah merengek, tangan kecilnya mencoba meraih uang yang dirampas dari sakunya, sementara adiknya menangis meraung-raung karena ketakutan.
“Ah, dasar bocah sialan!” teriak si preman codet saat si anak mencoba menggigitnya.
Tangan si codet terangkat untuk memukul dan terhenti di udara karena teriakan.
“Oii, Codet jelek! Beraninya sama anak kecil lo!”
Masih dengan gitar di tangan, Kirania melangkah menghampiri mereka. Ia mencoba berjalan tegap demi menyembunyikan kegugupan. Menarik napas panjang dan membuangnya berkali-kali. Terus terang ia merasa takut mengahadapi preman-preman itu tapi demi dua bocah tak bersalah, dengan amat sangat terpaksa ia menghampiri mereka.
“Eih, songong! Siapa lo!” Teman si Codet, seorang pria dengan tato di tangan menatap Kirania dengan bengis.
Kirania tersenyum, memindahkan gitar dari bahu ke tangan. Bersiap untuk menggunakannya sebagai senjata jika diperlukan. Meski jujur ia tidak suka jika harus bertarung dengan mereka.
“Gue cuma pengamen dan dua bocah ini seharian juga ngamen demi ibu mereka yang sakit. Masa, iya, kalian para orang tua malah mau ngrampas?
Yang bener aja, lo?” teriak Kirania lantang.
“Eih, kodok burik. Berani-beraninya lo ngajarin gue? Bosan hidup?” ancam si Codet.
‘Enak aja ngatain gue kodok burik! Kalian tuh yang mukanya jelek kayak kodok!’ batin Kirania dengan kesal. Meski dalam keadaan ketakutan tetap saja ia merasa tersinggung.
“Udah-udah, biar gue yang ngasih duit. Mau berapa? Ceban? Noban? Tapi lepasin mereka!” Kirania pura-pura merogoh saku. Ia celingak-celinguk menatapa jalanan sekitar, berharap ada yang membantu mereka. Namun, perempatan menuju komplek memang terkenal sepi dan orang-orang penghuninya cenderung tidak peduli urusan orang lain.
Mendengar perkataannya, dua preman di hadapannya saling berpandangan lalu tertawa terbahak-bahak. Menggunakan kesempatan itu, Kirania menyenggol dua bocah yang masih berlutut dan memberi tanda untuk kabur.
Sang kakak memahami lebih dulu tanda yang diberikan Kirania, ia meraih lengan adiknya dan keduanya berlari tunggang langgang, menyeberangi jalan. Si tato yang melihat buruannya kabur mendelik marah pada Kirania.
“Lo pikir duit ceban atau noban lo bisa buat gantiin duit dari dua bocah itu? Karena lo dah bikin mereka kabur, cepat! Keluarin semua duit lo!” bentak si Tato.
“Kalau gue nggak mau?” tantang Kiki.
“Banyak bacot!” Tanpa diduga, si Codet melayangkan pukulan ke arah Kirania yang langsung berkelit menghindar.
Dengan sekuat tenaga Kirania berusaha menangkis pukulan dua preman di depannya yang sekarang menyerang secara bersamaan. Dengan lincah ia bergerak dan berkelit, untuk mencari kesempatan memukul balik. Satu jab keras hampir mengenai kepalanya, melihat situasi agak genting ia menggunakan seluruh tenaga untuk memukul si codet menggunakan gitar.
Suara gitar beradu dengan kepala membuat si codet berteriak kesakitan, Kirania bergerak cepat dan kali ini menghajar si tato tetap di kakinya. Keduanya terduduk merintih. Belum sempat Kiki bernapas lega, tiba-tiba terdengar teriakan dari seberang.
“Woi! Siapa lo, berani mukulin Abang kami!”
Tiga preman berteriak dari seberang jalan, langkah mereka terkendala mobil yang melitas dengan kecepatan tinggi. Kirainia merasa keadaan makin gawat. Menggunakan kesempatan yang ada, ia memanggul kembali gitarnya yang setengah rusak dan berlari ke arah komplek. Tidak memedulikan teriakan dan sumpah serapah di belakangnya.
Sementara itu, di perempatan lampu merah yang sedang macet. Sebuah mobil mewah berwarna putih mengkilat nampak berjejer rapi dengan mobil-mobil lainnya. Di dalamnya dua orang laki-laki berpenampilan necis asyik berbincang.
Yang mengendarai mobil adalah seorang laki-laki berusia pertengahan dua puluhan dengan wajah tampan, sorot mata tajam yang dipertegas oleh alis lebat yang hampir menyatu di atas hidungnya.
Wajahnya dibingkai oleh rambut pendek rapi yang menambah kesan berwibawaa. Sementara di sampingnya, seorang laki-laki bermata sipit tapi sama tampannya, sedang berbicara mengenai cuaca dan padatnya lalu lintas, meski begitu ada kesan ramah di balik kata-katanya yang terdengar ceria.
“Kamu yakin ini jalanan yang benar?” Ini adalah pertanyaan kesekian kalinya yang ditujukan kepada si pengendara mobil.
Si pengendara tidak menjawab, menyalakan parseneling dan membawa mobilnya ke arah jalanan yang tidak terlalu ramai.“Iya, aku yakin. Itu lihat, ada sungai di sisi kiri dan warung-warung di sebelah kanan. Dan kalau gue nggak salah ingat, ada pos satpam rusak di depan komplek,” ucap si pengendara.
Perkataanya diberi anggukan setuju oleh temannya saat mobil melintasi ruas jalan yang tidak terlalu besar menuju sebuah komplek perumahan mewah.
“Tempat praktekmu, di rumah nomor tujuh gang sebelas.”
Si pengendara mengangguk, membawa mobilnya masuk lebih cepat dari seharusnya agar cepat sampai ke tempat tujuannya. Sudah hampir sepuluh tahun dia tidak pernah ke sini. Ada perasaan campur aduk saat melihat kondisi jalanan yang mulai berubah.
“Itu tempat lo di depan, ada plang di sana!” tunjuk si tampan bermata sipit.
Si Pengedara mengangguk. Jalanan di depan rumah yang mereka tuju terlihat sepi. Tanpa banyak kata ia meminggirkan mobil dan berhenti tepat di rumah nomor tujuh. Dengan sedikit tergesa-gesa melepaskan sabuk pengaman dan membuka pintu mobil tanpa memperhatikan keadaan di belakangnya.
Saat itulah benturan terjadi di depannya. Seorang anak laki-laki bertubuh kurus dan bertopi terjengkang karena membentur pintu mobilnya.
“Eih, kamu nggak apa-apa?” ucapnya dengan kuatir. Mengangkat lengan si anak.
Namun usahanya untuk membantu mendapat penolakan, si anak bertopi memandangnya galak.
“Lo buka pintu mobil kagak lihat-lihat belakang, ya!” sembur si anak. Ada sebuah gitar rusak tergeletak di sampingnya.
“Sorry, kamu nggak apa-apa?” ucap si pengendara pada anak yang baru saja membentur mobilnya.
“Gue nggak apa-apa, bisa lepasin lengan gue?”
“Nggak , kamu ikut aku sekarang. Ayo, aku obatin,” ajaknya lembut.
“Duuh, lo reseh ya?”
“Gading, siapa dia?” Si teman yang sedari tadi di dalam mobil. Berjalan mengintari untuk melihat apa yang terjadi. Melihat ada orang lain yang datang, si anak terlihat ketakutan.
“Ah, orang-orang kaya selalu merepotnya,”
gerutunya. Dengan sentakan sekuat tenaga, pegangan Gading pada anak di depannya terlepas. Topi hitam yang dikenakan si anak terlepas dan menunjukkan wajah mungil dengan rambut pendek. Ada tahi lalat di dagunya, seketika penampilan bocah laki-laki berubah menjadi cewek cantik dengan tatapan galak.
“Kirania?” gumam Gading pelan. Keterkejutan terlintas di wajahnya saat melihat cewek di depannya. Namun tidak ada yang mendengar gumamannya.
“Terima kasih, Om-Om semua, gue jalan dulu!” Kirania membungkuk jengkel.
Menggunakan kesempatan saat Gading dan temannya tidak bereaksi, si cewek berlari menjauh dan melupakan gitarnya begitu saja. Tidak lama ada sekelompok orang berteriak-teriak mendatangi mereka.
“Oi, napa lo lepas itu anak?” teriak salah seoarang dari mereka pada Gading.
“Nggak ada urusannya sama aku, kenapa nggak boleh dilepas?” ucap Gading kalem. Ia menatap punggung Kirania yang menjauh.
“Dasar orang kaya yang sok, coba ngomong gitu dan gue hancurin mobil lo!” bentak salah seorang di antara mereka.
Si tato merengsek maju dan menggebrak atap mobil. “Lo harusnya nggak lepas bocah itu, kalau gini kami bisa marah! Lo mau gimana kalau kami marah?”
Gading bersedekap, memandang gerombolan sangar di depannya dan menaikkan sebelas alis.“Sebelum kalian mengancamku, beri tahu aku satu hal kenapa kalian memburu anak tadi,” tanyanya penasaran.
Seorang preman meludah ke tanah, nyaris mengenai sepatu kets Gading sebelum menjawab dengan garang.
“Dia udah berani menetang kami. Berlagak seperti pahlawan kesiangan. Harusnya kami dapat uang tapi gara-gara dia, uang melayang dari tangan kami!”
Gading mengangguk. “Kalian memalak dan dia menghalangi?”
Preman di depannya mengangguk bersamaan.
“Wah, bagus kalau gitu,” ucap Gading dengan senyum kecil tersungging di mulutnya.
“Apa lo kata? Bagus? Lo mau gantiin dia buat kami hajar? Atau lo serahin aja duit lo, gue rasa lebih banyak dari dua bocah pengamen tadi,” ucap si Codet yang disambut tawa berderai teman-temannya.
Ancaman mereka membuat Gading bergerak maju. Menutup pintu mobilnya rapat dan mulai menggulung lengan kemejanya.
“Eih, mau ngapain lo? Mau nglawan kami?” teriak si Tato. Matanya bersinar dengan senyum meremehkan tersungging di bibirnya yang berdarah.
“Kalau aku jadi kalian, aku pasti akan kabur,” ucap teman Gading dari atas kap mobil depan.
Memandang sambil menggelengkan kepala ke arah kelompok preman. Sedari tadi dia diam memperhatikan Gading menghadapi para preman.
“Lo kira kami takut sama kalian anak orang kaya dan manja!” sembur salah seorang dari mereka.
“Yah, harusnya takut!” ucap laki-laki tampan itu.
“Faris, kamu diam di sana!” tegur Gading pada temannya.
“Oke, no problem. Pertunjukan bagus untuk dilewatkan,” jawab Faris enteng.
Entah siapa yang memberi komando, para preman bergerak bersamaan untuk menyerang. Gading bergerak lincah,memungut gitar di tanah dan ia gunakan sebagai senjata. Tangannya menangkis pukulan dan kakinya bergerak cepat untuk menendang. Ia melumpuhkan lebih dulu si codet yang kelihatan sudah terluka dengan menghajar perutnya. Lalu beralih pada si tato dengan menekel kaki dan menginjak lengannya. Satu persatu dia melumpuhkan pengroyoknya, ia tidak terpengaruh sedikit pun dengan banyaknya senjata tajam yang diarahkan ke badannya. Saat preman terakhir ambruk ke tanah dengan mulut berlumuran darah, Gading berdiri menjulang di atas mereka.
Memandang sekelompok preman yang semula terlihat garang, kini tergeletak merintih di tanah.
“Bravo! Bravo, Gading tidak pernah kehilangan sentuhannya ternyata.” Faris berkata sambil tepuk tangan gembira.
Gading menghela napas, memanggul gitar di bahunya dan berkata dingin.
“Mulai sekarang aku akan praktik di daerah ini, itu adalah klinikku!” tunjuk Gading pada rumah di depannya. “Kalau sampai ada yang mengacau di sini, terlebih lagi berani memburu anak yang tadi, kalian akan kuhabisi!”
Dengan pandangan mengancam, Gading mengunci pintu mobilnya dan melangkah pergi, meninggalkan mereka merintih di tanah.
Lima langkah dia berhenti dan menoleh, “Ah ya, kalau mau aku obatin. Kalian bisa ke dalam!” ucap Gading sesaat, sebelum akhirnya berjalan tanpa menoleh kembali.
Faris berdecak menatap penampilannya sang teman. Masih sama persis dengan sesaat sebelum dia berkelahi. Tidak tampak tanda-tanda kelelahan di wajah. Bahkan kemeja yang dipakainya tidak kusut karena keringat.
“Kamu selalu kayak gini, berantem kayak nggak ngeluarin tenaga tapi bikin orang mati,” gumam Faris dari samping Gading yang sedang sibuk membuka pintu.
“Itu gitar dibawa mau buat apa?” tanya Faris heran.
“Kenang-kenangan,” jawab Gading pelan.
Memandang gitar rusak dan pikirannya tertuju pada Kirania. Akhirnya, setelah sekian lama mereka bertemu kembali dalam keadaan yang tidak disangka-sangka.
***
Tunggu next Jumat nanti
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro