5 - Pria Hujan [Revised]
Entah sudah berapa lama Ayesha menatap nomor Ilham, menimang untuk menghubunginya atau tidak. Ia ingin tahu alasan Ilham tidak datang dan menepati janjinya, karena setahunya Ilham bukan orang yang akan membatalkan janji begitu saja.
"Ah sudahlah!" Ayesha menaruh ponselnya sembarangan di kasur lalu ia merebahkan dirinya. Tiba-tiba ia teringat saat di supermarket, saat ia bertemu lagi dengannya. Seseorang yang menjadi bagian dari masa lalunya.
"Ayesha, kau kah..?"
Pria itu maju satu langkah untuk mendekat, dan Ayesha mundur satu langkah untuk menjauh. Ia belum bisa berkata-kata, pikirannya terlalu sibuk memikirkan kenapa ia bisa bertemu dengannya lagi, di sini.
"Aku mencarimu ke mana-mana, dan kau.."
"Radit!"
Pria itu menoleh ketika seorang wanita memanggilnya, dan Ayesha menggunakan kesempatan itu untuk lari darinya. Ia terus berlari. Ia ingin menjauh sebisanya. Bertemu lagi dengannya bukan sesuatu yang ia harapkan.
Pikiran Ayesha berkelana ke masa itu, masa yang sangat ingin ia lupakan, dan hal itu selalu menyesakkan baginya. Ia bangkit, berjalan menuju kamar Salsa. Melihat Salsa yang sudah tertidur lelap, ia pun tersenyum. Kemudian ia ikut berbaring di sampingnya. Membelai rambutnya dan mengecup kepalanya, menatap gadis kecil itu dengan tatapan sedih kemudian ia memeluknya.
"Maaf...," lirihnya, lalu ia menangis.
***
"Terima kasih Mbak, semoga berkah. Jangan lupa datang lagi ya!" Ayesha sedikit membungkuk, menghormati para pelanggan.
"Esa," Inayah memanggilnya.
Ayesha berbalik menghadap Inayah. "Ya Bu?"
"Ke ruangan saya sebentar," ucap Inayah dan Ayesha mengikutinya masuk.
"Ada apa Bu?" tanya Ayesha.
Inayah menghela napas. "Kalau berdua panggil Mbak saja, rasanya aku sudah sangat tua saat kau memanggilku begitu."
Ayesha menahan senyum. "Kan memang betul," candanya.
Inayah mendelik sebal. Kemudian mereka terkekeh.
"Ini kan tempat kerja Bu, masa saya panggil Mbak sama Bos saya."
"Ya ya, terserah kau saja." Inayah menyerah. "Aku ingin minta laporan penjualan selama tiga bulan kemarin, aku ingin semuanya tersusun rapi. Aku ingin melihat perbandingannya."
"Siap Bos!"
Inayah tersenyum. "Istirahatlah, sebentar lagi jam makan siang. Mau makan di mana?"
Belum sempat Ayesha menjawab, ponselnya berdering. Matanya terbelalak melihat siapa yang menghubunginya.
"Angkat saja dulu," ucap Inayah kemudian Ayesha pamit ke luar ruangan.
"Assalamu'alaikum," ucap Ayesha setelah mengangkatnya.
"Wa'alaikumsalam," jawab dari seberang. "Ini aku, Ilham."
"Ya, aku tahu," jawab Ayesha agak jutek. Pasalnya ia masih kesal soal Ilham yang membatalkan janjinya begitu saja.
"Kau marah?" tanya Ilham karena mendengar nada tak bersahabat dari Ayesha.
"Tidak," Ayesha mengelak. Dia tidak marah, hanya sedikit kesal.
"Tapi kau terdengar seperti itu,"
Ayesha menghela napas. "Aku hanya tidak habis pikir bisa-bisanya kau membatalkan janji begitu saja tanpa ada kabar, padahal aku menunggumu di sana dan kau mengabaikan semua panggilanku," Ayesha berhenti sejenak. "Oke, ada yang ingin Anda jelaskan?"
Ayesha mencoba menenangkan dirinya. Dia memang kesal, tapi selain itu ia juga khawatir karena Ilham tak seperti biasanya. Jika dia membatalkan janji begitu saja, pastilah ada sesuatu yang sangat mendesak yang tidak bisa ia tinggalkan.
"Maaf aku terlalu sibuk, jadi baru sempat menghubungimu sekarang,"
"Ah, ya kau pasti sangat sibuk."
Ilham menghela napas dan terdengar kesal. "Kalau begitu kita bertemu sekarang saja, di Red cafe. Aku menunggumu di sana. Assalamu'alaikum." Lalu sambungan terputus.
"H-halo?" Ayesha melihat ponselnya. "Wah! Dia benar-benar seenaknya. Kenapa jadi dia yang marah? Ck. Awas saja kau...."
"Lho, kok masih di sini?"
Ayesha terperanjat. "Oh iya Bu, baru selesai bicara di telepon. Ibu mau makan di luar?"
"Iya, aku harus bertemu seseorang," jawab Inayah sambil tersenyum cerah.
Ayesha mengangguk. "Teman?"
"Ya, bisa dibilang begitu. Kau sendiri bagaimana?"
"Oh aku juga, pria yang waktu itu menghubungiku, katanya kami bisa bertemu di Red cafe sekarang." Ayesha menjelaskan sedikit malas sebenarnya mengingat sikap Ilham tadi.
"Benarkah? Aku juga bertemu di sana, kalau begitu kita pergi bersama saja. Lagi pula aku tidak enak datang sendirian, kau temani aku saja kalau pria itu belum datang atau kalau sudah selesai urusanmu dengannya. Ya?" Inayah sedikit memohon.
"Apa aku tidak mengganggu?" tanya Ayesha ragu, pasalnya ia tidak mengenal siapa temannya, dan ia takut malah jadi awkward nantinya.
"Tidak, cukup temani aku saja. Aku juga tidak akan lama, aku disuruh Ayahku mengambil berkas darinya. Katanya sangat penting jadi ia memintaku mengambilnya sekarang."
Ayesha mengangguk. "Baiklah, bagaimana keadaan Pak Rayan sekarang?" tanyanya, mengingat kalau Ayah sahabatnya sedang tidak sehat.
"Yah, begitulah. Ayahku sudah semakin tua, dia cepat lelah, sepertinya harus segera pensiun."
"Makanya Mbak harus cepet nikah, biar ada yang menggantikan beliau."
"Kau ini ya." Kemudian mereka tertawa.
Ilham yang sudah berada di cafe tak hentinya menghela napas dan menggerutu. Menyesal karena membuat keputusan bertemu dengan Ayesha saat itu juga, padahal ia sendiri sudah memiliki janji.
"Baiklah aku rasa tidak akan lama, aku akan menyuruhnya menunggu sebentar baru menemuinya setelah aku memberikan berkas ini. Ya, begitu saja," ucapnya berbicara sendiri.
Ayesha dan Inayah sampai di Red cafe, dan sama-sama mencari orang yang akan mereka temui.
"Oh, itu temanku di sana," ucap Inayah membuat Ayesha mengikuti arah pandangannya
Ayesha terpaku, terkejut bukan main. "Ilham?"
Mendengar itu, Inayah beralih menatapnya. "Kau mengenalnya?"
"O-oh, itu.. Dia, orang yang akan aku temui." Ayesha mencoba menjelaskan dengan sedikit terbata.
Inayah sama terkejutnya. "Sungguh? Jadi orang yang membantumu saat itu Ilham? Dan kau berhutang padanya?" Inayah hampir tak percaya lalu tertawa pelan.
Ayesha mengangguk kaku, perasaannya sudah tak menentu. Apa ia kembali saja dan menemuinya lain kali? Tapi nanti Inayah akan menganggapnya aneh dan....
"Ayo," ucap Inayah berjalan terlebih dahulu menghampiri Ilham. Ayesha menghela napas sejenak, mau tidak mau ia pun mengikutinya di belakang.
Ilham terdiam menatap kedatangan Inayah dan Ayesha. Melirik keduanya bergantian.
"Sudah lama menunggu?" Inayah bertanya pada Ilham yang masih menetralisir keterkejutannya.
"Tidak juga," jawab Ilham sebiasa mungkin.
"Kenapa berdiri saja, ayo duduk." Inayah menegur Ayesha yang malah mematung.
"O-oh, iya Mbak." Ayesha duduk di samping Inayah. Melirik ke arah Ikham sedikit-sedikit.
"Kalian datang bersama?" tanya Ilham sangsi.
Inayah tersenyum mengiyakan. "Esa bilang kalau ia akan bertemu dengan pria yang meminjaminya uang di sini, kebetulan aku ada janji denganmu jadi aku mengajaknya pergi bersama. Aku tidak tahu kalau pria itu kau," Inayah tertawa pelan, merasa lucu dengan kebetulan ini.
"Aku juga tidak tahu kalau teman Mbak Ina itu kau," Ayesha menambahkan, takut-takut kalau Ilham salah paham.
"Lucu bukan? Karena sudah terlanjur bersama, kenapa tidak sekalian makan siang bersama saja?"
Ilham menjawab boleh sementara Ayesha tidak.
"Kenapa Sa?" tanya Inayah merasa heran dengan sikap Ayesha yang tiba-tiba jadi pendiam.
"Aku lupa ada yang belum aku kerjakan Mbak," Ayesha membuat alasan. Ia hanya merasa sedikit tidak nyaman.
"Kau ini, sudah tak perlu memikirkan pekerjaan, lagi pula kau bersama bosmu," Inayah mengecilkan suaranya sedikit berbisik.
"Jadi, sekarang kau bekerja di butik Inayah?" Ilham bertanya.
"Ya," jawab Ayesha pendek. Menunduk sambil memainkan ujung jilbabnya.
"Sejak kapan?" tanya Ilham lagi.
"Sejak kau resign dan pergi ke Amerika," jawab Ayesha tanpa mau menatap Ilham.
Inayah menatap Ilham dan Ayesha bergantian. "Kalian sudah saling kenal sebelumnya?" tanyanya ingin memastikan setelah melihat interaksi keduanya.
"Oh, ini uangmu." Ayesha sengaja menghentikan Ilham yang akan berbicara. "Dengan begini aku tidak punya hutang lagi padamu." Ayesha menaruh sejumlah uang dan menyerahkannya pada Ilham.
"Sudah kubilang kau tidak perlu mengembalikannya. Lagi pula itu tidak seberapa." Ilham menggeser uang itu ke depan Ayesha lagi.
"Sudah kubilang aku tidak bisa menerimanya, dan bagiku itu tetap hutang yang harus aku bayar, walau tak seberapa." Ayesha kembali menggeserkan uangnya, dan terus seperti itu. Mereka berdebat soal uang yang tak seberapa itu.
"Ay...," Ilham nampak lelah karena Ayesha tak mau mengalah.
"Kalau kau tidak mau menerimanya, lalu untuk apa kita bertemu sekarang?" Ayesha merasa kesal dan tak mengerti dengan pikiran Ilham.
Inayah menghela napas, ikut lelah melihat perselisihan kedua temannya. "Ilham, terima saja, agar tidak ada yang merasa terbebani." Inayah memberi usul, dengan begitu tidak ada lagi hutang-piutang yang bisa saja memberatkan keduanya nanti.
Ilham menghela napas dan akhirnya mengambil uangnya tanpa minat dan terlihat kesal. "Keras kepala," gumamnya sangat pelan namun Ayesha masih bisa mendengarnya dan ia mendelik sebal.
Inayah geleng-geleng kepala, "Tapi, kenapa kau membuat janji bertemu pada dua orang yang berbeda di saat yang sama?" Inayah bertanya heran. Ia sudah memiliki janji dengannya, lalu kenapa ia membuat janji baru dengan Ayesha.
Ilham berdehem, mencari alasan. "Karena aku pikir aku tidak akan membutuhkan waktu lama untuk bertemu denganmu atau dengannya, aku hanya perlu memberikan berkas yang diminta Pak Rayan, lalu bertemu Ayesha soal uang itu."
"Ah, begitu. Tapi ternyata kita malah saling kenal," Inayah tersenyum geli. "Oh ya, mana berkas yang Ayahku minta?"
Ilham menaruh berkas itu di atas meja. "Aku rasa Pak Rayan harus segera melihatnya dan membuat keputusan secepatnya."
Inayah mengambilnya dan mengangguk. "Baiklah, akan aku sampaikan pada Ayah."
"Oh ya, aku turut berduka cita atas kepergian Ibumu. Aku mendengarnya dari Ayah," Inayah mengucapkannya dengan tulus.
Ilham tersenyum hambar.
Ayesha sedikit terkejut mendengarnya. "Ibumu...."
"Ya, karena itu aku tidak bisa menemuimu saat itu."
"Kenapa kau tidak mengatakannya?" Ayesha menunduk merasa bersalah. "Aku minta maaf," ucapnya.
Ilham tertawa kecil. "Kenapa kau yang meminta maaf? Memangnya salahmu apa?"
"Aku tidak tahu kau sedang tertimpa musibah dan aku malah...."
"Sudahlah, aku tak ingin membahasnya." Ilham melihat jam. "Aku harus kembali ke kantor," ucapnya.
"Apa kau sedang sibuk? kita bahkan belum makan apa-apa," ucap Inayah.
"Ya, begitulah. Ayahmu memberiku sangat banyak pekerjaan," canda Ilham.
"Kalau kau mau aku bisa meminta Ayahku mengurangi pekerjaanmu atau kau ingin berhenti saja?" canda Inayah dan mereka tertawa.
Ayesha yang melihat keakraban mereka berdua pun ikut tersenyum. Bisa dibilang ia sedikit iri, namun ia juga senang.
"Baiklah kalau begitu, aku pergi duluan, assalamu'alaikum."
Setelah berucap salam Ilham pun pergi. Kini tinggal Inayah bersama Ayesha.
"Kau mau pesan sesuatu?" tanya Inayah.
Ayesha mengangguk. "Makaroni schotel sama orange juice ya Mbak, aku mau ke toilet sebentar."
"Baiklah," Inayah tersenyum tipis.
Ayesha kemudian pergi ke toilet. Inayah menatapnya, ada banyak hal yang ingin ia ketahui.
Setelah beberapa saat, Ayesha pun kembali bersamaan dengan pesanan mereka.
"Ah, leganya." Ayesha terlihat benar-benar lega.
"Jadi dari tadi kamu menahannya?" Inayah tak habis pikir.
"Sepertinya begitu, hehe."
Inayah tertawa pelan. "Kau ini, lain kali jangan ditahan seperti itu, tidak bagus."
"Iya Mbak," jawab Ayesha dan mereka mulai makan.
"Oh ya Sa, apa kau sudah mengenal Ilham sejak dulu? Sepertinya kalian sudah saling mengenal," Inayah bertanya sedikit ragu, tapi ia tidak bisa menahan rasa penasarannya.
"Ah, itu. Dulu kami pernah bekerja di perusahan yang sama. Mbak tahu kan aku dulu bekerja di HM Arcithect," ucap Ayesha mulai menjelaskan.
Inayah mengangguk. Ayesha memang pernah bercerita kalau dulu ia bekerja di HM Architect.
"Ilham dulu juga bekerja di sana, dia seniorku," lanjutnya.
"Apa kalian sangat dekat? Aku dengar Ilham memanggilmu dengan sebutan yang berbeda?" Inayah bertanya agak sangsi, tapi ia benar-benar penasaran. Melihat bagaimana sikap Ayesha tadi, ia merasa kalau hubungan mereka tidak biasa saja.
"Tidak juga, kami berada di divisi yang berbeda, aku di bagian Konsep Desain sementara dia di divisi Arsitektur, tapi kami sering berada dalam satu tim saat mengerjakan proyek. Kami hanya mengobrol hal yang perlu dibicarakan, seperti pekerjaan. Dia jarang bicara padaku, tidak seperti ke karyawan yang lainnya, aku juga tidak tahu kenapa. Dia selalu membuatku kesal kalau sudah berbicara. Dan soal panggilannya untukku, aku tidak tahu alasannya. Dia tak pernah memberitahuku." Ayesha bercerita panjang lebar.
"Ah, begitu." Inayah tersenyum simpul.
Ayesha mengangguk. Sejujurnya ia juga penasaran bagaimana Inayah bisa kenal dengan Ilham. Tapi, memangnya kenapa dia harus tahu?
"Memangnya kenapa Mbak?" kini Ayesha yang bertanya, tak biasanya Inayah tertarik sial urusan pria.
"Oh, tidak papa, hanya penasaran saja." Inayah terlihat kikuk. "Dulu dia orangnya bagaimana?" Inayah kembali bertanya.
"Tidak banyak bicara, jutek, ketus, kejam, acuh tak acuh, aneh, dingin dan keras kayak es batu, tapi aku akui dia itu jenius." Ayesha mengucapkannya dalam satu tarikan napas dan hal itu membuat Inayah tertawa.
"Ternyata penilaian kita tidak jauh berbeda," ucap Inayah setelah berhenti tertawa.
"Aku benar, dia hampir selalu memenangkan tender, dan proyek yang dia kerjakan selalu memuaskan klien."
"Pantas saja, Ayahku memberinya promosi jabatan senior arsitek tidak lama setelah dia bekerja."
"Wah," Ayesha berdecak kagum. "Jadi, sepulang dari Amerika, dia bekerja di AR."
"Ya, dan begitulah aku mengenalnya. Sebenarnya dia orang yang sangat baik, dan peduli. Benar kan? Ayahku sangat menyukainya." Inayah mengucapkannya sambil tersenyum.
Ayesha menatap Inayah intens.
"Kenapa? Kenapa kau menatapku seperti itu?" Inayah jadi salah tingkah karena Ayesha menatapnya sedemikan rupa.
"Aku curiga.." Ayesha menyipitkan matanya.
"Apa?" tanya Inayah kikuk.
"Sepertinya aku mencium bau-bau aroma asmara di sini," Ayesha mengerling jahil.
"A-apa maksudmu? Kau ini,"
Ayesha menatap Inayah jenaka. "Mbak suka ya sama Ilham?"
"Apa? Tidak! Jangan asal berspekulasi kamu tuh," elak Inayah kikuk dan Ayesha tertawa.
"Lihat tuh wajahnya udah kayak kepiting rebus." Ayesha kembali tertawa melihat perubahan mimik Inayah.
"Esa! Cepat habiskan makanmu dan kembali ke butik." Inayah langsung berdiri dan pergi lebih dahulu.
"Siap Bos!" Ayesha masih betah menertawainya.
Setelah Inayah pergi, barulah Ayesha terdiam. Kemudian tersenyum untuk dirinya sendiri. Mengasihani dirinya sendiri. Tapi, jika benar Inayah memeiliki rasa untuk Ikham, maka ia bersyukur dan ikut berbahagia untuknya.
Setelah menghabiskan orange juice nya ia pun bangkit dan berniat membayar tagihannya namun ternyata sudah dibayar, sepertinya Inayah sempat membayarnya sebelum pergi.
Ayesha berjalan sambil melamun, bercerita tentang Ilham di masa lalu, membuatnya kembali terkenang masa-masa saat ia bekerja di HM, membuatnya rindu. Sebenarnya berat saat ia memutuskan untuk resign. Namun, memang harus ada yang ia korbankan untuk mendapatkan yang lebih baik.
Saat ia keluar dari cafe, ia berpapasan dengan seseirang dan ia terpaku melihat sosok di hadapannya.
"Radit," gumamnya pelan. Menatap tak percaya sosok di hadapannya.
Kenapa aku bertemu dengannya lagi Tuhan..
Pria bernama Radit itu tersenyum, terlihat sangat senang. "Sa, aku gak nyangka bisa bertemu lagi denganmu."
"Maaf, aku harus segera pergi." Ayesha segera berjalan melewatinya namun Radit menahannya.
"Aku ingin bicara denganmu, aku mohon. Sebentar saja." Radit menatapnya penuh permohonan.
Ayesha terdiam menatapnya dan akhirnya memutuskan untuk memenuhi permohonannya.
Kini mereka duduk di dalam cafe. Saling diam.
"Aku harus bekerja, aku tidak punya banyak waktu," ucap Ayesha tanpa repot-repot menatapnya. Ia tidak ingin berlama-lama dengannya.
"Bagaimana kabarmu?" Radit mulai berbicara.
"Sangat baik," jawab Ayesha singkat tanpa ada minat bertanya balik.
Radit tersenyum. "Kau sudah berubah, aku hampir tak mengenalimu. Kau terlihat, jauh lebih cantik."
Ayesha diam. Ia merasa tak perlu menceritakan bagaimana ia bisa berubah. Atau merasa senang dengan pujiannya. Tidak perlu sama sekali.
"Kenapa saat di supermarket kau pergi begitu saja? Padahal aku sangat ingin bertemu denganmu,"
"Aku sedang buru-buru," Ayesha beralasan. Mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Kau berbohong," tukas Radit.
Sontak, Ayesha menatapnya. Tidak heran kalau Radit tahu. Ia tahu segalanya tentang dirinya.
"Kenapa mencariku? Semuanya sudah berakhir sejak saat itu. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi." Ayesha mempertahankan wajah dinginnya.
Radit menatapnya sendu. Delapan tahun lalu, ya, saat itu ia memang terlalu pengecut. Ia mengerti jika sekarang Ayesha begitu membencinya.
"Aku tahu," lirihnya pelan. "Aku hanya ingin tahu kabarmu dan juga Salsa."
Ayesha meremas jilbabnya, ia tidak tahan. Mendengar ia mengucapkan nama Salsa membuatnya marah. Ia menahan emosinya mati-matian. Ia ingin segera pergi dari hadapannya.
"Kau tidak perlu khawatir, kami hidup bahagia." Ayesha menegaskan kalimatnya.
"Syukurlah kalau begitu," Radit tersenyum. "Aku sudah menikah."
"Baguslah," ucap Ayesha cepat, tiba-tiba dadanya begitu sesak. Dalam hati, ia memaki pria di hadapannya.
"Aku juga memiliki seorang putri berusia 3 tahun." Seolah belum cukup, Radit kembali bercerita, tersenyum layaknya seorang Ayah yang mengingat putri kesayangannya.
Ayesha menatapnya dengan penuh kebencian. "Sudah selesai bicaramu?" Ayesha bangkit dan hendak pergi.
Radit menahannya. Ayesha menghentakkan tangan Radit dengan kasar. "Jangan ganggu hidupku lagi, jangan temui atau muncul di hidupku lagi!" Ayesha membentaknya. Matanya sudah memerah menahan tangis.
Radit tercenung. "Sa...."
Ayesha memejamkan matanya. Rasa sakit itu kian menjadi, perih tak tertahankan. "Kau sudah memiliki keluarga, jalani saja kehidupanmu. Jangan ganggu aku ataupun Salsa."
"Aku ingin bertemu dengannya," Radit menatap Ayesha penuh permohonan.
"Tidak akan pernah, sampai kapan pun. Jangan berani muncul di hadapannya." Setelah mengucapkan itu Ayesha langsung melangkah pergi dengan langkah cepat.
Setelah cukup jauh, Ayesha berhenti berjalan. Kembali teringat kata-kata Radit sebelumnya.
"Aku sudah menikah,"
"Aku juga memiliki seorang putri berusia 3 tahun."
Ayesha meremas dadanya yang terasa sesak. Bagaimana bisa laki-laki itu mengucapkannya seolah-olah ia memang pantas menceritakannya. Dengan begitu mudahnya.
Dengan mudahnya ia menjalani kehidupan baru, sementara ia harus menderita selama bertahun-tahun.
Sesuatu membasahi pipinya, Ayesha mendongak, melihat langit yang cerah. Kemudian rintik hujan mulai berjatuhan. Saat orang-orang mulai berlarian mencari tempat berteduh, ia memilih berjongkok dan menangis.
Hujan mulai mengguyur kota Jakarta siang itu. Hujan di hari yang cerah.
Ayesha tak peduli jika ia kehujanan atau orang-orang yang menatapnya aneh. Ia hanya ingin menangis, ia merasa kakinya tak mampu menopang beban tubuhnya. Seolah kembali terlempar ke masa lalu.
"Berengsek," umpatnya pelan dengan isakan kecilnya. Ia tidak mengerti kenapa rasanya begitu menyakitkan, apa ia masih mengharapkan sesuatu darinya, ataukah ia benci melihatnya bahagia, ataukah....
Ayesha kemudian melihat sepasang kaki di hadapannya, merasa ia terlindungi dari hujan, ia pun mendongak untuk,melihat siapa pemiliknya.
Ilham berdiri di hadapannya dan memayunginya. Ayesha menatapnya masih dengan mata yang basah oleh air mata. Ilham mengulurkan tangannya, menyuruhnya berdiri. Namun Ayesha malah terdiam, tatapannya beralih menatap tangan Ilham yang terulur padanya.
Tangan itu, haruskah aku menggapainya?
****
Tbc.
08 Januari 2017
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro