02 | Meet Najla
Dhanu.
THALIA Maharani.
Kalau bertanya siapa dia pada sebagian besar murid perempuan SMA Persada Mandiri, maka kebanyakan dari mereka akan mengatakan bahwa Thalia adalah sosok murid sombong yang enggan bergaul dengan siswi lain. Tetapi murid laki-laki akan menjawab tanpa ragu, kalau posisi Thalia hampir setara dengan Dewi Aprodhite yang tidak sengaja jatuh ke dunia yang fana ini. Siapa yang nggak setuju kalau Thalia itu cantik?
Oh iya, ada, sekumpulan cewek sirik yang hobi menebarkan kebencian layaknya netizen masa kini.
Namun bagi sebagian laki-laki yang hatinya pernah dipatahkan olehnya, Thalia merupakan paradoks-termasuk bagi gue. Cewek itu merupakan alasan kenapa aku masih bisa tersenyum di saat yang bersamaan merasakan gemuruh di dalam dada. Thalia laksana matahari yang bersinar di saat hujan jatuh satu per satu ke bumi.
Gue tidak mungkin bisa sampai lupa kapan pertama kali melihat cewek itu. Waktu itu sedang ospek. Di lapangan sekolah, dia berdiri di barisan kelompok yang dating terlambat dengan ekspresi angkuh. Mulanya, gue hanya terpesona oleh mata cokelat terangnya saja yang dibungkus dengan bulu mata yang lentik. Sampai kemudian, gue mendengar suara tawanya. Bukan jenis tawa yang anggun, tapi tawa yang mampu membuat aliran darah dalam tubuh gue berdesir hebat.
Lebay, gue tahu. Tapi itu yang gue rasakan detik itu. Sejak saat itu, gue berikrar dalam hati. Kalau gue bisa sampai dapetin Thalia, gue bakal berhenti mainin perasaan cewek. Namun sepertinya begitulah cara karma bekerja. Entah bagaimana semesta berkonspirasi hingga akhirnya kami menjadi sepasang sahabat.
Menyedihkannya, begitu status sahabat tersemat di antara kami, sebuah dinding antara gue dan Thalia baru saja dibangun. Semakin lekat persahabat antara gue dengan cewek itu, maka semakin tinggi pula dinding pemisah di antara kami.
Anak gaul zaman sekarang disebut friendzone. Teman-teman gue malah menemukan istilah baru melihat saking deketnya gue sama Thalia; bestfriendzone. Terdengar sepele dan klise banget, tapi seperti itulah kenyataannya. Sebagai cowok yang mencintai Thalia dengan segenap ketulusan, maka gue harus rela menjadi alibi dia demi menatap sang pujaan hatinya.
Seperti saat ini. Jumat sore waktunya tim futsal sekolah latihan ringan di lapangan. Hanya segelintir orang yang masih berada di lingkungan sekolah, termasuk Thalia yang duduk di salah satu kursi samping lapangan.
Dari tempat gue berdiri, gue bisa melihat ke mana mata sepasang mata yang indah itu tertuju. Pada Fadli, tentu saja. Fadli yang tengah melakukan pemanasan di sisi lapangan lainnya.
Gue mengembuskan napas pelan sebelum beranjak mendekatinya. Seharusnya Thalia menunggui gue latihan bersama Najla, bukan sendirian, karena gue paling nggak suka melihat Thalia sendirian di antara banyak laki-laki.
"Ngeliatinnya jangan sampai ngiler gitu dong." Teguran gue berbuah pelototan Thalia. Cewek itu mendekatkan telunjuknya pada bibir, sementara ekor matanya menatap Fadli waswas.
"Jangan keras keras deh, Nu! Nanti kalau Fadli dengar, gue bisa mampus!" katanya seraya menarik tangan gue supaya duduk di sampingnya.
"Najla mana?" tanya gue.
"Katanya ke BK dulu, konsultasi untuk SNM." Thalia menjawab tanpa mengalihkan fokus pandangannya, membuat gue menyentakkan kepala.
"Ya elah Tha, Fadli nggak akan hilang juga dilihatin terus," protes gue, "Giliran gue yang minta temenin latihan aja lo ogah-ogahan, giliran Fadli aja dipelototin mulu."
Thalia menoleh dan mendengus, lalu memutar kedua bola matanya ke atas. "Ya ampun, Dhanu, sejak kapan sih lo jadi drama gini? Sok-sokan bilang begitu, memangnya gue nggak tau siapa aja yang sering nemenin lo futsal? Ayu, Putri, Nada, siapa lagi tuh namanya, sampai lupa gue asrama puteri koleksi lo."
Gue hanya terkekeh mendengar kalimatnya. Seperti cara Thalia menatap Fadli, gue juga menatap Thalia dengan cara yang sama.
Iya, gue tahu itu terdengar sangat menyedihkan. Tapi serius ya, Thalia tampak seratus kali lebih bersinar setiap kali cewek itu memperhatikan sesuatu yang dia suka. Ya, meskipun tetap aja, dunia akan jauh lebih indah seandainya yang dia tatap seperti itu adalah gue, bukan cowok kaku macam Fadli.
"Ye, bukannya latihan malah nemenin Thalia."
Gue menoleh begitu mendengar suara yang sangat gue kenal itu. Siapa lagi kalau bukan Najla. Sekarang, dia berdiri seraya berkacak pinggang di samping gue. Wajahnya menampakkan raut tanpa dosa. Kalau awalnya lingkaran persahabatan ini hanya ada gue dan Thalia, sekarang sudah ada satu orang lain yang eksistensinya tidak bisa dilenyapkan begitu saja.
Najla Amalia Rahman.
Sama seperti Thalia, kelakuan Najla nyaris sama abstraknya. Atas alasan itu mereka berdua bisa dekat sampai detik ini.
Sekarang Najla tengah mengibaskan tangannya, layaknya seorang ratu mengusir hamba sahaya. "Silakan Dhanu Ishal, kembali jadi butiran debu di tengah-tengah lapangan sana."
Gue berdecak, tapi tetap mengikuti perintah Najla. Gue bisa melihat bagaimana Thalia dan Najla tertawa geli selepas kepergian gue. Ketika Najla menyebut nama Fadli dengan volume cukup keras, gue mendelik dan begitu melihat ekspresi gue, Najla mengerjapkan mata dengan polos, seolah-olah dia bertanya, "Apa?" lewat udara.
Sebagai pihak sentral antara gue dan Thalia, Najla nyaris memegang seluruh rahasia kami. Termasuk soal perasaan. Namun tidak hanya berperan sebagai pemegang rahasia, dia juga merupakan pondasi terkuat dalam persahabatan kami bertiga. Mungkin kalau di cerita-cerita persahabatan lain, karena gue mencintai Thalia, maka Najla akan jatuh cinta sama gue. Seharusnya. Namun sayang, di sini gue jadi satu-satunya orang yang terseret-seret perasaan tidak terbalas antara gue sama Thalia doang.
Waktu Thalia masih pacaran sama Radith, sepulang turnamen futsal kami nongkrong berlima di rumah gue. Gue, Thalia, Radith, Najla dan Bara-pacarnya Najla yang sudah jadi mantannya. Judulnya doang nongkrong berlima. Padahal mereka pacaran, dan gue jadi nyamuk.
Gue ingat saat itu Najla nyeletuk polos, "Nu, lo cari pacar deh, kasihan gue ngelihat lo gini gara-gara Thalia sekarang udah punya gukguk."
Reaksi kami saat itu berbeda-beda. Gue memelotot; Bara berusaha mengalihkan perhatian; Thalia tertawa polos; sementara Radith...? Dia sepertinya berhasrat untuk membunuh gue dengan garpu taman di sampingnya.
Saat gue protes dikemudian hari, Najla hanya mengedikkan bahunya dengan gaya cuek. "Loh, bagus dong kalo Thalia putus? Feeling gue udah nggak enak sama si Radith ini."
Gue hanya diam saat itu. Najla punya naluri keibuan yang sangat kuat. Dia memahami kami sebaik dia memahami dirinya sendiri. Nyaris seluruh feeling-nya tidak pernah memeleset. Dan benar saja, tidak sampai seminggu kemudian, Najla menelepon gue. Dia bercerita kalau Thalia sedang menangis di rumahnya setelah memergoki Radith selingkuh. Kurang ajar memang. Gue mati-matian berusaha bikin Thalia ketawa dan dengan semena-menanya, si brengsek Radith mematahkan hatinya.
Gue tahu, gue mungkin sama kurang ajarnya dengan Radit, karena waktu itu sepercik perasaan lega menyelinap dalam dada gue. Kebebasan Thalia juga berarti kesempatan bagi gue.
Tapi lihat sekarang.... Enam bulan gue berusaha bikin Thalia move on, tiba-tiba dia mengikrarkan diri untuk menjadi pemuja Fadli. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro