01 | Thalia dan Dhanu
Thalia.
ADA aturan-aturan penting dalam hidup yang aku percaya. Salah satunya, jangan pernah memberikan kesempatan kedua kepada seorang pengkhianat. Tapi sialnya, kadang kemauan hati kerap berlawanan dengan logika. Prinsipku baru saja dilanggar karena membalas pesan seorang mantan yang tidak sanggup aku lupakannya.
Namanya Radith.
Terakhir kali kami berhubungan sekitar enam bulan yang lalu, saat aku menemukannya bersama gadis lain di sebuah kafe. Brengseknya, saat berhasil kupergoki, dia sama sekali tidak menunjukkan raut penyesalan. Dia berlalu, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Membuatku tersadar bahwa selama ini aku memacari seorang sosiopat.
Enam bulan setelah kejadian memergoki pacar sendiri selingkuh terasa begitu lambat. Malam-malam di minggu awal sulit sekali mengenyahkan sosoknya dari mimpiku. Tapi ketika aku sudah hampir berhasil melupakan namanya, tiba-tiba saja dia muncul di hadapanku, mengungkapkan seribu penyesalan yang bisa membuat siapa pun luluh.
Setelahnya, aku merasa tidak bisa tidur semalaman sebelum bisa membalas pesannya. Pertanyaan yang sekarang bergumul dalam benakku adalah ... ini aku yang bodoh atau Radith yang beruntung sih?
“Tha?”
“Apaan sih?!” Aku menjawab panggilan Dhanu dengan keras, nyaris seperti bentakan. Namun sepertinya sahabatku yang satu ini sama sekali tidak tersinggung. Dia melirik empat gelas es krim yang sudah kosong di atas meja.
“Lo udah ngabisin es krim tiga gelas lho, dan sekarang udah mau jam sembilan. Kafenya mau tutup.”
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Benar apa yang dibilang Dhanu. Hanya meja kami yang masih terisi pengunjung, sementara meja yang lain sudah mulai dirapikan oleh para pegawai.
Aku menghela napas dan mengembuskannya keras-keras. Sesaat kemudian aku meraih tasku dari atas meja dan segera beranjak. Setelah berada di luar, alih-alih langsung ke parkiran, Dhanu malah pergi ke mini market samping kafe. Aku memilih untuk duduk di atas motor hitam besarnya dan menatap langit.
Hanya beberapa bintang yang kelihatan, kemungkinan besar karena polusi udara yang kian buruk di ibu kota. Dari tempatku berdiri di area parkiran, aku melihat Dhanu tengah mengantre di kasir dengan kedua tangan yang terangkat, entah sedang membawa apa. Diam-diam aku merasa lega.
Jika kebanyakan laki-laki yang hadir di hidupku adalah perwujudan dari sebuah kesialan, maka Dhanu bisa dibilang sebuah pengecualian—di luar ayah dan abangku tentunya. Sekalipun punya catatan hitam sebagai seorang player kelas atas, dia tidak pernah mengecewakan aku sebagai sahabatnya. Cowok itu tidak pernah protes atas sikap semena-menaku, juga selalu bisa memahamiku tanpa aku perlu banyak bicara.
Secara singkat, aku hanya bisa mendefinisikan keberadaannya sebagai perwujudan sempurna seorang sahabat.
Kami bertemu untuk pertama kali di lapangan upacara dua tahunan yang lalu. Aku dengan Dhanu. Aku ingat betapa konyolnya aku siang itu. Memakai atribut serbaaneh dari ujung kaki sampai ujung kepala hanya demi memenuhi budaya pembodohan bernama ospek. Karena terlambat, kami kena hukum bersama saat itu, dan dengan gaya sok pahlawannya, dia membelaku di depan kakak panitia OSIS. Waktu aku tanya kenapa dulu dia sampai senekat itu, dia akan menjawab dengan kerlingan mata, kemudian bibirnya yang tipis kemerahannya akan tersenyum miring.
“Soalnya dulu lo cantik banget, Tha. Gue nggak bisa liatin cewek cakep diperlakukan dengan semena-mena.”
Aku tidak bisa tidak memasang tampang jijik mendengarnya, tetapi diam-diam mengulas senyum saat mendengar jawabannya. Begitulah takdir mengatur pertemuan demi pertemuan yang mendekatkan aku dengan Dhanu. Kami tidak pernah berikrar untuk menjadi sahabat sehidup semati, karena memang seperti itu persahabatan, bukan? Tidak ada awal. Juga tidak ada akhir.
“Tha!” Suara Dhanu membuyarkan lamunanku, membuat ingatanku pada masa lalu pecah dan tercecer.
Aku mengernyitkan dahi ketika sebuah plastik diletakkan Dhanu ke tanganku.
“Stok, biar lo nggak bunuh diri nanti malam,” katanya seraya mengenakan helmnya.
“Ah, Dhanu … I love you to the moon!” Senyumku mengembang ketika menemukan tiga batang cokelat dan sekotak es krim berukuran medium di dalam tas plastik di tanganku. Yah, dengan makanan-makanan manis ini, biasanya hari-hariku akan membaik.
“I love you to the sun, Tha.” Tangannya menepuk-nepuk jok kosong di belakang. “Sekarang buruan naik, nanti gue diomelin abang lo kalo mulangin lo kemaleman.”
Aku segera naik dan sepanjang perjalanan kami membicarakan banyak hal. Kebodohan Dhanu di turnamen futsal terakhirnya kemarin, gebetan Dhanu yang sudah dua tahun di gantung, sampai kapten futsal sekolah kami yang kerennya tiada tara.
Bukan tanpa alasan kenapa si kapten futsal itu jadi topik obrolan kami. Sejak tatapanku dengan sang bintang lapangan itu berserobok satu bulan lalu di lorong sekolah, aku sudah memutuskan aku harus mengenal dia lebih jauh. Kalau saja itu bukan Fadli, mungkin mudah saja buat aku untuk melancarkan pendekatan. Tapi ini Fadli, Edward Collins-nya versi SMA Persada Mandiri.
Bayangkan saja, di saat sekumpulan cowok tengil macam Dhanu ini sibuk tebar pesona ke mana-mana, Fadli tetap betah single selama hampir tiga tahun lamanya.
“Jadi bener kan, Nu, Fadli fix nggak punya pacar?” Aku mengulang kembali pertanyaanku, berusaha memastikan medan sekali lagi.
Dhanu mengangguk yakin di balik helmnya.
“Yakin gue, Fadli itu cuma pintar futsal doang. Kalau soal cewek, jam terbangnya cetek banget.”
Aku bertepuk tangan, lantas berkata dengan nada memuja, “Ya iyalah, bedain dong playboy bau kambing kayak lo sama cowok berkelas macam Fadli.”
Dari kaca spion aku melihat Dhanu mendengus jengah.
“Gini-gini juga gue kesayangannya lo, Tha.”
Aku nyengir mendengar kalimat Dhanu, dan anehnya tidak berani membantah.
“Ya iya dong, lo kan sahabat tersayang gue,” kataku dengan nada manja. Selanjutnya aku meletakkan daguku di bahunya, berusaha membujuk Dhanu. “Jadi, kapan nih, Nu, mau ngasih gue id Line-nya Fadli?” []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro