Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5 Debar

Cahaya putih terang terpantul dari jam tangannya saat pria itu menunduk untuk melihat korban pembegalan dari dekat. Hammuka melihat jasad wanita yang tergeletak di tepi sungai Ngunut. Ada empat luka tusuk di perut dan dua di dada. Juga luka kebiruan di pipi. Androk yang dikenakan korban, sobek sepanjang paha. Ini adalah satu-satunya pembegalan sadis yang ditemui Hammuka setelah mutasi ke polres Blitar. Adzan Ashar berkumandang membelah langit, meredam kekusutannya. Pria itu mendongak, menatap Vanno yang sibuk mengambil foto sebagai barang bukti. Beberapa polisi lain juga sedang sibuk meneliti TKP.

"Saksi mata, di mana?"

Vanno menunjuk seorang pria paruh baya yang berdiri sejauh tujuh meter dari posisinya.

Hammuka menghela napas kemudian berdiri. Dihampirinya saksi mata dengan segudang pertanyaan. Agak ragu, sebenarnya, tidak begitu yakin apakah pertanyaan itu bisa terjawab semua atau malah menyisakan misteri.

"Saya Hammuka, dari Polres Kota Blitar. Bapak siapa namanya?"

"Daniran, Pak. Saya warga di kelurahan Sutojayan," jawab pria berambut putih separuh itu dengan mata bergerak-gerak. "Pak, saya tidak dituduh membiarkan wanita itu terbunuh, kan?"

Hammuka curiga, "apa yang membuat Bapak merasa dituduh?"

"Saya melihat kejadian itu, Pak. Tapi, saya takut. Pembegal itu membawa pisau. Wanita itu berusaha melawan saat anaknya dibawa." Daniran menunduk, murung, "pria yang dibonceng menghunjamkan pisaunya di perut empat kali dan di dada dua kali."

"Anak?" Hammuka mengerutkan kening, menoleh pada Vanno.

"Aku juga baru tahu. Selain membawa motor dan tas korban, pelaku juga menculik anak kecil. Sebentar lagi Gus Faridh datang, kita bisa memperoleh informasi yang jelas tentang almarhum istrinya." Vanno kali ini menemukan sebuah jam tangan di semak-semak. Matanya menyala penuh arti. "Aku menemukan barang bukti baru, Ham."

***


"Hammuka!" Jeya berlari, menerobos markas polisi resor hanya untuk bertemu pria yang namanya barusan disebut

Sarung yang dipakai Jeya tidak jadi soal. Langkahnya makin lama makin panjang dan cepat. Lima polisi yang berjaga di mapolres memperhatikan kedatangannya. Mereka saling pandang kemudian mata mereka berhenti pada Hammuka yang duduk membaca resume Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang masih ada dua, laporan warga dan saksi.

Vanno menyenggol lengan Hammuka, "hubungan kalian sepertinya sudah ada perkembangan. Dia mulai memanggil namamu tanpa embel-embel."

Hanya dengusan yang terdengar. "Sudah malam, apa kamu mau pulang?"

"Kalau aku jadi kamu, aku akan mengajaknya makan malam dulu. Yah, sambil membicarakan kasus. Korban kita adalah ning-nya. Dia pasti peduli," Vanno tertawa melihat perubahan wajah Hammuka, "ayolah, Ham, nikmati hidupmu. Kerja terus, adikmu pasti butuh kakak ipar yang bisa menggantikan sosok almarhum ibumu."

"Ada korban terbunuh dan kamu menyuruhku berkencan?" Hammuka ingin mengeluarkan seluruh koleksi umpatan miliknya untuk Vanno, tapi pita suaranya terkunci karena sebuah tangan lembut meremas pergelangan tangannya.

"Jasad Ning Himaya, di mana?" Dada Jeya naik turun. Dia terlihat kesusahan mengatur napas. "Oh, maaf, aku refleks." Dia menurunkan tangan, salah tingkah. "Ngg..., di puskesmas ada Cici dan Muna yang menemani Nisma. Aku ke sini karena aku dengar cerita dari Muna, bahwa Gus Hanafi belum ditemukan. Apa sekarang sudah ketemu? Kenapa kamu tadi tidak mengabariku, Ham?"

Bagaimana Hammuka bisa mengabari jika Jeya tidak punya alat komunikasi. Handphone atau radio angin atau apalah. Camkan baik-baik, jika Jeya mulai bertingkah aneh dengan usul berkirim pesan lewat pikiran, dia angkat tangan.

"Wow!" Vanno menggoda tanpa suara, dia mendramatisir dengan sebuah siulan tak berbunyi. Tentu saja, yang bisa melihat hanya Hammuka karena Jeya membelakanginya.

"Ini sudah malam, kamu tadi ke sini diantar siapa?" tanya pria itu, melihat sekeliling. Barangkali ada orang asing yang masuk bersama Jeya. Nyatanya, tidak ada.

Jeya mengedip, "ada perawat pria yang baik hati, yang rumahnya di sekitar mapolres bersedia mengantarkanku."

"Kamu kenal?"

Jeya menggeleng.

"Ceroboh. Bagaimana jika pria itu berniat jahat padamu? Memperkosamu atau membunuhmu, apa kamu tidak khawatir pada keadaanmu sendiri?" Hammuka meletakkan resume BAP saksi pembegalan Himaya. Matanya tajam mengintimidasi.

Jeya memainkan jari-jarinya, lalu menghindari tatapan lawan bicaranya "aku sudah pernah mengalami itu semua. Dan sekarang aku memilih untuk tidak takut."

Mengalami itu semua? Hammuka menahan napas. Maksudnya, pernah diperkosa dan dibunuh? Dia sudah tahu Jeya ditemukan pingsan di tepi jurang, berarti gadis itu..., Hammuka mengusap wajah, pernah diperkosa lalu dibunuh? Dia merasa telapak tangannya berkeringat dingin.

"Ketakutan selalu menjadi penghalang bagi kita untuk melangkah. Bertahun-tahun, aku belajar menghadapi rasa takut. Kamu tahu, setengah dari takut akan hilang pada langkah pertama dan sisanya akan hilang di langkah berikutnya." Jeya tersenyum sederhana. Ketegaran membayang jelas pada gurat-gurat wajahnya yang ayu. "Jadi, menurutku, aku hanya harus melangkah, melakukan sesuatu yang kuyakini benar. Jika kemudian ada masalah karena keputusanku, itulah resikonya."

Tangan Hammuka terangkat, mau memeluk. Di detik-detik terakhir, otaknya kembali. Mengecoh dugaan Jeya, dia menggerak-gerakkan tangan itu di udara. Dan tingkahnya ini memperoleh tatapan curiga.

"Kita bisa bicara sambil makan malam? Aku lapar." Pria itu akhirnya memperbaiki situasi yang canggung.

Vanno cengar-cengir melihat atasan sekaligus temannya kesulitan menghadapi wanita. Pantas saja tidak pernah terlihat berkencan, bicara pada satu gadis saja susah.

***

Vanno: Kamu tadi mau meluk dia, kan?

Hammuka: -

Vanno: Gestur tanganmu terbaca jelas.

Hammuka: -

Vanno: Kenapa nggak jadi meluk?

Hammuka: -

Vanno: Ya udah, aku gantiin meluk, gimana?

Hammuka: Dia muslimah.

Vanno: Terus kenapa?

Hammuka: Wanita yang harus dijaga kehormatannya.

Vanno: Come on, kamu nggak sekolot itu, kan?

Hammuka: Aku sekolot itu.

Vanno: Serius?

Hammuka: -

Vanno: Lempeng sumpah.

Hammuka: -

Vanno: Aspal sumpah.

Hammuka: -

"Eyang, setelah aku baca-"

"Bisa panggil namaku saja, Je?" Hammuka mengucapkan Je dengan logat yang sedikit aneh, Jie, atau semacam itu, menurut telinga Jeya.

"Jam tangan yang ditemukan di TKP itu rolex asli, ya?" Jeya membolak-balik halaman resume.

Hammuka mengangguk. "Kami sudah menanyakan pada orang yang kompeten, jam tangan itu asli."

Jeya merasa ada yang janggal, "kalau ini milik pelaku, buat apa dia membegal? Harga jam tangannya lebih mahal daripada motor yang diambil."

Hammuka tersenyum, analisis gadis itu nyaris sama dengan analisisnya, "apa dugaanmu?"

"Ada 6 luka tusuk. Menurutku, ini bukan karena korban melawan, tapi karena sentimen pribadi, semacam dendam. Lagipula, kalau dia membegal, kenapa harus menculik Gus Hanafi? Memperpanjang perkara, kan?" Pandangan Jeya meredup. Anak kelas 2 SD itu pasti ketakutan sekarang. "Pelaku memakai kendaraan apa?"

"Yamaha Vixion, dua orang pelaku, itu yang dikatakan saksi mata." Hammuka mengambil BAP saksi yang semula dipegang Jeya, "dia menuju ke arah selatan, tapi warga tidak ada yang tahu ada motor jenis itu melintas."

"Apa mungkin arah yang ditunjuk saksi salah? Maksudku, dia memang ke arah selatan, tapi menyelip ke belakang rumah warga untuk menyamarkan jejak atau bagaimana menurutmu?" Jeya menunggu, sementara Hammuka malah bengong. Mata bulat dan bening Jeya saat ingin tahu benar-benar menarik. "Ham?"

"Atau saksi berbohong." Hammuka meminum kopi terakhirnya.

"Kenapa saksi berbohong?"

Hammuka mengendikkan bahu, "sudah larut, kuantar kamu pulang ke pesantren."

"Jangan! Antar aku ke puskesmas saja. Aku ini ketua keamanan pesantren. Tadi ijin untuk menjenguk Nisma, bukan menemuimu. Apa kata santri-santri lain begitu tahu aku pulang bersamamu, tengah malam pula?"

"Menikahkanmu, mungkin," sahut Hammuka asal-asalan.

Jeya mencebik, "Ham, besok mau tidak membawaku menemui saksi?"

Hammuka diam.

"Jika saksi berbohong, aku pasti tahu dengan menyentuh tangannya."

Hammuka pikir, usul Jeya kali ini akan membuktikan secara gamblang tentang kemampuan gadis itu melihat dosa. Bukan sekadar omong kosong. Dengan begitu, dia punya dua keuntungan: pertama, membuktikan omongan Jeya, kedua, mendapatkan pelaku.

"Aku akan membawamu. Puas?" Hammuka memasang wajah datar seperti biasa. Jeya mengangguk optimis sambil menggumamkan terima kasih dengan penuh arti.

***

Nisma membuka mata saat adzan shubuh berkumandang. Dia mau bangun untuk menunaikan shalat, tapi gerakannya berhenti melihat dua orang tidur di kursi. Abangnya tidur di sebelah kiri. Calon kakak iparnya tidur di sebelah kanan. Kepala keduanya terkulai pada ranjang, sementara tangan mereka bersentuhan. Yang satu terkesan lemah. Yang satu memberi kesan melindungi. Nisma terkikik tanpa suara. Dia segera mengambil ponsel Hammuka yang ditaruh di nakas dekat ranjang. Dia mengabadikan momen langka itu, mengambil foto sebanyak-banyaknya.

Jeya mengeliat, menegakkan tubuh lalu mengucek mata.

"Assalamu'alaikum, Mbak." Nisma tersenyum, menyembunyikan ponsel di balik selimutnya.

"Wa'alaikumsalam warahmatullah. Muna dan Cici pulang jam berapa semalam? Aku datang kok kamu sendirian. Padahal aku sudah mewanti-wanti mereka untuk menemanimu." Jeya melihat Hammuka yang masih tidur. Dia menggaruk tengkuk, ngeri membayangkan tidur sekamar dengan pria. Ah, tidak, tidak, ada Nisma juga di sini.

"Sekitar pukul sebelas, Mbak. Shubuh ini, Cici harus hapalan nadham imriti. Jadi, aku menyuruhnya pulang. Lagipula, aku sudah sehat. Agak pusing sedikit, sih." Nisma turun dari ranjang, "aku ambil wudhu dulu, Mbak Jeya, bangunin Abang ya, tolong."

"Aku?" Jeya menunjuk dirinya. Mau protes, tapi Nisma sudah kabur ke kamar mandi. Oke, ini adalah pertama kalinya membangunkan pria. Jeya tidak yakin akan berhasil.

"Hammuka. Hammuka, bangun." Jeya mendekatkan sebuah gelas yang diambil dari meja kemudian memukulinya memakai sendok. Pelan-pelan agar Hammuka tidak kaget. "Ham...."

"Kalau susah, pegang telinganya lalu panggil, Mbak!" Nisma berteriak dari dalam kamar mandi.

Jeya mengangguk. Dia menyentuh daun telinga Hammuka memakai sendok, "Ham..., Ham, bangun."

"Tambahkan abang sayang, Mbak!"

Jeya memasang wajah hah. Tapi, anehnya, intruksi Nisma diikuti.

"Bangun, Bang," dia menyenggolkan sendok pada daun telinga Hammuka lagi, "bangun Abang sayang."

"Hng, sudah shubuh?" suaranya serak, khas orang bangun tidur.

Jeya menelan ludah kuat-kuat. Ditepuk-tepuk dadanya sambil keheranan. Apa dia mengidap gagal jantung?

'Jantung, tenang, tenang.... Dia sudah bangun. Dia tidak terlihat dosanya, tenang ya.'

"Sudah shubuh. Ayo, shalat!" sahut Jeya setelah jantungnya tidak berisik.

Hammuka membuka mata. Ini bukan suara Nisma. Dia menegakkan tubuh lalu menjumpai seorang gadis tersenyum padanya. Jeya memegang sendok makan pada tangan kanannya, gelas di tangan kiri. Persis apa gitu.

"Akhirnya, kamu bangun."

Hammuka mengusap wajah. Dia bangun tidur. Ada Jeya di depannya. Ya Salam, azab macam apa ini?

"Tidak perlu malu, kamu tetap ganteng kok." Jeya membekap mulut. Menyesal sudah keceplosan memuji.

Spontanitasnya membuat Hammuka terhibur. Pria itu mengulum senyum. "As always."

Tuh kan, narsis! Jeya ingin menggetok kepala pria itu memakai sendok sekarang. Biar sikap percaya diri over dosisnya hilang separuh dan otaknya kembali waras sehingga Hammuka sadar bahwa dia hanya seorang pria bangun tidur yang kusut. Tapi tetap kinclong, bisik hatinya yang paling jujur.

Lihat, hatinya saja berkhianat sekarang!

***

Duh, nggak tahu kalian suka atau enggak. Pokoknya, enjoy, ya! 😄😄😄

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro