Bab 17 Rindu yang Mencemburu
Jeya mengetuk-ngetukkan telunjuk pada meja, mengabsen sekeliling. Masih sama seperti sepuluh menit tadi, belum ada tanda-tanda kedatangan Faridh. Sekawanan mendung berarak dari langit utara, terlihat dari balik kaca transparan yang menyekat dirinya dengan lingkungan luar. Hujan sebentar lagi turun, prediksinya sambil lalu. Mengatasi rasa jemu, Jeya mengulurkan tangan pada gelas jus, meneguknya kemudian mendesahkan napas panjang. Sesuai janji, Faridh seharusnya datang 40 menit yang lalu. Tadi, dia sudah mencoba menelpon, tapi panggilannya hanya diangkat operator. Dicek akun-akun media sosial Faridh, tidak ada tanda-tanda online. Selain menunggu, Jeya tak punya pilihan lain, kecuali pergi jika sudah bosan.
Ah, apalah arti 40 menit jika dibandingkan penjelasan Faridh? Jeya mau memanggil pelayan untuk memesan minuman lagi ketika seorang gadis berambut lurus sebahu menghampirnya.
"Jeya, hai, akhirnya kita bertemu lagi." Virda tersenyum lebar, duduk di depannya tanpa disuruh.
"Oh, ha-hai!" balas Jeya rikuh.
Okelah, Faridh tidak datang, tapi bukan Virda juga yang menemuinya. Berbicara dengan anak perempuan dari orang yang mencelakakannya serasa mengobrol dengan tersangka utama. Jeya tidak menurunkan kewaspadaan. Bisa saja, tiba-tiba Kania muncul, merencanakan segudang niat buruk padanya.
Ughhh, hati-hati, bukan paranoid, desahnya gamang.
"Dengan siapa?" Virda kembali bertanya.
"Sendiri. Kamu?"
Virda menyelipkan rambut ke belakang telinga, "aku dan Hammuka berjanji untuk bertemu di sini. Dia mengajakku makan siang bersama."
"Oh." Selain oh, Jeya tidak punya kosakata lain.
"Boleh aku tahu hubunganmu dengan Hammuka? Maksudku, benar kalian tidak pacaran? Jujur..., kalau berkencan dengannya, yang kuingat dirimu. Aku tidak mau menyakiti seseorang atas hubunganku ini." Virda lagi-lagi berhasil membuat Jeya rikuh.
"Tidak." Jeya menyahut kecil. Hammuka sudah mengakhiri hubungan mereka. Dengan siapapun dia berpacaran, bukan urusan Jeya lagi. "Tidak ada yang tersakiti."
YANG ADA HANYA SEORANG GADIS YANG DIKECEWAKAN, setan di kepalanya berteriak keras.
"Syukurlah!" desah Virda lega.
Jeya menaikkan alis sebelah, kemudian berdoa, semoga Virda segera enyah dari hadapannya.
"Oh ya, Je, apa kamu menunggu seseorang?" Virda masih menanyainya. Membuat telinga Jeya keriting seketika.
Daripada menjawab dengan suara jutek, Jeya memilih untuk mengangguk.
"Kamu berkencan?"
Tidak cukupkah pasien saja yang diinterogasi sedetail ini? Hati Jeya memberontak. "Virda, bisakah kamu-"
"Hai, Virda!" suara bass itu menginterupsinya.
Hammuka berdiri tidak jauh dari posisinya. Tapi, mata itu tidak sedang menatap Jeya. Pria itu memfokuskan diri pada gadis cantik dalam balutan dres floral berwarna pink lembut. Siapapun pasti akan lebih memilih menatap Virda ketimbang dirinya. Ini bukan rendah diri, hanya menyadari keadaan. Meski tidak semua laki-laki menomersatukan kecantikan, tapi siapa yang bisa menolak mengagumi keindahan?
Jeya memejamkan mata, berusaha mengendurkan sarafnya yang menegang. Kalau Hammuka tidak berniat menyapa, dia juga tidak akan merendahkan harga diri dengan memulai mengatakan "halo"; "apa kabar" atau rentetan basa-basi lain yang benar-benar basi. Jika Hammuka bisa hidup tanpanya, dia juga harus bisa hidup dengan baik. Tangan Jeya terkepal kuat-kuat. Emosi yang diredam mati-matian, perlahan menanjak.
"Sudah menunggu lama?" Suara Hammuka kembali mengisi pendengaran Jeya. "Maaf, aku telat."
Sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyadari bahwa hubungan mereka memang sudah tidak bersisa. Jeya melirik langit, awan gelap makin menutup langit siang ini. Seperti hatinya, gelap dan dingin. Titik-titik gerimis mulai muncul dan Jeya berharap, semoga gerimis dari matanya tidak pernah menampakkan wujud. Hammuka pasti pongah kalau mengetahui kelemahannya.
"Aku juga barusan datang." Virda menoleh kemudian tersenyum manis. "Bagaimana kalau kita mengajak Jeya. Kayaknya, bersama lebih asyik."
Jeya buru-buru berdiri, "maaf, tapi orang yang kutunggu sudah datang. Permisi."
Hammuka melihat ke arah pintu masuk. Dia segera membuang muka ketika mengetahui bahwa orang yang ditunggu Jeya adalah Faridh. Perasaannya semakin pincang karena mereka duduk di tempat yang hanya berjarak sembilan langkah darinya. Benar-benar kondisi yang menyulut api. Logikanya nyaris hangus karena api itu.
"Mereka terlihat serasi, ya!" puji Virda tulus.
Hammuka menoleh sekali lagi, tidak suka, "kamu pesan saja," dia mengeluarkan dompet, "maaf, aku harus pergi. Aku lupa kalau ada tugas yang belum kukerjakan."
"Kamu barusan datang dan di luar sedang gerimis-" Virda menelan semua protes setelah melihat mata Hammuka yang sendu, "-hati-hati, Kak."
***
Vanno mengernyit karena melihat Hammuka seperti orang linglung. Sejak putus dengan Jeya, pria itu memang sudah gila, ralatnya lalu memutuskan untuk meninju lengan sahabatnya.
"Ada apa mondar-mandir tidak jelas begini?" dia menata tumpukan map di mejanya.
Hammuka masih berjalan dari depan mejanya ke depan meja Vanno kemudian balik lagi. Begitu seterusnya. Kelebihan energi memang tidak bagus. Seseorang harus banyak bergerak untuk membakar kalori. Tapi kalau sudah berlebihan seperti ini, pasti terjadi sesuatu yang merusak mood Hammuka.
"Hei, aku tanya," Vanno melempar map merah ke meja Hammuka.
"Apakah wajar jika kamu merasa ingin meninju seseorang?" pertanyaan disahut dengan pertanyaan pula.
Dan, kali ini, Vanno mengelus kening setelah bisa mencernanya. "Aku seperti itu ketika marah. Apa yang membuatmu marah?"
"Aku dan dia memang sudah tidak ada hubungan. Tapi, tidak bisakah dia menghargaiku? Kami baru dua bulan tidak bersama. Perempuan memang susah dimengerti maunya apa. Katanya, punya perasaan yang halus, tapi menjaga etika saja tidak bisa," omel Hammuka mirip orang sinting.
Vanno mencibir, "Jeya pacaran dengan siapa?"
"Gus Faridh."
"Wow! Selera Jeya makin baik! Ah, aku harus minta traktir dia untuk kabar bagus ini."
Respons positif Vanno mengundang iblis dalam darah Hammuka bergolak, "makin baik? Gus Faridh itu duda beranak dua."
Vanno memasang wajah hah-nya yang songong, "perjaka memang mempesona, tapi duda lebih menggoda."
Hammuka membuka bibir, mendesahkan udara yang penuh beban. "Kalau tidak bisa memberi masukan, jangan mengacaukan harga diriku."
Vanno mengelus lekuk bibir, yang sebenarnya gerakan itu dilakukan untuk menyembunyikan senyum gelinya melihat kelakuan Hammuka yang hampir sama dengan kelakuan remaja patah hati. Hammuka membuatnya menyadari satu hal: pria rumit itu masih menyimpan perasaan untuk Jeya.
"Masukan? Oh ya, segeralah menikah, lalu jadi duda. Nah, saat itu kamu pasti akan menyadari daya tarik seorang single parent," nasehat Vanno tidak bagus diikuti. "Sudahlah, bukankah kamu tadi berkencan dengan Virda? Selama sebulan ini kamu mati-matian mengejar dokter spesialis yang sedang koass itu. Jangan campuri kehidupan Jeya lagi kalau kamu tidak bisa ada untuknya atau diandalkannya. Kamu dengan hidupmu dan Jeya dengan hidupnya. Kasus ditutup."
Hammuka menunduk, melihat buku-buku jarinya memutih karena terlalu kuat mengepal. Apa yang dikatakan Vanno barusan ada benarnya. Lalu, tiba-tiba ada yang menyumbat aliran darahnya. Dia tidak tahu itu apa, hanya saja, jantungnya terasa berat memompa darah.
Rasa sakit ini lagi....
Nyeri yang sama, yang selalu datang ketika dia memikirkan Jeya menikah dengan pria lain.
***
"Sepuluh tahun lalu, ayahmu menemuiku di rumah sakit. Saat itu kamu sedang tidak sadarkan diri. Beliau memintaku untuk membawamu ke pesantren. Almarhumah Inayah setuju. dia mempercayai penjelasan ayahmu, bahwa jika masih di Surabaya, kamu tidak aman. Kami benar-benar tidak tahu, kalau selepas itu, beliau ditangkap atas tuduhan pembunuhan polisi." Faridh menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Jeya. Menurutnya, gadis itu berhak tahu kebenaran tentang ayahnya. "Yang perlu kamu sadari adalah fakta bahwa ayahmu tidak mengusirmu, Jeya. Yang dilakukan semata-mata adalah untuk melindungimu."
"Dan itukah yang dilakukan semua ayah di dunia ini?"
"Mungkin, itu keputusan yang tidak bijak, tapi aku mengerti. Kadang seseorang dihadapkan pada pilihan yang tidak disukainya dan dia harus memilih itu agar orang yang dicintai tetap aman." Faridh membasahi bibirnya, "kamu sekarang tinggal di mana?"
"Aku ngekos di dekat kantor polres kota Blitar agar bisa lebih mudah menemui ayah."
"Kapan persidangannya?"
Jeya mengedip, "dua hari lagi."
Kepala Faridh mengangguk, "Hammuka membantumu, kan?"
"Ya, dia sangat professional." Jeya tersenyum.
Faridh salah mengartikan senyuman Jeya. Dia berpikir, Jeya masih berhubungan dengan anggota polres Blitar itu. Pria matang itu tidak tahu bahwa senyuman tadi adalah cara Jeya menertawakan masalah. Hammuka memang ada di dekatnya, sering bertemu, tapi mereka sudah menjelma jadi orang asing. Selain pekerjaan, tidak ada alasan lain.
"Jangan lama-lama menunda pernikahan. Kalau sudah cocok, segerakan," nasehat Faridh seperti biasa. Di bibirnya tersungging senyum kecil yang menggoda.
Jeya mengerutkan kening, lalu tersenyum lagi, "aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Hammuka, Gus."
Faridh memperbaiki duduknya, tertarik, "oh, maaf."
"Sebelumnya, memang, iya. Tapi, sekarang tidak. Oh ya, bagaimana kabar Gus Hanafi?" Jeya berusaha mengalihkan pembicaraan. Dan, caranya ternyata sukses. Dengan satu pancingan, mengalirlah cerita tentang Hanafi secara detail dan hal-hal yang sudah dilakukan Faridh. Jeya cukup lega, dengan begini, mereka tidak mengobrolkan Hammuka lagi.
***
Jeya baru saja keluar dari kafe ketika ditabrak seseorang yang berjalan buru-buru menuju parkir. Jeya yang jatuh di paving block segera bangkit, menepuk-nepuk lututnya yang berdebu.
"Maaf, aku tidak sengaja. Maafkan aku," jeda sejenak. Jeya mendongak ketika ada sebuah tangan menyentuh lengannya. Untung saja terhalang kain, pikir Jeya gemas. "Jeya? Kamu Jeya, kan?"
Jeya pernah melihat wajah ini, tapi siapa dan di mana, masih buram.
"Aku Dahlia, teman SMAmu! Kita pernah mengobrol saat eskul Marching Band!"
Jeya menatap antusias, "Dahlia? Mayoret itu, kan?"
Dahlia mengangguk, "seperti katamu, aku memiliki bakat seni. Sekarang aku menjadi penyanyi di ibukota. Kamu-" gadis cantik itu terhuyung-huyung. Tangan yang semula memegang Jeya beralih ke pelipis.
"Kamu baik-baik saja, Dahlia? Hidungmu berdarah. Ya Allah, apa yang terjadi? Kamu mimisan? Tundukkan kepalamu," Jeya histeris, memapah Dahlia kemudian menyobek bagian bawah tunik panjangnya, "ini, pakai ini untuk menahan mimisanmu. Aku akan antar kamu ke rumah sakit."
Mereka baru berjalan dua langkah, Dahlia sudah lunglai. Jeya tidak bisa menahan lagi. Dia terduduk sambil memegangi kepala teman SMAnya.
Di saat genting seperti itu, Jeya spontan menghubungi nomer Hammuka. Sekalipun pria itu menghindar, dia tidak akan bersikap masa bodoh jika tahu ada nyawa yang terancam.
"Hammuka! Aku ada di parkir kafe tempat kita bertemu tadi. Tolong ke sini, ada seseorang yang terluka."
"Terluka seperti apa maksudmu?"
"Hidungnya mengeluarkan darah dan sekarang dia tidak sadarkan diri." Jeya berhenti untuk mengecek sesuatu, "napasnya tidak ada lagi."
"Keracunan. Apapun yang terjadi, jangan ke mana-mana. Aku akan segera tiba ke sana."
***
Beberapa tim pengolah TKP langsung bekerja di lapangan. Jeya berdiri di salah satu sudut, tepat di pinggir garis polisi. Di sisinya ada Hammuka. Pria itu mengawasi dan mencoba membuka obrolan dengan Jeya, tapi bingung memulai percakapan itu dari mana.
Jeya tahu, Hammuka bukan tipe pria yang pandai beramah-tamah. Dia juga tahu, untuk kali ini, dia harus mengawali obrolan. Gengsi tidak akan menyelesaikan masalah, pikirnya. Gadis itu menghela napas sekali sebelum angkat bicara.
"Aku tidak sengaja bertemu dia. Dahlia buru-buru keluar kafe lalu menabrakku. Kami sempat mengobrol sebentar, lalu aku melihat darah keluar dari hidung. Saat aku menghubungimu, kupikir dia pingsan. Tapi, napasnya tidak ada lagi. Aku histeris. Sekitar lima detik kemudian, matanya mengeluarkan darah. Beberapa orang membantuku. Mereka berinisiatif membawa Dahlia ke rumah sakit tepat waktu kamu datang."
"Apa hubunganmu dengan Dahlia?"
"Dia adalah teman SMAku, kakak kelasku, tepatnya. Kami bertemu di eskul marching band. Waktu itu dia punya masalah dan aku mencoba menyemangatinya, sebisaku. Sejak itu aku dan dia berteman," aku Jeya, memandangi paving block yang basah. Juga Dahlia yang terkapar di sana.
"Ada info baru." Vanno berjalan ke arah mereka, "Dahlia pulang ke Blitar bertemu keluarga. Kemarin single pertamanya dirilis dan dia ingin menghabiskan waktu berkualitas bersama ibunya. Satu-satunya orang tuanya yang masih hidup. Dia ke sini ditemani sopirnya untuk membeli kopi favorit ibunya, begitu cerita si sopir."
"Kamu sudah mengecek CCTV kafe? Adakah seseorang yang ditemui di sini lalu dia mengonsumsi sesuatu? Apa sopirnya tahu apa saja yang dimakan dan diminum Dahlia selama di perjalanan?" Hammuka mencoba mencari sesuatu yang mencurigakan, "kapan perkiraan racun itu masuk dalam tubuhnya?"
"Oh-as-ta-ga!" Vanno justru memandangi seorang wanita yang datang dengan mencengkram pisau.
"Dahlia! Apa dia benar-benar meninggal? Dahliaaa!"
Untung seorang polisi di dekatnya sigap mengamankan. Dia membawa wanita itu masuk dalam kafe.
"Sepertinya, kita menemukan sesuatu yang baru." Hammuka memandang dengan penuh gairah. Dia segera masuk dalam kafe, meninggalkan Vanno dan Jeya.
Vanno menatap Jeya, mengangkat bahu. Jeya balas menggeleng lalu mengulum senyum sendu. Dari ekspresinya yang mendung, pria itu tahu bahwa hubungan Hammuka dengan Jeya belum ada kemajuan. Sama sekali.
***
"Namaku Nayla, aku adalah pemilik agensi artis tempat Dahlia bekerja. Aku buru-buru menyusulnya setelah mendapat video ancaman dua belas jam lalu." Nayla menunduk sedih. "Orang itu bilang akan membunuh Dahlia jika aku tidak mencungkil mataku."
Hammuka mencondongkan tubuh, "dari mana kamu mendapat video itu?"
"Email. Ada seseorang mengirimnya di emailku. Kupikir, itu hanya lelucon, tapi..., aku...." Dia menenggelamkan kepalanya di meja, terisak-isak.
"Oke, bisa kamu buka emailmu agar kami bisa mengecek kebenaran ceritamu?" tawar Hammuka, tak bisa ditolak.
Nayla setuju. Dia mengambil ponselnya dalam tas. Membuka aplikasi email lalu menyodorkannya pada Hammuka. Pria itu segera membuat capture secukupnya lalu mengirim bukti-bukti itu pada email milik divisi reserse dan kriminal polresta Blitar.
***
Hammuka melihat Jeya yang masih berdiri di tempat yang tadi. Ada rasa iba saat memandang, tapi rasa yang mendominasi adalah rindu. Dia ingin bisa seperti dulu lagi. Bercanda, saling merayu atau apa saja asal berdua. Sayang, semua itu hanya mengendap dalam kepalanya. Terlalu banyak hal yang membuatnya tidak bisa bersama Jeya lagi. Dan, dia sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Pantang baginya menjilat ludah sendiri.
Jeya balas menatap Hammuka. Untuk beberapa detik, tatapan mereka bertemu. Dia pikir pria itu akan menghampirnya. Dan, dugaannya hanya berisi omong kosong. Hammuka menuju motor lalu melaju, membelah jalan protokol.
Ada udara yang berhembus berat dari rongga dadanya. Jeya tidak pernah menyangka akan patah hati sedalam ini. Dia sampai kesulitan bagaimana mengatasi rasa tak nyaman ketika diabaikan Hammuka. Apa dia dan perasaan ini salah? Jika memang rasa cintanya tidak benar, bagaimana memperbaikinya? Bagaimana mengusir perasaan yang mendekam kuat dalam dirinya? Dia ingin seperti dulu, tidak pernah bersedih karena seorang pria.
***
Hammuka menatap plang sekolah menengah pertama di daerah Panggung Rejo. Tidak menyangka jika pemilik email yang mengirim video ancaman adalah siswa kelas Sembilan di SMP ini. Hammuka turun dari motor, diikuti Vanno. Mereka bertemu satpam sekolah, menjelaskan maksud kedatangan. Satpam itu mengantar mereka ke ruang tamu. Tak lama kemudian, muncul seorang guru berpakaian batik dengan lambang Aparatur Sipil Negara melekat pada bagian dadanya. Hammuka menjelaskan pelan-pelan tujuannya. Setelah itu, guru itu masuk ke ruang administrasi dan meminta tenaga kependidikan memanggil Jordan Putra.
Jordan masuk ke ruang tamu dengan sedikit takut. Ada dua polisi menunggunya. Untung gurunya menentramkan. Bahwa polisi-polisi itu hanya ingin bertanya.
"Kamu yang bernama Jordan Putra?" Vanno tersenyum ramah. Sementara, Hammuka hanya memasang wajah datar, meneliti ekpresi-ekspresi remaja itu. Tidak ada yang mencurigakan. Anak laki-laki itu terlihat polos dan lugu.
Jordan mengangguk.
"Apa akun gmail jordan211 adalah milikmu?" Vanno menepuk bahu remaja laki-laki itu.
"Iya, aku membuatnya untuk tugas mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komputer," kata Jordan, mengedip sekali.
"Apa kemarin kamu menggunakan akun itu kemudian mengirim video ke akun seseorang?" Vanno hati-hati bertanya. Dia ingin menghindari sikap menuduh, tapi sulit.
Jordan menggeleng. "Aku membuat akun itu sekitar tiga bulan lalu, Pak. Untuk tugas TIK. Setelah itu, aku tidak membukanya lagi. Ponselku tidak secanggih teman-temanku. Hanya bisa digunakan untuk menelpon ibu yang bekerja di Malaysia. Sehari-hari, sepulang sekolah sampai Isya, aku bekerja di toko Mbah Mun lalu pulang dan belajar. Aku tidak ada waktu untuk main di warnet."
Vanno mengangguk lalu meminta Jordan kembali ke kelas. Sang guru berdehem sekali, mengatasi rasa canggung.
"Jordan hidup dengan neneknya yang sudah renta. Dia harus bekerja untuk makan sehari-hari dan ibunya bekerja di luar negri tidak bisa kirim uang setiap bulan. Yah, untuk ukuran anak SMP, dia sangat tegar dan punya semangat belajar yang tinggi," jelas guru tersebut.
Vanno menatap Hammuka dengan mata letih. Kasus ini menemukan jalan buntu. Mereka pun pamit, mencoba mencari titik terang dari sudut lain.
***
"Pak," Jordan muncul tiba-tiba, menghentikan niat Hammuka menghidupkan mesin. "Akun emailku itu mengirim video apa?"
Hammuka diam, menimang sesuatu.
"Apa video yang berisi ancaman pembunuhan?"
"Ya, kurang lebih begitu."
Jordan menggigit bibir bawah, "Mas Wawan kemarin memakai akunku untuk mengirim video ancaman itu. Katanya, video itu harus dikirim ke pemilik agensi artis. Mas Wawan ingin jadi aktor, jadi saat wanita itu datang dan mengiming-iminginya, dia langsung belajar akting jadi tokoh antagonis. Dia tidak punya email, jadi meminjam akunku lalu mengirim di warnet. Oh ya, aku yang menyuting videonya."
"Mas Wawan siapa?"
"Anak bungsu Mbah Mun."
Cerita Jordan barusan membuat Vanno meralat kesimpulannya tadi. Kasus ini menemukan titik terang.
"Pemilik agensi artis?" Hammuka merenung sebentar, "kamu cari tahu tentang Wawan, aku akan mencari Nayla."
***
Suasana memasak menjelang tahlilan malam nanti lumayan ramai oleh tetangga. Salah satu ciri masyarakat yang baik adalah mau membantu tetangga ketika kena musibah. Setidaknya, itulah yang Hammuka peroleh setibanya di rumah Dahlia.
Pria itu mengetuk pintu. Seorang wanita berambut putih sebagian menyilakannya masuk.
"Saya Hammuka. Dari Polresta Blitar. Boleh bertanya sesuatu pada Ibu?"
Wanita itu mengangguk.
"Nayla masih di sini?"
"Ya, dia tadi masuk ke kamar tamu dengan seorang gadis," jawabnya dengan suara parau. "kamu polisi kemarin malam, kan? Apa pembunuh putriku sudah ditemukan?"
"Kami akan melakukan yang terbaik untuk menangkapnya." Hammuka diam karena ponselnya bergetar. Diangkatnya panggilan itu.
"Aku sudah bertemu Wawan. Dia mengirim video itu pada Nayla agar diterima sebagai artis. Video buatannya sama dengan video yang ditunjukkan Nayla kemarin."
"Gotcha!" Hammuka mematikan panggilan, "Bu, boleh saya masuk kamarnya? Dan, tolong..., ke dapur saja dulu untuk melihat persiapan tahlilan nanti malam."
***
Pintu kamar tamu yang ditempati Nayla terbuka. Hammuka mengarahkan pistolnya ke depan. Dan, dia kaget karena melihat Jeya berada di bawah Nayla. Ada sebuah jarum suntik tergeletak di lantai, di dekat Jeya.
"Nayla Daniara, kamu ditangkap atas tuduhan pembunuhan Dahlia."
Nayla menyeringai, mengangkat dua tangan ke udara. Pria itu mengambil borgol kemudian membelenggu tangan wanita kaya itu.
Jeya mencoba berdiri, tapi kepalanya berkunang-kunang. Tubuhnya kembali roboh dan kesadarannya hilang. Hammuka menuntun Nayla segera menoleh. Jantungnya berdetak cepat melihat Jeya pingsan.
"Apa yang kamu lakukan padanya?" Hammuka memuntir tangan Nayla.
"Aw..., aw...!"
"Aku bisa menyakitimu lebih dari ini, jika kamu tidak menjawabku," ancam Hammuka tidak main-main.
"Aku menyuntikkan racun karena dia tahu, akulah yang membunuh Dahlia. Kupikir, dengan membunuhnya bisa membuatku aman."
"Oh ya?" Pria itu memuntir ke atas, membuat Nayla menjerit.
"Jika dalam waktu 10 jam, dia tidak mendapat penawar, nasibnya tidak jauh beda dengan Dahlia."
"Mana penawarnya?" Hammuka menekan borgolnya kuat-kuat.
Nayla meringis kesakitan, "aku tidak punya."
Hammuka memelintir telunjuk Nayla. Wanita itu berteriak kesakitan.
"Meski kamu membunuhku, jawabanku tetap. Aku tidak memiliki penawarnya."
TBC
Hai, apa kabar? Ini adalah bab terlama. Seperti bab kemarin, benar-benar mukjizat bisa menulis lagi. Aku baru sekali ini punya masalah yang begini rupa. Sampai bingung mengatasi galau.
Oke, selamat berkomentar!!! 😁😁😁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro