Bab 14 Gelombang
Jeya memandangi telapak tangannya dengan banyak pikiran. Dia sedang membuat kesimpulan dari teori yang diujicobakan barusan. Teori Hammuka, tentu saja, bukan Matematika kok. Asal tahu saja, dulu sewaktu menempuh pendidikan formal, nilai rapornya memang selalu bagus, kecuali jejeran nilai eksak. Tidak perlu diperjelas lagi, apalah daya angka-angka itu, jika pada mata pelajaran Matematika, Fisika, dan Kimia khusus pokok bahasan stoikiometri, nilai-nilai itu bergelung membentuk sekawanan angka yang bulukan. Wali kelasnya sampai menulis deskripsi kemajuan belajar dalam bahasa yang rumit. Lalu, pada semester berikutnya, bisa dipastikan dengan mudah, bahwa dia harus mengikuti bimbingan belajar, atas perintah ayahnya. Ini perintah, bukan usul atau kritik. Sudah pasti hukumnya fardu 'ain. Sayang, usaha tersebut berbanding terbalik dengan hasil. Pada pembagian rapor berikutnya, nilai tiga mata pelajaran itu tetap jeblok. Dan, rangking pertama, diraih oleh Virda. Dia harus puas ada di peringkat ke dua.
"Sedang apa kamu?" Hammuka yang tadi sudah masuk dalam kamar rawat Hans, kembali menghampiri Jeya yang masih ada di teras rumah sakit.
Gadis itu memandangi tangannya sendiri. Sesekali bergidik kemudian menatapnya. Satu pandangan singkat yang membuat Hammuka sangat tertarik. Sebab, ada rahasia yang disembunyikan mata itu.
"Ada apa?" tegasnya, menuntut penjelasan.
Jeya mengangkat telunjuk, "maaf, sebentar saja." Katanya, menekan telunjuk itu pada lengan bawah Hammuka. Dia meringis, "aku punya teori baru!"
Hammuka tidak mengerti apa yang dimaksud teori baru. Ledakan pikiran Jeya memang sulit dimengerti. Bukan sekali dua kali. Kadang, dia seperti gadis tidak tahu malu. Kadang sensitif seperti pantat bayi. Kadang penuh percaya diri. Juga kadang minder seminder-mindernya.
"Aku tadi bisa melihat sebagian dosa Benny, padahal ada kamu. Ini aneh, menurutku. Lalu, aku mencari tahu tentang kecurigaanku. Sewaktu aku menyentuhmu barusan, aku benar-benar tidak bisa melihat kejahatan yang sudah kamu lakukan. Tapi, tadi, waktu kamu pergi, aku mencoba memegang tangan seseorang. Saat itu kamu berada sejauh 25 langkah dariku. Aku bisa melihat dosa wanita tadi. Aku mencoba mengejarmu untuk menceritakan keganjilan ini. Setelah kamu masuk dalam rumah sakit dan pintu kaca itu tertutup, aku menabrak seorang pria, dan aku bisa melihat dosanya. Padahal, jarak kita saat itu kurang dari delapan langkah." Jeya mencoba menjabarkan apa yang barusan dialami.
Hammuka mencerna baik-baik, "maksudmu, kamu bisa melihat dosa lagi, jika kita berjarak 25 langkah? Dan meskipun jarak kita dekat, jika terhalang kaca, kamu bisa melihat dosa juga?"
Jeya mengangguk berlebihan. "Aku tidak begitu paham pada Fisika. Tapi, jika dugaanku benar, maka kamu seperti gelombang."
"Gelombang?" Hammuka mengingat-ingat pengertian gelombang pada materi Fisika. Ironis, dia sudah melupakan materi itu. Kepalanya sudah penuh oleh kitab undang-undang hukum pidana. Say good bye, Gelombang!
"Pernah berdiri di depan api unggun? Kamu akan merasa semakin panas jika semakin dekat dengan titik api itu. Namun, ketika kamu memutuskan untuk bergerak menjauh, radiasi panasnya akan berkurang lalu hilang. Meskipun di dekat api itu, jika ada penghalang yang menyekat tubuhmu, maka kamu tidak akan kepanasan juga. Seperti itulah kamu, Hammuka." Jeya berteriak senang, "kamu tahu tidak apa maksud ini semua?"
"Ya?"
"Itu artinya, takdir tidak mengijinkanmu jauh dariku. Dan, tidak ada satupun yang boleh memblokir kita." Jeya tertawa karena merasa geli sudah menggoda Hammuka.
"Ya Ampun, aku baru saja dirayu," sahutnya ringan dan agak dilebih-lebihkan.
Bukan malu atau salah tingkah, Jeya malah melipat tangan di dada, "jarang-jarang Nezaiya Lawaqi' merayu seorang pria. Ayo, cepat berterima kasih!"
Hammuka membalasnya dengan sebuah sentilan di pelipis.
"Aku anggap itu tadi sebagai ucapan, aku sangat mencintaimu, Jeya, hahaa." Setelah berkata begitu, Jeya kabur, meninggalkan Hammuka yang keheranan.
Kok hidup ya makhluk absurd seperti itu? Dan lebih heran lagi, gombalan receh macam itu bisa membuatnya cengengesan bahagia.
***
Jeya memukul-mukul kepalanya sendiri. Tidak percaya sudah bertindak agresif (baca: merayu mati-matian Hammuka). Sepuluh tahun ini, tidak ada satu pun pria yang dekat dengannya. Gus Faridh, hanya melihat, beruluk salam, sudah. Pernah ngobrol, tapi tidak sering dan tidak muncul sesuatu yang membakar atau meneduhkan seperti yang sudah dilakukan Hammuka padanya. Selanjutnya, Abah Anom, bahkan Jeya tidak berani melihat saat berpapasan di dapur rumah beliau. Tunggu, apa Hammuka mempunyai ilmu sihir atau semacam ilmu hitam yang digunakan untuk memikat para wanita?
Masih jelas dalam ingatannya, bagaimana cara Hammuka tersenyum tadi, dan sekali lagi, senyuman itu, kedipan mata pria itu, membenturkan neuron-neuronnya. Membuat navigasi sarafnya kacau balau.
Jeya melihat kursi tunggu yang tadi dipakai Damar. Tidak ada. Mungkin dia pulang setelah melihat Hammuka ada di sini. Dia pun jalan terus menuju kamar ayahnya. Dari kaca pintu yang seukuran 4cmx10 cm, Jeya melihat Nisma. Senyumnya mengembang.
Kira-kira dengan siapa Nisma ke sini?
"Nismaaa...," suaranya luruh bersamaan pintu yang terbuka.
Tangan Nisma berlumuran darah dan di lambung ayahnya sudah tertancap pisau.
"Apa yang kamu lakukan?" Jeya berlari, mendorong Nisma hingga gadis remaja itu membentur dinding.
Nisma merasa bahunya ngilu, mengelusnya kemudian menoleh sekeliling, "Mbak Jeya, aku kenapa bisa ada di sini?"
Jeya menekan tombol merah yang menempel pada dinding. "Kalau terjadi apa-apa pada ayahku, aku akan membuat perhitungan denganmu!"
Nisma tidak mengerti kenapa Jeya nampak memusuhinya. Sampai akhirnya, bau amis darah tercium, dan Hammuka muncul. Tangisnya pecah. Tak lama kemudian, seorang dokter ditemani perawat muncul. Mereka bertiga diminta keluar dari ruangan agar tidak mengganggu proses pertolongan.
***
Hammuka masih duduk memeluk Nisma, sementara Jeya berdiri mondar-mandir. Sesekali dia mengintip dari pintu yang terdapat kaca transparan. Belum ada tanda-tanda ayahnya sadar. Jeya menempelkan bahunya pada dinding.
"Bang, kenapa tanganku berdarah? Kenapa Mbak jeya mendorong dan berteriak padaku? Apa salahku?" Nisma menangis di dada kakaknya.
"Tidak apa-apa. Abang antar ke pesantren lagi, ya?"
"Aku tadi ke sini, mengantar Cici yang sakit. Dia dibawa ke rumah sakit karena mau operasi usus buntu. Abang, apa yang terjadi padaku? Apa aku-"
"Sshhh," Hammuka mengelus punggung Nisma dengan sayang, "tidak-"
"Aku melihatnya menghunjamkan pisau di perut ayah, Ham. Dan, kamu masih membelanya?" Tidak ada mata yang bersahabat lagi. Bahkan Hammuka seolah tidak kenal pada gadis yang baru saja membentaknya.
"Ya, dia keluargaku," balas Hammuka lemah.
"Oh ya, omong kosong pada kebenaran! Keluarga tetap segalanya bagimu, bagi kalian! Sampai kalian kehilangan empati dan lupa bahwa penjahat harus mendapatkan hukuman yang setimpal! Kalian biarkan korban membusuk oleh harapan. Padahal, dalam pidato-pidato resmi, kalian sering membeokan jorgan untuk menegakkan keadilan." Jeya berhenti untuk mengambil napas. Ternyata, marah bisa menyita oksigen dari paru-paru. "Kupikir, kamu berbeda dari mereka. Padahal, jelas, kamu adalah bagian dari mereka. Dan, sampai kapanpun..., kamu adalah mereka, segolongan orang yang tidak kupercaya."
Hammuka memejamkan mata, mencoba mengabaikan Jeya. Ini tempat umum, tidak baik meladeni amarah dengan amarah pula.
"Abang...." Nisma memeluk erat kakak laki-lakinya, ketakutan karena melihat Jeya murka. "Mbak Jeya marah padaku, ya?"
"Mbak Jeya sedang tidak bagus moodnya. Ayo, Abang antar pulang."
Nisma menggeleng. Dia melepas pelukannya. "Apa yang terjadi padaku, Bang? Aku melihat seseorang menusuk perut bapak tadi. Sangat jelas."
"Orang itu kamu, Nisma. Kamu."
Hammuka menutup daun telinga Nisma. "Jika tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang bagus, sebaiknya diam. Selama ini kamu belajar apa di pesantren, jika menjaga adab saja tidak bisa?"
Jeya menipiskan bibir, "selama ini kamu belajar apa di kepolisian, jika berbuat adil saja tidak bisa? Adikmu mau membunuh ayahku."
"Ayo, kita pergi, Nis. Sudah cukup larut. Besok sebelum shubuh, kamu harus bangun." Hammuka menuntun Nisma agar bangkit dan menjauh dari Jeya. Kalau dia tetap ada di situ, perang besar akan terjadi. Yang tersakiti adalah orang-orang yang dia sayangi, barangkali juga dirinya. Jadi, mendiamkan Jeya adalah pilihan terbaik. Biarkan gadis itu sendiri. Mungkin, kesendirian bisa membuatnya lebih tenang.
***
Hammuka melihat wajah Nisma yang tidur tenang di ranjang. pandangannya beralih pada dinding sebelah utara. Jam yang terpasang di sana menunjukkan pukul 02.31. Sudah dini hari begini, matanya belum bisa dipejamkan. Akhirnya, dia keluar rumah, mengetuk pintu rumah Vanno.
Vanno muncul dengan tampang kusut.
"Aku harus ke rumah sakit. Tolong, jaga Nisma, Van. Kamu tidur di rumahku saja."
Vanno tidak ingin berdebat. Dia kasihan melihat wajah Hammuka yang mendung, "ada masalah, ya?"
Hammuka mengangguk.
"Selesaikan masalahmu, kalau begitu. Aku akan menjaga Nisma selagi kamu pergi."
Hammuka percaya bahwa itulah gunanya memiliki sahabat. Meski dirinya berbeda dengan Vanno, persahabatan itu tidak dibentuk atas dasar perbedaan. Saling percaya, bisa diandalkan dan bisa memahami melebihi siapa saja. Rasanya, begitulah definisi sahabat baginya. Tak peduli apa agamamu, sukumu, warna kulitmu, persahabatan terlalu norak kalau dipilah-pilah untuk hal semacam itu. Sebab, kasih sayang selalu mencakup apa saja dalam peradaban serta menjadi alasan yang paling primitif bagi manusia.
***
Hammuka melihat Jeya tertidur di kursi. Pada bagian kelopak mata bawah ada lengkungan yang berwarna lebih gelap. Pasti lelah dan berpikir tidak ada yang setia menemani di saat membutuhkan orang lain. Dilepas jaket kulitnya kemudian disampirkan dari bahu ke bahu Jeya. Setelah itu, dia memilih menunggu di luar. Di koridor ada beberapa deret kursi yang bisa digunakan untuk mengaso sejenak.
Mendengar pintu ditutup, Jeya mengerjap-ngerjapkan mata, mengucek kelopaknya kemudian berdiri. Ada sesuatu yang jatuh. Di lantai, jaket kulit itu teronggok. Dia memungutnya.
"Hammuka," dia bisa membaui aroma cologne bercampur keringat milik pria itu. Jeya menggigit bibir, merasa bodoh karena ingat tadi dia sudah membentak Hammuka dan menuding pria itu sebagai penjahat nomer wahid sedunia. Meski sudah diperlakukan buruk, pria itu masih peduli padanya. Sampai menyusulnya lagi. Hati Hammuka terbuat dari apa sih?
Kaki Jeya mengambil kendali atas keputusannya. Barangkali, Hammuka belum jauh. Dia bisa mengejar. Sekadar meminta maaf atas sikapnya yang kelewatan.
Dia membuka pintu, celingukan dan jantungnya melorot ke lambung karena bertemu pandang dengan pria yang mengisi pikirannya. Dia berdeham lalu duduk di sebelah Hammuka.
Hening.
Lama sekali.
"Maaf," akhirnya Jeya yang membuka percakapan. "Aku tadi..., maafkan aku, Ham." Dia mau memberi alasan, tapi karena merasa bersalah, alasan tidak diperlukan. Yang dibutuhkan hanya satu, meminta maaf.
"Sepuluh tahun yang lalu, Nisma sangat terpukul atas kematian Mama. Aku saat itu masih ikut pendidikan polisi, jadi tidak diijinkan pulang semau sendiri. Nisma tinggal bersama Papa dan istri barunya. Setahun setelahnya, kepribadian Nisma sangat aneh. Kami tinggal di Surabaya dan kebetulan aku juga ditugaskan di kota itu. Jadi, bisa memantaunya sepulang bekerja. Sampai..., pada hari itu..., aku tahu, setahun kutinggal, Nisma tidak mendapat kasih sayang yang cukup. Psikologisnya terguncang dan dia tertekan karena tinggal bersama ibu tiri. Kamu tentu sering mendengar dongeng tentang ibu tiri yang jahat. Dan, itulah yang dialaminya." Hammuka menyandarkan bahunya yang letih lalu menatap langit-langit koridor yang bersih. Di beberapa titik, lampu menyala, memberi penerangan sekitar.
"Lambat laun, emosinya tidak bisa dikendalikan dan memuncak ketika tahu bahwa kelinci kesayangannya dimasak untuk adik tiri kami. Nisma mencekik Jilian. Dan, kalau aku datang terlambat, Jilian bisa mati. Setelah itu, aku mencoba mengajak Nisma ke psikiater." Hammuka menyerahkan sebuah kertas yang berisi hasil CT scan otak Nisma, "Nisma dinyatakan mengidap kelainan manik depresif." Hammuka memandangi Jeya, lama dan dalam. Mata itu sangat teduh untuk Jeya, juga bening seperti telaga. "Karena itu, aku menghabiskan waktu untuknya, memantaunya. Ketika aku dimutasi ke Blitar, aku mengajaknya serta. Tapi, karena kesibukan dan takut dia terisolir dari pergaulan, aku menempatkannya di pesantren. Besar harapanku agar Nisma tubuh dengan baik di sana, tidak ada yang memprovokasi emosinya. Selama setahun, semua berjalan mudah, sampai hari ini..., dia mencoba membunuh ayahmu. Atas nama adikku, aku minta maaf padamu, Jei."
Jeya melipat surat itu lagi, "aku tidak tahu kalau masalahmu juga sama besar dengan masalahku. Seharusnya, aku tadi tidak marah agar bisa memudahkanmu."
"Responsmu itu manusiawi. Jika ada yang mencelakakan Nisma, aku pasti marah juga." Hammuka mencoba menenangkan.
"Aku tidak bisa berjanji banyak, Ham. Namun, aku akan berusaha untuk bersikap dewasa dan tidak meledak-ledak."
Hammuka tersenyum, "ah, kamu mau membuatku semakin jatuh cinta, ya?"
Jeya menggeleng, "jelaskan padaku tentang manik depresif."
"Gangguan perasaan yang melibatkan dua perasaan yang bertolakbelakang. Pada kelainan yang parah, dia berhalusinasi, seolah melihat orang lain melakukan sesuatu padahal yang melakukan itu adalah dirinya sendiri. Tenggang waktunya sangat cepat. Seperti tadi. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan ketakutan melihat darah. Biasanya, Nisma kambuh jika ada kejadian atau sesuatu yang memprovokasi emosinya."
"Kejadian atau sesuatu?" Jeya mengernyit, "dia ke sini dengan siapa?"
Hammuka seperti ditampar, "dengan..., aku tidak tahu, tapi Nisma bilang, dia mengantar Cici yang harus operasi usus buntu."
Mereka berpandangan. Tanpa bicara, otak keduanya sudah tersambung. Hammuka berjalan lebih dulu menuju ruang informasi rumah sakit. Ada yang salah dengan Nisma, dengan orang-orang yang bersama adiknya. Bisa jadi, Nisma kambuh karena diprovokasi oleh seseorang, pikir mereka: sama.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro