Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12 Dan Itu Disebut Cinta

Hammuka membersihkan tangannya pada wastafel. Darah yang menempel pada kulitnya sudah kering, harus digosok-gosok agar noda itu hilang. Air bekas cuci tangan itu berwana merah, kecokelatan muda, lalu jernih. Supaya tidak basah, dia mengambil tisu, mengelap jemari. Ada banyak yang menggelayuti pikirannya. Dia tadi menyelamatkan korban tabrak lari, teman-temannya sedang mengejar pelaku sementara dia, usai mendokumentasikan kejadian, mengantar korban ke rumah sakit.

"Keluarga korban sudah datang," Vanno masuk dalam toilet. "Ibunya pingsan karena tahu anaknya patah kaki."

Hammuka menyentuh kelopak bawah mata, berpikir kapan terakhir dia tidur nyenyak. "Orang-orang selalu mengekspresikan kesedihan dengan airmata. Kadang, jadi histeris. Kadang...," ingatannya tertuju pada Jeya, "hanya diam, menyimpan beban sendirian. Kita sering bersimpati pada korban saat menyelidiki kejadian kriminal, menurutmu, Van..., bagaimana perasaan seseorang yang bisa melihat tindak kejahatan orang lain setiap kali bersentuhan, sengaja atau tidak?"

Vanno memercikkan air pada wajahnya, "pasti tersiksa."

Hammuka setuju, "dan jika bersamamu, dia bisa memblokir kemampuannya, apa kamu akan mengijinkannya tinggal."

"Apa dia cantik?"

Hammuka mengangguk.

"Tingginya berapa?" Lanjut Vanno dengan mata berseri-seri. Wajah kusutnya sudah raib kalau membicarakan wanita cantik.

Hammuka menyentuh bawah telinganya. "Tinggi yang berpotensi membuatku percaya bahwa kami seperti puzzle. Setiap kepingnya ditakdirkan untuk melengkapi satu sama lain. Benar-benar konyol."

"Apa ini alasanmu membuat surat perjanjian siap nikah yang edan itu?" Mata Vanno mengedip menggoda, lalu dia tertawa, "aku sudah tahu. Perasaan, seperti apapun, jika kamu meyakininya, perjuangkan. Jika tidak, tinggalkan. Semudah itu. Jangan buang waktu dengan sesuatu yang kamu ragukan. Nah, sekarang aku tanya, seberapa yakin kamu pada perasaanmu itu?"

"Sepenuhnya." Hammuka sudah tahu jawaban yang dibutuhkan, "aku akan kembali ke Mapolres. Aku harus menemui ayahnya untuk menjelaskan dan memperbaiki keadaan."

"Wow! Wow! Wow! Kamu terburu-buru!" teriak Vanno, melihat Hammuka dari pantulan cermin.

"Aku tidak terburu-buru, aku hanya tidak mengenal kata nanti." Hammuka berhenti, ingat alasan mengapa dia ada di sini, "aku perintahkan kamu tetap di rumah sakit ini untuk memantau korban."

Vanno membalik tubuh dengan posisi siaga. "Siap, laksanakan, Pak!" kemudian menghormat. Tangannya baru diturunkan setelah Hammuka sempurna membalas hormatnya.

***

Hammuka melihat mobil ambulans yang parkir di halaman polres. Beberapa perawat berjalan tergesa. Dia setengah berlari, mencari tahu. Ada kepala polres sedang mengobrol dengan dokter. Pada sudut lain, sebuah tandu diangkat oleh dua polisi, buru-buru dibawa masuk dalam mobil ambulans. Penglihatannya tidak salah. Ayah Jeya yang berbaring di sana.

"Hammuka, tolong, kamu ikut ke rumah sakit." Perintah itu ditujukan padanya oleh Handoko, kepala polres kota Blitar.

"Siap, Pak!"

Suasana cukup rumit. Membuatnya belum bisa mencerna keadaan dengan baik. Hanya saja, dia harus mengikuti intruksi atasannya. Di dalam mobil milik rumah sakit, Hammuka melihat baik-baik kulit wajah Hans. Ada bekas muntah berwarna kehijauan, juga bercak darah di sekitar mulut. Warna kulitnya juga berubah lebih gelap, tidak seperti terakhir mereka bertemu.

Hammuka segera memakai sarung karet, membuka kelopak mata Hans. Dugaannya benar, mata itu memerah. Satu polisi yang bersamanya mengawasi dengan rasa ingin tahu.

"Dia diracun?" gumamnya tidak percaya setelah melihat tungkai kaki Hans membiru.

***

"Aku dengar kamu di sini dan ayahku masuk rumah sakit. Apa dia baik-baik saja, Ham?"

Begitu katanya. Jeya berdiri di dekat pintu UGD. Wajahnya sayu, tidak ada gairah, tapi tetap menyimpan sesuatu yang menarik untuk dilihat. Hammuka tidak keberatan menghabiskan sisa hidupnya dengan memandangi wajah itu. Wajah yang begitu polos dan mengudangnya mendekat. Tapi, sekarang bukan saat yang tepat untuk memuja-muja Jeya. Ayahnya baru saja diracun. Meskipun dokter sudah memberi suntikan antidotum, dan pria itu membunuh ibunya, tetap saja, dia tidak akan tega dengan bersikap masa bodoh pada keadaan Hans.

"Duduk sini." Hammuka menepuk kursi di sebelahnya. "Kamu sendiri?"

Jeya duduk kemudian mengangguk. "Aku boleh cerita tentang ayahku?"

"Tentu."

"Tadi pagi, saat kamu mengurus korban kecelakaan lalu lintas dengan Vanno, aku menemui ayah. Saat menyentuhnya, aku tahu bahwa dia tidak bersalah. Bukan ayah yang membunuh ibumu." Jeya merogoh kantong. Dari ekor mata, dia tahu bahwa Hammuka sedang menatapnya seperti meneliti. "Ini tabunganku. Aku baru saja mengeprintnya dan memfotokopi. Selama sepuluh tahun terakhir, tiap bulan, aku mendapat transfer sebanyak 10 juta. Aku juga mencari tahu siapa pemilik rekening yang mentransfer itu. Ternyata, dari Gunadharma Foundation. Sebuah yayasan amal milik Benny Narayan. Dan..., aku melihat pria asing dalam ingatan ayah, bukan Benny Narayan. Pria itu yang sudah membunuh ibumu. Aku tidak tahu siapa dia. Aku juga tidak tahu apa maksud yayasan itu mentransferiku uang. Selama ini, aku berpikir, uang itu kiriman dari ayah. Baru-baru ini, aku tahu bahwa ayahku ada dipenjara selama sepuluh tahun. Ketika aku bertanya, mengapa ayah melakukan ini, dia memberiku syarat untuk menjauhimu. Dia tidak mau mengaku. Bahkan, katanya, jika ayah keluar dari penjara akan berbahaya."

Sebagai balasan, Hammuka menyodorkan sapu tangan, "kamu sudah berjanji untuk tidak menangis."

"Iya, apa kamu marah? Akhir-akhir ini, aku cengeng sekali." Jeya menerima pemberian Hammuka kemudian menyeka airmatanya. "Setelah kejadian sepuluh tahun lalu, ayah menghukumku dengan menyuruhku pergi dari rumah, tidak ada yang percaya ceritaku, bahkan keluargaku sendiri. Sejak saat itu, aku tidak bisa menangis lagi. Apalagi, setiap bersentuhan dengan orang-orang, aku selalu ketakutan. Aku takut akan melakukan dosa yang sama dengan mereka. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hari-hari mereka setelah melakukan kejahatan. Masa bodohkah, bertobatkah." Bahu Jeya mengerut. Suaranya tenggelam lama dan Hammuka masih setia mendengar penuturannya, "satu dasawarsa penuh aku dibelenggu rasa takut. Sekarang semua berubah, aku begitu nyaman di dekatmu, merasa aman dari apa saja, termasuk mimpi buruk. Mungkin, rasa tenang ini yang membuatku gampang menangis. Hammuka, kamu tahu, kamu sangat berarti untukku. Untuk sekarang dan entah sampai kapan."

"Aku tahu. Omong-omong, ceritamu tentang pelaku sebenarnya yang membunuh ibuku...,"

"Aku baru melihat video dalam kamera pemberian almarhum Amina yang dititipkan Anton padamu." Jeya memotong karena Hammuka nampak ragu-ragu. "Awalnya, kupikir kamera itu adalah hadiah. Sampai, aku mengotak-atiknya dan tahu bahwa di dalamnya ada pesan dari ayahku." Jeya mengambil sesuatu dari kantong rok, "aku beli ponsel. Video itu sudah kukopi di sini. Kamu bisa melihatnya."

Hammuka menerima benda persegi dari tangan Jeya. Agak ragu karena gadget itu bersandi.

"Kata sandinya, hammuka. Semuanya hurup kecil." Jeya mengatakan tanpa diminta. Seolah dirinya dan Hammuka tak lagi bersekat.

"Namaku?" ulang Hammuka, terkejut sekaligus bahagia.

"Sebab namamu yang paling mudah kuingat."

Salah tidak kalau dadanya berdebar-debar? Jeya masih suka memprovokasi dirinya jadi pria labil dan belum matang. Ada satu-dua detik mata mereka bertemu. Dalam waktu yang sedemikian singkat, Hammuka merasakan banyak hal. Dia merasa telah menemukan seseorang yang tepat. Merasa bahwa kebahagiaan itu ternyata sangat sederhana. Merasa bahwa-ah, sudahlah. Biar perasaan itu hanya dia yang tahu, menjadi rahasianya. Sebesar apa. Seindah apa. Sedalam apa.

"Jeya, my pumpkin. Bagaimana keadaanmu di pesantren? Aku menitipkan ini pada Amina, teman pertamamu di sini. Ayah kangen sekali padamu. Tapi, waktu belum tepat untuk bertemu. Belajarlah dengan baik. Disiplin pada aturan dan jangan berkemah sendirian lagi. Setelah ini, Ayah pasti kangen, ingin menemuimu diam-diam, tapi tidak bisa. Maafkan Ayah, ya!" Kemudian Hans mengangkat telunjuk ke kamera, tersenyum. Rekaman selesai.

"Rekaman ini tidak membuktikan apa-apa." Dia kembali menatap Jeya dan dibalas kernyitan dahi. Anggap ekspresi itu adalah isyarat agar dia menonton ulang. Pria berambut ala army look itu tidak keberatan dan menemukan sesuatu yang sangat penting tertera pada layar video. "rekaman ini dibuat pukul 20:10, 22 Januari 2008?"

"Dalam resume kasus ayahku, aku tahu bahwa ibumu meninggal pukul 20:12, pada 22 Januari 2008." Jeya menambahkan. "Ada rekaman CCTV minimarket yang membuktikannya."

Hammuka menyetel lagi, berharap mengetahui hal lain yang dibutuhkan. Dia kaget karena melihat latar video tersebut. Rasanya, pernah melihat tempat ini, tapi bukan di Blitar.

"Itu adalah Taman Indie River View Resto. Restoran yang sering kami kunjungi ketika berlibur di Malang. Kalau tidak percaya, kamu bisa membuktikannya. Aku juga punya foto-foto yang kuambil dulu. Sengaja kubawa ke pesantren agar saat kangen, aku bisa melihatnya. Tempat duduk yang dipilih ayah adalah tempat duduk yang sama dengan pilihanku saat kami di restoran itu. Jarak Malang-Blitar tidak memungkinkan ditempuh selama 2 menit, sekalipun naik helikopter, untuk membunuh ibumu. Tidak mungkin satu orang ada di dua tempat dalam waktu yang sama. Jadi, aku punya dua bukti sebagai alibi bahwa bukan ayahku pelakunya."

Kening Hammuka mengerut. Wajahnya sangat serius. "Lantas, kenapa ayahmu tidak membela diri di pengadilan dan pistol yang menjadi barang bukti, jatuh di halaman minimarket, terdapat sidik jari ayahmu?"

Jeya menggeleng tidak tahu. "Kemudian, setelah aku mengkonfirmasi cerita ini pada ayah di pagi hari, siangnya dia keracunan." Jeya berusaha keras untuk tidak menangis. "Menurutmu, ini tidak mencurigakan?"

Hammuka berharap dia bisa mengetahui jawaban secepatnya, "kalau begitu, siapapun dia, pelaku masih bebas berkeliaran."

***

Hammuka membuka email yang dikirim Vanno. Ada data mengenai Benny Narayan, seorang pengusaha property yang sukses di Blitar, sekaligus pemilik Gunadharma Foundation. Berulangkali dia membaca profil pria itu, tidak ada cacat sosial. Yang ada malah kegiatan-kegiatan amal yang menyentuh akar masyarakat. Ketenaran namanya bahkan mengalahkan bupati Blitar atau tokoh politik lain.

Hammuka mengalihkan fokusnya pada video CCTV minimarket Lodoyo Mart, menyetel berulang-ulang video ketika pria bermasker dan bertopi menembak ibunya dari pintu. Lalu beralih pada data Hans Wijaya. Dia menghembuskan napas lalu menyandarkan bahu, lelah.

Tapi, ingatannya menyentakkan sebuah detail. Dia kembali melihat data Hans, memastikan tinggi tubuh. Setelah yakin tingginya 184 cm, dia memutar ulang video penembakan itu.

Gotcha!

Tinggi pegangan pintu sekitar 100 senti. Kepala pelaku sejajar dengan tulisan identitas Lodoyo Mart yang menempel pada kaca. Stiker identitas itu terbuat dari mika. Hammuka pergi dari kantor polisi menuju Lodoyo Mart untuk mengecek tinggi stiker. Beruntung minimarket itu tidak gulung tikar.

Begitu di sana, dia bertanya pada pemilik Lodoyo Mart. Tidak lupa, dia merekam semua percakapan itu. Ada banyak perubahan demi mengejar pelanggan. Dunia bisnis memang dinamis, membuat pelakunya harus inovatif agar pelanggan tetap setia. Tapi, untuk dinding dan kaca, tidak ada perubahan signifikan. Termasuk stiker identitasnya.

Hammuka mengulum senyum sopan. Dia meminta ijin untuk mengecek stiker. Dugaannya tepat, stiker itu sebatas bahunya. Tinggi pelaku sekitar 155-165. Sial! Cerita Jeya benar. Hans bukan pembunuh ibunya. Segera dirogoh kantong celana, mengambil ponsel untuk menghubungi Jeya. Terhubung tapi tidak diangkat. Diulang panggilan itu sampai tiga kali. Masih sama. Walaupun baru memiliki ponsel, Jeya tidak gagap teknologi sampai tidak tahu cara mengangkat panggilan, kan? Atau..., dia tidak mengangkat karena...? Hans baru saja keracunan setelah Jeya menanyakan alasan ayahnya mau dipenjara. Lalu, sekarang..., apa Jeya dalam bahaya?

Gadis blak-blakan itu masih di rumah sakit ketika dia kembali ke kantor. Tugasnya menjaga Hans dialihkan pada Damar. Mungkin, Damar tahu sesuatu. Dihubunginya nomer ponsel rekan kerjanya dengan kalut. Begitu terhubung, dia segera menanyakan keberadaan Jeya.

"Tadi dia pergi untuk shalat di masjid rumah sakit. Sejak tiga puluh menit belum kembali. Ada apa, Ham?" Damar agak heran. Tidak biasanya Hammuka menelponnya hanya untuk urusan remeh-temeh begini.

Hammuka mengucapkan terima kasih lalu naik motor dan menghidupkan mesin kemudian melaju, membelah jalanan Lodoyo pada malam hari. Kecepatan kendaraannya seolah-olah berkejaran dengan malaikat pencabut nyawa.

***

Parkiran rumah sakit begitu lengang. Hanya ada satu dua mobil yang keluar masuk dari tempat parkir. Hammuka turun dari motor, bergegas ke masjid. Bangunan itu cukup luas. Mampu menampung sekitar 1000 jamaah. Pandangan Hammuka menyelidik pada tempat shalat wanita. Tidak ada siapa-siapa. Dia menuju tempat wudhu. Beberapa wanita melihatnya horror. Hammuka mundur, tahu diri. Lima menit dia menunggu, tidak ada tanda-tanda Jeya ada di dalam.

Kembali, dia mencoba menghubungi Jeya. Terhubung.

"Halo!" kelegaan menguasai pikirannya begitu panggilannya diangkat.

"Halo."

Suara Jeya, benar-benar suara Jeya.

"Kamu di mana? Kenapa panggilanku tadi tidak diangkat? Apa kamu baik-baik saja? Katakan, Jei, kamu di mana?" Hammuka memberondong dengan banyak pertanyaan. Yang menyebalkan, Jeya merespons dengan kekehan tanpa dosa. Ada orang khawatir malah tertawa. Minta dicium apa?

"Aku di belakangmu."

Hammuka membalik tubuh. Jeya duduk di dekat pedagang cilok. Mengedipkan mata lalu melambaikan tangan. Hammuka bersumpah, akan menyulap Jeya jadi makhluk prokariotik lalu dimasukkan dalam botol. Tutup. Kantongi. Aman.

Sial! Siaaal! Dia sudah khawatir dan jantungnya nyaris meledak. Eh, gadis itu duduk santai dengan penjual cilok, memakan cilok, ketawa-ketiwi tidak jelas. Kalau saja ini drama Korea, dia sudah menghampiri Jeya kemudian menciumnya membabi buta. Tapi, sayang sekali, dalam dunianya, hubungan antara lawan jenis harus diberi sekat. Bukan semata-mata takut pada Allah, juga wujud menghargai wanita. Wanitanya, kelak. Oi, dia jadi deg-degan.

"Mau cilok? Ini cilok terenak se-Blitar dan se-Surabaya, lho!"

"Aku. Mau. Kamu." Hammuka terbata-bata mengucapkan keinginannya.

Mata Jeya mengedip-ngedip. Bulat dan bening. Penuh rasa ingin tahu.

Hammuka mendesahkan napas panjang, duduk di sebelah Jeya, "seenak apapun cilok ini," tangannya menunjuk plastik di tangan Jeya yang berisi cilok ditusuk lidi dengan lumuran sambal kacang, "kalau aku menelpon, angkat. Aku tidak suka gelisah, khawatir dan takut. Rasanya benar-benar aneh."

Jeya memasukkan separo cilok dalam mulutnya, "saat kamu menelpon tadi, aku masih di masjid. Dzikir untuk kesembuhan ayah. Pas buka hape, mau nelpon kamu, pulsaku habis. Tadi aku lupa menonaktifkan jaringan data internet. Kata Pak Dwi, penjual cilok ini, kalau ponsel tidak dipakai, aku harus menonaktifkannya atau beli paket internet agar pulsa tidak tersedot. Aku lupa melakukan itu. Lama tidak pakai hape. Kadang hal kecil terlupakan."

Hammuka bisa apa kalau Jeya sudah menyengir tolol begitu? Yang ada malah rasa cintanya semakin bertambah. Dia juga ngeri pada dirinya. Bisa-bisanya manusia gaptek ini tetap terlihat menarik untuknya. Mungkin, logikanya berjalan terbalik. Heeeuuuh.

TBC

Siapa yang udah khawatir kayak Hammuka???? 😜😜😜

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro