Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10 Pumpkin

Melihat sepuluh pasang mata yang terfokus padanya, mendengar Hammuka membacakan akta siap menikah, semakin menguatkan niat Jeya untuk berubah wujud menjadi amoeba atau paramecium atau makhluk bersel satu lainnya. Jika itu mustahil, maka idenya berlari pada sebuah film kegemarannya saat SMP, Harry Potter, yang memiliki jubah gaib sehingga bisa tersembunyi aman. Dua ide itu sangat mustahil, sentak otaknya yang waras. Serius, lebih baik tersesat di gurun Sahara selama seminggu daripada menghabiskan waktu di ruang ini, barang semenit sekali pun.

Hammuka masih membaca surat perjanjian yang ditandatanganinya dan diperkuat oleh materai. Kata Hammuka, mereka memang belum menikah, tapi surat ini memiliki landasan hukum jika salah satu berkhianat, yang satunya bisa menuntut. Bahkan, kabar sintingnya, dalam surat itu, disebutkan konsekuensi jika kedua belah pihak membatalkan pernikahan.

Seumur hidup, melihat orang mau menikah, tidak ada yang seunik Hammuka. Dan, Jeya benar-benar tidak tahu tujuan pria itu. Mungkin, otaknya sedang cuti, duganya malas.

Siksaan batin itu baru selesai setelah teman-teman Hammuka bersorak. Tapi, kembali tertekan mana kala mereka menandatangani surat itu sebagai saksi. Hidupnya terasa di bawah kendali seorang tiran paling kejam sejagad raya. Tiran itu bernama Hammuka Mughlak.

"Kamu serius dengan perjanjian itu?" Vanno agak merendahkan suara.

Hammuka mengiyakan.

"Sinting!"

Jeya setuju dengan makian Vanno.

Miris, baik Jeya maupun Vanno tidak paham ketakutan Hammuka. Pria itu takut Jeya meninggalkannya. Bukan karena membencinya, tapi merasa tidak pantas untuknya. Gadis itu memang selalu bicara apa adanya, tapi mentalnya tidak tahan uji. Saat menyadari dirinya buruk, Jeya akan pergi diam-diam, seperti tadi. Dan, Hammuka tidak mau hal itu terulang. Biarkan saja Hans membunuh ibunya.

Urusannya dengan Jeya adalah tentang cinta, bukan dendam. Lagipula, Hans sudah masuk penjara. Apa yang sudah dilakukan olehnya, biar ditebus pula olehnya. Bukan Jeya.

***

"Apa ini? Kasusmu?" Jeya melihat sebuah map tebal yang dionggokan di sisinya.

"Ingin bertemu ayahmu tidak?" Hammuka tidak tersenyum sama sekali. "Baca ini, setelah itu aku akan mengantarmu."

Jeya nyengir, tidak ada mood membaca berkas setebal itu. Setelah Hammuka pergi, dia berencana kabur, menghirup udara segar di luar.

"Setelah membaca ini, kamu tidak punya pilihan untuk lari dariku. Setelah kamu tahu, tanda tanganmu bermaterai itu benar-benar akan memukulmu telak jika kamu berani menjauhiku." Hammuka menang kali ini. Dia tersenyum separo. Jenis senyum yang membuat jantung Jeya berdetak-detak nakal, sekaligus senyum yang menyihir kulitnya jadi merinding.

Jeya berusaha mati-matian mengalihkan pandangannya dari Hammuka. Dia melihat map itu. Keningnya mengerut karena membaca nama ayahnya di sana. Hans Wijaya. Duuhh. Jangan bilang ini berkas milik ayahnya! Dia buru-buru membuka map, membaca resume berita acara. Perkiraannya tidak meleset. Hans yang ada di map ini adalah hans yang sama dengan nama ayahnya.

Jeya memandangi Hammuka. Kehabisan kata-kata.

"Ayo," kata Hammuka berjalan lebih dulu.

Dari sekian tempat yang dia rencanakan ingin dikunjungi dengan ayahnya, penjara bukanlah salah satunya. Bahkan dia tidak pernah membayangkan akan dipertemukan di tempat seperti ini. Selama sepuluh tahun tidak bertemu, apa yang sudah terjadi pada ayahnya?

***


Jeya memandangi ayahnya yang duduk di depannya tanpa kedip. Dia, sejak dua menit lalu, menahan napas. Hans menunduk, meremas tangannya yang berkeringat.

Jangan menangis, Jeya, jangan menangis, bisik Hans dalam hati.

Jeya mendongak, berusaha memblokir airmatanya agar tidak menetes. Tapi, usahanya sia-sia. Saat ia menunduk, krital bening itu menentes. Hangat, gelisah dan duka. Bahunya bergetar karena menangis. Melihat ayahnya memakai baju tahanan, membuat kepalanya seperti dihantam beban kuat-kuat. Dia hancur, tidak ada yang tersisa dari dirinya.

"Kenapa Ayah melakukan ini padaku?" dia berusaha agar suaranya tidak parau. Kemudian menahan diri agar tangisnya tetap tak bersuara. "Saat aku pergi dari rumah bersama Gus Faridh, aku tidak pernah membenci Ayah. Mungkin, aku kecewa karena Ayah tidak bisa ada di sisiku, di saat-saat paling sulit di hidupku. Tapi, aku mencoba mengerti. Bahwa aku memang bersalah, tidak mematuhimu, semau sendiri, jadi aku harus bertanggungjawab. Selama di pesantren, aku menyimpan kerinduan itu, untuk Ayah. Ketika teman-temanku dikunjungi keluarganya, aku selalu berkhayal bisa melihat wajah Ayah di sana. Tidak perlu membawa apa-apa untukku. Ayah saja sudah cukup. Tapi-"

"Hei, Pumpkin...," Hans mengangkat telunjuk, menyebutnya dengan panggilan kesayangan. Meski sudah sepuluh tahun, panggilan itu tetap terasa hangat dan menyenangkan.

Jeya mengangkat telunjuk kemudian membenturkan ujungnya dengan telunjuk ayahnya. Hans tersenyum. Seperti ini sudah cukup. Dia tidak mau bicara karena dia tahu, semakin banyak bicara, Jeya semakin kecewa padanya.

"Ayah sayang padamu."

Jeya berdiri, memutari meja agar bisa segera memeluk Hans, "aku juga, Yah, aku sayang Ayah. Sayang banget."

Hans menepuk-nepuk bahu putrinya, melirik Hammuka dengan pandangan tidak suka. Mata itu seolah mengatakan, 'puas kamu menghancurkan putriku?' dan Hammuka hanya bisa mengepalkan tangan.

***

"Apa yang kamu inginkan?" Hans menatap dalam-dalam anak muda berseragam polisi yang duduk terpisahkan meja dengannya. "Kenapa kamu membawanya ke sini?"

Hammuka mencondongkan tubuh pada meja, menyatukan kedua tangannya, "hutang darah, harus dibayar darah."

Hans menunggu ketar-ketir. Hammuka terlihat serius dan tidak bisa dibantah. Dibayar darah yang seperti apa maksudnya?

"Aku menginginkannya," lanjut Hammuka, puas melihat Hans terkejut.

"Tidak. Kalau kamu dendam padaku, selesaikan urusanmu denganku. Jangan melibatkannya. Jangan coba-coba menyakitinya atau...."

"Atau apa? Aku ingatkan, kamu tidak punya pilihan, Hans."

Hans menahan emosi sampai dadanya naik turun. Menyelesaikan dengan amarah, tidak akan menyadarkan Hammuka. Hans memutuskan untuk merendahkan egonya.

"Dia putriku satu-satunya. Aku menyuruhnya pergi dari rumah dengan Gus Faridh karena aku tidak mau, dia melihatku diborgol. Aku percaya, pesantren adalah rumah yang paling ramah untuknya. Sepuluh tahun kami tidak pernah bertemu. Tapi, aku yakin, dia baik-baik saja. Dia aman, terlindungi dan bisa belajar dengan baik. Sebejat-bejatnya seorang ayah, dia selalu berharap putrinya bertemu pria yang tulus menyayanginya. Bukan pria yang di dalam hatinya menyimpan dendam." Hans menghela napas. Matanya menyatakan kekalahan pada Hammuka. "Aku mohon, jika kamu menginginkan Jeya untuk disakiti, jangan lakukan itu. Kamu hanya akan menyia-nyiakan hidupmu. Dendam tidak akan membuatmu tenang dan bahagia, justru semakin gelisah. Hammuka, aku memintamu dengan nyawaku, jangan libatkan Jeya, jangan sakiti dia."

"Apa saja yang kamu pikirkan, itu terserah kamu. Yang jelas, aku meminta Jeya darimu." Setelah bicara seperti itu, Hammuka berdiri, memberi isyarat pada sipir penjara agar membawa Hans kembali ke sel tahanannya.

***

"Kamu akan tidur di rumah Vanno?" Jeya melihat Hammuka menenteng peralatan mandi. Pria itu tidak tahu tata krama. Mentang-mentang ini rumah dinasnya, seenaknya saja bertelanjang dada dan hanya memakai handuk mandi, membebat bagian bawah tubuhnya.

"Sebentar, kamu ingin tidur bersamaku di sini?" Hammuka berhenti berjalan, menghadap Jeya.

Gadis itu segera membalik tubuh. Tapi, agak terlambat. Dia sempat melihat perut Hammuka yang apa ya? Terkesan kokoh di mata Jeya. Agak lega karena ingat kata guru ngajinya, jika tatapan tak sengaja, pada pandangan pertama itu disebut rezeki. Whoaaa, rejeki? Jeya memukul-mukul pelipisnya, berharap guncangan itu bisa mewaraskan lagi isi kepalanya.

"Apa yang kamu pikirkan?" Hammuka menyelidik.

"Aku harus mencari penginapan. Aku bisa jantungan melihatmu seperti manusia purba," Jeya benar-benar cari perkara.

Hammuka memutari tubuh Jeya, Jeya balas memutar. Begitu terus, sampai keduanya pusing.

"Siapa yang manusia purba?"

"Kalau kamu tidak segera pergi, biar aku yang pergi," sahut Jeya, sebal. Hammuka masih mengumbar perutnya yang memiliki kotak-kotak liat.

"Mengancamku?"

"Menurutmu?"

Hammuka mendesis kemudian mundur, "kunci pintunya. Pastikan lampu dimatikan saat tidur. Hemat energi. Kalau mau minum air dingin atau mencari makanan ringan, kulkas di sebelah sana. Oh ya, kamu juga harus mandi. Aku tidak memasang CCTV dan tidak akan mengintip. Kamu tidak perlu was-was."

Jeya masih membelakangi Hammuka, bersedekap, "banyak amat nasehatnya. Kayak wasiat saja."

"Bukankah kamu yang pernah berwasiat padaku?" sindir Hammuka, mengingatkan Jeya tentang wasiat beberapa hari lalu, ketika Jeya mengira dirinya akan mati disembelih Daniran. "Oh ya, aku biasanya makan pukul delapan malam. Kamu harus memasak."

"Siap grak!"

Hammuka tertawa tanpa suara. Dasar, Jeya!

"Ada lagi, Pak Polisi?"

"Siap-siap saja." Hammuka tersenyum. Meski Jeya masih tidak mau menatapnya, dia bisa menebak bagaimana ekspresi gadis itu sekarang.

"Siap-siap untuk apa?"

"Untuk jadi istriku. Apa lagi, memang?"

Jeya merasa jantungnya baru saja pindah ke perut. Bahaya! Hammuka punya kans yang besar untuk membunuhnya tanpa senjata.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro