Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Telulikur


Pengunjung warung remang dekat pesarehan Mbah Citro yakin betul kalau mereka mendengar suara jeritan tidak jauh dari tempat mereka merayu mbak cantik penunggu warung. Bahkan para wanita yang sudah berdatangan untuk meminta penglaris, berbalik arah karena takut. Asal jeritan itu begitu dekat dengan mereka, namun mereka tidak bisa melihat keberadaan siapa pun dari tempat suara berasal. Mereka berlari dengan ngeri. Warung pun segera ditutup.

Kalau saja mereka mengelilingi pohon randu alas tujuh kali, mereka pasti bakal tahu dari mana jeritan itu berasal.

Hanoman Ganteng bisa jadi tidak ganteng lagi karena pipinya baru saja dicakar oleh Janet. Pipinya sampai robek, benar-benar robek tembus. Dia menjerit kesakitan. Darah menciprati kaosnya dan kaos Jabil. Tarom Gawat membelalak, disergap oleh keterkejutan bahwa bapaknya adalah dalang dari semua kejahatan ini, dia lengah untuk menangkis serangan Janet yang kesurupan.

Tarom Gawat terpental dua meter. Jabil segera bersembunyi di balik tumpukan palet kayu. Hanoman Ganteng nasibnya sial. Janet benar-benar kerasukan setan mengerikan. Giginya berubah tajam, taringnya memanjang. Bersusah payah menghindari Janet, Hanoman Ganteng memegangi pipinya yang robek, merangkak kesakitan menjauh dari Janet. Tapi pacarnya itu menerkamnya dari belakang dan menancapkan taring ke punggung. Kucuran darah muncul lagi.

Tarom Gawat tidak bisa membiarkan itu. Dia berjanji akan melindungi teman-temannya. Untuk melawan Janet, dia sebisa mungkin tidak akan menggunakan keris di balik punggungnya. Dengan kemantaban yang segera dia peroleh, Tarom Gawat bersalto dan menendang Janet.

Jabil tidak habis pikir. Dia benar-benar terkejut setengah mati. Tidak dia sangka, pelakunya adalah Lek Moktar. Orang itu tengah berdiri saja di depan sesosok orang yang tengah duduk di kursi dan ditutupi kain. Seumur hidupnya, baru kali ini jantungnya berdebar begitu kencang. Aliran adrenalin yang mengucur deras. Membuat lututnya lemas. Sialnya, kameranya tidak berfungsi. Walhasil, pertaruhan nyawa ini jadi sia-sia. Belum lagi kenyataan bahwa mereka tidak dapat keluar dari alam ini.

Tarom bertempur dengan Janet. "Janet, bangunlah, ini bukan kamu!" Tarom Gawat kentara ingin mendaratkan telapaknya ke ubun-ubun Janet, namun kesulitan karena gerakan tangan bercakar Janet yang sama cepatnya.

Memanfaatkan Tarom Gawat yang lagi sibuk, Jabil menghampiri Hanoman Gawat yang lemas. Dia menyeret tubuh temannya itu ke balik tumpukan palet kayu. "Man, Man?"

"Sakit Bil," rintih Hanoman. "Janet kesurupan apa?" suara Hanoman bergeleguk.

"Tidak tahu. Pasti iblis. Tarom sedang berusaha mengusir setannya."

Darah dari pipi Hanoman semakin deras. Jabil merobek kaos lengan Hanoman dan melilitkannya ke wajah Hanoman biar menghalangi darah mengalir.

"Bil, gimana kalau ini akhir riwayat kita?" Hanoman Ganteng tampak pasrah.

Keresahan itu pula yang dirasakan oleh Jabil. Adrenalinnya terpompa atas dorongan rasa takut. Takut mati. Ini semua mengerikan. Lek Moktar belum bergerak. Dia hanya mengawasi anaknya tengah bertempur mengeluarkan jurus-jurus silat demi menghalau Janet.

"Man, pasti ada jalan keluar," kata Jabil.

"Sakit banget, Bil," Hanoman mengerang.

"Bertahan, Man."

Hanoman mulai menangis. Bahunya berguncang-guncang. Dia mengucap nama biyung dan simbah berkali-kali. Tubuhnya mulai dingin.

Jabil merasa tak berdaya. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Ini melebihi kemampuannya. Dia pikir mereka bisa datang secara diam-diam dan mengambil bukti secukupnya. Semua itu gagal dan sia-sia belaka.

Kepala-kepala yang berjajar di rak kayu, berjatuhan karena tertubruk tubuh Tarom Gawat yang terkena hempasan pukulan Janet.

"Bapak! Kenapa bapak jadi begini?" Tarom menyempatkan mempertanyakan ini. Bapaknya itu, masih bergeming. "Bapak kenapa jadi sesat?"

Raungan Janet merobek udara. Dia menerjang Tarom Gawat lagi. Dari jauh Jabil memperhatikan ada darah memuncrat dari mulut Tarom Gawat.

"Gawat gawat gawat." Jabil berada di ambang antara ingin membantu Tarom dan juga harus menjaga Hanoman yang sekarat. Dia kebingungan. Entah setan apa yang merasuki Janet, dia tidak tahu. Tidak mungkin setan kapak, tidak mungkin juga setan blangkon. Entahlah.

Jabil mendengar Tarom Gawat berteriak, "Jabil, Hanoman, pergi dari tempat sini!"

Pintu gudang memang dekat dengan posisi Jabil bersembunyi. Dia merangkulkan tangan ke Hanoman dan mulai bangkit berjalan menuju pintu.

Baru beberapa langkah dia sudah terpental jatuh, Janet muncul di depan mereka membawa keris. Keris milik Tarom Gawat. Yang disasar lebih dahulu adalah Hanoman. Janet menghunjamkan keris itu berkali-kali ke perut Hanoman, lalu terakhir di jantung.

Jabil meledak tangis. "Hanomaaaaan!!" tidak tidak tidak. Ini semua salahnya. Dia tidak seharusnya meminta Hanoman dan Janet ikut pengungkapan naas ini. Tubuh Hanoman yang tak berdaya tak bernyawa diseret Janet menuju tempat Lek Moktar berdiri.

"Hanoman...." isak Jabil. Dia mencari ke sekitar. Mencari senjata. Dia ambil sebatang kayu, dan menyerbu Janet dari belakang. "Hentikaaan Janet! Itu pacarmu! Hentikan, sadarlah."

Janet sudah bukan Janet lagi. Meski batang kayu sudah hancur menghantam punggungnya, dia dengan tanpa kesakitan menepis Jabil hingga terhempas ke belakang menubruk pintu gudang. Jabil hilang kesadaran.

"Tarom anakku," akhirnya Lek Moktar bersuara. Dia bergerak mendekati Tarom yang tergeletak berdarah-darah, mengalir dari mulut dan lubang hidungnya. "Tarom anakku yang berbakat gaib. Sakti seperti leluhurnya."

"Bapak, kenapa pak?" Tarom menguatkan diri.

"Karena cinta, Rom." Lek Moktar membantu Tarom Gawat bangkit berdiri.

"Cinta?" Tarom Gawat mengernyit, bisa-bisanya di situasi seperti ini, masih ada orang yang mengucapkan cinta.

"Ibumu, Rom, adalah cinta sejati bapak. Bapak tidak rela ibumu mati."

"Kan sudah waktunya, pak. Semua makhluk hidup juga begitu."

"Tidak, Rom. Tidak kalau kita bisa mencegahnya." Lek Moktar tidak mengenakan pakaian atas. Tubuhnya semakin kekar dan berbentuk, namun terlihat ada bekas luka menjalar di dada dan punggungnya. "Tarom anakku. Kematian ibumu adalah salahmu. Dan kamu harus membayarnya."

Tarom membelalak. "Kok salahku pak?"

Lek Moktar menampar pipi anaknya. Tarom sampai meludahkan darah. "Karena anugerah yang kamu kira kamu warisi dari leluhur, adalah bencana dan petaka! Membuat orang-orang jadi sesat!"

Tarom bangkit berdiri, melawan dengkul bapaknya yang menekan dadanya. "Bapak yang sesat. Bapak sudah membunuh banyak orang."

"Itu demi menghidupkan kembali ibumu, Rom. Istriku. Cinta sejatiku."

"Yang sudah mati tidak bisa hidup lagi, pak."

Lek Moktar menampar lagi pipi puteranya. "Bocah Gawat! Jangan menasehati aku."

"Pak, ibu pasti sedih, rohnya pasti tidak tenang di alam sana."

Lek Moktar mencuih, "Kamu tahu itu dari penerawangan? Kemampuan klenik warisan? Hah?" tamparan mendarat lagi.

Ada suara tanpa bentuk yang membuat Tarom Gawat membelalak ngeri dan jantung berdegup kencang. Suara itu meminta Lek Moktar agar menghentikan penamparannya. Suara itu berkata, Tarom adalah aset baginya. Ingatlah rencana besar!

Lek Moktar segera bersujud meminta maaf. "Ampun Tuanku."

Tarom Gawat menangkap Jabil bergerak tanpa suara dari belakang Lek Moktar, mengangkat balok kayu tinggi-tinggi untuk menyerang, tapi dengan dua gerakan saja Lek Moktar sudah mendaratkan bogem mautnya ke dada Jabil. Balok kayu terjatuh begitu saja dan Jabil roboh seketika tak sadarkan diri. Tarom Gawat khawatir temannya itu sudah tiada.

"Pak, hentikan pak. Masih ada kesempatan ke jalan yang benar," kata Tarom Gawat.

"Jalan yang benar." Lek Moktar mencuih lagi, "Jalan yang benar hanya membawa ke kebuntuan." Lek Moktar menyeret puteranya menuju tempat sosok tertutup kain. "Jalan yang kujalani ini bisa memberi kehidupan, Rom."

Tarom Gawat meledak tangis ketika tahu siapa yang tengah ditutup kain putih itu. Lek Moktar mengungkapnya. Menyingkirkan kain penutup. Itu ibu Tarom.

"Pak... ini sesat pak." Tarom berlutut tak berdaya. Benar apa kata Kyai Supono, semua ini lebih dari apa yang dia bayangkan akan terjadi.

"Kamu mau lihat ibumu hidup kembali? Lihat ini. Persembahan terakhir." Bapaknya menghampiri tubuh berdarah-darah Hanoman. Janet melepasnya.

Dengan gerakan seperti mencabut arwah, Lek Moktar menggiring asap putih transparan yang keluar dari lubang-lubang tubuh Hanoman. Masuk ke dalam lubang-lubang di tubuh ibunya.

"Kematian satu memberi kehidupan yang lain," kata Lek Moktar. Seusai melakukan prosesi itu, Lek Moktar bersujud di kaki istrinya yang duduk di kursi plastik dengan kaku. Kulitnya memang sudah tampak segar seperti manusia biasa, tapi tidak ada gerakan yang dihasilkan. Lek Moktar mencium jari kaki istrinya.

Suara tanpa bentuk terdengar lagi. Memuji keberhasilan Lek Moktar. Tarom berjengit ketika ibunya yang seharusnya sudah mati bertahun-tahun lalu, membuka mata.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro