"Berhati-hatilah, Rom," begitu pesan Kyai Supono. Beliau bersama Tarom Gawat sedang berkeliling Purwosari di atas dokar. Kuda yang menariknya, tampak makmur dan bertenaga. Itu sebab Kyai Supono tidak pernah lalai dalam merawat makhluk tangguh tak kenal lelah itu. Dalam tamasya kali ini, Tarom Gawat lah yang memiliki niat bertemu. Sudah lama bocah gawat itu berguru pada beliau, dan sudah selayaknya dia akan mendatangi gurunya itu demi meraup petunjuk serta petuah pelindung hari esok.
Tarom Gawat tidak pernah menutup apa pun dari Kyai Supono. Sebagai seorang alim ulama setempat, beliau tidak anti terhadap peristiwa berbau supranatural dan klenik. Hal itu sudah biasa baginya. Sebab beliau tahu, dunia ini bukan hanya manusia saja yang menempati. Tarom Gawat hampir nihil menceritakan pelajarannya kepada bapaknya atau pun Ki Gufron. "Kemungkinan mereka kurang mampu menerima," begitu dulu Kyai Supono berkata. Tarom Gawat sudah menceritakan kegiatannya bersama Jabil dan kawan-kawan kepada beliau.
"Kalau memang kamu berfirasat demikian, maka kamu harus ekstra berhati-hati. Ingat apa yang telah kamu pelajari. Kehadiranmu di dunia mempunyai maksud, kamu adalah penolong," lanjutan petuah Kyai Supono.
"Dunia lain," ucap Tarom Gawat.
"Dunia mana pun. Kamu unik Tarom. Kehadiranmu di mana pun akan bermanfaat. Hanya saja kemampuan yang kamu miliki itu bisa jadi incaran kaum batil. Ada golongan makhluk yang suka mengendus."
"Tarom nyuwun restu dan doa penyelamatnya ya, Mbah Kyai."
"Tidak perlu kamu minta pun, mbah kyai tidak pernah putus mendoakanmu, le. Eling lan waspada itu kuncinya, firasatku pun mengatakan apa yang akan kamu hadapi nanti bakal lebih dari yang kamu bayangkan. Siap tidak siap hajar saja, begitulah kamu memperoleh pengalaman."
"Matur sembah nuwun, mbah Kyai."
Selanjutnya mereka khidmat menikmati pemandangan hijau di kiri kanan jalan, Kyai Supono mengendarai dokar menuju dusun Ngrejeng. Ada satu tempat yang diyakini Tarom Gawat sebagai hutan yang dimaksud oleh Karti Benguk ketika dirasuki setan kapak. Mereka ke sana untuk menerawang.
Tempat yang dimaksud bukanlah hutan. Melainkan kuburan Mbah Citro yang dikenang sebagai manusia sakti, konon katanya Mbah Citro adalah prajurit kerajaan Pajang yang melarikan diri.
Beberapa jam setelah pengungkapan ganjil Karti Benguk, Jabil langsung menghubungi Hanoman Ganteng yang juga langsung menghubungi Janet pacarnya. Mereka berkumpul di bilik perenungan Jabil di warnet. Jabil bercerita dahulu tentang kejadian subuh tadi, yang masih terbayang jelas di matanya. Bahkan suara geraman Karti Benguk masih menggema dalam telinga. Cerita diakhiri dengan ketiganya saling bergidik.
Sebelum mengungkapkan pesarehan Mbah Citro di Ngrejeng, Hanoman menyebut beberapa hutan sekitar Purwosari yang dia tahu.
"Yang aku tahu. Alas yang agak angker sekitar sini ada Alas Donan di desa Donan, di situ ada makamnya mbah Sinar. Pohon-pohon solben dan ringinnya yang bikin agak serem. Terus ada Alas Kaliombo, kurang tahu kalau yang ini. Terus Alas Tobo gak terlalu kerasa angker belakangan ini, pohon-pohonnya banyak ditebang."
Jabil menggelengkan kepala sebagai tanggapannya untuk hutan yang disebut Hanoman Ganteng.
"Kurang masuk kategori ya, mas Jabil?" tanya Janet.
"Iya, kurang masuk. Kurang angker dan kurang klenik. Firasatku pelakunya memanfaatkan wilayah yang dikenal kental kleniknya. Aku tertarik sama Alas Donan itu, tapi aku ragu."
Hanoman Ganteng menjentikkan jari tanda mendapat ilham. "Oh ada lagi. Sebenarnya bukan hutan, tapi karena sudah lama gak dirawat, jadi kayak hutan sekarang. Tahu makam mbah Citro Ngrejeng yang dijadikan tempat lonte lonte cari penglaris? Di situ ada pohon randu alasnya. Mbah Citro itu juga katanya sakti mandraguna, mati sekalipun, masih bisa kasih kesaktian."
Jabil tertarik kata "lonte". Ini berhubungan dengan korban yang jatuh adalah perempuan. "Tempat lonte cari penglarisan?" Jabil kurang tahu kalau di sekitar sini masih ada perempuan yang terang-terangan berprofesi sebagai wanita malam.
"Iyo, tapi kebanyakan yang datang bukan orang-orang sekitar sini. Mereka dari luar. Mereka bakal bawa sesajen terus bermalam di makam Mbah Citro. Yang lagi nyari jodoh juga sering datang ke situ. Coba aja bil, kamu cari jodoh di situ."
Jabil menjotos bahu Hanoman Ganteng. Tak sudi dia mencari jodoh dari pesugihan.
"Sepertinya itu tempat yang kita cari," kata Jabil akhirnya. Si pemilik warnet itu berdiri dengan gagahnya, seperti sudah melengkapi semua pencariannya selama ini. Kepada dua sejoli, dia mempertegaskan untuk yang terakhir kali. "Maturnuwun kalian berdua sudah membantuku, kali ini adalah pengungkapan. Kalian masih ingin mengikuti kasus ini tidak? Perlu diketahui, kemungkinan besar ada risikonya. Kita tidak berhadapan dengan kriminil biasa. Bagaimana?"
Hanoman Ganteng dan Janet Masayu saling bertukar pandang. Kemudian mereka mengangguk. "Kami ikut mas Jabil," ucap Janet.
"Baiklah. Bagus sekali. Tunggu di sini ya, aku mau ke tempatnya Tarom Gawat, biar dia yang memeriksa dulu tempat itu. Aku pinjam motornya, Man."
Jabil pun pergi.
Tak beberapa lama datanglah Dukun Gondrong dengan menggerutu. "Polisi mondar mandir gak jelas. Bikin orang was was, penjahatnya gak ketemu-ketemu." Lalu dia duduk di meja admin, bermain sudoku.
Jabil datang kembali ke warnetnya agak sorean. Lebih awal tiga puluh menit dari Tarom Gawat yang menyusul membawa dokar.
"Positif. Makam Mbah Citro adalah tempatnya. Tarom Gawat sudah menerawang. Kita satroni malam ini." Kata Jabil.
"Lepas jam sebelas malam kita berangkat," Tarom Gawat menambahkan.
Terdengar suara adzan Magrib dari kejauhan, kentara membuat dua sejoli berdiri bulu kuduknya. Untuk kedua kalinya mereka akan berhadapan dengan kekuatan supranatural. Dengan saling menggenggam tangan erat, Johan Oman dan Janet Masayu saling menguatkan. "Oke," adalah jawab mereka.
Dukun Gondrong diminta Jabil untuk pergi selepas isya, warnet mau ditutup. Demi membungkam Dukun Gondrong yang hendak melemparkan pertanyaan, Jabil memberinya sekarton rokok samsu. "Bolehlah ini, mayan buat ngeronda," kata Dukun Gondrong penuh syukur. Sebelum itu juga, Jabil menawarkan kegiatan pengungkapan ini kepada Yogo Keling, yang dengan tegas menolaknya.
Pergerakan waktu ke pukul sebelas malam terasa lambat. Sementara Tarom Gawat tengah duduk bersila dengan lipatan kaki yang terlihat mustahil dilakukan, Hanoman Ganteng dan Janet menggerakkan kaki tanda tak sabar, juga campuran rasa was-was. Berbeda dengan Jabil yang tampak penuh semangat.
"Akan kami tangkap kau, pembunuh." Jabil telah menyiapkan kamera kecil beresolusi tinggi yang dapat merekam kegelapan. Alat itu ditempelkan di topinya.
"Sebelum berangkat, aku hanya mau bilang kalau apa yang kita hadapi nanti bisa jadi lebih berbahaya. Aku akan lakukan sebisaku untuk menjaga kalian dari serangan makhluk gaib," pesan Tarom Gawat.
"Oke." Hanoman Ganteng membawa bekal pentungan besi. Sementara pacarnya membawa senter dan linggis. Jabil membawa tas pinggang berisikan pistol setrum.
Ketika pukul sebelas tiba, mereka meninggalkan warnet dan bersiap menaiki dokar, Hanoman Ganteng melihat Tarom Gawat membawa keris di balik kaosnya.
Berempat mereka menembus malam, di jalanan desa yang sepi dan dikepung gelap dan dihimpit tanah kosong pinggir jalan yang mengundang bulu roma berdiri.
Di lokasi makam Mbah Citro sebetulnya tidak begitu sepi. Ada beberapa orang masih beraktifitas di warung-warung remang. Mereka turun dari dokar, Tarom Gawat menambatkan kekang kudanya di sembarang pohon.
"Kalian berdoalah," pinta Tarom Gawat.
Ketiganya sudah sepanjang jalan tadi menggumamkan doa minta keselamatan.
Mereka bergerak ketika tidak ada orang yang memperhatikan. Tarom Gawat yang memimpin. "Di sini ada pohon randu alas, di situ pintu masuknya," kata Tarom Gawat.
"Maksudnya?" tanya Jabil.
"Si Pelaku tidak bersembunyi di dunia kita."
"Hah?" Janet berhenti berjalan.
"Tenang. Bukan dunia siluman kok. Dia masih bertempat di dunia kita, tapi hanya tertutup tabir saja. Makanya jika kalian lihat dari sini, tidak ada rumah reyot. Tidak kelihatan karena tertutup tabir. Di situ dia bersembunyi. Aku sudah memastikannya."
"Edan edan," kata Hanoman Ganteng, berkali-kali menelan jakunnya. Semakin erat dia mencengkeram tangan Janet.
"Mau lanjut?" Tarom Gawat menawarkan sekali lagi.
"Iya. Lanjut. Sudah telanjur," kata Jabil. Dia sendiri tingkat was-wasnya naik berkali lipat setelah mendengar keterangan Tarom Gawat barusan.
Pohon randu alas itu menjulang tinggi dengan batang yang besar sekali. Tarom Gawat mengarahkan mereka mengelilingi pohon itu tujuh kali.
"Kerasa gak perubahan atmosfirnya?" tanya Tarom Gawat demi memastikan dia sudah menembus tabir.
"Iya. Agak pengap dan dingin," kata Janet.
"Oke. Kalian tunggu di sini. Aku akan coba memastikan nanti kita bisa keluar dengan mudah." Tarom Gawat mengelilingi pohon itu dengan arah sebaliknya, juga tujuh kali.
Jabil, Hanoman Ganteng dan Janet sempat gamang ketika di putaran kedua Tarom Gawat tidak muncul. Mereka beranggapan mungkin saja Tarom Gawat sedang berhenti di sisi lain.
"Mana nih bocah gawat?" Jabil gusar.
"Wah, kita ditinggalin," Hanoman Ganteng merutuk.
Tarom Gawat muncul dengan terengah-engah, membuat ketiga temannya bertanya-tanya gundah.
"Kenapa Rom?"
"Gawat gawat gawat."
"Aduh. Kata legendaris muncul lagi." Hanoman Ganteng mencium adanya masalah besar.
"Rom, kenapa?"
Tarom Gawat menghela napasnyadengan susah payah. "Celaka! Kita tidak bisa keluar."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro