
Limolas
Setelah berkonsultasi dengan Yogo Keling, Jabil membatalkan niatnya untuk menyamar menjadi pemulung. Sebab kata Yogo Keling itu akan terlalu mencolok dan riskan. Yogo Keling menggelengkan kepala ketika pertama kali Jabil mencetuskan ide itu. "Jangan, Bil. Bahaya buat kamu."
Kalau dipikir-pikir Yogo Keling ada benarnya juga. Jabil mengembalikan lagi baju lusuh, capil bolong, sandal buluk, dan kait pemulung yang sudah disiapkannya ke bilik perenungan. Menurut Yogo Keling, para pemulung punya wilayah kekuasaan. Seperti jatah wilayah. Menurutnya, para pemulung ada yang mengkoordinir. "Kalau kamu terjun jadi pemulung dan mereka tidak kenal kamu, bisa bahaya kamu nanti dikira merebut lahan mereka. Lebih baik kamu mengintai seperti biasa."
"Maturnuwun Yog." Jabil memungut teropong jarak jauh kecil dari lacinya. "Ini yang paling aman."
"Nah, begitu saja." Yogo Keling pamitan sebelum Dukun Gondrong muncul untuk dimintai menjaga warnet oleh Jabil. Si pemilik warnet akan memulai pengintaiannya sore hari. Targetnya seorang pemulung yang tempo hari dilihatnya mengeruk sampah di warteg dekat rel kereta sebelum pasar Tobo.
Dukun Gondrong lagi terpingkal-pingkal ketika masuk ke warnet. Jabil tahu kenapa. Berita kemunculan Beni Pariyo yang tidak pakai baju di lapangan SMK Pojok sudah merebak. Si pemuda itu sendiri sudah berani menampangkan batang hidungnya di warung Umi Ida. Semua bertanya ke mana saja dia selama ini. "Mencari wangsit," ungkap Beni Pariyo, "semacam pencerahan diri."
Tukang ojek yang lain mencemoohnya dengan, "Pret, sampean ngapain bugil di balik pohon?" tawa meledak. Yang bikin Dukun Gondrong cengar-cengir adalah betapa Beni Pariyo tidak tersinggung oleh cemoohan itu, dia malah tampak mengawang sembari tersenyum seperti orang lagi kasmaran. Juga Beni Pariyo tidak melakukan pembelaan seperti yang kerap kali dilakukannya kalau ada yang tidak setuju dengannya.
"Ritual dukun mana toh?" Umi Ida ikut menimpali, "dapat ganjaran apa?" Beni Pariyo tidak menjawab ini, hanya mengangkat alis sambil meneguk kopi.
Sewaktu para tukang ojek pada dapat tarikan, Dukun Gondrong membisiki Beni Pariyo dengan pertanyaan penasaran, "Ada apa di pohon itu? Wewe gombelnya cakep?"
Beni Pariyo melirik sekilas dan membalas dengan tatapan ke depan, terawangan kebahagiaan. "Menginaplah semalam di sana, niscaya bahagia nanti kamu dapat." Kemudian dilanjutkan siulan lagu dangdut Terajana, Beni Pariyo meninggalkan warung Umi Ida, menambah daftar kasbonnya.
Jabil menyeberang jalan menuju warteg targetnya, dia memesan nasi sepiring ditemani dengan sambal goreng kentang, tempe orek dan telur bulat balado, es teh manis sebagai basuhan terakhir. Dia duduk dekat tempat sampah. Sesuai pengamatannya hari kemarin, pemulung bertopi pancing lusuh itu akan datang pukul empat sore. Yang ditunggunya tiba dan mulai mengorek sampah, memunguti benda-benda plastik juga nyambi mencicipi makanan sisa yang terbuang. Mengamati itu Jabil merasa iba. Pemulung itu adalah seorang pria tua kurus kering dengan tulang pipi menonjol. Dia tidak memakai sandal, tampak jari kelingking kaki kirinya mencuat ganjil cacat. Pakaiannya berupa kaos partai yang sudah samar logonya, sudah usang dan berlumur keringat dan debu. Karungnya adalah karung bekas wadah tepung, baru terisi sebagian dengan botol plastik. Mata pemulung itu seperti penderita katarak, menatap dunia dengan sendu dan rutukan nasib. Namun bibirnya tidak menerangkan ekspresi apa pun.
Jabil sudah menyiapkan satu bungkus yang dipesannya sebelum memakan santapan di tempat. Kepada pemulung itu dia menyerahkan bungkusan tersebut. "Pak, monggo."
Si pemulung menerima dengan mata berair namun bibir tak bergerak. Dia mengangguk dan menyimpan bungkus nasi berisi ikan tongkol bakar dan telor dadar itu ke karung. Lalu dengan wajah sungkan dia melengos pergi. Jabil mengamati dari tempatnya. Si pemilik warung menegur Jabil, "Le, jangan biasakan ngasih ke pemulung itu. Nanti jadi kebiasaan. Warungku nanti gak laku. Pemulung itu bawa sial."
Enggan membantah, Jabil mengangguk saja. "Sepurane bu."
Jabil menyelesaikan santapannya dengan mata tak terputus dari gerak si pemulung yang telah berpindah ke warung beras. Lalu beranjak ke toko kelontong dekat rel. Pemulung itu tampak tak mencurigakan. Dia tidak memakai kait untuk memulung sore ini, melainkan dipungut pakai tangan. Mungkin memang sudah nasib pekerjaannya hanya bisa sebatas memulung barang sisa. Tapi kadang yang seperti itu suka menipu, Jabil mengingatkan diri. Dari sudut matanya dia mendapati kemunculan sosok Bulus Kondang dikawal dua mantan preman: Joni Bangsat dan Mas Picek, baru keluar dari pasar Tobo. Perhatiannya teralih ke mereka. Kemudian akhirnya merutuk karena kehilangan jejak si pemulung. Bulus Kondang berjalan kaki mendatangi toko-toko di sepanjang jalan pasar Tobo. Jabil tak bisa bergerak lebih jauh untuk mengintai si pemulung, karena dia sudah kehilangan jejaknya. "Yawis, lanjut besok lagi."
Di waktu yang sama saat Jabil kembali ke warnetnya, Bulus Kondang bersama dua pengawalnya mampir di konter Hanoman Cell untuk membeli paket internet. Yang didatanginya itu adalah satu di antara sedikit yang tidak butuh suntikan modal darinya. Tetap saja namanya usaha, Bulus Kondang dengan kedipan bulu mata lentik menaruh kartu nama kepada si penjaga konter.
Penjaga konter yang bernama Johan Oman itu mengamati gerak gerik janda kembang itu. Dia tahu siapa Bulus Kondang. Rumor yang merebak mengenai lintah darat jelita itu juga menjadi pengetahuan umum baginya. Johan Oman sudah mengantongi beberapa informasi tentang pesugihan Bulus Jimbung dari Jabil tadi pagi. Yang memesankan paket internet adalah Mas Picek, eks preman pasar Tobo yang tak pernah melepaskan kacamata hitamnya. Suaranya garang serak berat. Tapi bagi Johan Oman tidaklah mengintimidasi, malah dia gatal untuk menirukan bunyi bicaranya. Dia memesan paket 2 giga. Johan Oman langsung berkutat dengan ponselnya sembari mencuri lihat Bulus Kondang yang ayu itu. Gelang emasnya bergemerincing, dia menyerahkan tas KW supernya ke Joni Bangsat, lalu sibuk sendiri dengan tabletnya. "Sudah masuk belum paketannya? Saya butuh ini untuk update Google Calendar," keluhnya.
Keluhannya diteruskan oleh Mas Picek. "Ayo cepat." Serak berat yang lucu.
"Sebentar lagi," jawab Johan Oman. Dia melihat Bulus Kondang menggaruk lehernya. Sekilas dia melihat ada corak putih di kulitnya. Memang benar ternyata. Satu terkonfirmasi. Tapi apakah pesugihan Bulus Jimbung sampai perlu memenggal kepala seorang gadis? Rasa-rasanya tidak. Satu tak terkonfirmasi. Perlu dicoret? "Sudah masuk," kata Johan Oman akhirnya.
"Nah begitu." Wajah Bulus Kondang berubah sumringah ketika transaksi apa pun itu di tabletnya berhasil. Setelah memasukkan tablet sucinya ke dalam tas, Bulus Kondang mendekati Johan Oman sembari memeriksa konter dari sudut ke sudut. Kemudian mengecek isi etalase yang sebagian besar ditempati oleh deretan kartu perdana dengan ragam promo kuota. "Mas ganteng," sapanya, yang membuat Johan Oman berubah waspada.
"Dalem?" balas Johan Oman dengan sopan dan lembut.
"Konternya bakal lebih laris kalau banyak hape yang dijual lho. Mau saya kasih modal buat kulakan?" Bulus Kondang langsung ke inti.
Johan Oman tahu ini adalah kalimat pembuka untuk menjeratnya seumur hidup dalam belitan hutang. "Gak mbak, maturnuwun."
"Sayang lho, punya tempat sendiri padahal. Kalau modal banyak pasti komoditi juga bisa banyak yang dijual. Pelanggan pasti datang gak cuma pengen beli pulsa, mereka tengak tengok apa yang dijual. Kalo mas ganteng jualan hape yang keren-keren kan, pasti mereka lirik."
"Gak mbak, maturnuwun," ulang Johan Oman.
"Yawis kalau gitu. Itu kartu namaku disimpan ya. Siapa tahu nanti berubah pikiran. Ohya, boleh salaman? Jarang-jarang bisa salaman sama mas ganteng berdarah Turki."
Johan Oman tak percaya apa yang didengarnya, dengan gerak ragu-ragu dia menyerahkan tangan untuk dijabat. Tangan Bulus Kondang halus dan lembut, membuat darah Johan Oman berdesir. Sentuhannya memberi setruman ganjil. Johan Oman sampai menahan agar tidak bergidik, takut kalau kalau dia sedang dipelet. Ya, siapa tahu.
Tanpa babibu sesudahnya, Bulus Kondang melenggak pergi dikawal dua eks preman Pasar Tobo. Orang-orang yang bertemu dengannya mengangguk sapa dan senyum. Anggukan yang mencoba membujuk supaya tidak ditagih dahulu utangnya. Beberapa ada yang bernapas lega karena bukan jadwalnya ditagih oleh Bulus Kondang.
Hanoman Ganteng tahu reputasi dua eks preman pasar Tobo itu. Tapi semenjak dulu sampai kini, belum pernah tersiar kabar dua orang itu tega membunuh. Paling banter hanya mematahkan tulang betis, melengserkan rahang, dan menanggalkan gigi geraham. Jadi, tak ada sinyalemen bahwa salah satu di antara dua itu memenggal seorang gadis. Terlalu jauh dan terlalu sadis. Bahkan bagi dua orang macam mereka.
Linimasa penemuan mayat perempuan pertama, tujuh tahun lalu itu, bertepatan saat dua preman itu masih berkuasa di pasar Tobo. Maka Hanoman Ganteng memutuskan mencoret mereka dari daftar curiga.
Sehabis maghrib Hanoman sengaja pulang ke rumah simbah, ada sesuatu yang dia ingin tanyakan. Kedatangan Bulus Kondang tadi bisa jadi pemulus cerita. Dia sudah diberitahu Jabil cara menggiring orang bercerita apa yang kita inginkan tanpa kita bertanya secara langsung.
Simbahnya lagi nyeduh kopi di dapur ketika Hanoman datang. Aromanya menyihir hidung untuk tak berhenti menghirup. Segar membikin mata melek dan menyetrum rahang. Ingin segera menyesap seduhan kopi Simbah.
"Biyungmu tadi telpon. Pakai nomor baru. Nanyain kamu," Simbah memberitahu, "hapenya katanya dicuri orang. Tinggal nomor simbah yang disimpan."
"Ohya? Mana nomornya mbah, biar Hanoman juga simpan."
"Haduh, Simbah lupa le." Rumah Simbah masih pakai telepon rumahan.
"Lha piye toh."
"Nanti kalau biyungmu telpon lagi, biar Simbah catat."
"Bener lho, jangan lupa."
Setelah menyantap hidangan masakan Simbah, Hanoman berinisiatif memijat kaki Simbahnya, di depan tivi ruang depan. Leyeh-leyeh di gelaran karpet busa. "Piye kontermu? Rame gak?"
Pas betul Simbahnya memulai. Ada celah mulus untuk melancarkan aksi. "Lumayan mbah. Tadi Bulus Kondang mampir beli pulsa."
"Weh, Bulus Kondang si rentenir itu?"
Hanoman mengiyakan. "Ditawarin pinjeman masa aku mbah."
"Jangan mau le. Gak kelar-kelar urusan sama itu orang. Utang cuma seuprit, tapi bunganya sudah seperti semak belukar."
"Ya gaklah mbah. Hanoman masih waras. Usaha konter juga masih jalan."
"Repot urusan sama pelakon pesugihan."
"Pesugihan mbah?"
"Iyo, masak kamu gak tahu le? Bulus Kondang itu ngelakoni pesugihan Bulus Jimbung. Semua orang juga tahu."
"Yo tahu aku mbah kalau itu."
"Tak kasih tahu kamu le, pelakon pesugihan itu hartanya tidak berkah. Kelihatannya makmur, tapi sebenarnya ajur."
"Nggih mbah."
Kemudian yang diharapkan Hanoman terlaksana. Simbahnya bercerita tentang seorang nenek-nenek peyot bernama Mbah Wari. Hanoman kenal dengan nenek itu, dia yang suka tahu-tahu nimbrung di suatu peristiwa lalu ngoceh ngalor ngidul tak karuan asik sendiri. Kemunculannya tak bisa diantisipasi oleh siapa pun. Nenek itu seperti punya radar peristiwa yang membuat orang kumpul penasaran.
Alkisah Mbah Wari sewaktu muda, adalah seorang gadis desa yang ayu dan diincar banyak lelaki. Wari menyadari keayuannya dan memanfaatkan itu untuk mencapai segala keinginannya. Banyak lelaki dikeruk kantongnya. Walau sesungguhnya keluarga Wari bukanlah keluarga yang miskin. Namanya juga keinginan, tidak ada habis-habisnya. Kebanyakan lelaki mudah kepincut oleh Wari, namun akan segera dilepeh kalau Wari sudah bosan. Dia akan menjangkau ke yang lain, bahkan di satu waktu, dia memacari dua atau tiga lelaki sekaligus.
Alkisah Wari kena batunya. Rumornya adalah ada seorang lelaki yang patah hati dan mendendam terhadap Wari lalu mengirim kutukan kepada Wari. Hidup Wari akan sengsara. Entah siapa yang mengembuskan rumor itu, tapi kenyataannya memang demikian. Wari yang tak pernah kepincut dalam-dalam oleh satu lelaki, akhirnya menjatuhkan hati dan keperawanannya kepada seorang asing yang datang. Asing dalam arti bukan warga setempat. Wari memadu kasih dan bercumbu di bawah pohon pisang di pinggir sungai. Simbah mengaku pernah menyaksikan keduanya tengah beraksi. Tapi mereka tak peduli dan meneruskan cumbuan. Warga sebenarnya gerah melihat tindak-tanduk remaja itu. Maka mereka mencari waktu dan mengintai biar dapat bukti untuk mengusir lelaki pendatang itu. Warga berhasil mengusir si lelaki, Wari menjerit-jerit tidak terima. Apa yang diungkapkan Wari mengejutkan orangtuanya, "Jangan usir dia. Dia cintaku. Dia bapak dari anakku. Aku hamil."
Oleh pengakuan itu Wari dikucilkan dan diusir dari rumah. Selama tiga bulan Wari menanti si lelaki apakah berani datang dan bertanggung jawab. Sementara harapannya makin terpuruk, perutnya makin menggembung. Warga sudah menilai buruk si Wari. Warga akan meludah dan mengatakan hal yang tak patut kepada Wari. Wari sendiri selama pengucilan itu tinggal di pinggir sungai. Dia sedih merutuki nasib. Yang awalnya cinta, berakhir dengan benci. Si lelaki tidak bertanggung jawab. Wari mengharapkan si lelaki datang dan membawanya pergi. Tapi itu hanya berakhir jadi mimpi siang bolong tak berfaedah.
Entah bagaimana jadinya, kabarnya Wari menawarkan jabang bayinya kepada jin yang menginginkan anak manusia untuk diasuh di alam mereka. Entah dukun mana yang menghasut Wari untuk melakukan itu, warga menyayangkan tindakan Wari. Walau masih dikucilkan, Wari tidak peduli karena jabang bayinya sudah dibeli jin dengan harga mahal. Wari kaya mendadak, dia membeli rumah di dekat sungai. Orang-orang bergunjing mengenai perutnya yang kempes mendadak. Orang bilang Wari melakoni pesugihan Tukar Janin. Sungguh amat disayangkan.
Alkisah Wari kena batunya lagi. Harta memang memancing orang untuk berbuat tidak-tidak. Datanglah seorang lelaki gagah dan tampan untuk memacari Wari. Awalnya Wari jual mahal, terutama karena dia ditinggalkan tanpa kejelasan oleh lelaki yang membuntinginya dulu. Kini datang lebah baru. Dengan satu dan lain cara, Wari akhirnya menerima si lelaki. Tapi, belum ada satu bulan, si lelaki itu kabur membawa surat-surat berharga dan perhiasan emas Wari untuk taruhan judi. Dalam sekejap Wari jatuh miskin lagi. Wari depresi akut dan bersumpah tidak akan menikah atau menjalin hubungan dengan lelaki. Wari jadi gila dan rumahnya dibiarkan sampai bobrok.
"Hikmahnya le, jangan sekali-kali melakukan pesugihan," kata Simbah mengakhiri ceritanya.
Dalam benaknya, Hanoman Ganteng berpendapat, "Pesugihan memang merepotkan." Ini didasari oleh aktifitasnya tadi siang. Dia sengaja bermotor ke Petak untuk makan mie ayam Mbok Nari. Eks pedangdut kondang di jamannya. Mbok Nari tidak malu-malu meliukkan pinggul semoknya dan memuji kegantengan khas Turki Johan Oman. Bahkan dia memberikan satu mangkok mie ayam itu gratis. Dia teringat pesan Jabil, "Manfaatkan orang-orang yang kepincut denganmu."
Maka Hanoman Ganteng iseng bertanya, "Rumah Pak Singodimejo di mana ya?"
"Itu gampang. Kamu cari saja rumah besar yang lagi direnovasi. Itu pasti rumah Singodimejo raja meubel," jawab Mbok Nari dengan nada dilagukan.
"Maturnuwun." Hanoman Ganteng mengucapkan terima kasih dengan mencium punggung tangan Mbok Nari. Eks pedangdut kondang itu seperti mau pingsan dibuatnya.
Beri mereka tindakan romantis yang makin membuat mereka terpincut dan rela melakukan apa saja nantinya jika kamu minta. Pesan Jabil berikutnya.
Hanoman Ganteng mengendarai motornya menyusuri jalanan, dia menemukan sebuah rumah besar sedang dipasangi pasak-pasak bambu dan terhampar pasir dan bata di halamannya. Kebetulan, di depan situ ada warung kopi. Dia mampir di sana dan memesan secangkir. Tidak jauh dari situ ada area persawahan, ada petani yang mengentas untuk beristirahat sejenak ngopi di warung. Ada satu yang dikenalnya, Lek Jaran, bapak-bapak bermuka mirip kuda dengan tubuh pejal. Tahu bahwasanya Hanoman sedang mengamati rumah yang tidak selesai-selesai direnovasi itu, Lek Jaran berkata, "Kandang Bubrah."
"Eh? Sepurane?" Hanoman kurang mendengar jelas.
"Pesugihan," jelas Lek Jaran dengan intensitas bisikan, "banyak yang menduga Singodimejo melakoni pesugihan Kandang Bubrah. Cara dapat rejeki instan yang syaratnya harus merenovasi rumah setahun sekali. Ada yang bilang rumah itu bakal diperuntukkan buat tempat tinggal jin. Di salah satu kamar harus ada sesajen. Terus si pemilik rumah harus ngencuk gonta ganti pasangan di kamar yang beda-beda. Kuli bangunan yang ikut merenovasi rumah biasanya akan ada yang celaka satu atau mati satu. Serem gak?"
"Serem lek. Yang bener lek kalau Singodimejo ada pesugihan?"
"Yo banyak yang percaya begitu. Wong buktinya tiap tahun direnov terus."
"Bukti-bukti lain?"
"Yang lain sih susah dibuktikan yo, kan harus masuk ke dalam rumah. Tapi, ada satu yang baru ketahuan. Waktu itu ada cah nom yang kecelakaan. Ternyata cah nom itu salah satu kuli bangunan yang ikut renov rumah itu." Lek Jaran menunjuk dengan dagu kudanya. "Makanya gak heran kalau Singodimejo tajirnya kelewatan."
Hanoman Ganteng mencatat dalam kepala. Lek Jaran sudah beranjak karena lauk dan nasi di piringnya ludes. Petunjuk mengatakan tumbalnya adalah kuli bangunan. Dan kebanyakan kuli bangunan adalah pasti laki-laki. Hanoman Ganteng terpaksa mencoret Singodimejo.
Dari kejauhan terdengar derap kaki kuda. Sebuah dokar tengah melintas. Dikusiri oleh seseorang yang dari ciri penampilannya mengatakan bahwa dia seorang kyai. Lek Jaran yang belum jauh dari warung, menyapa kusir itu, "Assalamualaikum Ki Pono!"
Kyai Supono! Hanoman teringat. Perhatiannya tertuju sepenuhnya kepada kyai bertubuh pendek kurus memakai sarung, kemeja putih, dan peci hitam. Jenggotnya hitam panjang. Ada firasat mengatakan bahwa laju gerak dokar Kyai Supono sedikit melambat ketika melintas rumah besar yang sedang direnov itu. Kyai Supono pun menoleh sebentar ke arah rumah itu.
Melihat itu Hanoman Ganteng jadi penasaran.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro