Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Limo

Johan Oman didatangi simbahnya di konter pulsa yang pula adalah tempatnya menginap. Sebuah tempat kecil yang berpetak tiga. Ruang depan adalah tempatnya berjualan kartu perdana, pulsa, serta jual-beli ponsel bekas, ruang tengah sebagai tempatnya beristirahat—di situ tersedia kasur bermuatan satu orang, wastafel portabel dengan penanak nasi mungil di atasnya dan tumpukan piring dan gelas serta sendok, satu meja tempat meletakkan kompor satu tungku untuk masak-masak (Johan Oman sedikit-sedikit diajari Simbahnya masak), dan satu sofa untuk bersantai sambil telponan dan mengirim pesan kepada pacar, lalu ruang belakang adalah kamar mandi sekaligus tempat cuci.

Simbahnya pula yang mengajari Hanoman untuk menyisihkan sebagian kiriman uang dari Biyung untuk bekal masa depan. "Simpen buat nanti bikin usaha," kata simbah setiap kali mendapati transferan kawat dari luar negeri. Simbah sendiri bukanlah nenek-nenek yang menganggur saja di rumah, beliau di umur yang telah sedemikian tua, tetap giat beraktifitas bercocok tanam guna dijual ke pemasok sayuran di pasar Tobo, kegiatan ini seperti menyuntikkan nyawa segar baru ke dalam tubuh setiap harinya. Hasil berjualan itulah yang secara pokok digunakan untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah cucu tunggal tersayang.

Hanoman ganteng pun bukanlah anak yang pemboros. Menuruti wejangan Simbah, tidak hanya sebagian yang disimpannya, melainkan seluruh kiriman dari Biyung dia simpan. Hanoman ingin, ketika usahanya berjalan dan sukses, sewaktu Biyungnya bisa pulang, dapat melihat anak lelakinya mampu mendirikan usaha walau kecil-kecilan. Uang simpanan itulah yang digunakan buat beli lahan dan bikin bangunan kecil di pinggir jalan percabangan di penghujung Pasar Tobo. Tempat yang strategis bagi pengendara motor dan anak sekolah biasa lewat.

"Hanoman Ganteng cucuku sayang, Simbah dapat laporan konter pulsane sampean kok tutup? Ada apa toh?"

Pemuda menjelang usia keduapuluh itu sungkem dahulu kepada Simbah. Kemudian membuatkan teh poci panas, barulah duduk bersandar di kaki Simbah yang lagi duduk di sofa kecil. Simbah mengusap-usap rambut cucunya. Hanoman tak langsung menjawab, dia menggelengkan kepala.

"Simbah ngerti. Ada mayat tanpa kepala lagi toh. Sampean takut ditanya-tanya yo?"

Hanoman Ganteng mengangguk.

"Sudah, jangan dipikirin lagi. Orang-orang sudah pada lupa kok sama kejadian itu. Simbah perhatikan sudah jarang yang ngomongin. Sampean kalau ada yang nanya-nanya begitu gak usah ditanggapi. Gak usah repot-repot bikin susah diri sendiri. Kalau sampean gak jualan, nanti mau makan sehari-hari bagaimana? Sampean sendiri kan yang bilang, simbah gak usah bayarin hidup sampean lagi. Katanya mau hidup mandiri. Hidup mandiri itu ya haruse jangan bersembunyi kalau ketemu cobaan. Harus bangkit. Harus hadapi masalah. Ketakutan masa kecil jangan dibawa-bawa terus sepanjang hidup. Yo ngger."

Johan Oman merenungi wejangan Simbah. Sejenak kemudian meletakkan kepalanya di paha Simbah yang mengenakan jarik. Tampak gerakan mengangguk dari kepalanya. Tangan Johan Oman telah memegang kunci rolling door. "Nggih mbah," jawab Hanoman.

"Pacarmu Janet piye kabare?" tiba-tiba Simbah bertanya, beralih topik begitu cepat.

Yang ditanya langsung kikuk. "Baik mbah."

Pertama kali Hanoman Ganteng bertemu Janet adalah ketika Hanoman beserta Jabil dan Yogo Keling sedang makan ikan bakar lesehan di Klothok sekitar empat bulan lalu. Mereka bertiga mengambil saung kecil yang dekat dengan saung utama tempat karaoke berada yang lagi ditempati untuk acara reunian. Janet sendiri sebetulnya sedang ikut acara reunian di saung ukuran sedang untuk dua puluh orang. Perempuan berpakaian ketat dengan alis dilukis tengah bercanda heboh bersama teman-temannya, tampaknya sedang melakukan suit taruhan tantangan. Saking hebohnya, banyak penghuni saung yang lagi melahap gurame bakar pada menengok ke saung Janet. Hanoman Ganteng asyik mengamati laku Janet yang menarik perhatian itu.

Diketahui akhirnya Janet kalah suit dengan taruhan menyanyi di depan acara reuni di saung utama itu. Yang Hanoman kagumi adalah, Janet tampak percaya diri dan sama sekali tidak ragu menjawab tantangan tersebut. Dia berjalan bak model menelusuri lantai anyaman bambu di atas kolam gurame, masuk ke saung utama dan merebut secara sopan mik dari pemain organ tunggal. Suara Janet yang cukup melengking manja menarik perhatian khalayak.

"Halo semuanya... saya mau menyumbang nyanyi buat menghibur kalian yaa!"

"Okee!" sahut para hadirin dengan antusias.

"Tariiik mbaak!" dikiranya bakalan dinyanyikan dangdut.

Janet pada mulanya hanya membawakan tiga lagu. Yaitu satu lagu dari Afgan, kemudian Adelle dan One Direction. Tak dinyana oleh Johan Oman yang tak begitu menyukai lagu-lagu macam itu, dibawakan oleh Janet, membawanya ikut menghentakkan jari tanda mengikuti irama dan nada suara Janet yang enak didengar. Di saung utama pun para hadirin ikutan bernyanyi. Suasananya jadi lebih hidup dan membuat pertemuan reuni itu lebih meriah. Pemain organ yang kebetulan adalah pemilik lesehan ikan bakar Klothok itu terbakar jiwa mudanya dan semarak memainkan organ. Kemudian menawari Janet supaya mengisi setiap malam Minggu.

Nanti ketika Johan Oman kenal dekat Janet, momen itu merupakan titik mula seekor kupu-kupu keluar dari kepompongnya. Janet yang dahulu suka dirundung dan diejek, berubah menjadi biduan penyemarak suasana yang dicintai.

Awalnya Johan tak mengira dia bakal bisa kenal dekat dengan Janet itu. Setelah tiga lagu pertama dinyanyikan, para hadirin yang terhibur meminta tambahan lagu-lagu lain. Dilayanilah oleh Janet, sembari menyanyi dia menggoyangkan badan sambil jari mengetuk-ngetuk mik guna menjaga tempo, Janet yang mengusaikan persembahan lagu itu ditraktir oleh ketua panitia acara reuni tersebut. Sewaktu mencuci tangan tak sengaja Johan Oman bertubrukan dengan Janet sebab Jabil tengah mencandainya.

"Maaf ya mas," kata Janet.

"Aku yang maaf mbak," Johan Oman mendapati paras lucu perempuan itu. "Eh, mbak kan yang barusan menyanyai di situ ya?"

Janet tersenyum malu. "Iya mas betul. Aku yang barusan menyanyai." Kemudian ia tertawa karena mendengar ucapan kata yang gugup dari Johan Oman.

"Eh menyanyi maksudnya." Hanoman ganteng garuk kepala, "Suaranya bagus mbak."

Sementara Jabil mengajak Yogo Keling jalan duluan. Sambil berjalan ia berbisik kepada Yogo Keling, "Itu tadi tabrakannya kusengaja."

Yogo Keling mengangguk mafhum.

Janet tertawa malu-malu, "Masa sih mas? Jarang-jarang lho aku dipuji mas-mas ganteng."

Gantian Johan Oman yang tersipu malu. Meski sudah sering mendapat pujian itu, diucapkan oleh seorang Janet adalah lain hal. "Oh ya, aku Johan Oman."

"Aku Janet. Tidak usah pakai mbak ya. Eh siapa tadi? Hanoman?"

Johan tertawa. "Kebetulan, itu julukanku."

"Oh ya? kalau begitu Hanoman Ganteng dong."

"Nah, itu julukan lengkapku. Seriusan."

Keduanya tertawa bersama. Lalu baik keduanya meminta teman-teman lain untuk duluan. Mereka tinggal untuk melanjutkan obrolan dengan memesan es jeruk, kemudian bertukar nomor telepon. Obrolan dilanjut melalui sambungan telepon ketika keduanya telah sampai rumah masing-masing sambil berbaring menatap langit-langit kamar yang terpasang kipas angin.

Seumur-umur Johan Oman belum pernah mendapati perempuan yang bisa diajak bicara dengan lancarnya saat pertemuan pertama. Segala hal bisa diobrolkan dengan asyik bersama Janet. Jarang-jarang Johan Oman membagi peristiwa semasa kecil ketika dia menemukan mayat tanpa kepala di bawah jembatan Tobo. Janet begitu hikmat mendengarkan cerita Johan, pendengar yang apik ya begitu.

"Seram ya. Aku dulu pernah mengalami hal yang serupa tapi tak sama. Waktu sekolah di SDN Padangan. Ohya, dulu waktu kecil aku kan bisa lihat lho."

"Lihat alam gaib maksudnya?"

"Iya. Dulu banget. Sekarang sudah tidak bisa lagi, katanya sudah ditutup sama nenek. Jadi begini, di samping kantor polisi Padangan, kamu tahu kan? Di situ ada rumah kosong yang keliatan angker kalau malam-malam. Justru aku kedapatan penglihatannya pas siang-siang sebelum dzuhur. Lagi pelajaran di kelas, pas mau istirahat seperti ada yang muncul di jendela samping kelas. Kulihat teman-teman gak ada yang ngeh. Cuma aku yang tahu. Penampakan laki-laki sepuh memakai blangkon cokelat. Berdiri diam ngelihatin aku terus. Waktu bel istirahat bunyi, dia ngelambai ke aku. Aku ikutin dong, penasaran banget soalnya. Aku kejar waktu penampakan laki-laki sepuh itu melayang cepat. Ternyata aku dibawa ke rumah kosong itu. Aku lompatin pagar rumah itu kan, kok si orang sepuh itu gak keliatan. Pas aku balik aku kaget setengah mati. Si orang sepuh itu jadi keliatan jelas banget, nunjukin tanah dekat pohon asem besar depan rumah itu. Aku tanya di situ ada apa, tapi si orang sepuh gak jawab. Tetap nunjuk sambil senyum. Kulihat arah tunjukannya, ada gundukan tanah. Kugali-gali sedikit biar tahu ada apa di situ. Ternyata ada tumbuhan kecil. Waktu aku balik ke orang sepuh, dia sudah hilang. Habis itu aku gak inget sama sekali. Tapi katanya semuanya pada heboh, teman-teman pada ngumpul di depan rumah itu ngerubungi aku yang katanya tadi teriak kencang banget. Katanya aku dibawa ke kantor polisi karena pingsan."

Johan yang mendengarkan sampai berdiri bulu kuduknya. Dia sendiri jadi ingat penampakan tubuh tanpa kepala yang berdiri lama di ujung tempat tidurnya dulu.

"Terus, yang kamu temukan itu, tanaman kecil ya? besoknya kamu lihat masih ada?"

"Sedih kalau ditanyai itu."

"Loh, kenapa Net?"

"Aku dibilang halusinasi. Soalnya teman-teman gak ada yang bisa lihat pohon gede dengan bentuk aneh yang tumbuh di samping pohon asem. Cuma aku yang bisa lihat, oh ya, sama nenekku juga, satu-satunya yang percaya sama aku. Karena itu aku diejek-ejekin terus. Kadang-kadang kalau aku lewat depan pohon itu, aku ketemu si orang sepuh pakai blangkon."

"Aku percaya sama kamu kok."

"Terima kasih."

Ketika obrolan panjang semalam suntuk itu berakhir, Johan Oman berusaha tidur namun kesulitan. Dalam pejaman mata yang sulit itu dia samar-samar mendapati sosok persis yang diuraikan oleh Janet, tengah berdiri di sudut kamarnya, tangan kanannya menjambak rambut panjang dari kepala yang tergantung-gantung tanpa wajah.

Itu adalah malam sebelum peristiwa penemuan jasad tanpa kepala di bawah jembatan Tobo yang baru dua bulan lalu terjadi.

"Janet sering datang ke sini?" tanya Simbahnya, membuyarkan pikiran Hanoman.

"Kadang-kadang mbah. Kalau aku jemput dulu."

"Penyanyi ya dia?"

"Nggih mbah. Makanya sekarang lagi jarang ketemu, Janet lagi banyak orderan."

"Kapan-kapan Simbah mau dengarkan Janet nyanyi. Waktu itu kan belum sempat."

Sebuah ketukan mengagetkan Johan Oman. Bergegas dia membuka pintu depan. "Janet? Wah, panjang umur kamu sayang."

"Lagi ngomongin aku ya?"

Yang Hanoman tidak tahu adalah,Simbah-nya sengaja mengundang Janet datang. Sebagai obat, menurutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro