Memori
Sudah berapa lama berlalu?
Biar kuingat. Semenjak aksi kejar-kejaran nan menegangkan antara aku dengan para makhluk tidak berakhlak itu, pada akhirnya aku kembali ke tempat yang sangat familiar. Barangkali aku pulang—pulang ke rumah yang ke sekianku. Maksudku ... aku ini terlampau sering berpergian dan berpindah tempat. Namun, tetap saja, dari semua tempat yang kusinggahi hanya beberapa yang kuanggap sebagai rumah. Salah satunya tempat ini.
Aku menghabiskan sebagian besar waktuku di sini ini, sebuah bunker canggih. Terlebih setelah aksi kaburku yang lantas ditemukan ... ditemukan siapa? Aku lupa. Yang jelas dialah yang membawaku kemari.
Sebuah senyum miring terbit di bibirku seiring penglihatanku menangkap secara utuh pemandangan di sini. Berbeda dengan di dalam, di sini pemandangan berubah menjadi tempat yang akan membuat siapapun merasa tidak nyaman. Banyak barang berserak, ditambah beberapa lampu yang mati terkadang berkedip sesekali. Tentu ruangan ini remang. Aku mengeluh resah, batinku tidak tenang.
Kalau tidak salah di salah satu sisi terdapat hamparan pasir yang cukup luas. Dulu di sana, kami kerap menjadikannya sebagai tempat bersenang-senang. Sederet ingatan mengisi kepalaku. Hubunganku dengan anak-anak tempat ini tidaklah terlalu buruk. Terkadang kami duduk sambil menorehkan harapan di pasir. Bukan aku sih, lebih tepatnya mereka. Aku paling hanya menuliskan nama.
Eh? Aku mengerjap, kemudian kurasakan kepalaku berdenyut. Aku mengerang lirih. Kok aku tidak sadar ya? Ada yang aneh.
Aku merintih, menendang benda yang nyaris menyandungku. Padahal luka-luka yang kudapat belum sepenuhnya mengering. Ah, tampaknya harus lebih waspada lagi.
Kaki-kaki ini secara refleks membawaku ke hamparan pasir, di beberapa sisi lain tampak tanah yang biasa digunakan pertanian berantakan bagai baru tertimpa bencana. Tanaman mati meranggas di sana-sini. Pun bercak kemerahan yang tertoreh memberikan kesan ngeri. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tidak mengerti.
Seharusnya wilayah ini menjadi salah satu tempat yang memiliki kenangan indah. Mungkin karena kini sudah hancur jadi berubah mengerikan. Namun, lagi-lagi aku menggerung lirih merasakan denyut pening di kepala. Kenapa?
Aroma tak sedap menyeruak rongga hidung, detik berikutnya mengundang gejolak di perut. Aku mengerjap, tersadar akan sesuatu hal. Kedatanganku ke tempat ini bukanlah tanpa sebab. Aku datang kemari lantaran ada hal yang kulupakan. Pasti aku bisa mendapatkannya di salah satu tempat ini.
Mataku lekat memandangi pasir kekuningan yang terinjak kaki. Aku memungut sebuah tongkat. Mengoreskan deretan huruf di sana seraya menelusuri hamparan pasir. Menelusuri tempat ini mengingatkannya akan tulisan di pasir. Tulisan itu tidak akan bertahan lama. Karena entah di detik atau menit berikutnya angin datang lalu membawa butiran pasir dan merusaknya. Atau bisa saja hujan turun kemudian melenyapkan torehan itu.
Dipikir-pikir apakah ingatan manusia juga bisa diibuat demikian. Masalahnya sudah semingguan lebih aku merasa ada yang mengganjal di pikiranku.
"Neva!" Pekik sebuah suara.
Aku mendengkus sepintas, lalu kembali fokus pada benda di tangan.
"Kenapa kau susah sekali diatur, hah! Lekas kembali ke dalam! Kau itu belum pulih benar!"
"Ditambah di sini itu berbahaya!"
Aku abai dan memilih meneruskan kegiatanku. Pria paruh baya yang sedari tadi membututiku itu terus saja mengoceh. Sementara itu, tiap kali tongkat yang kupegang mengukir huruf, maka semakin menyesakan juga tekanan yang kurasakan di dada. Tanpa sadar beberapa deret huruf itu selesai kutulis. Dan tanpa kusadari bagai ada sesuatu yang menyetrum tubuh ini. Aku membeku.
"Haha," tawaku merasa gila.
Aku membeliak. Hanya perlu satu kata kunci, maka berbondong-bondong ingatan membanjiri otakku. Aku tertawa kian sinting. Ah, benar. Kucing itu dan orang-orang itu kan hilang gara-gara insiden lalu dan mungkin sudah—
"Apa yang kau perbuat?" Tanya pria tadi dengan raut panik.
Aku terdiam, lalu menoleh, dan menatap tajam sosok pria berambut lepek itu. "Sudah berapa lama?"
"Kau?" Katanya dengan ekspresi setengah terkejut. Pupil matanya tampak bergetar.
"Iya. Aku sudah mengingatnya," geramku dengan napas memburu.
Pria itu lantas mengembuskan napas pasrah, "Aku yakin kau sudah tahu dengan pasti. Namun, tetaplah di sini. Kumohon."
Prompt
Didedikasikan Blackpandora_Club
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro