Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tujuh Belas

"Hatimu itu bodoh kalau lagi jatuh cinta. Nggak usah didengerin!"

*****

"Menurut kamu, dua orang yang udah lama temenan bisa jadi pacar, nggak?" tanya Zarfan tiba-tiba.

"Emmm ... bisa," jawabku asal. Jantungku kembali bertalu.

"Meskipun bertemannya udah lama banget?" tanya cowok itu lagi.

Aku mengangguk. "Kamu tahu nggak, kalau Pak Rizal dan istrinya udah temenan dari SMA? Setelah lulus kuliah, mereka pacaran sebentar dan langsung nikah."

Zarfan terkekeh. "Kok bisa tahu?"

Aku memutar bola mata. "Cobain deh, jadi anak bimbingannya Pak Rizal. Sehariii ... aja. Mustahil dia nggak ngomongin istrinya."

Kami tertawa bersama. Untuk beberapa saat ke depan kami membicarakan pria itu. Namun setelahnya, tidak ada lagi topik yang bisa dibahas. Keheningan meliputi kami. Seandainya saja makan malam kami sudah datang, aku tidak perlu berusaha mencari obrolan sekeras ini agar suasana tidak berubah canggung.

Akhirnya, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Emmm ... Zar, soal yang kamu bilang tadi. Kamu serius mau ngajak aku nge-date?"

"Iya, aku serius," jawab cowok itu yakin, tanpa jeda sedetik pun. "Kamunya mau nggak, kalau aku ajak nge-date?"

"Emmm ...." Otakku masih kesulitan merangkai kata-kata. Ucapannya benar-benar membuatku salah tingkah.

"Kalau ngejawabnya lama artinya mau." Zarfan menyeringai jahil. "Mau fine dining atau ... kita makan sushi aja? Atau steak?"

Ponselku di atas meja bergetar beberapa kali, tetapi aku tidak ingin mengecek pesan yang masuk. Aku bergeming, masih memikirkan jawaban yang tepat untuk cowok itu. Tiba-tiba saja teringat Aruna yang menasihatiku malam itu. Tentang tugas akhirku, lalu Zarfan yang sebentar lagi akan sibuk S-2. Beberapa hari lalu, aku sudah berkomitmen akan fokus sepenuhnya pada kuliah. Sayangnya, malam ini pertahananku nyaris goyah.

Tapi ... ini kesempatan besar. Aku sudah menunggu cowok di hadapanku ini bahkan sejak semester pertama.

Kurasakan kedua pipiku memanas. Dadaku berdebar semakin cepat. Otot-otot wajahku memerintahkanku untuk tersenyum, tetapi setengah mati aku menahannya karena gengsi. "Makan di mana aja aku mau kalau sama kamu, Zar."

"Bahkan makan di restoran sei sapi promo kayak gini?"

Aku mengangguk. "Makan di angkringan juga mau, kok."

Zarfan tertawa kecil. Senyumnya begitu manis. "Jangan, dong. Masa iya aku ngajak kamu nge-date ke angkringan? Jangan bilang kalau aku ngajak nonton bioskop layar tancap, kamu juga mau?"

Aku mengangguk lagi. "Iya, kok. Aku mau."

"Mikaaa!" seru Zarfan sambil tertawa. Ia menggeleng. "Di Bandung masih banyak bioskop di mal, loh!"

Aku ikut tertawa. "Tapi, 'kan, seru nonton layar tancap! Di lapangan berumput, gelar tikar sambil piknik, bawa bekal sendiri. Anti mainstream!"

"Di bioskop mal lebih nyaman. Indoor, ada AC, nggak ada nyamuk. Bisa sambil makan popcorn juga, 'kan?"

"Ini kita lagi ngomongin apa sih, Zar?" Aku masih tertawa agar obrolan tetap terasa kasual. "Kok jadi ngobrolin yang kayak gini?"

"Kamu maunya kita ngobrolin apa, Mik? Kamu maunya kita kayak gimana?" tanya Zarfan yang mendadak makin serius.

Aku membuka mulut, hendak menjawab tetapi ragu. Kemudian, seorang pelayan menginterupsi. Pria itu meletakkan pesanan kami di atas meja. Ponselku bergetar lagi. Dengan segera aku meletakkan benda itu di pinggir meja agar tidak menghalangi piring-piring yang baru saja datang.

Zarfan mengambil sendok dan garpu di atas meja, lalu berucap lirih, "Ya udah, ngobrolnya nanti lagi. Kita makan dulu."

Aku mengangguk. Beberapa menit ke depan kami habiskan dengan menikmati makan malam. Di antara kami tidak ada lagi yang membahas obrolan tadi. Sesekali aku menunduk, menghindari tatapan Zarfan. Pipiku masih terasa panas. Ingin sekali rasanya menjawab pertanyaan yang Zarfan lontarkan beberapa saat lalu. Namun, perasaan dan akal sehatku masih berperang, menentukan mana yang harus kupilih. Apakah mengikuti nasihat Aruna atau mendengarkan keinginanku sendiri? Debaran jantungku pun sulit dikontrol.

Pada akhirnya, menit demi menit terlewati dan makan malam kami telah habis. Zarfan mengambil ponselnya, menggulir layarnya selama beberapa saat. Kemudian, disodorkannya benda pipih itu padaku. "Mik, coba lihat akun Instagram ini!"

Aku mengambil ponselnya, kemudian menuruti perintah cowok itu. Layar ponselnya menampilkan akun resmi sebuah event organizer.

"Kebetulan bulan depan ada seasonal event. Ada bioskop drive in yang bakalan beroperasi sementara di Bandung," ujar Zarfan, "mereka bakal nayangin film-film box office lama."

Tanpa sadar kedua sudut bibirku terangkat. Aku melirik cowok itu yang juga tersenyum padaku.

"Kamu suka kencan yang kayak gini, 'kan? Nonton layar tancap? Walaupun nggak sambil piknik, kita bisa nonton dari dalam mobil. Gimana?" tanyanya.

Aku bergumam sejenak. "Yaaa ... kayaknya ini win-win solution buat kita berdua. Kamu pengennya indoor yang ada AC-nya, aku pengennya nonton di alam terbuka."

Zarfan mengangguk pelan. "Iyaaa. Jadi ... gimana? Kamu mau?"

"Kamu ... ngajakin aku nonton bioskop drive in?" Aku memastikan.

Cowok dengan comma hair itu mengangguk lagi. "Iya. Filmnya kamu yang pilih, deh."

Kedua mata kami bertemu dalam diam. Kupu-kupu yang ada di perutku bangun dan beterbangan, membuatku tidak kuasa menahan senyum. Aku mengonfirmasi ajakannya dengan anggukan. Kuserahkan kembali ponsel di tanganku pada pemiliknya.

Tiba-tiba, ponselku yang ada di atas meja bergetar lagi, tetapi kali ini ritmenya cukup panjang. Dengan segera atensi kami tertuju pada benda elektronik itu.

"Ponsel kamu bergetar terus dari tadi. Coba cek. Takutnya urgent," ujar Zarfan.

Aku mengangguk. Kuambil benda tersebut dan melihat nama seorang cowok muncul di layar, menandakan ada panggilan yang masuk. Spontan alisku bertaut. "Hah? Dika?" gumamku.

"Dika? Dika si adik tingkat kamu itu?" tanya Zarfan.

Aku mendongak pada Zarfan yang sedang memberiku tatapan menelisik, kemudian menjawab, "Iya. Bentar ya, aku jawab dulu."

Ketika kuletakkan ponsel di daun telinga, aku mendengar suara Dika dari seberang speaker. "Teh Mika! Kenapa sih, dari tadi nggak balas chat?"

"Sori bangeeet nggak lihat ponsel, aku lagi di luar kost," balasku, "kenapa, Dik?"

"Ini ... aku mau nanya soal laporan. Ada yang aku nggak ngerti. Takutnya progresku nggak kekejar buat bimbingan Senin depan, masih banyak banget soalnya."

Aku menghabiskan sekitar lima menit ke depan untuk membicarakan laporan Pra Tugas Akhirnya Dika. Sesekali aku melirik Zarfan yang juga sedang memainkan ponsel. Perasaan bersalahku datang ketika raut wajah hangat cowok itu mendadak dingin. Zarfan meletakkan ponselnya dan mengetuk-ngetuk meja, tangannya menopang dagu, kurasakan pula kakinya bergerak-gerak di bawah meja. Dengan segera, kuakhiri panggilan telepon dengan Dika dan berjanji akan menjelaskan lebih jauh setelah aku sampai di kost.

Dengan ragu aku melirik Zarfan, lalu meletakkan kembali ponsel di atas meja. "Sori banget, Dika sampai telepon soalnya aku nggak ngecek ponsel. Ternyata, Dika nge-chat berkali-kali, nanyain laporan Pra TA. Revisi dari Pak Rizal banyak banget, makanya dia–"

"Harus banget dia nge-chat berkali-kali dan sampai telepon kamu?" tanya Zarfan dingin. "Ini weekend. Kamu, 'kan, punya acara sendiri dan nggak harus ngecek ponsel terus-terusan."

Aku menatap kedua iris cokelat tua milik Zarfan, berusaha menenangkan cowok yang terlihat jengkel itu. "Nggak apa-apa, kok, Zar. Aku nggak ngerasa keganggu."

"Tapi, 'kan, tadi kamu lagi ngobrol sama aku, dan akhirnya terpotong gitu aja," cecar cowok itu.

Mendengar perkataan Zarfan, rasanya seperti ada seseorang yang meninju dadaku keras-keras. Aku membuang muka. Rasa bersalah, takut, dan bingung bercampur menjadi satu. Baru saja aku dibuat melayang oleh perbuatan manis cowok itu. Sekarang, sikap Zarfan berubah seratus delapan puluh derajat. Atmosfer sekitar kami mendadak terasa dingin. Aku tidak tahu harus mengatakan apa untuk melelehkan es yang berada di sekeliling cowok itu.

"Sori ya. Nanti kalau bareng kamu, aku nggak akan ngangkat telepon lagi," lirihku sambil menunduk.

"Nggak, Mik, nggak gitu. Jangan salah paham," ucap Zarfan cepat. Suaranya lirih. Aku mendongak dan pandangan kami bertemu. "Tadi kamu bilang Dika nge-chat berkali-kali, 'kan? Aku nggak suka aja cara dia ngehubungin kamu, sampai telepon dan motong pembicaraan kita tadi. Harusnya dia paham kalau kamu nggak balas chat, itu artinya kamu lagi ada kesibukan." Sekarang perkataan cowok itu menghangat. "Bukan berarti kamu nggak boleh megang ponsel atau angkat telepon, kok. Kamu berhak punya waktu bebas di akhir pekan tanpa mikirin laporan."

Aku memandang cowok itu tanpa merespons. Sejujurnya, ingin kukatan lagi bahwa panggilan dari Dika sama sekali tidak menggangguku. Kami bahkan terbiasa membicarakan laporan dan revisi setiap hari. Namun, kurasa itu ide yang buruk. Perkataan Zarfan terdengar berputar-putar, seolah-olah semuanya bukan tentangku, melainkan tentang dirinya sendiri.

Untuk mencairkan suasana, aku mengalihkan pembicaraan, sebisa mungkin menjauh dari topik laporan maupun Dika, dan rupanya berhasil. Setelah selesai makan malam dan meninggalkan restoran, Zarfan mengajakku keliling kota, meskipun harus berjuang melawan kemacetan Kota Bandung di malam Minggu. Namun, kami jadi punya banyak waktu untuk mengobrol. Perlahan, kami bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Zarfan kembali tertawa dan tersenyum seperti sediakala.

Hingga tiba di kost, kami tidak lagi membahas soal kencan ataupun bioskop drive in. Aku merebahkan tubuh di atas ranjang tanpa berganti pakaian atau menghapus riasan terlebih dahulu. Kupandang langit-langit ruangan cukup lama. Perasaanku campur aduk. Setelah Zarfan berucap dingin soal Dika, entah mengapa aku merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Aku tidak bisa mengendalikan sikap Dika padaku, atau sengaja menjauh dari cowok itu. Kami akan terus berinteraksi sampai lulus, terlebih lagi kami bimbingan bersama dosen yang sama.

Kuacak-acak rambutku kasar. Rasanya menyebalkan! Padahal, Aruna sudah memperingatiku untuk fokus saja pada kuliah, tetapi aku malah mengikuti kata hatiku. Memprioritaskan perasaan—yang seringnya membuatku jadi bertindak bodoh—memang tidak ada habisnya. Kini, aku dan Zarfan sudah bertindak terlalu jauh. Semua perilaku manis itu, kode-kode yang diucapkan cowok itu, hingga bermuara pada ajakan kencan sungguhan.

Aku telah melewati batas menuju area yang seharusnya tidak kumasuki. Tidak ada jalan untuk kembali. Jika aku membatalkan kencan itu dan meminta untuk tetap menjadi teman, Zarfan akan membenciku dan menganggapku memberi harapan palsu. Aku akan kehilangan Zarfan sebagai teman dekatku. Sedangkan jika kuteruskan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Menyeimbangkan kehidupan akademik dan percintaan rupanya tidak semudah yang kukira.

Aku memejamkan mata dan mengembuskan napas berat. Kuambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi seseorang di seberang sana. Nada tunggu segera berganti menjadi suara cewek yang cukup familier. "Halo, Mik?" ujarnya di seberang sana.

"Runaaa ...," rengekku, "aku harus gimanaaa?"

Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

2 April 2023

*****

Aruna di seberang telepon be like:

Ngeliat makin runyamnya hubungan mereka, menurut kalian siapa yang berhak disalahkan? Mika, Dika, atau Zarfan?

See you very soon, yaa! Makasih buat yang udah mampir. Tunggu next update aku minggu ini~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro