Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga Puluh Tujuh

Hari wisuda tiba. Aku yang menginap di hotel sudah bangun subuh-subuh untuk berias. Teh Mutia membantuku menata rambut. Rambut pendekku dikeriting sedikit dan dikepang, lalu dua kepangannya dijepit ke belakang. Setelah aku dan Mama siap, kami berangkat menuju gedung serbaguna kampus, sedangkan Teh Mutia akan menyusul saat acara makan siang di gedung jurusan.

Kampus menyediakan tiga kursi di dalam gedung serbaguna, yaitu untuk wisudawan dan kedua orang tua mereka. Lima belas menit sebelum pukul tujuh, kursi yang seharusnya ditempati Papa masih kosong. Sekitar jam setengah enam pagi, Papa mengabari Mama, mengatakan posisinya yang baru memasuki tol. Hingga kini, Papa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Mama berkali-kali mengirim Whatsapp dan menelepon suaminya itu, tetapi tidak ada jawaban.

"Papa masih belum jawab?" tanyaku yang duduk di sebelah Mama.

Mama mengembuskan napas berat. Berkali-kali ia mengetuk layar dan meletakkan ponselnya ke telinga. Beliau menggeleng sambil mematikan sambungan telepon. "Iya. Kayaknya masih ngebut di jalan."

"Tapi pintu gedung ditutup jam tujuh." Aku berkali-kali mengecek pintu masuk, berharap ada sosok familier yang kucari. "Kalau Papa telat, nanti nggak bisa masuk gedung."

Mama menatapku, sedikit tersenyum, lalu menjawab sambil mengelus lembut bahuku. "Sabar. Kita tunggu aja ya, Sayang."

Aku mengangguk lemah, tidak mampu lagi menahan kekecewaan. Menit demi menit berlalu, aku terus mengecek pintu masuk, mencari sosok Papa. Akhirnya jam tujuh pas, seorang petugas berniat menutup pintu gedung serbaguna, berhubung sudah tidak ada tamu yang datang. Tanganku yang terkepal kuletakkan di paha. Aku menggeleng pelan, benar-benar kecewa.

Bahkan di hari wisuda aja Papa masih telat. Emang kayaknya yang penting buat Papa cuma Teh Mutia.

Seolah-olah Tuhan langsung mendengar kegelisahanku, hadir seorang pria paruh baya berjalan cepat memasuki gedung. Ia mengenakan jas hitam dan kemeja berwarna biru muda, lengkap dengan dasi warna senada. Petugas yang hendak menutup pintu pun berhenti. Pria yang baru saja datang sedikit terengah-engah, lalu menunduk pada petugas. Sepertinya pria itu mengucapkan terima kasih telah diizinkan masuk.

Itu Papa. Aku pun dapat mengembuskan napas lega. Meskipun selama bertahun-tahun aku memendam rasa sakit terhadap Papa, tapi hati kecilku rupanya masih mengharapkan beliau untuk datang.

Mama melambai-lambai, dan Papa pun melihat. Pria itu bergegas mendatangi kursi yang kosong di sebelahku dan mendudukinya. Mama langsung berinisiatif mengeluarkan tisu dari clutch-nya, lalu memberikannya pada sang suami.

"Alhamdulillah, belum mulai," kata Papa sambil mengelap keringat di dahinya.

"Iya, Alhamdulillah banget nggak telat," timpal Mama.

"Mutia mana?" tanya Papa. Hah? Serius? Yang pertama ditanya malah anak sulungnya, bukan anak bungsunya yang lagi wisuda!

"Teh Mutia di hotel, nanti siang nyusul," jawabku. "Papa datang agak telat, sih. Tuh, mau dimulai." Aku menunjuk ke mimbar di depan ruangan dengan dagu, di mana rektor baru saja sampai. Sebenarnya, ingin sekali aku mengatakan, Iya, Papa belum telat! Aku senang Papa datang tepat waktu, tetapi karena kesal, hanya ucapan sarkastik itu yang keluar dari mulutku.

Prosesi wisuda berjalan dengan lancar. Sebenarnya, aku tidak terlalu fokus memerhatikan, karena otakku sibuk memikirkan topik untuk mengobrol bersama Papa. Sejak tadi, kami tidak saling bicara. Canggung sekali. Sesekali aku mengobrol bersama Mama dan tidak menyertakan Papa dalam obrolan itu. Sebenarnya, aku masih kecewa pada Papa atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi aku sadar aku tidak boleh terus memendam rasa kesal padanya. Hari ini, sebisa mungkin aku harus memperbaiki hubungan ayah dan anak yang sempat renggang.

Tiba saatnya memberikan penghargaan untuk mahasiswa yang mendapatkan gelar cumlaude. Ada lima mahasiswa dari Jurusan Desain Interior gelombang ini, termasuk Dika. Mereka dan para orang tua maju ke depan mimbar untuk menerima ucapan selamat dan bingkisan langsung dari rektor.

"Kamu nggak maju, Dek?" tanya Papa tiba-tiba.

Dengan gugup, aku menjawab, "Nggak, Pa. IPK aku cuma 3,26. Ini buat yang di atas 3,50."

"Oooh ...," gumam Papa sambil mengangguk-angguk. Sejujurnya, sulit membaca ekspresi wajah Papa. Apakah beliau kecewa, marah, atau justru biasa saja. Wajahnya tetap datar. Sejak dulu, Papa memang tidak seekspresif Mama.

Mama tiba-tiba berkata, "Aduh, meuni karasep, paralinter."

"Siapa?" tanyaku.

"Itu, tiga cowok jurusan kamu di depan." Mama menunjuk tiga mahasiswa cowok yang cumlaude di depan mimbar, termasuk Dika. "Ini mah, calon mantu idaman. Kalau kamu milih salah satu, Mama mah setuju."

"Ih, apa sih, Ma?" bisikku sewot.

"Adek kerja dulu, jangan pacar-pacaran!" tegas Papa.

Mama menoleh pada suaminya, lalu menepuk paha pria itu. "Bercanda, Pa. Jangan serius-serius amat!"

Aku terkekeh canggung karena percakapan ini. Bagaimana jika Mama dan Papa tahu kalau salah satu mahasiswa cowok di depan adalah pendamping wisudaku? Aku semakin gugup memperkenalkan Dika pada mereka. Takut mereka bereaksi terlalu heboh.

Prosesi wisuda berlanjut hingga satu per satu mahasiswa maju ke depan mimbar untuk diberi ucapan oleh rektor. Sejauh ini lancar-lancar saja, hingga tak terasa sudah jam dua belas siang dan perutku mulai lapar. Para wisudawan dipersilakan meninggalkan gedung serbaguna.

Di depan gedung, para adik tingkat yang mengenakkan kostum unik menyambut para wisudawan. Ada dua cowok yang menungguku. Mereka sama-sama memakai kumis palsu dan mengenakan celana overall berbahan jeans, hanya kaos panjang dan topinya saja yang berbeda warna. Merah dan hijau. Mungkin kamu sudah bisa menebak mereka cosplay jadi siapa.

"Ma, Pa, barang bawaan kalian titip aja ke Mario." Aku menunjuk cowok pendek dan sedikit gemuk yang mengenakan topi merah berlogo M. Cowok itu membawakan barang bawaan orang tuaku dan memayungi mereka di siang hari yang terik. Ya, ia adalah adik tingkat yang akan menjadi asisten pribadiku.

Sedangkan Luigi yang perawakannya jangkung dan kurus, sudah siap sedia dengan kamera DSLR-nya, mengabadikan momen arak-arakan wisudawan hingga kami sampai di gedung jurusan. Ialah fotografer pribadiku untuk hari ini.

Aku berbaris bersama para wisudawan lain di belakang, sedangkan para orang tua sudah terlebih dulu dibawa ke gedung jurusan. Aku bertemu Dika di sana. Ia berbaris di sebelahku dan tersenyum manis. Rambut gondrongnya diikat menjadi buntut kuda kecil.

"Hei, Pendamping Wisudaku," godanya.

Aku terkekeh canggung sambil bergidik. "Ih, apa sih, cringe banget!"

Dika pun tertawa. "Tapi bener, 'kan? Kita hari ini sama-sama jadi pendamping."

Melihat wajah Dika yang begitu ceria, senyumku pun tak tertahan lagi. Jantungku berdebar lebih cepat. Jujur saja, ia terlihat manis ketika sedang bersemangat. "Iyaaa ...," jawabku lembut.

"Kami anak desaaain, nggak punya yel-yel. Sebenarnya punyaaa, tapi rahasia!"

Para adik tingkat menuntun kami dari gedung serbaguna hingga gedung jurusan. Yel-yel aneh memenuhi udara. Lalu saat sampai di depan gedung FSRD yang sudah dihias, kami disambut oleh ledakan confetti dan tepukan tangan meriah, baik dari para adik tingkat yang mengenakan kostum, teman-teman seangkatan, hingga alumni.

Pandangkanku mengedar. Rupanya inilah hal yang dirasakan Aruna satu tahun lalu dan Zarfan satu setengah tahun yang lalu. Menjadi raja dan ratu dalam sehari rasanya begitu menyenangkan. Semua orang memberikan selamat serta berbahagia melihat para wisudawan yang telah terbebas dari tugas dan skripsi. Spanduk besar bertuliskan 'SELAMAT WISUDA, LUR!' digantung di depan Gedung Jurusan Desain Interior. Di sana juga ada fotoku, Dika, dan wisudawan lainnya. Butiran confetti warna-warni menghiasi udara, kemudian jatuh perlahan ke daratan. Indah sekali.

"Oh, jadi kayak gini rasanya wisuda," celetuk Dika sambil tersenyum.

"Iya. Biasanya aku cuma jadi penonton. Eh, sekarang jadi tokoh utamanya," balasku ceria.

Aku merasakan sentuhan di punggung tangan kananku. Lalu, jemari hangat itu meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Aku mendongak pada Dika yang baru saja menautkan jari denganku. Pipiku langsung terasa panas. Aku tersenyum tipis dan mengalihkan pandangan darinya. Rasanya dadaku akan meledak saat ini juga, ditambah cuaca yang sedang terik-teriknya. Kok, bisa Dika bersikap sesantai ini sedangkan aku gugup setengah mati?

Kami masih bergandengan tangan hingga sampai di dalam gedung. Di area basement yang disulap menjadi tempat makan siang, barulah cowok itu melepasnya. Dika merunduk, berbicara pelan di dekat telingaku. "Nanti Teteh ke mejaku, ya."

Aku mendongak ke arahnya, lalu tersenyum. Sesampainya di meja makan, Mama, Papa, dan Teh Mutia sudah mengambil makanan terlebih dulu. Mama memintaku untuk langsung antri di prasmanan, dan aku mengiyakan. Waktu tepat menunjukkan setengah satu siang, dan perutku sudah sangat lapar. Setelah mengambil nasi, daging paprika dan capcay, barulah aku bergabung untuk makan siang bersama keluargaku.

Selagi makan, Teh Mutia sibuk mengagumi dekorasi yang sudah adik-adik angkatanku rancang. Basement gedung FSRD yang biasanya dominan beton, kini disulap menjadi semacam gua dengan nuansa arabian night. Banyak kain berwarna ungu gelap dengan aksen emas bagaikan tenda menghiasi langit-langit. Memang itulah tema yang ditentukan oleh wisudawan. Banyak lampu-lampu dengan ornamen berkilauan. Bahkan, ada adik kelas yang cosplay menjadi Aladin dan Putri Jasmine. Namun demi norma kesopanan, mereka mengenakan manset berwarna kulit di balik kostum.

"Kreatif banget jurusan kamu!" puji Teh Mutia dengan ekspresi kagumnya.

"Iya, setiap wisuda memang ada temanya sendiri. Sekarang, tema interiornya arabian night," jawabku sambil mengunyah.

Teh Mutia manggut-manggut. "Waktu aku wisuda, boro-boro deh ada acara makan siang kayak gini. Ada live music akustikan pula. Maklum, sih, bukan jurusan desain yang kreatif kayak gini."

"Tadi Mama lihat ada yang cosplay jadi sultan. Ada yang jadi Cleopatra juga!" Mama menimpali.

Aku sibuk mengobrol bersama Mama dan Teh Mutia, sedangkan Papa hanya sebagai pendengar. Beliau sibuk mengunyah makan siangnya. Aku menduga Papa belum sempat sarapan dan langsung berkendara ke sini dini hari tadi.

Setelah makan siang, Mama, Papa dan Teh Mutia menikmati live music sambil mengobrol, sedangkan aku dan Dika berkeliling basement untuk mengucapkan selamat pada teman-teman seperjuangan tugas akhir. Ada pula yang memberiku bingkisan wisuda, termasuk Selena. Awalnya, aku masih bersikap canggung dengan cewek itu. Namun, Selena terlihat baik-baik saja. Kurasa ia sudah memaafkan kesalahanku di awal semester. Ya, kuharap begitu.

Beberapa teman SMA-ku pun datang, memberiku ucapan selamat dan bingkisan. Luigi selalu ada di sisiku mengabadikan momenku dan teman-teman, sedangkan Mario sesekali mengunjungi keluargaku, jaga-jaga jika mereka membutuhkan sesuatu. Kini, Mario sedang izin untuk makan siang bersama para asisten wisudawan lainnya.

Setelah berkeliling, tibalah saatnya aku mampir ke meja keluarganya Dika. Aku dan Dika mengambil puding cokelat dan berjalan menuju lokasi. Terlihat seorang wanita berhijab dan pria yang perawakannya sedikit lebih gemuk dari papaku, juga seorang cewek yang usianya mungkin di bawahku sekitar satu sampai dua tahun. Ketiganya menoleh ketika aku dan Dika sudah sampai di depan meja mereka.

"Ayah, Bunda, Dara, kenalin, ini Mika." Dika menjeda sebentar. "Pendamping wisudaku."

Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

25 Juli 2023

*****

Kalau kalian jadi Mika, bakal gugup nggak ketemu camer?😭

Kalau aku bawaannya pengen salto aja dan menghilang di balik kerumunan hiksss

Anyway, aku mau tau dong siapa aja yang langsung cepet-cepet baca begitu Kapan Lulus update. Absen dulu yuuuk~

Glossarium Sunda:

Kararasep, paralinter: Pada cakep-cakep, pinter-pinter

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro