Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga Puluh Sembilan

"Mikaaa!" seru Aruna heboh ketika aku menemuinya di depan gedung FSRD. Cewek itu membawa buket cokelat Cadbury berbagai ukuran dan rasa serta selendang bertuliskan 'MIKA GIANINA, S.Ds', lalu menyelempangkannya di tubuhku. Cewek berpipi tembam itu melompat-lompat kecil dengan senyum lebar, lalu memelukku erat.

"Aku senang banget akhirnya kita bertiga full team jadi sarjana desain!" serunya.

"Full team? Bertiga?" Aku mengernyit.

"Sama Zarfan!"

"Oh ...," lirihku. Senyumku pun memudar. Iya, bertiga sama Zarfan. Mendengar nama itu aku mendadak gloomy.

Aruna melepas pelukannya. Ia juga memberikan bingkisan kecil untuk Dika yang berdiri di sebelahku. "Dika! Selamat yaaa!"

"Wah, makasih banget, Teh!" balas Dika ceria.

"Ini racikan kopi-kopi terbaru yang mau launching di coffee shop-ku. Nanti kamu tinggal seduh aja. Kamu orang pertama yang aku kasih tester, loh! Soalnya kamu pelanggan setiaku setelah Mika," cerocos Aruna.

Dika tersenyum lebar dan memeluk bingkisan itu. "Beneran, Teh? Ya ampun, aku jadi terharu!"

"Idih, malah promosi kopi!" sindirku.

Aruna menjulurkan lidah. "Biarin!"

Kemudian, Dika dan Aruna lanjut mengobrol tentang kopi. Di balik punggung Aruna, aku melihat buket bunga kertas yang serupa dengan yang kupunyai di kost, hanya saja warnanya berbeda. Aku mendongak pada orang yang memegangnya. Spontan, mataku membulat ketika melihat cowok dengan model rambut comma di sana. Sosoknya semakin mendekat. Perlahan, senyumnya tersungging. Sejak kapan dia ada di sana? Kok, aku baru sadar?

"Hai, Mik," sapanya.

Aruna menoleh pada sosok itu. "Eh, Zar, baru dateng?"

"Iya, tadi agak susah cari parkir," jawabnya. Lalu, cowok itu memberikan buket bunga kertas padaku. Tiba-tiba saja aku merasa dejavu. Kenangan menyedihkan saat sidang Pra Tugas Akhir pun kembali berputar di benakku. Setelah pertemuan terakhir kami, kenapa harus buket bunga kertas? Kenapa dia harus datang? Dan kenapa Zarfan harus bersikap seolah nggak ada apa-apa?

"Selamat buat gelar sarjana Desain Interiornya, Mika Gianina," ucap Zarfan sambil tersenyum.

"Makasih ya, Zar," ucapku canggung ketika menerima buket itu.

Untuk sejenak, aku dan dia tidak saling bicara. Kulirik Dika yang sedari tadi mencuri-curi pandang pada Zarfan, padahal cowok gondrong itu sedang mengobrol bersama Aruna. Tiba-tiba saja, Zarfan berkata dengan sedikit canggung. "Mik, aku boleh minta waktu kamu sebentar?"

"Eh!" Tiba-tiba saja Dika memotong ucapan Zarfan. Percakapannya dengan Aruna pun berhenti. Cowok itu melesat dan berdiri di antara aku dan Zarfan. "Mau ngapain?" tanyanya. Tidak terdengar galak atau ketus, tetapi tetap tegas.

"Aku mau ngomong sama Mika," jawab Zarfan.

"Mau cari gara-gara lagi?" tuduh Dika.

"Nggak ada bentakan, nggak ada berantem-berantem kayak waktu itu. Aku janji. Ya kali aku bikin keributan di hari wisuda," balas Zarfan. Dari raut wajahnya yang tenang, cowok itu terlihat meyakinkan.

"Yakin?"

"Serius." Zarfan mengangguk mantap.

Dika mengerutkan kening. Ia melirikku dan Zarfan secara bergantian. Setelah wajahnya sedikit melunak, ia mundur dan mengangguk pelan.

"Nggak apa-apa?" tanyaku sekali lagi, khawatir ia akan cemburu. Aku tidak ingin suasana hati Dika memburuk di hari kelulusannya.

Dika mengembuskan napas pelan, lalu tersenyum dan mengangguk. "Nggak apa-apa."

"Yakin?"

"Yakin."

*****

Zarfan membawaku ke dalam gedung FSRD, tepatnya depan ruang himpunan yang sepi dari hiruk pikuk manusia dengan euforia wisuda. Aku yang masih memeluk buket dari Aruna dan Zarfan, berdiri berhadapan dengan cowok tampan itu. Jantungku kembali berdebar. Berbulan-bulan aku sekuat tenaga melupakan cowok itu, tetapi mengapa kini perasaanku mendadak berubah tak keruan?

"Kok nggak bilang-bilang kalau mau dateng?" tanyaku pada Zarfan sebagai bentuk basa-basi. "Kirain Aruna aja yang dateng."

"Aku baru tahu dari si Opik tiga hari yang lalu kalau hari ini ada wisuda. Udah gitu aku nanya Aruna, terus janjian sama dia, deh."

"Oooh, gitu." Aku mengangguk beberapa kali. "Eh, gimana kuliahnya? Udah mulai perkuliahan, 'kan?"

Zarfan mengangguk. "Udah. Matkulnya banyak yang menantang, tapi seru juga, sih."

"Oooh ..., ada apa aja?" balasku, sebisa mungkin memperpanjang basa-basi ini sampai kecanggungan hilang.

"Banyak." Lalu Zarfan sedikit menyinggung mata kuliah di FSRD ITB dan menjelaskannya sedikit padaku.

Setelahnya, lorong depan himpunan kembali hening. Percakapan yang kumulai tampaknya berhenti begitu saja. Aku pun sudah kehilangan bahan untuk berbasa basi. Masih ada sisa-sisa kecanggungan yang berasal dari pertemuan terakhir kami.

"Jadi ... tadi mau ngomong apa, Zar?" tanyaku langsung ke intinya.

Cowok itu mengusap tengkuknya. Wajahnya terlihat gugup. Ia tidak langsung menjawab, melainkan menatap wajahku selama beberapa saat. Mungkin ada perkataan yang mengganjal, tetapi sulit untuk diungkapkan. Persis sepertiku saat ini.

"Maaf," ujarku spontan karena frustrasi dengan keheningan ini, juga rasa bersalah yang kupendam sejak dulu.

"Iya, bener, aku mau minta maaf." Zarfan membalas.

"Eh?" Aku berkedip cepat karena bingung. "Bukan, maksudnya, aku yang mau minta maaf ke kamu."

"Aku juga mau minta maaf sama kamu, Mik." lirihnya. "Kenapa kamu minta maaf? Kamu nggak salah apa-apa."

"Aku ...." Jeda sebentar sebelum aku melanjutkan. "Aku pernah nge-PHP-in kamu .... Yah, kamu tahulah ... rencana nonton bioskop drive-in ...," lirihku.

Zarfan tertawa kecil. Ia duduk di bangku panjang depan ruang himpunan. Cowok itu menepuk-nepuk area kosong di sampingnya, menyuruhku untuk duduk. Aku pun menurut. Setelah hening beberapa detik, Zarfan kembali berbicara. "Dosaku sama kamu tuh lebih banyak tahu, Mik."

Aku menunduk, menatap Docmart yang sedang kukenakan sambil menunggu Zarfan melanjutkan ucapannya.

"Kamu baik-baik aja, 'kan?" tanyaku.

"Sekarang, sih, udah baik-baik aja."

"Berarti pernah nggak baik-baik aja?"

"Selama lost contact sama kamu, aku fokus kuliah sambil merenungi banyak hal, termasuk hubungan kita." Cowok itu melanjutkan. "Kalau aku ... nggak seharusnya bersikap seposesif itu ke kamu." Ia mengembuskan napas panjang. "Setelah Selena, aku cuma nggak mau kehilangan cewek yang aku sayang untuk yang kedua kali."

Aku mengangguk, menandakan bahwa aku masih menyimak.

"Emmm, kamu inget, 'kan, gimana hubunganku sama Selena berakhir?" tanya Zarfan.

Aku mengangguk lagi. "Inget, kok, tapi kayaknya nggak tahu detail besarnya. Kamu jarang cerita, sih."

"Jadi, aku nggak pernah punya waktu buat Selena, makanya Selena tertarik sama cowok lain yang punya waktu buat dia. Supaya hal itu nggak terulang, aku berusaha selalu ada buat kamu, kayak bantuin kamu ngerjain TA, ngajak kamu jalan, pokoknya aku pengen jadi orang nomor satu yang kamu andalkan setiap hari.

"Tapi aku sadar, seerat apa pun aku menggenggam kamu, justru kamu akan pergi sejauh-jauhnya dari aku. Seharusnya, aku menyembuhkan luka yang kudapatkan dari Selena terlebih dulu sebelum memulai hubungan sama kamu. Aku takut. Aku nggak mikir panjang waktu nyatain perasaan ke kamu. Aku cuma takut Dika ngerebut kamu dari aku," katanya. Terlihat jelas bagimana resahnya cowok itu.

Aku mengangguk. "Aku paham, Zar." Jeda sebentar. "Aku paham seperih apa luka yang Selena tinggalin buat kamu."

Zarfan mengangguk. "Iya. Aku hancur banget waktu ditinggal Selena, dan aku lebih ngerasa hancur setelah nyakitin kamu waktu itu. Kayaknya ... apa yang aku lakuin akan selalu salah sebelum aku sembuh dari trauma hubungan sebelumnya." Cowok dengan comma hair itu menoleh padaku. Terdapat awan mendung di wajahnya. "Aku minta maaf banget, Mik. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu."

Setelah pengakuan Zarfan, entah mengapa beban berat di bahuku seakan-akan menghilang. Permintaan maaf cowok itu menandakan bahwa hubungan rumit kami telah berakhir dan tidak seharusnya aku berpikir berlebihan tentang itu. Kini, aku mulai melihat cowok itu sebagai sahabat, sebagaimana dulu aku melihatnya. Jantungku yang berdebar hebat pun kini telah kembali normal dan tidak ada lagi kecanggungan ketika mengobrol dengannya.

Aku menatap Zarfan lalu tersenyum. Kutepuk pundaknya dua kali. "Kejadiannya udah lama juga, Zar. Nggak apa-apa, aku udah maafin, kok."

"Beneran?"

Tersenyum, aku pun mengangguk. "Beneran."

"So, are we good?" tanya Zarfan sekali lagi.

Aku mengangguk pelan. "Yeah."

"Yang udah terjadi kita lupain aja, ya."

Aku mengangguk sekali lagi. "Yap."

Mulutku terbuka. Ada pertanyaan yang ingin sekali kutanyakan pada Zarfan, yaitu apakah kami masih bisa berteman seperti dulu atau tidak. Namun, melihat sejarah panjang kami hingga detik ini, sepertinya hal itu mustahil terjadi. Aku dan Zarfan pasti akan canggung seperti saat ini. Kami tidak mungkin kembali berteman, dan aku menduga kami akan kehilangan kontak karena Zarfan sibuk dengan studinya, sedangkan aku akan sibuk dengan pekerjaan.

Biasanya, kita akan kehilangan kontak dengan teman-teman setelah lulus, 'kan? Maka, kukatupkan kembali mulutku. Alih-alih menanyakan hal yang ingin kuketahui jawabannya, aku hanya tersenyum pada Zarfan. Cowok itu pun balas tersenyum. Kita berdua sudah saling memaafkan. Itu sudah lebih dari cukup buatku. Aku tidak bisa menuntut lebih. Aku tidak boleh serakah.

Terdengar langkah kaki dari tangga, lalu mendekat hingga sampai di lorong dekat ruang himpunan. Kami pun menoleh. Ada Dika di sana. Ia telah melepas toga dan menguncir rambutnya, Kini, cowok itu hanya mengenakan jas berwarna hitam.

"Udah ngobrolnya?" tanya Dika.

Zarfan mendesah pelan. Ia beranjak dari bangku dan tersenyum. "Udah, kok."

Cowok dengan comma hair itu melangkah ke arah Dika, lalu menepuk pelan bahu cowok itu. Ekspresi Dika sulit diartikan, tetapi kemudian tersinggung senyuman kecil di wajahnya. Setelah pertemuan singkat dan intens itu, Zarfan menuruni tangga dan menghilang ditelan jarak, sedangkan Dika berjalan menghampiriku di kursi panjang.

"Udah?" tanya Dika padaku.

"Apanya?" tanyaku.

"Urusan Teteh sama Kang Zarfan?"

"Hah?" tanyaku karena bingung. "Oh, udah, kok. Zarfannya juga udah pergi."

"Bukan itu maksudku." Dika menghela napas dan duduk di sampingku. "Urusan perasaan."

Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

12 Agustus 2023

SATU BAB LAGI MENUJU ENDING, ARE YOU READYYY?

Ada yang bisa nebak nggak ending-nya bakalan gimana?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro