Tiga Puluh Satu
Oke, sesuai janjiku kemarin, selama bulan Mei aku bakalan hiatus buat nulis cadangan draft, dan di bulan Juni Kapan Lulus bakalan update reguler lagi tiap minggu~
Masukin ke library kamu supaya nggak ketinggalan notifnya yaaa!
A lot of comments and votes will be appreciated💗
"Nilai itu cuma angka. Di dunia nyata, kualitas yang sesungguhnya nggak diukur berdasarkan angka."
*****
"Teteh hebat ya, nilai ulangannya seratus lagi."
"Adek dapet tujuh lima? Lain kali harus bisa seratus kayak Teteh, ya!"
"Teteh kepilih lagi jadi peserta olimpiade? Pinternya anak Papa. Nanti Papa bantuin belajarnya, ya."
"Adek mau ikutan lomba gambar lagi? Ya sudah, daftar aja. Bisa sendiri, 'kan? Atau minta bantuin Teteh aja, ya."
Orang-orang yang kukenal bisa mengingat memori masa kecilnya bersama sang ayah, tetapi aku berbeda. Tidak ada kenangan spesifik yang terekam di otakku. Hanya kalimat-kalimat itulah yang selalu kuingat. Teteh ini, Teteh itu, Teteh lagi, selalu Teteh.
Saat kecil, rasanya dunia selalu berputar mengelilingi kakak perempuanku yang cerdas. Karena itulah pandanganku terhadap dunia pendidikan turut berubah. Aku harus belajar lebih keras supaya bisa mendapat nilai yang lebih bagus. Jika nilaiku bagus, orang-orang akan menghargai dan menyayangiku.
Setelah dipikir-pikir, tidak heran jika cowok brilian seperti Zarfan adalah tipeku. Aku tidak pernah peduli bagaimana tampang atau kekayaan seseorang. Bagiku, kecerdasan adalah nomor satu.
Sebaliknya, tidak bisa memenuhi standar akademik yang telah ditetapkan adalah bencana bagiku, dan aku akan melakukan apa pun untuk menghindari kritik, seperti apa yang selalu dikatakan Papa ketika kecil. Ketika magang dan bekerja sebagai freelancer, tidak jarang aku menerima apresiasi dari rekan kerja. Aku terbiasa dengan pujian-pujian itu, sehingga sulit membiasakan diri dengan kritik para dosen.
Pikiranku kembali ke masa kini. Aku masih berada di teras kost dan duduk bersama Dika. Ice lychee tea dan croissant pemberian Aruna pun sudah habis dilahap. Sambil tersenyum getir, aku berbicara kembali untuk memecah keheningan. "Semua karena Papa, Dik."
"Papanya Teteh kenapa?" tanya Dika.
"Papa gila nilai. Bagi dia, prestasi akademik nomor satu. Sebenarnya, Papa juga sempat nggak merestuiku kuliah di jurusan Desain Interior. Katanya, sih, lebih menghasilkan kalau kuliah Managemen, IT, atau Teknik aja. Makanya, kalau setelah kuliah bisa dapat nilai bagus, mungkin aku bisa dapat validasi dia." Kemudian, aku mendesah pelan sambil menyugar rambut.
"Tapi ... toh rencana itu udah gagal. Mahasiswa yang ngambil matkul Pra Tugas Akhir sampai tiga kali jelas bukan putri yang ideal buat dia. Makanya, aku nyari kesenangan lain dengan ngambil kerjaan freelance. Kabur dari perkuliahan bikin aku lupa sejenak sama Papa dan nilai-nilai yang harus diraih." Juga ... lupa sama hubungan Zarfan dan Selena.
"Kalau ibu?" tanya Dika lagi.
Aku menggeleng. "Mama nggak pernah mempermasalahkan jurusan kuliahku. Dia juga support hobiku yang udah senang menggambar dari kecil."
"Sebenarnya rencana Teteh belum gagal, kok. Masih ada satu matkul lagi yang belum selesai. Kalau Teteh bisa dapat A, bisa banget buat ngedongkrak IPK. Teteh bisa ngebuktiin ke Papa kalau Teteh akhirnya lulus dengan nilai memuaskan sebagai sarjana Desain Interior," kata Dika.
Aku tertawa remeh. "Aku udah lama nggak kontakan sama Papa. Jujur, sekarang udah nggak terlalu peduli respons dia kayak gimana. Tapi ... buat lebih percaya diri sama nilai itu susah banget, Dik. Soalnya ... sepanjang hidupku sebagai pelajar, aku udah terbiasa mengejar nilai. Cuma itu satu-satunya value yang aku pegang."
"Jadi ... Teteh lebih percaya sama nilai daripada kemampuan diri Teteh?"
Aku bergeming sejenak, lalu mengangguk ragu. "Bukannya udah jelas? Kalau nilaiku bagus, berarti kemampuanku juga bagus. Lihat aja nilai Pra Tugas Akhir kamu. Kamu dapat A minus karena kamu emang kreatif."
Dika mengangguk beberapa kali. Hening sebentar sebelum cowok itu berkata lagi. "Aku boleh ngomong jujur, nggak?"
"Mau ngomong apa?" tanyaku.
"Jauh sebelum judul hotel bintang empatku ditolak Pak Rizal, aku sudah merencanakan hotel Grand Atlantica bakalan didesain ulang kayak apa."
Kuangkat kedua alis, pertanda bahwa aku mulai tertarik dengan perkataannya.
"Aku sudah banyak riset. Aku nyari perkembangan terbaru di dunia teknologi dan desain. Bahkan, aku sempat terpikir mau pakai voice command dan smart security buat kamar hotelnya. Aku juga banyak nemuin bahan material yang kualitasnya bagus, awet berpuluh-puluh tahun tapi cost-nya nggak besar. Aku juga sempat berpikir mau rombak ruang serbagunanya, in case bakalan disewa buat perta pernikahan yang tamu undangannya lebih dari seribu. Pastinya butuh sirkulasi ruang yang bagus, kan?" Dika berbicara dengan penuh semangat. Terlihat dari raut wajahnya yang cerah. "Tapi Teteh? Desain teteh berbeda."
"Beda gimana?" tanyaku.
"Teteh sadar kalau Grand Atlantica nggak butuh semua ide-ideku. Grand Atlantica cuma perlu didesain ulang untuk target pasar yang sesuai, yaitu kaum Milenial dan Gen Z. Justru, mereka nggak butuh hotel yang mewah atau canggih. Mereka butuh experience, kenyamanan, dan harga yang masih cocok di kantong budak korporat."
Mendengar kalimat terakhir Dika, aku tertawa. "Ah, aku sadar semua itu pun karena sempat ngobrol sama supervisor-nya. Katanya, sejak ada La Pizzeria n' Pasta, persentase pengunjung Grand Atlantica jadi lebih banyak generasi mudanya. Ya ... walaupun cuma datang buat nge-gym. Padahal, dulu Grand Atlantica itu hotel buat keluarga-keluarga kaya, kayak old money gitu."
"Teteh 'nangkep' nggak, apa inti dari ceritaku?" Dika bertanya lagi. "Teteh itu desainer yang berani ambil risiko. Teteh berpikir lebih kritis daripada aku. Teteh paham dengan kemauan pasar. Aku rasa itu hal yang wajar karena Teteh terbiasa ambil pekerjaan freelance yang melibatkan klien beneran."
Aku tertegun mendengar ucapannya. Entah harus mengucapkan apa untuk merespons perkataannya.
"Teteh mungkin nggak sadar kemampuan diri karena waktu freelance nggak ada dosen yang menilai hasil kerja Teteh. Tapi, klien dan leader di tim Teteh tetap puas, kan?" Cowok itu tersenyum manis. "Nilai itu cuma angka. Di dunia nyata, kualitas yang sesungguhnya nggak diukur berdasarkan angka, tapi tingkat kepuasan yang dirasakan penggunanya."
Lagi-lagi pandanganku memburam. Aku mengusap mata sebelum ada air yang menetes. Ah, mengapa aku selalu cengeng setiap kali membicarakan hal serius bersama Dika? Apa yang diucapkannya bukan pujian, tetapi perkataannya begitu berarti buatku. Mengapa cowok itu selalu tahu bagaimana cara membuat perasaanku menjadi lebih baik?
Betapa bodohnya aku yang selama ini hanya peduli pada angka. Padahal, apa yang kuinginkan sudah kuperoleh, hanya saja dengan bentuk yang berbeda dan bukan dari orang yang diharapkan. Bahkan, tanpa berusaha keras hingga berdarah-darah pun, aku sudah mendapat semua validasi itu. Rupanya, kemampuanku lebih besar dibandingkan yang kukira, tapi mengapa aku tidak pernah merasa puas?
"Jangan bikin aku nyesel udah merelakan judul TA impianku buat Teteh. Aku nggak terima kalau Teteh nyerah di tengah jalan," ucapnya serius.
"Nggak. Aku nggak akan nyerah!" ucapku penuh keyakinan. "Kalau aku nyerah sekarang, drama rebutan judul TA sama kamu, digosipin backstreet, UKT yang kubayar dengan keringatku sendiri, dibantai dosen penguji, serta drama-drama Zarfan dan Selena, semuanya nggak worth buat aku jalani! Setidaknya, aku harus dapat gelar sarjana buat gantinya, dong!"
Dika tersenyum lebar dan mengangguk berkali-kali. "Nah, gitu, dong!" Kemudian, cowok itu mengacak-acak rambutku.
"Aduh!" seruku sambil menangkis lengannya. "Nggak usah pegang-pegang rambut!" bentakku.
"Nah, mending Teteh marah-marah gemes kayak gini daripada bad mood, jutek-jutek nggak jelas, atau nangis." Cowok itu menyeringai jahil.
"Iya, iya," balasku sedikit cuek. "Ya sudah, jadi kapan kita bimbingan lagi?"
Cowok itu terbahak. "Hei, hei, santai dulu lah, dua sampai tiga hari. Kita baru bimbingan tadi siang, loh!"
"Oke, Kalau gitu besok mau ngerjain TA sama-sama?" tanyaku sambil tersenyum.
"Ayo! Aku punya rekomendasi co-working space yang Wi-Fi-nya kencang."
*****
Setelah malam semakin larut, Dika pamit meninggalkan kost. Aku kembali ke kamar dengan suasana hati yang baik dan perut yang kenyang. Ah, selain berterima kasih pada Dika, aku juga harus menyampaikan terima kasih pada Aruna. Maka, kuputuskan untuk meneleponnya setelah kedai kopinya tutup.
"Halo, Mik?" sapa Aruna di seberang telepon.
"Lagi closing-an? Ganggu nggak?" tanyaku.
"Nggak, kok. Baru selesai beres-beres, ini mau pulang. Kenapa?"
"Makasih ya, Run."
"Hah? Makasih buat apa?" Cewek itu terdengar bingung.
"Makasih buat ice lychee tea dan croissant-nya, ya! Tadi dianterin Dika. Biasanya kamu cuma mau ngasih makanan sisa stock aja. Tumben banget, Run."
Jeda sebentar, tidak terdengar apa pun dari seberang telepon. Kemudian, terdengar tawa renyah Aruna. "Aduh ... Mika ... itu bukan dari aku."
Aku mengernyit. "Maksudnya?"
"Tadi Dika datang ke coffee shop, nanya apa makanan dan minuman favorit kamu. Terus dia beli, deh."
Aku menganga saking kagetnya. "Hah? Serius kamu, Run? Dika bilang semuanya dari kamu, loh."
Terdengar embusan napas Aruna. "Aduh, Mika, nggak peka banget, sih!" omel cewek tembam itu. "Dika ngasih semua itu buat kamu, tapi dia pasti malu bilangnya. Makanya, dia bilang makanannya dari aku!"
Bahkan sampai panggilan telepon berakhir, aku masih tidak percaya dengan ucapan Aruna. Maksudku, untuk apa mantan rival akademikku itu sampai harus mengeluarkan hartanya untuk membelikan makanan? Lalu ... sampai repot-repot mengantarnya ke kost? Juga mendengar keluh kesahku? Aku berbaring di ranjang, menatap kosong langit-langit di atas kepalaku, berusaha mencari jawaban yang tidak kunjung ditemukan.
Terlepas dari semua itu, sikap adik angkatanku itu sebenarnya cukup manis. Aku sempat menatap wajahku sendiri di cermin besar di samping meja belajarku. Tidak pernah kulihat wajah secerah itu sebelumnya. Kira-kira, sudah berapa lama aku tidak tersenyum selebar sekarang? Beban yang kupikul di pundakku pun perlahan-lahan mengecil. Karena Dika, aku merasa tidak perlu lagi berjuang sendirian. Pipiku menghangat, diikuti oleh dadaku yang berdebar lebih cepat.
Sepertinya, mulai sekarang aku harus memperlakukan Dika dengan baik.
Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
1 Juni 2023
*****
KAPAL DIKA-MIKA MAU BERANGKAT MENGARUNGI SAMUDRA! Yang mau ikut berlayar buruan naik~
See you next week!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro