Tiga Puluh Lima
Hari-hariku selanjutnya dipenuhi oleh revisi Tugas Akhir. Meskipun sibuk, aku masih memiliki waktu untuk istirahat dan tidur yang cukup. Lelah yang kurasakan sebelum sidang akhir pun terbayar sekarang. Dika memiliki waktu luang lebih banyak dariku, berhubung para dosen penguji tidak memberikannya banyak revisi sepertiku.
Setelah semua revisi dan berkas-berkas Tugas Akhir lengkap, hari yudisium pun tiba. Di hari itu, para calon wisudawan berpakaian rapi. Mayoritas menggunakan blazers hitam dan kemeja putih, dilengkapi dengan celana atau rok dengan warna yang senada dengan blazers. Di dalam ruangan yang disediakan, perwakilan dosen mengumumkan nilai mata kuliah Tugas Akhir kami dan IPK yang kami peroleh setelah menamatkan 144 SKS.
Satu per satu calon wisudawan berdiri ketika dosen memberikan pengumuman dan selamat. Makin dekat giliranku, debaran di dadaku makin hebat. Di bawah meja, aku mengusap-usap telapak tangan dan mengatur napas, berusaha mengenyahkan kegugupanku. Akhirnya, perwakilan dosen memanggil nama lengkapku, menyebutkan nilai yang kuperoleh dan berapa IPK finalku.
B plus dan 3,26.
Seisi kelas bertepuk tangan untukku. Aku tersenyum dan mengangguk sedikit, mengucapkan terima kasih lalu kembali duduk. Aku menoleh ke arah meja yang ditempati Dika. Cowok itu tersenyum lebar dan mengacungkan dua jempolnya setinggi dada. Dari gerakan mulutnya, aku bisa menangkap apa yang diucapkannya. Keren! Selamat, ya! katanya.
Kubalas senyumnya. Kedua pipiku pun menghangat. Ada desiran aneh di dadaku, perasaan senang yang cukup asing bagiku. Akhirnya aku sampai juga di titik ini. Segala yang kuusahakan selama dua semester telah membuahkan hasil. Tidak hanya sekadar lulus, tetapi aku berhasil mendapatkan nilai yang baik dengan IPK di atas 3,00! Bagiku, itu semua sudah lebih dari cukup. Kedua mataku memburam. Aku pun menunduk, menahan kebahagiaan yang meletup-letup di dadaku, sampai-sampai terasa sedikit sesak. Aku mengedip beberapa kali untuk menahan air mata haru yang nyaris terjatuh.
Aku tidak pernah merasa sebangga ini pada diriku sendiri.
Lalu, giliran Dika pun tiba. Aku melotot ketika tahu bahwa cowok itu mendapat nilai A untuk Tugas Akhirnya dan memperoleh IPK akhir 3,65. Cumlaude! Serius, dia makan apa, sih? Sama-sama makan nasi, 'kan? Pengen banget, deh, nanya kayak gitu ke Dika.
"Nggak, Teh. Tiap hari aku makan ikan yang mengandung omega-3, makanya pinter." Ia menjawab pertanyaanku dengan penuh percaya diri setelah acara yudisium berakhir.
"Songong banget!" seruku sambil memukul bisepnya.
Dika cengengesan sambil mengelus lengannya. "Bercanda. Eh, tapi Teteh juga keren banget, loh, dapat nilai B plus!"
Aku tertawa hambar. "Iya, sih, walaupun Aruna juga ikut ngebantu. Kamu juga udah banyak bantuin aku."
"Tetep aja, semua itu hasil jerih payah Teteh ngelawan insecure dan belajar dengan keras, sampai-sampai kurang tidur gara-gara ngebut ngerjain TA. Bangga, nggak, sama diri sendiri?"
Aku mengangguk antusias. "Bangga banget, lah! Padahal udah dibantai habis-habisan sama Pak Yogi pas sidang!"
Kini, kami berdiam diri di luar gedung FSRD. Beberapa calon wisudawan saling bertukar hadiah, seperti buket bunga, cokelat, dan x-banner yang menampilkan foto serta nama panjang yang telah dilengkapi gelar S.Ds. Banyak pula mahasiswa yang memilih mengabadikan momen ini dengan berfoto, tetapi aku dan Dika lebih memilih untuk duduk di bangku komunal samping gedung sambil mengobrol.
Lalu, Dika menoleh menghadapku. "Jadi ... Teteh mau ngabulin satu permohonanku, 'kan?"
Aku pun mengangguk santai. "Ya udah. Kamu mau ditraktir apa?" Lagi pula, dia nggak bakalan minta yang aneh-aneh, 'kan?
"Emangnya aku bilang mau minta traktir?" Dika bertanya balik.
"Nggak, sih." Aku menjeda sejenak. "Habisnya apa lagi, dong?"
"Aku nggak akan minta Teteh beliin sesuatu, tapi aku minta Teteh lakuin sesuatu buat aku."
"Ngelakuin apa?"
Dika tidak langsung menjawab. Kedua mata cokelat tuanya menatapku dalam-dalam. Lingkungan sekitar pun mendadak terasa hening. Cowok itu tersenyum tipis, lalu menunduk sambil mengusap-usap tengkuknya. Gemas sekali rasanya melihat Dika seperti ini. Kenapa dia harus malu-malu, segala sih?
"Apaan, sih? Padahal tinggal bilang!" seruku sewot, ikut salah tingkah.
"Oke." Dika kembali mendongak menatapku. Ada sedikit jeda sebelum ia melanjutkan. "Aku mau Teteh jadi pendamping wisudaku."
Kedua mataku melebar. Alisku terangkat. "Hah? Kenapa aku?"
"Karena ... pengen aja," jawabnya santai.
Aku semakin dibuat bingung setelah mendengar jawabannya. "Tapi ... pendamping wisuda kan harusnya orang-orang spesial. Kayak pacar atau istri?"
"Nggak harus pacar, 'kan? Gimana kalau aku pengen orang yang kusuka jadi pendamping wisudaku?"
Atmosfer mendadak berubah asing. Kami masih saling berpandangan, tetapi tidak ada lagi yang berbicara. Gemuruh di dadaku rasanya berisik sekali, seperti ada seseorang yang menabuh drum keras-keras.
"Orang yang kamu suka?" Aku bertanya sekali lagi untuk memastikan.
"Iya, orang yang kusuka itu Teteh," ucapnya serius.
Euforia kelulusan pun bercampur dengan perasaan aneh akibat pengakuan Dika. Bayangkan saja, tanpa ada angin ataupun hujan, cowok itu mendadak confess di depanku! Seharusnya, Dika memberikan semacam tanda-tanda kalau ia akan mengungkapkan perasaanya, sehingga hatiku bisa lebih siap. Namun ... apa-apaan cowok ini?
"Bentar, bentar!" Aku terpaksa memotong ucapannya. "Gimana caranya aku jadi pendamping kamu? Aku, 'kan, diwisuda juga."
"Emangnya nggak bisa, ya?" Mendadak wajah Dika berubah muram.
"Nanti di acara wisuda jurusan, kita bakal dikumpulin di sebuah ruangan bareng keluarga kita buat makan siang dan ngerayain kelulusan. Aku bakalan duduk bareng Mama, Papa, dan kakak cewekku. Kamu juga pasti duduk bareng keluarga kamu. Kalau aku jadi pendamping kamu, aku harus standby di mejamu dan nggak bakalan bisa makan siang bareng keluargaku, dong?" ucapku panjang lebar.
Dika pun bungkam. Ah, yang benar saja! Apakah ia lupa dengan tradisi unik jurusan kami? Setelah acara wisuda resmi di ruang serbaguna, wisudawan jurusan Desain Interior akan merayakan kelulusan di gedung FSRD, makan siang bersama keluarga inti sambil mendengarkan live music dan serangkaian acara lainnya. Biasanya, para pendamping wisuda pun akan duduk di meja yang sama bersama keluarga wisudawan.
"Jadi nggak bisa, ya?" Dika menggaruk kepalanya. "Kupikir, bisa-bisa aja kalau Teteh makan siang dulu bareng keluarga Teteh, terus datang ke mejaku dan makan siang di sana sebagai pendamping."
"Aku sebenarnya mau, sih, jadi pendamping kamu." Aku menatap matanya, lalu tersenyum. "Tapi aku juga mau kamu jadi pendampingku."
Mata Dika melebar. Senyumnya mengembang. "Beneran? Kalau aku, sih, mau banget jadi pendamping wisuda Teteh! Atau biar praktis, sekalian digabung aja meja keluarga kita jadi satu pas makan siang!"
Aku tertawa hambar. "Nanti keluarga kita canggung, dong?"
"Eh, iya juga, ya." Dika cengengesan.
"Ya sudah nggak apa-apa. Jadi nanti kita bolak-balik aja ke meja masing-masing, atau request meja yang letaknya sebelahan biar gampang kalau mau pindah kursi. Pasti bisa, kok."
Dika masih tersenyum lebar, seperti anak kecil yang diperbolehkan bermain tanpa harus tidur siang terlebih dahulu. Melihatnya, aku pun tidak kuasa menahan senyum. Terkekeh, pipiku pun terasa hangat.
Setelahnya, aku bertanya karena penasaran. "Jadi selama ini kamu suka sama aku? Dari kapan?"
Dika membuang muka sambil mengusap tengkuknya. Sikapnya yang salah tingkah membuatku sedikit gemas. "Nggak tahu, sih, dari kapan. Tapi ... kayaknya aku baru sadar akhir-akhir ini."
"Oooh, gitu." Aku mengangguk beberapa kali, masih tersenyum.
Sepertinya, aku pun merasakan hal yang sama seperti cowok itu. Awalnya, aku menganggap perilaku menyebalkan Dika sebagai gangguan kecil, tetapi kemudian perhatian yang diberikannya membuat hatiku melunak. Lama kelamaan, aku mulai menerima kehadiran cowok itu di hidupku dan tidak lagi menganggapnya sebagai adik angkatan biasa. Aku ... melihatnya sebagai seorang cowok, in a romantic way.
Jika saja Dika balik menanyakan perasaanku, tentu aku akan menjawab jujur, tetapi rupanya tidak. Hingga hari ini berakhir, cowok itu sama sekali tidak mengungkit tentang perasaanku. Setelah mengobrol di bangku komunal, kami menghabiskan waktu untuk berfoto dengan mahasiswa lain dan menganggap percakapan tadi tidak pernah terjadi.
Hal ini sungguh menggangguku. Jika Dika memiliki perasaan untukku, seharusnya ia peduli dengan perasaanku juga, 'kan? Memangnya, dia tidak penasaran apakah perasaannya terbalas atau tidak? Namun, aku pun terlalu gengsi untuk memulai pembicaraan tentang perasaanku.
Malamnya, aku sampai kesulitan tertidur memikirkannya. Rasanya hati ini belum lega jika Dika belum mengetahui bagaimana perasaanku yang sesungguhnya.
"Apa aku harus confess juga, ya?" gumamku sambil berbaring di ranjang, menatap kosong langit-langit kost. Lalu, aku memutar tubuh menyamping menghadap tembok, menendang-nendang selimut. "Dika nyebelin! Kok dia nggak nanya? Kok dia nggak penasaran?" gerutuku.
Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
5 Juli 2023
*****
PELAN-PELAN KANG DIKA~
Hatinya Mika nggak siap tiba-tiba di-confess😩
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro