Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga Puluh Dua

Hati memang terkadang nggak mau nurut sama logika. Jadi, siap-siap aja

*****

Sidang kedua yang kulalui tidak jauh berbeda dengan sidang pertama. Progresku masih tertinggal jauh dibandingkan mahasiswa lain. Hanya saja, kritik yang kuterima dari dosen penguji tidak separah sidang pertama. Setelah mengobrol bersama Dika di teras kost, aku mulai serius mengerjakan tugas akhirku, sehingga revisi yang kuterima tidak terlalu banyak.

Jujur saja, aku masih sedikit kesulitan mengerjakan segalanya tanpa Zarfan, apalagi harus mengejar ketinggalan untuk sidang ketiga. Tentu Aruna membantuku, tetapi itu pun tidak cukup. Sesekali Dika membantuku saat luang. Agar tidak merasa sendiri, cowok itu mengajakku mengerjakan tugas akhir di kampus.

Jurusan Desain Interior di kampusku memiliki satu ruangan kelas yang khusus disediakan untuk mahasiswa tingkat akhir. Kampus pun memfasilitasi kami dengan Wi-Fi yang lumayan kencang dan dapat terhubung ke lebih dari lima puluh device. Selama aku membolos, Dika dan teman-temannya selalu mengerjakan tugas akhirnya di ruangan itu, bahkan terkadang sampai menginap. Ruang TA—begitulah kami menyebutnya—sudah seperti rumah kedua bagi mereka.

Karena Dika, aku pun mulai mengerjakan tugas akhirku di kampus, meskipun butuh penyesuaian di awal. Sebagai mahasiswa yang telat lulus, tentu merasa canggung ketika seharian berada di ruangan yang didominasi oleh adik-adik tingkat, terlebih lagi Selena pun sering ada di sana. Sebenarnya, ada tiga mahasiswa angkatanku yang terbiasa menginap di ruangan itu, tetapi mereka semua laki-laki dan aku akan lebih canggung lagi jika bergabung bersama mereka. Pada akhirnya, aku selalu memilih meja paling pojok yang jauh dari semua orang—untuk menghindari interaksi dengan siapa pun, tentu saja. Biasanya, aku akan datang sekitar jam sepuluh pagi dan pulang ketika adzan magrib berkumandang.

Satu bulan menuju sidang ketiga, nyaris setiap hari aku menghabiskan waktu di ruangan itu. Progresku lumayan meningkat jika dibandingkan mengerjakan segalanya sendirian di kost. Mungkin karena tekanan dari progres adik-adik tingkatku, sehingga aku jadi termotivasi? Alhasil, di sidang ketiga, progresku bisa dibilang cukup baik, meskipun lagi-lagi tidak cukup baik jika dibandingkan dengan Dika, tapi tidak apa. Aku sudah tidak lagi menganggap tugas akhir sebagai kompetisi.

Tidak terasa sidang terakhir kurang dari empat minggu lagi. Hari ini pun aku duduk di salah satu bangku Ruang TA, berkutat dengan laptop yang sedang menampilkan aplikasi SketchUp. Besok menjadi hari bimbingan bersama Pak Rizal, dan aku merasa progresku belum mencapai target. Setiap menit berharga, sampai-sampai aku rela datang jam sembilan pagi, terus berkutat dengan desainku dan tidak beranjak dari bangku, bahkan hingga jam makan siang tiba.

Perutku mulai terasa lapar. Wajar saja, tadi pagi aku melewatkan sarapan. Adzan dzuhur mulai terdengar dari arah mesjid kampus. Kulihat sekeliling ruangan, satu per satu adik tingkat yang berada di Ruang TA keluar ruangan, entah untuk salat atau menikmati makan siang, termasuk Selena dan komplotannya. Dika, Tablo, dan teman-temannya masih ada di dalam ruangan.

Karena setiap menit berharga, aku enggan keluar ruangan dan membuang-buang waktu untuk membeli makan siang. Kalau lapar, bisa Go-Food rice bowl dari kedai kopinya Aruna, 'kan? Sambil menunggu pesanan, aku bisa memanfaatkan waktu sambil mengerjakan tugas akhir.

Ketika sedang asyik memilah menu dari aplikasi Go-Food, sebuah pesan masuk ke ponselku. Kuketuk notifikasi WhatsApp untuk membaca pesan tersebut.

Mahardika
Serius amat dari tadi
Melototin laptop terus
Awas bola matanya keluar😜

Mika Gianina
Besok bimbingan
Takutnya nggak kekejar😭

Mahardika
Istirahat dulu lah
Nggak kasihan sama mata?
Makan siang dulu, yuk?

Mika Gianina
Udah pesen Go-Food

Mahardika
Nggak salat?

Mika Gianina
Tamu bulanan lagi dateng

Mahardika
Ya sudah
Aku makan dulu, ya

Aku mendongak, mengalihkan pandangan dari ponsel ke arah meja Dika. Cowok itu sudah berdiri dari kursinya. Dika yang kebetulan sedang menatapku pun tersenyum, melambaikan tangan padaku. Dih, apaan coba, harus dadah-dadah segala? Emangnya dia mau ke mana? Aku balas mengibaskan tangan, seperti mengusir ayam yang sembarangan menerobos pekarangan rumah orang.

"Syuh! Syuh!" usirku.

Cowok itu mencebik. Ia berbalik dan berjalan meninggalkan ruangan bersama Tablo dan kawan-kawan. Kini, di dalam Ruang TA hanya ada aku dan dua adik tingkat yang tidak kukenal. Ruangan terasa begitu sepi karena kami sibuk dengan laptop masing-masing. Dari speaker bluetooth yang tidak kuketahui pemiliknya, terdengar bait awal lagu Secukupnya dari Hindia.

Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?

Tak perlu memikirkan tentang apa yang akan datang di esok hari?

"Ih, lagunya nyindir banget, sih!" keluhku pelan. Sambil menopang pipi, aku mengembuskan napas keras-keras lewat mulut. Apa aku emang kelewat ambis, ya? Tapi kalau nggak dikerjain, hotel bintang empatku nggak akan selesai di sidang akhir.

*****

Sepertinya benar apa yang dikatakan Einstein bahwa waktu itu relatif. Seharian berkutat dengan laptop, waktu jadi terasa begitu cepat. Ketika menengok jendela kelas, langit di luar telah menggelap. Mahasiswa tugas akhir satu per satu telah meninggalkan ruangan, kecuali cowok-cowok yang memang terbiasa menginap. Progres tugas akhirku untuk bimbingan besok bisa terbilang cukup banyak. Maka, aku memutuskan untuk pulang dan beristirahat.

Setelah merapikan barang, aku menyampirkan tote bag dan keluar dari Ruang TA. Di depan ruangan, aku bertemu Dika yang sedang berdiri dan mengobrol bersama cowok-cowok. Ia sudah menggendong ransel dan mengenakan jaket bomber.

"Mau pulang, Teh?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Iya. Otakku udah ngebul mikirin TA."

"Bareng, dong," ujar cowok itu.

Dika berpamitan dengan teman-temannya dan bergegas untuk menyamai langkahku. Ketika kami berjalan bersebelahan, terdengar siulan dari arah belakang yang kutebak berasal dari mulut Tablo. Ya elah, masih aja nyengcengin aku sama Dika! Padahal gosipnya udah basi! Namun tidak apa, lama kelamaan aku menjadi terbiasa dengan godaan teman-temannya cowok itu.

Aku sudah duduk di jok belakang Vespa putih milik Dika. Kami keluar dari lingkungan kampus, membelah jalanan Kota Bandung yang cukup padat.

"Mau makan malam dulu, nggak?" tanya Dika sedikit kencang. Wajar saja, jika cowok itu berbicara pelan, suaranya akan kalah dengan semilir angin.

"Pulang aja, deh. Capek! Mau langsung rebahan!" balasku.

"Tapi aku lapar, terus Teteh juga belum makan malam, 'kan?"

"Aku bisa makan roti, kok."

Dika menggeleng-geleng. "Ya ampun. Makan yang bener, dong! Makan roti doang mana kenyang! Udah, kita makan ayam geprek dulu. Mau?"

"Boseeen!" seruku, sedikit merengek.

"Ya sudah, ayam penyet?"

Aku mengangguk antusias. "Boleh, deh."

"Ya elah! Apa bedanya sama ayam geprek, coba? Sama-sama ayam!" protes cowok itu.

Aku terkekeh geli. Dika mengemudikan motornya menuju Taman Cibeunying, salah satu surga kuliner malam di Bandung. Sesampainya di sana, kami memarkirkan motor dan berjalan menuju tenda yang menjual berbagai olahan ayam. Kami menempati meja yang kosong dan melihat-lihat menu.

"Teteh mau pesan apa?" tanya Dika sambil memindai kertas berukuran A4 yang dilaminating.

"Ayam penyet aja, deh. Nasinya setengah porsi," jawabku.

"Emangnya kenyang?" Dika bertanya balik.

"Mubadzir kalau nggak habis. Warung tenda pinggir jalan gini pasti porsi nasinya banyak banget."

"Kalau Teteh makannya sedikit gimana mau punya energi buat ngerjain TA? Seharian tadi aja natap laptop terus. Mikir juga butuh kalori banyak!" omelnya.

"Bawel banget, sih!" protesku. "Kasihan banget cewek yang jadi pacar kamu, disuruh makan terus. Nanti kalau dia jadi gendut gimana?"

"Tapi Teteh udah langsing, kok, jadi nggak perlu khawatir bakalan gendut. Ya udah, kalau udah pacaran aku nggak akan nyuruh makan lagi, deh," ucapnya santai.

Mendengar perkataannya, spontan aku melotot. "Hah? Maksud kamu?"

"Hah?" Dika malah bertanya balik dengan raut wajah menyebalkan.

"Itu ... maksud kamu ... ah sudahlah!" cicitku. Ketika kurasakan kedua pipi memanas, aku memalingkan pandangan dari cowok itu, berpura-pura melihat menu. Dika nggak jelas! Apa maksudnya, coba?

Sekitar lima menit setelah memesan, seorang pegawai mengantarkan dua ayam penyet dengan nasi satu setengah porsi, ditambah kol goreng pesanan Dika. Awalnya, kami menikmati hidangan tanpa ada satu pun yang bicara. Namun, ketika makan malam kami hampir habis, Dika memecah keheningan.

"Gimana progres TA-nya, Teh?" tanya Dika.

"Buat bimbingan besok udah oke, sih. Kalau bisa konsisten ngerjain setiap hari, kayaknya semuanya bisa selesai sebelum sidang akhir. Kamu gimana?" Aku bertanya balik.

"Iya, lumayan. Buat jaga-jaga nanti sidang, ada beberapa temanku yang bantuin nge-render, sih. Mereka udah lulus, tapi masih nganggur. Aku bayar aja mereka supaya mau bantuin. Jadi, kayak ngejadiin mereka joki gitu," jawabnya.

Aku mencebik. "Enak banget yang tenaga bantuannya banyak. Lah, aku? Cuma Runa doang! Teman-temanku yang udah lulus sibuk kerja semua."

Kedua alis Dika terangkat. "Loh, kirain banyak yang bantuin. Progres Teteh udah lumayan ngebut, loh."

"Iya, karena aku ngerjain TA minimal enam jam tiap hari." Aku menyeruput teh manis. "Nggak ada waktu main, nge-drakor, bahkan waktu buat ngelamun aja nggak ada, Dik."

"Teteh nggak capek?" tanya cowok itu.

Aku mengangguk pelan. "Capek, sih. Kadang punggung pegal. Mata juga perih. Tapi gimana lagi?" lirihku. Kemudian, aku menoleh pada cowok itu dan bercerita dengan antusias ketika mengingat sesuatu yang penting. "Oh, iya, Dik! Tahu nggak? Aku punya inovasi baru buat dapur restoran hotelku!"

"Oh ya?" tanya cowok itu setelah menyeruput jus jeruk, "apa, tuh?"

"Jadi, karena Grand Atlantica itu punya paket buffet buat dinner, gimana kalau restoran hotelnya aku bikin konsep open kitchen?"

Dika mengernyit. "La Pizzeria n' Pasta mau dijadiin open kitchen? Gimana caranya?"

Aku menggeleng. "Bukan, bukan. Ini restoran asli hotelnya, yang biasa dipakai buat breakfast itu, loh."

"Oooh ...." Dika mengangguk paham. "Terus, terus?

"Karena pengunjung Grand Atlantica yang baru itu kebanyakan milenial, biasanya mereka nyari experience. Nah, kalau ada pengunjung yang datang khusus buat makan malam, mereka bisa sekalian nonton chef yang lagi masak. Jadi, kayak live cooking gitu."

"Kayak nontonin chef di restoran Jepang yang lagi bikin sushi?" tanya cowok itu.

Aku mengangguk antusias. "Mirip, tapi konsepnya tetep buffet. Buat breakfast juga bisa, sih. Gimana menurut kamu?"

Kedua alis Dika terangkat. Senyumnya melebar ketika cowok itu mengangguk beberapa kali. "Idenya keren, loh. Kalau pengunjung yang sarapan atau makan malam ngerekam chef yang lagi masak, terus videonya di-post ke medsos, pasti hotelnya auto viral. Ayo, Teh, bikin! Masih ada waktu buat asistensi sebelum sidang keempat, kok. Semoga bisa di-acc Pak Rizal."

Aku mengembuskan napas lega, merasa senang setelah mendengar ucapan cowok itu. Senyumku pun tidak dapat disembunyikan lagi. Aku mengangguk, lalu kembali menikmati sisa ayam penyet dengan hati yang lebih ringan. Tentu aku senang mendengar pendapat Dika. Cowok itu termasuk mahasiswa terpintar di angkatannya. Jika ia memvalidasi ideku, itu artinya ide-ideku cukup cemerlang.

Keheningan kembali meliputi kami. Setelah percakapan itu, Dika tidak lagi menggerakkan tangannya untuk menyuap makanan. Karena penasaran, aku mendongak. Rupanya, sejak tadi cowok itu menatapku sambil tersenyum. Tangannya yang bersih dari minyak ayam penyet menopang pipi. Makin lama, senyumnya makin mengembang.

Entah mengapa aku merasa sedikit terganggu dengan tatapannya. Tatapannya terlalu dalam, sehingga terasa menusuk. Dengan segera kualihkan pandangan, berpura-pura menyomot nasi di atas piring. Kurasakan kedua pipi menghangat, debaran jantungku menjadi cepat. "Apaan sih liat-liat?" ketusku.

"Teteh udah banyak berubah, ya."

Aku mendongak. "Berubah gimana?"

"Seneng deh liat Teteh semangat kayak tadi waktu ngebahas TA," jawab cowok itu lembut. Kemudian ia kembali mencomot kol goreng di piringnya. "Padahal di awal semester, kayaknya Teteh depressed banget pengen nyerah, sampai nangis berkali-kali. Sekarang, Teteh udah lebih pede sama ide-ide Teteh."

Aku tertegun. Benarkah aku sudah banyak berubah? Jika apa yang Dika katakan adalah kenyataan, tentu aku senang. Tapi kenapa dia harus bilang dengan ekspresi kayak gitu? Terus ... nada bicaranya juga jadi lebih lembut. Yakin ini beneran Dika?

Walaupun bikin senang, pengakuan Dika juga bikin aku malu setengah mati. Refleks aku mencubit lengannya dengan tanganku yang berlumuran minyak. "Ih, resek banget! Nggak usah bahas-bahas yang udah lewat!"

Secepat kilat Dika menarik lengannya. "Ih, kotor!" protesnya.

"Rasain!" Aku menjulurkan lidah sambil tersenyum jahil.

Dika menjulurkan tangannya untuk balas mengotoriku, tetapi aku sudah mundur lebih dulu. Kami pun tertawa bersama.

Setelah makan malam, kami memutuskan untuk langsung pulang. Aku kembali duduk di jok penumpang Vespa putih Dika. Malam ini udara malam Bandung terasa lebih dingin dari biasanya. Sayangnya, aku hanya mengenakan cardigan tipis. Di perempatan Jalan Pahlawan, Dika menghentikan motornya ketika lampu merah masih menyala.

"Besok ngerjain TA di kampus lagi, 'kan?" tanya Dika.

Aku mengangguk. "Iya. Kayaknya aku berangkat sekitar jam sepuluh."

"Aku jemput, ya?" tanya Dika.

Sejenak, tubuhku mematung sebelum menjawab. Mendadak dadaku berdebar. Aku tidak ingin menyalahartikan perkataan Dika, jadi kujawab dengan sedikit candaan. "Boleh, deh. Lumayan jadi hemat ongkos Go-Jek dan nggak usah jalan kaki."

"Jadi aku cuma dianggap ojek, nih?" tanya Dika dengan nada menggoda.

Aku memukul punggungnya pelan. "Bercanda kali. Baperan amat!"

Dika balas tertawa. Setelah memukulnya, kuletakkan tangan di atas pahaku, tepat di samping pinggang Dika. Lengang untuk sejenak, hanya terdengar suara mesin dari banyak kendaraan bermotor yang melintas di arah berlawanan. Lampu merah tidak kunjung berganti menjadi hijau, waktu jadi terasa lama sekali di tengah keheningan. Tiba-tiba, kurasakan kedua tangan Dika yang menggenggam milikku, lalu menariknya ke depan. Dimasukannya kedua tanganku ke saku jaket bomber-nya.

"Dingin, nggak?" tanyanya lembut. Aku dapat mendengarnya samar-samar.

"Dikit," jawabku.

"Besok pakai jaket yang tebal, ya! Biar nggak kedinginan kalau kita naik motor malam-malam," ujarnya.

Debaran jantungku terasa semakin cepat. Padahal, aku tidak pernah berkata akan setuju untuk pulang bersamanya besok malam. Aku hanya mengiyakan permintaan Dika untuk menjemputku besok pagi. Namun, mengapa cowok itu berkata seolah-olah aku akan berkendara bersamanya setiap saat? Memangnya ... kami ini apa? Kami cuma teman seperjuangan tugas akhir, 'kan?

Mendadak pipiku terasa panas. Ada desiran aneh di tubuhku, perasaan yang sama seperti yang pernah kurasakan pada Zarfan. Kuremas kain di dalam saku jaket bomber Dika. Lalu, kurasakan genggaman Dika yang semakin erat. Rasanya begitu hangat. Aku menunduk, bahkan untuk menatap punggung cowok itu pun tak sanggup. Dahiku bersentuhan dengan pundaknya.

Gawat! Kalau Dika terus-terusan menyerangku seperti ini, pertahananku lama kelamaan akan goyah!

Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

9 Juni 2023

*****

Panjang, ya?

Iya, setelah kuhitung-hitung bab ini sampai nyentuh 2000 kata, spesial buat kalian yang rajin mampir dan ngasih vote/comment. Thank you banget udah rajin mampir ke sini. Antusiasme kalian yang bikin aku semangat buat terus ngetik💗

See you on the next week!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro